Anda di halaman 1dari 3

Nama : Muhammad Irsyaad Fadhlurrahman

NIM : 11181130000004
Kelas : HI 6A
Mata Kuliah : Hubungan Internasional Kawasan Asia Timur

UJIAN TENGAH SEMESTER

Dinamika Sengketa di Laut Tiongkok Selatan : Hubungan Tiongkok dengan Claimant


States LTS

Laut Tiongkok Selatan merupakan kawasan atau area yang terletak di Asia Pasifik. Kawasan
yang berupa tepi laut tersebut memiliki bentang luas sekitar 3.500.000 kilometer persegi. Laut
Tiongkok Selatan menjadi isu hangat di abad ke-21 dengan kehadiran sengketa di wilayah sekitar
kawasan tersebut. Laut Tiongkok Selatan diperkirakan akan menjadi salah satu pusat konflik setelah
Perang Dingin (Kaplan, 2011). Klaim tumpang tindih yang melibatkan beberapa negara menjadikan
kondisi keamanan kurang stabil dan belum mencapai situasi yang baik. Setidaknya ada delapan
negara yang berbatasan langsung dengan Laut Tiongkok Selatan antara lain, Republik Rakyat
Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.

Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel yang menjadi titik rawan dan mendorong
sengketa teritorial di Laut Tiongkok Selatan. Kepulauan Spratly memiliki letak yang strategis
dari segi militer dan pertahanan serta jalur perdagangan internasional. Kepulauan tersebut
diduga memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti minyak dan gas. Kawasan Laut
Tiongkok Selatan menyimpan cadangan minyak sekitar 1,2 juta kilometer kubik atau 7,7
miliar barel. Selain itu, kawasan tersebut memiliki potensi gas alam sekitar 7.500 kilometer
kubik (review, 2012). Hal tersebut merupakan alasan banyak negara untuk memperebutkan
Kawasan Laut Tiongkok Selatan.

Status kedudukan gugusan pulau di kawasan Laut Tiongkok Selatan menyebabkan


tumpang tindih klaim dari negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur terhadap
kepulauan yang berada di kawasan tersebut. Kepulauan Spratly diklaim oleh enam negara
yaitu, Republik Rakyat Tiongkok, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia.
Sedangkan Kepulauan Paracel diklaim oleh empat negara yaitu, Republik Rakyat Tiongkok,
Taiwan, Vietnam, dan Filipina (Rudy., 2007). Akar permasalahan dan tumpang tindih klaim
di kawasan tersebut disebabkan oleh permasalahan kedaulatan teritorial yang ada di kawasan
Laut Tiongkok Selatan dan kedaulatan maritim atas penetapan batas yang diatur dalam
Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS 1982.
Tiongkok dan claimant states memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam
penentuan batas territorial masing-masing negara. Dalam hal ini klaim Tiongkok tersebut
didasarkan pada latar belakang sejarah Tiongkok kuno tentang wilayah kekuasaan kerajaan
dahulu. Alasan tersebut karena Dinasti Han yang menemukan lebih awal kawasan tersebut
pada abad ke-2 masehi. Pada abad ke-12, Dinasti Yuan kemudian memasukkan Laut
Tiongkok Selatan ke dalam peta wilayahnya, yang kemudian kembali diperkuat oleh Dinasti
Ming dan Dinasti Qing pada abad ke-13 (Suharna, 2012). Hal tersebut tentu bertentangan
dengan negara-negara lain yang menerapkan hukum laut internasional atau UNCLOS 1982.
Walaupun Tiongkok telah meratifikasi perjanjian tersebut, Tiongkok tidak
mengimplementasikannya UNCLOS 1982 dengan benar.

Klaim tersebut tercantum dalam peta yang diterbitkan Pemerintahan RRT yang
mengklaim hampir seluruh kawasan Laut Tiongkok Selatan. Tidak hanya memuat kepulauan
Spratly dan kepulauan paracel, tetapi Tiongkok memberi sebelas tanda sebelas garis putus-
putus yang membentuk huruf U di sekitar kawasan Laut Tiongkok Selatan. Kemudian, pada
tahun 1949 setelah Partai Komunis Tiongkok berkuasa, garis tersebut diubah menjadi
sembilan garis putus-putus (nine dash line). Selain itu, Pada tanggal 25 Februari 1992
Pemerintah Tiongkok memasukan Kepulauan Spratly ke dalam Undang-Undang maritim
secara de jure. Kemudian pada tahun 1996 Republik Rakyat Tiongkok kembali menunjukan
ambisinya dengan memasukan wilayah tersebut ke dalam wilayah maritimnya.

Hal tersebut menimbulkan ketegangan antara negara-negara yang terlibat dalam klaim
di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Tindakan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan dinilai
lebih represif. Pemerintah Tiongkok sering kali mengirim kapal-kapal perangnya untuk
melakukan latihan perang dengan menggunakan peluru tajam di kawasan Laut Tiongkok
Selatan (Online, 2011). Selain itu, Tiongkok juga meningkakan kapasitas angkatan laut di
Laut Tiongkok Selatan dengan membangun pangkalan-pangkalan militer. Hal tersebut tentu
akan menimbulkan eskalasi ketegangan yang dapat merusak hubungan di antara negara-
negara yang terlibat klaim di Laut Tiongkok Selatan.

Dalam penyelesaian sengketa di Laut Tiongkok Selatan telah banyak upaya yang
dilakukan negara dan organisasi internasional untuk meredakan ketegangan yang terjadi.
Namun, upaya-upaya tersebut selalu menempuh kegagalan. Indonesia dalam hal ini pernah
memainkan peran dalam mengelola sengketa di Laut Tiongkok Selatan. pada tahun 1990an
Indonesia berperan meredakan eskalasi konflik di Laut Tiongkok Selatan dengan membentuk
Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea. Tujuan dari lokakarya
tersebut adalah membendung potensi konflik melalui upaya pengembangan confidence
building atau CBMs, mendorong diskusi dan dialog antar claimant states dan membangun
kerjasama antara negara. Lokakarya ini secara terus-menerus didiskusikan karena melihat
sangat pentingnya CBMs untuk meminimalkan ketegangan, menghindari konflik, memajukan
kerjasama dan memfasilitasi atmosfir yang kondusif serta diharapkan melibatkan pemerintah
dalam melakukan perundingan baik secara resmi maupun tidak resmi dalam forum bilateral
maupun multilateral.

Selain itu, ASEAN juga pernah berperan dalam mengelola sengketa wilayah Laut
Tiongkok Selatan berkat dorongan Indonesia. ASEAN membentuk ASEAN Declaration on
the South China Sea yang ditandatangani oleh menteri luar negeri negara anggota ASEAN
pada tanggal 22 Juli 1992. Prinsip yang ditekankan dalam deklarasi tersebut adalah perlunya
pernyelesaian sengketa secara damai, mendorong eksplorasi kerjasama dengan keselamatan
navigasi dan komunikasi, perlindungan atas lingkungan laut, dan lain sebagainya. Tetapi DoC
tidak dipatuhi oleh beberapa negara. Hal itu karena kerap terjadi insiden di Laut Tiongkok
Selatan seperti insiden Mischief Reef tahun 1995 dan program reklamasi yang dilakukan
Tiongkok secara masif dan intensif di kawasan tersebut (Kemhan., 2015).

Upaya penyelesaian sengketa di Laut Tiongkok Selatan sulit mencapai kesepakatan.


Hal tersebut dikarenakan aktor-aktor yang terlibat memiliki perbedaan pandangan dalam
upaya penyelesaian. Tiongkok dalam hal ini lebih menekankan penyelesaian secara bilateral
antara negara-negara pengklaim. Sedangkan, negara-negara ASEAN yang terlibat dalam
sengketa belum satu suara dalam menyikapi sengketa di Laut Tiongkok Selatan. Sehingga hal
tersebut menghambat penyelesaian sengketa dan sulit mencapai mengakhiri ketegangan yang
terjadi di Laut Tiongkok Selatan.

Anda mungkin juga menyukai