Anda di halaman 1dari 16

ISU GLOBAL BIDANG KEAMANAN DAN POLITIK

STUDY KASUS SENGKETA LAUT CHINA SELATAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Geografi dan Isu Global

Dosen pengampu :
Dr. Lili Somantri, S.Pd., M.Si.

Disusun oleh:
Achmad Faqikh (2311656)

PROGRAM STUDI SAINS INFORMASI GEOGRAFI


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Isu Global bidang
keamanan dan Politik study kasus Sengketa Laut China Selatan” dengan tepat
waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Geografi
dan Isu Global.
Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan pembaca maupun
penulis terkait sengketa laut china selatan yang menjadi isu global pada saat ini
Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Dr. Lili Somantri, S.Pd.,M Si.
selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar Geografi dan Isu Global. Ucapan
terimakasih juga diucapkan kepada semua pihak yang telah membantu kami
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami mengharapkan adanya saran serta kritik yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Bandung, 29 November 2023


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di bumi ini, laut terhampar luas. Bahkan, tiga per empat permukaan bumi
adalah lautan dan bagian dari lautan adalah samudra. Samudra adalah lautan yang
membentang luas. Saat ini, terdapat lima samudra yaitu, pasifik, atlantik, arktik,
hindia dan antartika. Dari luasnya lautan di bumi ini, tentunya laut memiliki
manfaat yang begitu banyak di berbagai bidang seperti bidang ekonomi, bidang
social dan budaya, bidang sumber daya alam, bidang transportasi bahkan dibidang
keamanan. Saat ini, terdapat isu global yang berkaitan dengan kelautan di bidang
keamanan da politik, yaitu sengketa laut china selatan.
Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik, yang meliputi
sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan
luas sekitar 3,5 juta km². Berdasarkan ukurannya, Laut Cina Selatan ini merupakan
wilayah perairan terluas atau terluas kedua setelah kelima samudera. Laut Cina
Selatan merupakan sebuah perairan dengan berbagai potensi yang sangat besar
karena di dalamnya terkandung minyak bumi dan gas alam dan selain itu juga
peranannya sangat penting sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan, dan
pelayaran internasional. Kawasan laut china selatan merupakan kawasan yang
memiliki nilai ekonomis, politis dan strategis. Sehingga menjadikan kawasan ini
mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerja sama. Kawasan laut china
selatan memiliki kandungan minyak bumi dan gas alam yang terdapat di
dalamnya. Penemuan minyak dan gas alam pertama ditemukan di kepulauan
Spartly yang ditemukan pada tahun 1968 oleh tiongkok. Selain itu, peran laut
china selatan juga sangat penting bagi jalur perdagangan internasional. Oleh
karena itu, banyak negara yang memperebutkan kawasan laut china selatan.
Sengketa teritorial di Laut China Selatan (South China Sea, atau SCS) ini
diawali oleh klaim China atas Kepulauan Spratly dan Paracel pada tahun 1974 dan
1992.7 Hal ini dipicu oleh China pertama kali mengeluarkan peta yang
memasukkan kepulauan Spratly, Paracels dan Pratas. Pada tahun yang sama China
mempertahankan keberadaan militer di kepulauan tersebut. Tentu saja klaim
tersebut segera mendapat respon negara-negara yang perbatasannya bersinggungan
di Laut China Selatan, utamanya negara anggota ASEAN. Adapun negara-negara
tersebut, antara lain Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia. Selain
konflik yang terjadi antara sesama negara – negara Asia di atas, sengketa ini juga
memancing campur tangan Amerika Serikat yang merasa perairan Laut Cina
Selatan sangat perlu dijaga kestabilan keamanannya karena merupakan jalur
perairan internasional.
Dengan keterlibatan banyaknya negara – negara dalam sengketa ini, maka perlu
adanya penerapan sistem hukum yang berdasarkan pada suatu konvensi, traktat,
atau perjanjian internasional yang telah diakui keberadaannya. Berdasarkan hal
tersebut, UNCLOS III 1982 dapat menjadi salah satu alternatif dalam
menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan dikarenakan sengketa ini bukan hanya
merupakan suatu sengketa bilateral dan atau regional, tetapi merupakan suatu
sengketa multinasional. Selain itu, isi dan prinsip – prinsip yang terdapat dalam
UNCLOS III 1982 dapat mengakomodir penyelesaian sengketa yang terjadi di
Laut Cina Selatan. Oleh karena itu, Sengketa Laut China Selatan menjadi sebuah
isu global yang hangat diperbincangkan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang sedang terjadi di Laut China Selatan?
2. Mengapa sengketa Laut China Selatan dapat terjadi?
3. Bagaimana tanggapan dari negara-negara yang terlibat dalam sengketa
tersebut?
4. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa Laut China
Selatan?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui apa yang sedang terjadi di laut china selatan.
2. Mengetahui latar belakang terjadinya sengketa laut china selatan.
3. Mengetahui tanggapan-tangapan dari negara-negara yang terlibat dalam
sengketa laut china selatan.
4. Mengetahui upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa laut china
selatan.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman dan informasi terkait
dengan kasus sengketa Internasional di Laut China Selatan dan juga agar bisa
memberikan pemahaman yaitu tentang sengketa internasional Laut Cina Selatan
ini dan diharapkan dapat menjadi rujukan informasi yang akurat dan berguna bagi
masyarakat di tanah air untuk selalu menumbuhkan jiwa nasionalisme dan terus–
menerus belajar bagi masa depan kemajuan pendidikan di Indonesia. Dan bagi
penulis lainnya, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dan referensi bagi
rekan penulis karya ilmiah lain yang mengambil topik Sengketa Internasional di
Laut Cina Selatan.
BAB II
ISI
A. Sengketa Laut China Selatan
Laut China Selatan (LCS) menjadi flash point di kawasan Asia Pasifik.
Sengketa di LCS tidak hanya melibatkan enam negara yaitu, Tiongkok, Taiwan,
Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia saja, melainkan juga menyangkut
kepentingan kekuatan besar lainnya seperti Amerika Serikat. Konflik antar negara
dapat terjadi antara lain, disebabkan masalah perbatasan, sumber daya alam,
kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lain sebagianya. Konflik Laut Cina
Selatan merupakan salah satu konflik di kawasan Asia Timur yang timbul karena
adanya kepentingan negara akan sumber daya alam yang melimpah dikawasan
tersebut. Sampai saat ini, belum ada titik temu dari negara-negara yang terlibat
untuk menyelesaikan konflik (Junef, 2018: 219).
Untuk memahami konflik LCS tentu harus juga memahami inti masalah dan
persoalan pokoknya. Selain potensi, hal yang paling fundamental dalam isu LCS
adalah masalah kedaulatan negara. Terjadinya apa yang disebut sebagai tumpang
tindih garis wilayah perbatasan yang diklaim oleh negara-negara terlibat terhadap
pulau-pulau di LCS adalah intisari isu LCS.Sedangkan jika ditelusuri lebih jauh,
rumitnya masalah LCS tidak lain adalah kegagalan perjanjian San Francisco
Treaty tahun 1951 dalam menetapkan status Kepulauan Spratly pasca kekalahan
Jepang pada Perang Dunia II (Jones & Smith, 2015). Menurut U.S. Energy
Information Administration (EIA) potensi sumber daya alam di LCS sangat besar.
Diperkirakan LCS mempunyai kandungan minyak sekitar 11 milyar barel dan juga
kaya akan gas alam mencapai 190 trilyun kaki kubik (Tfc) serta cadangan
hidrokarbon yang sangat penting sebagai pasokan energy.
Masalah Laut China Selatan memiliki permasalahan sengketa yang pelik,
diantaranya adalah masalah sengketa teritorial dan sengketa batas wilayah
maritim, yang sampai saat ini belum adanya penyelesaiannya. Indonesia sangat
berhati-hati dalam menghadapi masalah sengketa di Laut China Selatan ini
(Wiranto, 2016: 8). Dalam konflik Laut China Selatan, selain ketegangan yang
terjadi akibat tumpang tindihnya klaim antar negara bersengketa yang belum bisa
dihentikan (Buszynski, 2012:139-156), hingga kini, terdapat juga perkembangan
yang tidak menggembirakan terutama mengenai hubungan antara dua negara
anggota ASEAN yaitu Vietnam dan Filipina dengan China. Eskalasi ketegangan di
LCS meningkat drastis pada awal Mei 2014 lalu ketika kilang minyak Tiongkok
His Yang Shi You 981 (HYSY 981) memulai operasi pengeboran minyak yang
masih masuk wilayah Zona Ekonomi Ekslusif dan landas kontinen Vietnam.
Sebelumnya, di Mei 2009 Tiongkok mengeluarkan pernyataan mengenai nine
dash line berarti bahwa kedaulatan yang tidak terbantahkan atas pulau-pulau di 3
Laut China Selatan dan perairan yang berdekatan, dan memiliki hak-hak berdaulat
dan hukum yurisdiksi atas perairan tersebut beserta laut dan tanah di bawahnya.
Selanjutnya di tahun 2012, setelah bersitegang dengan Filipina akhirnya Tiongkok
mendirikan bangunan permanen di Karang Dangkal Scarborough dimana posisi
karang tersebut berpotensi besar untuk mengancam keamanan Filipina karena
terletak hanya 220 kilometer dari pantai Filipina. Adapun nine dash line juga dapat
berfungsi sebagai batas-batas maritim antara China dengan negara-negara di
sekitar kawasan Laut China Selatan (Guo, 2013:8).
Salah satu negara yang paling gencar melakukan protes terhadap klaim
Tiongkok tentang kepemilikan atas seluruh wilayah Laut Tiongkok Selatan adalah
Filipina. Filipina misalnya telah memberikan beragam laporan mengenai
pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal China yang melewati perairan yang
selama ini disengketakan, bahkan terjadi beberapa insiden antara kapal patroli
China dengan kapal-kapal nelayan Filipina. Selanjutnya China juga dituduh
melakukan pemancangan instalasi baru di wilayah yang disengketakan serta
mengintimidasi kapal-kapal eksplorasi minyak Filipina. Sementara Vietnam telah
melakukan paling tidak empat kali pertemuan bilateral dengan China pada awal
2011 dalam rangka membicarakan perbedaan antar mereka mengenai Laut China
Selatan atau Laut Tiongkok Selatan.
Gambar 1. nine dash line

Negara-negara kawasan yang terlibat dalam konflik Laut China Selatan atau
Laut Tiongkok Selatan pada umumnya menggunakan dasar historis dan geografis
dalam memperebutkan kepemilikan atas kawasan laut dan dua gugusan kepulauan
di wilayah Laut China Selatan. China misalnya, mengklaim wilayah sengketa
tersebut berdasarkan kepemilikan bangsa China atas kawasan laut dan dua
gugusan kepulauan Paracel dan Spratly sejak 2000 tahun yang lalu, kemudian
Pemerintah China mengklaim telah mengeluarkan peta yang merinci kedaulatan
China atas Laut China Selatan pada tahun 1947, yang dikenal dengan istilah “Nine
Dashed Line” (Nainggolan, 2013: 8). Pengertian nine dash line adalah peta
teritorial yang membubuhkan sembilan garis putus-putus sebagai penanda atau
batas pemisah imajiner yang digunakan pemerintah Cina untuk mengklaim
sebagian besar, yakni 90 persen, wilayah Laut Cina Selatan (Anggi, 2016: 60).
Sejak Tiongkok menerbitkan peta klaimnya yang diberi nama nine dash line
pada pertengahan tahun 2009, masalah batas negara kini menjadi penting
dikarenakan perbatasan suatu negara merupakan wujud utama kedaulatan suatu
negara , termasuk penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya
alam, serta keamanan dan keutuhan wilayah. Pentingnya manajemen pengelolaan
perbatasan negara Indonesia terkait perbatasan Indonesia-Tiongkok di Laut Cina
Selatan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, secara sepihak pada 2009 Cina
menggambar Sembilan titik ditarik dari Pulau Spartly di tengah Laut Cina Selatan,
yang mana sebagian dari wilayah perairan Natuna termasuk di dalamnya, lalu
diklaim sebagai wilayah kedaulatan milik Cina. Terkait klaim tersebut, secara
resmi tahun 2010 Indonesia mengirimkan surat putusan kepada PBB agar pihak
Cina memberikan penjelasan apa latar belakang, hukum apa yang mereka
gunakan. Meskipun hingga saat ini belum ada jawaban resmi dari Cina sendiri,
Indonesia tetap mengutamakan diplomasi dalam menyelesaikan permasalahan
antar negara terutama masalah wilayah perbatasan. Salah satu upaya Indonesia
dalam menjaga keamanan di wilayah perbatasan adalah dengan tetap melanjutkan
perundingan perbatasan (diplomacy border) agar terdapat kejelasan garis
perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, serta melakukan aktivitas eksplorasi
minyak bumi dan gas alam di Laut Natuna, sebagai bentuk eksistensi Indonesia di
wilayah tersebut. Sejak tahun 2013 telah dimulai eksplorasi pertambangan minyak
di Natuna. Dengan adanya aktivitas langsung dari Indonesia di wilayah-wilayah
perbatasan akan semakin menguatkan posisi Indonesia dalam mengklaim daerah
tersebut. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah
memanfaatkan sumber daya alam yang ada di Laut Natuna. Eksistensi Indonesia di
Laut Natuna akan berdampak terhadap ekonomi nasional dan terjaganya keutuhan
wilayah dari gangguan dan klaim negara-negara tetangga (Satyawan, 2010:85).
B. Analisis masalah berdasarkan konsep geografi
konflik laut china selatan dapat kita analisis menggunakan konsep geografi,
yaitu konsep lokasi, konsep jarak, konsep interaksi interdependensi, keterkaitan
keruangan, morfologi dan nilai guna.
Berdasarkan konsep lokasi, lokasi laut china selatan ini berbatasan langsung
dengan Negara Vietnam di sisi barat, dengan Filipina, Malaysia dan Brunei di sisi
timur, dan Indonesia dan Malaysia, di sisi selatan, serta oleh republic rakyat
tiongkok dan Taiwan di sisi utara. Hal ini yang menjadikan laut china selatan
sebagai konflik, karena lokasinya berda di laut semi tertutup yang dikelilingi
beberapa negara. Kemudian, berdasarkan jaraknya. Beberapa negara yang terlibat
konflik menggunakan landasan hokum UNCLOS 1982 yaitu Persetujuan batas laut
dan yuridiksi dari semua daerah pantai meliputi laut teritorial, zona tambahan,
ZEE, landas kontinen, laut pedalaman, batas laut dalam dan ruang diatas lautan.
Negara seperti Indonesia, Filipina dan Malaysia menggunakan ZEE (Zona
Ekonomi Eksklusif) adalah zona yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar pantai,
yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas
kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya,
kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel
dan pipa. Namun, tiongkok menerapkan nine dash line yang mengambil zona
ekonomi eksklusif milik Filipina, Malaysia dan Indonesia. Kemudian, berdasarkan
morfologinya, laut china selata memiliki pulau-pulau kecil dan memiliki terumbu
karang yang menjadi tempat hidup ikan. Morfologi yang unik dan kekayaan alam
Laut China Selatan yang sangat berlimpah membuatnya menjadi wilayah yang
strategis secara geopolitik, ekonomi, dan lingkungan. Keanekaragaman fitur
geografisnya juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi ketegangan di laut
china selatan. Kemudian, berdasarkan nilai guna, laut china selatan ini memiliki
sumber daya migas ditandai dengan adanya kilang-kilang minyak milik negara-
negara di sekitar laut china selatan seperti Indonesia.
Kemudian, berdasarkan konsep interaksi dan interdependensi, tentunya dengan
banyaknya sumbedaya alam yang ada di laut china selatan, menyebabkan adanya
interaksi antara negara dengan laut china selatan dengan membangun kilang minya
dan mengakibatkan ketergantungan secara ekonomi karena adanya sumberdaya
migas yang ada di laut china selatan. Dan yang selanjutnya, konsep keterkaitan
keruangan. Negara-negara yang berada di sekitar laut china selatan melakukan
kerjasama , seperti negara-negara yang ada di ASEAN yang menghasilkan
keterkaitan di berbagai aspek seperti ekonomi, politik, keamanan dan lainnya.

C. Sikap Indonesia Dalam Sengketa Laut China Selatan


Sebagai negara yang netral dan memiliki kebijakan politik luar negeri yang
bebas aktif, Indonesia memahami kerumitan dari konflik Laut Cina Selatan.
Indonesia menempatkan diri bahwa Indonesia bukanlah claimant state dalam
konflik Laut Cina Selatan karena Indonesia beranggapan jika Indonesia dan Cina
telah memiliki klaim yang tumpang tindih terhadap pulau-pulau, maka mereka
seharusnya tidak memiliki perselisihan mengenai perairan, karena hak atas air
berasal dari hak atas tanah berdasarkan UNCLOS 1982 mengingat pentingnya
peran laut baik dari sudut keamanan, ekonomi, dan politik (Darajati, 2018: 23).
Begitu pun dengan negara Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, dan
Malaysia yang dalam hal ini juga mengklaim bahwa sebagian wilayah Laut China
Selatan atau Laut Tiongkok Selatan masuk ke dalam Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) negara-negara tersebut berdasarkan pendekatan geografis yang diakui oleh
Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Negara-negara yang bersengketa dalam
konflik Laut China Selatan atau Laut Tiongkok Selatan kerap kali terlibat dalam
bentrokan fisik dengan menggunakan kekuatan militernya masing-masing.
Inisiatif Indonesia sebagai salah satu bagian dari ASEAN 9 dalam upaya
penanganan sengketa Laut Cina Selatan pada tingkat multilateral banyak
dilakukan di bawah payung ASEAN. Indonesia dan ASEAN berusaha mengikat
Cina dalam kesepakatan kerja sama dan deklarasi cara damai dalam penanganaan
dan pengelolaan Laut Cina Selatan (Weatherbee, 2010:55).
Terdapat dua landasan penting yang digunakan Indonesia dan ASEAN sebagai
upaya mitigasi konflik Laut Cina Selatan yaitu membangun kepercayaan antar
pihak (confidence building measure) dan perjanjian persahabatan dan kerja sama
(Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia). Langkah inisiatif tersebut
dalam rangka mendorong terciptanya mekanisme penyelesaian sengketa Laut Cina
Selatan bagi pihak-pihak yang bersengketa. Inisiatif Indonesia dalam upaya
pengelolaan konflik Laut Cina Selatan membuat Indonesia memainkan peran
penting dalam kawasan. Dalam perkembangannya, peran kepemimpinan Indonesia
dalam upaya penanganan sengketa Laut Cina Selatan menghadapi tantangan.

D. Upaya Penyelesaian Sengketa


Pada 2013, Filipina mengajukan keberatan atas klaim dan aktivitas China di
laut china selatan kepada mahkamah arbitrase UNCLOS, di Den Haag, Belanda.
Filipina menuding China mencampuri wilayahnya dengan menangkap ikan dan
mereklamasi demi membangun pulau buatan. Filipina berargumen bahwa klai
China di wilayah perairan laut china selatan yang ditandai dengan nine dash line
bertentangan dengan kedaulatan wilayah Filipina dan hokum laut internasional.
Kemudian pada 2016, pengadilan arbitrase internasional yang berbasis di Den
Haag, Belanda memutuskan, china telah melanggar kedaulatan Filipina di laut
china selatan. Mahkamah arbitrase PBB menyatakan bahwasannya china tidak
memiliki dasar hokum untuk mengklaim wilayah perairan laut china selatan.
Mahkamah arbitrase menyatakan bahwa china telah menyebabkan kerusakan
parah pada lingkungan terumbu karang akibat membangun pulau buatan.
Pada intinya, putusan yang dikeluarkan mahkamah menyatakan:
1. Reklamasi pulau yang dilakukan china di perairan ini tidak memberi hak
apapun kepada pemerintah china.
2. China telah melakukan pelanggaran atas hak-hak kedaulaan Filipina dan
menegaskan bahwa china telah meyebabkan kerusakan lingkungan di laut china
selatan dengan membangun pulau buaan.

Selain itu, ASEAN juga turut serta dalam berupaya untuk menyelesaikan
sengketa ini. ASEAN meminta resolusi damai terhadap sengketa laut china selatan
sesuai hokum internasional, termasuk hokum laut PBB yang dijadikan rujukan
pengadilan arbitrase internasional. Langkah signifikan yang telah dilakukan
ASEAN dan China dalam menyelesaikan sengketa laut china selatan adalah
penandatanganan deklarasi prilaku para pihak (Declaration of conduct) DOC pada
2002. merupakan perjanjian tidak mengikat yang menguraikan prinsip-prinsip
penyelesaian sengketa secara damai di wilayah tersebut. Selain itu, Kementerian
Luar Negeri dalam keterangan menyebutkan di Penang, Malaysia, telah dilakukan
first reading dari single draft Code of Conduct (COC) yang nantinya akan
mengatur lalu lintas keseharian di Laut Cina Selatan. Saat ini, naskah negosiasi
COC sudah rampung sehingga bisa lanjut ke second reading. Pengadilan dalam
putusan Arbitrase Laut Cina Selatan mengakui pentingnya negosiasi dalam
penyelesaian sengketa, dan menekankan bahwa para pihak bebas menggunakan
metode penyelesaian sengketa lainnya tetapi hanya jika metode tersebut sesuai
dengan hukum internasional (Nguyen 2018 ).
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Sengketa laut china selatan merupakan sebuah permasalahan mengenai zona
kekuasaan beberapa negara yang terjadi di laut china selatan. Sengketa ini bermula
ketika china menerbitkan nine dash line. Kemudian beberapa negara seperti
Filipina menolak nine dash line karena Filipina menilai bahwa china telah
mengambil wilayah teritorialnya berdasarkan ZEE. Tak hanya Filipina, beberapa
negara seperti Malaysia, Indonesia, Vietnam dan brunei darusalam juga keberatan
atas nine dash line tersebut. Sengketa Laut Cina Selatan telah membentuk
hubungan antar negara selama beberapa dekade. Tidak hanya negara-negara yang
terlibat langsung dalam perselisihan tersebut yang terkena dampaknya, namun juga
negara-negara di luar negara tersebut, yang telah berusaha mengurangi ketegangan
dan menemukan kesepakatan mengenai berbagai klaim yang tumpang
tindih. Sumber daya alam yang melimpah di wilayah tersebut dan letak
geografisnya yang strategis menjadikan perselisihan ini sebagai pusat kepentingan
nasional negara-negara tersebut. Sebagaimana disajikan, perselisihan tersebut
bersifat teritorial, dan para pihak menggunakan argumen sejarah (kebanyakan
Tiongkok) dan hukum (Filipina, Brunei, Indonesia, Malaysia dan Vietnam) untuk
mendukung klaim mereka.
Selama bertahun-tahun, terdapat upaya untuk mengurangi ketegangan dan
menyelesaikan konflik Laut china selatan melalui perjanjian bilateral dan
multilateral. Akibat kegagalan dalam mempertahankan perjanjian tersebut, Filipina
membawa perselisihannya dengan Tiongkok ke Pengadilan Arbitrase Permanen,
salah satu mekanisme penyelesaian perselisihan UNCLOS. Pengadilan
menemukan bahwa wilayah yang disengketakan berada dalam ZEE Filipina,
sehingga klaim Tiongkok tidak berdasar secara hukum dan historis. Namun,
penolakan Tiongkok untuk mengakui yurisdiksi dan keputusan akhir Pengadilan
tersebut menyoroti perjuangan hukum internasional untuk menyelesaikan
perselisihan tersebut.

B. Saran
Dalam menanggapi sengketa ini, pemerintah Indonesia diharapkan mampu
untuk mempertahankan kedaulatan negara kesatuan republic Indonesia dan
pemerintah harus meningkatka eksistensi Indonesia di kepulauan natuna.
Kemudian, peran ASEAN juga diharapkan lebih dioptimalkan kembali dalam
membantu negara anggota ASEAN menghadapi sengketa ini. Tak hanya itu, peran
PBB juga sangat dibutuhkan untuk menjadi penengah dalam sengketa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Gumelar, Pratama. “Konflik versus Kooperasi: upaya penylesaian sengketa laut
tiongkok selatan dan integrase ASEAN ke iklim ekonomi global.” Jurnal
ilmu hokum vol. 3, No 1 (2016)
Puspita, Yanti, “ upaya penyelesaian konflik kepulauan natuna dalam tinjauan hokum
internasional”. Jurnal Ilmu Hukum Sui Generis P-ISSN: 2809-3925 Volume
2 No 3, (2022)
Setyo, Wahyu, “Analysis of settlement of south china sea disputes by the
international arbitration agency.” Jurnal ilmu hokum lex generalis, Vol.1.
No.3 (2020)
https://www.e-ir.info/2022/06/23/the-role-of-united-nations-convention-on-the-laws-
of-the-sea-in-the-south-china-sea-disputes/

Anda mungkin juga menyukai