Anda di halaman 1dari 19

PENDEKATAN AMERIKA SERIKAT TERKAIT PENYELESAIAN

SENGKETA LAUT CHINA SELATAN


PADA MASA PEMERINTAHAN PERTAMA BARACK OBAMA
(2009-2013)

Oleh: Muflichah Tri Hayu Widhawaty1


070810513

ABSTRACT:
South China Sea dispute had become central issue, not only for the claimants but also the
other countries such as United States. When this dispute still not reaching the end point,
United States try to help but not interfere too much. Though China's assertive action has
been do harm many parties, even in the United States itself, but still United States want to
the claimants resolve this dispute with soft dan diplomatic ways. This article will try to
examine what factors which make United States use soft policy to resolve this dipute. Based
on the assumption that there is United States economic and defense interests and China
economic and military power which affect to the perception of United States toward China
shaped United States forein policy toward South China Sea dispute.
Keyword: South China Sea dispute, United States, China, power, interest, perception,
economic, military

Pendahuluan
Setelah Perang Dingin, Laut China Selatan menjadi flashpoint2 utama karena signifikansi
dari wilayah tersebut. Laut China Selatan telah menjadi wilayah yang penting bagi sistem
pelayaran dan perdagangan internasional, suplai energi, dan juga memiliki sumber daya alam
yang besar (Pelita Online, 2012). Laut China Selatan telah tumbuh sebagai wilayah jalur
perdagangan yang menjadi bagian dari ekonomi global. Wilayah ini menghubungkan pelabuhan
pengiriman tersibuk di dunia – Shanghai, Singapura, Hongkong, Guangzhou – ke seluruh
penjuru dunia. Hampir setengahnya, dari segi tonase3, dari seluruh barang-barang niaga melewati
Laut China Selatan, termasuk barang perdagangan Amerika Serikat yang senilai lebih dari $1,2
triliun, setiap tahunnya (Ring, 2012:6).
Sumber daya alam yang dimiliki oleh Laut China Selatan sangat potensial yaitu ikan dan
minyak. Wilayah tersebut menjadi habitat perkembangbiakan ikan dan juga menjadi habitat tuna
dan udang. Selain ikan, Laut China Selatan memiliki minyak. Ada banyak perkiraan mengenai

1
Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir program studi Ilmu Hubungan Internasional, yang menggunakan paper ini
sebagai syarat Untuk Menyelesaikan Studi S-1
2
Flashpoint adalah Sebuah tempat di mana masalah, seperti kekerasan atau konflik, berpotensi untuk memanas
(http://www.merriam-webster.com/dictionary/flashpoint?show=0&t=1373782703)
3
Tonase adalah ukuran daya tampung kapal dalam membawa barang (http://www.merriam-
webster.com/dictionary/tonnage)
1
cadangan minyak yang ada di Laut China Selatan. Pemerintah China memperkirakan bahwa Laut
China Selatan terdapat hampir 200 miliar barel minyak dan 266 triliun kaki kubik gas alam.
Sementara proyeksi konservatif US Geological Survey memperkirakan jauh lebih sedikit yaitu
4,8 miliar barel minyak dan 64 triliun kaki kubik gas alam (Ring, 2012:7). Data survei langka
karena upaya pemerintah China untuk mencegah pemerintah dan perusahaan dari melakukan
operasi survei di Laut China Selatan. Meskipun tanpa bukti kuat, beberapa perusahaan minyak,
misalnya, ExxonMobil, Shell, dan Chevron, telah menyatakan minat dalam membuat investasi
besar dalam upaya eksplorasi minyak (Hargreaves, 2012).
Dengan kelebihan yang dimiliki Laut China Selatan sebagai jalur perdagangan vital dan
sumber daya alam yang melimpah kemudian menjadi wilayah yang merupakan arena konflik
karena beberapa negara mengakui Laut China Selatan sebagai bagian dari wilayahnya. Beberapa
negara, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Vietnam, China, dan Taiwan, mengklaim
kedaulatan atas perairan ini. Klaim kedaulatan yang dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat
sengketa dapat dipisahkan menjadi klaim sejarah tentang penemuan dan pendudukan. Sementara
sisanya mengklaim bahwa adanya perluasan yuridiksi berdaulat dalam interpretasi ketentuan The
United Nations Law of the Sea Convention (UNCLOS) (Emmers, 2010:120).
Sekitar tahun 1980an banyak negara-negara yang mengirimkan militernya dengan alasan
mengamankan wilayah-wilayah di Laut China Selatan yang diklaimnya (Collins, 2003:194).
Salah satu contoh peristiwa adalah ketika terjadi bentrok militer antara China dan Vietnam pada
tahun 1988. Selain itu, dalam kurun tahun terakhir, militer China kerap bentrok dengan militer
Filipina. Namun konflik Laut China Selatan itu sendiri tidak hanya diwarnai dengan bentrok
militer. Negara-negara yang terlibat langsung dalam konflik Laut China Selatan juga
mengupayakan langkah-langkah lain. China dan Taiwan pernah mencoba melakukan kerjasama
eksplorasi minyak di Kepulauan Paracel. Sedangkan antara Vietnam dan China juga
mengupayakan perundingan bilateral dengan melakukan kelompok khusus. Bulan Juni 1993,
Malaysia dan Vietnam juga pernah mencoba melakukan kerjasama eksplorasi minyak di
kepulauan Spartly. Begitu pula antara China dan Filipina juga pernah sepakat untuk menyisihkan
sengketa atas Kepulauan Spartly dan mengembangkan eksplorasi minyak bersama-sama
(Kompas, 2008). Namun banyak dari perjanjian-perjanjian bilateral tersebut yang gagal dan
berakibat ketegangan kembali muncul di wilayah tersebut.
Sengketa yang tidak pernah selesai di wilayah ini, menjadikannya sebagai isu sentral,
tidak hanya untuk negara-negara di kawasan tersebut, tetapi juga bagi negara-negara besar yang
mempunyai kepentingan di kawasan ini, salah satunya Amerika Serikat. Mengetahui hal ini akan
berpotensi mengancam keamanan Asia Pasifik, maka Amerika Serikat memutuskan untuk
2
membantu menyelesaikan konflik Laut China Selatan. Amerika Serikat membantu dengan cara
mendukung segala usaha penyelesaian secara damai dan diplomatis. Hal ini dikarenakan
Amerika Serikat saat ini memiliki prinsip bahwa dalam masalah konflik di Laut China Selatan
adalah tidak akan atau menghindari menggunakan kekuatan militer. Konflik di Laut China
Selatan akan dihindarkan dari kemungkinan menjadi perang terbuka (:
http://nrmnews.com/2012/06/12/kebijakan-luar-negeri-amerika-serikat-di-asia-tenggara/, 2012).
Hal ini dipertegas dengan pernyataan Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat, bahwa Amerika Serikat tidak mengambil posisi diantara negara-negara pengklaim
(http://indonesia.ucanews.com/2012/09/04/indonesia-as-berkomitmen-ikut-menyelesaikan-
konflik-laut-china-selatan/, 2012).4 Clinton juga menyerukan "suatu proses diplomatik
kolaboratif oleh semua negara-negara pengklaim untuk menyelesaikan sengketa teritorial
berbagai tanpa paksaan." Hal ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat menentang penggunan
atau ancaman kekuatan oleh negara pengklaim manapun. Clinton lanjut menyatakan bahwa
penuntut harus mengejar klaim teritorial mereka sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum
Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea)5, dan mendesak semua pihak untuk
mencapai kesepakatan tentang kode etik laut (Glaser, 2012). Pemerintah Amerika Serikat
mendukung standar perilaku yang ditegaskan kembali dalam “ASEAN-China Declaration on the
Conduct (DOC) of the Parties in the South China Sea” yang disepakati antara the Association of
Southeast Asian Nations (ASEAN) dan China pada tahun 2002, dan telah meminta negara-
negara yang bersangkutan untuk merumuskan “kode etik” yang mengikat secara hukum (Zao,
2012:12).
Pemerintahan Obama menekankan terhadap pentingnya kerangka multinasional yang
berfokus pada wilayah ASEAN. Dengan demikian keputusan yang dihasilkan akan bersifat
regional dan tidak memihak salah satu dari negara yang bersengketa, bersifat mengikat secara
hukum, dan lebih cenderung bersifat sebagai forum international rule-making yang dapat
mempengaruhi seluruh wilayah. Dengan demikian, Amerika Serikat mendukung perundingan
multinasional seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan East Asia Summit (EAS) mengatasi
masalah keamanan laut – termasuk sengketa Laut China Selatan – sebagai salah satu agenda
resmi, dan berharap masalah ini akan dibahas bersama Amerika Serikat.

4
Indonesia-AS Berkomitmen Ikut Menyelesaikan Konflik Laut China Selatan, 4 September 2012 [diakses 17
Desember 2012]; diunduh dari: http://indonesia.ucanews.com/2012/09/04/indonesia-as-berkomitmen-ikut-
menyelesaikan-konflik-laut-china-selatan/
5
semua negara berhak menikmati kebebasan laut bebas secara penuh, termasuk kebebasan navigasi, melampaui 12
nautical miles (nm) wilayah laut pesisir setiap negara dimana negara pantai negara berpesisir dapat menikmati hak-
hak kuasa. Keduanya, baik kapal komersil dan militer dapat menikmati kebebasan laut bebas seperti yang
terkandung dalam pasal 56 dan 87
3
Pemerintahan Obama juga menggunakan strategi hedge dengan meningkatkan
keterlibatan dengan sekutu dan mitra dengan berbagi nilai dan kepentingan Amerika Serikat,
kemudian meningkatkan kepemimpinan di Asia setelah pengabaian terhadap wilayah tersebut di
bawah pemerintahan George W. Bush (Zao, 2012:12). China yang semakin tegas membuat
Amerika Serikat harus bertindak dengan lebih lunak karena perilaku tegas China tidak hanya
mengasingkan pemerintahan Obama, tetapi juga merusak hubungan dengan negara-negara
tetangganya yang takut kepada Beijing yang sebagai hegemoni regional dengan visi hirarkis
akan tatanan regional yang akan mengubah kekuatan ekonominya menjadi diplomatik yang berat
sebelah dan keuntungan militer untuk melawan kepentingan nasional negara-negara tetangganya.
Sehingga, Amerika Serikat perlu berhati-hati untuk bertindak agar tidak menimbulkan konflik
yang jauh lebih besar.
Dari latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, muncul pertanyaan yang menjadi
sentral dalam penelitian ini, yaitu apa yang menjadi faktor utama yang mendasari pendekatan
yang dilakukan Amerika Serikat pada masa pemerintahan pertama Barack Obama dalam usaha
membantu menyelesaikan sengketa Laut China Selatan ini yang cenderung lunak? Padahal
tindakan China yang tegas tersebut sudah merugikan banyak pihak, bahkan di pihak Amerika
Serikat itu sendiri. China yang berupaya untuk mengintimidasi ExxonMobil dan perusahaan
minyak lainnya untuk menghentikan kegiatan mereka di perairan Vietnam dibawah kontrak
dengan pemerintah Vietnam.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa konsep dan teori yang digunakan.
Yang pertama adalah konsep dan teori mengenai politik luar negeri. Politik luar negeri oleh K.J.
Holsti (1983:97) diartikan sebagai kebijaksanaan, sikap, tindakan, atau pemikiran yang disusun
oleh para pembuat keputusan untuk menanggulangi permasalahan aau untuk mengusahakan
perubahan dalam lingkungan internasional. Politik luar negeri bisa dilihat dari perspektif negara
dengan menjelaskan tingkah laku negara yang mengacu pada lingkungan eksternal dan terutama
mengacu pada keadaan domestik yang mempengaruhi pembuatan kebijakan.
Dalam konteks studi mengenai analisis kebijakan luar negeri, Breuning (2007:11-13)
memberikan tiga level analisis yang bisa digunakan yaitu individu, negara-bangsa, dan sistem
internasional. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan level negara-bangsa untuk melihat
bagaimana negara-bangsa mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan.
Menurut William D. Coplin (1971: 159-185), terdapat empat faktor dominan dalam
kebijakan luar negeri, antara lain tindakan dalam pengambilan keputusan, politik domestik,
faktor ekonomi-militer, dan situasi internasional. Dalam penelitian ini, keempat faktor yang telah
disebutkan diatas dapat diimplementasikan. Faktor pertama merujuk pada pemerintahan Barack
4
Obama sebagai aktor-aktor yang memformulasikan kebijakan luar negeri. Faktor kedua menjadi
faktor yang mempertimbangkan kepentingan nasional Amerika Serikat yang ikut menentukan
kebijakan luar negerinya. Faktor ketiga adanya pertimbangan atas kekuatan ekonomi dan militer
Amerika Serikat dan negara-negara yang terlibat dalam sengketa Laut China Selatan. Serta
faktor keempat yang merujuk pada perubahan situasi internasional dengan adanya sengketa Laut
China Selatan yang tidak kunjung selesai. Namun faktor yang lebih difokuskan adalah faktor
politik domestik, ekonomi-militer, dan situasi internasional.
Ketiga faktor di atas kemudian dapat dikaitkan dengan konsep kepentingan nasional
suatu negara sebagai arah perumusan kebijakan luar negeri. Konsep ini sangat penting untuk
menjelaskan dan memahami perilaku internasional. Kepentingan nasional dapat dijelaskan
sebagai tujuan fundamental dan faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan
dari suatu negara dalam merumuskan kebijakan luar negerinya (Perwita & Yani, 2006:35).
Menurut Nuechterlein (1979:76), terdapat empat kepentingan fundamental yang dimaksud, yaitu
kepentingan pertahanan, kepentingan ekonomi, kepentingan tatanan dunia, dan kepentingan
ideologi. Kepentingan yang relevan dalam penelitian ini adalah kepentingan pertahanan dan
kepentingan ekonomi sebagai kepentingan untuk mempertahankan keamanan dan kemajuan
ekonomi Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan jika sengketa ini tidak segera selesai dan terus
berlarut-larut, maka kepentingan Amerika Serikat ini akan terhambat.
Dalam lingkungan kebijakan domestik dan internasional antar negara, akan
bersinggungan dengan kepentingan fundamental, yaitu kepentingan ekonomi dan pertahanan.
Dalam hal ekonomi, perdagangan menjadi hal penting sebagai sarana memasuki pasar yang lebih
luas, bahkan bebas. Sehingga, akses menuju pasar dan stabilitas akses itu sendiri menjadi
penting. Sehingga konsep kepentingan nasional bermanfaat dalam menjawab permasalahan
penelitian ini, yaitu untuk mengategorisasikan atau menunjukkan kepentingan Amerika Serikat
terhadap China dan Laut China Selatan.
Kepentingan nasional yang telah dirumuskan oleh para pembuat keputusan bisa berubah
sesuai dengan situasi politik yang terjadi di dalam negeri maupun pada lingkup internasional.
Perubahan situasi internasional yang dibahas dalam penelitian ini merujuk pada perubahan China
sebagai negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan militer China yang berkembang pesat. Hal
tersebut kemudian menimbulkan sebuah persepsi tentang China yang disebut dengan image.
Menurut Kenneth E. Boulding (1969:422), dalam pengambilan keputusan, pembuat
kebijakan tidak selalu melihat dari fakta-fakta obyektif, melainkan didasarkan pada image
mereka terhadap situasi yang dihadapi. Image dipahami sebagai total kognitif, afektif, dan
evaluatif dalam struktur perilaku pengambilan keputusan, atau merupakan pandangan internal
5
negara dalam memandang dirinya dan lingkungan internasional. Image mengarahkan pembuatan
keputusan dalam membuat pilihan-pilihan kebijakan. Meskipun image suatu negara tidak selalu
benar, namun dalam pemilihan kebijakan tetap didasarkan pada pilihan rasional. Image selalu
berorientasi kepada masa lalu dan masa depan. Dari pengalaman-pengalaman masa lalu, image
terbentuk dan memberikan gambaran untuk masa depan.
Image suatu negara dipengaruhi oleh dimensi-dimensi, yaitu ruang lingkup geografis,
permusuhan-persahabatan, dan kekuatan-kelemahan. Image Amerika Serikat terhadap China
dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi permusuhan-persahabatan melalui dinamika
hubungan Amerika Serikat dan China. Amerika Serikat memandang China sebagai teman yang
potensial tetapi di sisi lain rival yang mengancam Amerika Serikat. Dimensi yang kedua adalah
dimensi kekuatan-kelemahan melalui kekuatan ekonomi dan militer China yang mengalami
perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir, baik di Asia maupun di dunia. Image China
dengan kekuatan ekonomi dan militer yang baru kemudian dikaitkan dengan kepentingan
ekonomi dan militer Amerika Serikat yang ingin menciptakan keamanan dan stabilitas akses
perdagangan di Laut China Selatan dengan cara lebih meningkatkan hubungan baik dengan
China dibandingkan untuk melakukan tindakan koersif terhadap China.
Berdasarkan konsep, teori, dan pendekatan tersebut, ditemukan jawaban bahwa
pendekatan yang dilakukan Amerika Serikat pada masa pemerintahan pertama Barack Obama
dalam usaha membantu menyelesaikan sengketa Laut China Selatan ini yang cenderung lunak
dilandasi adanya faktor kepentingan ekonomi dan pertahanan Amerika Serikat itu sendiri, faktor
kekuatan ekonomi dan militer China, dan persepsi Amerika Serikat terhadap China. Faktor-
faktor tersebut yang kemudian membentuk arah kebijakan Amerika Serikat pada masa
pemerintahan pertama Barack Obama terkait sengketa Laut China Selatan.
Tulisan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama berisi gambaran singkat
mengenai sengketa Laut China Selatan dan kebijakan Amerika Serikat dalam upaya membantu
menyelesaikan sengketa tersebut yang kemudian memunculkan adanya permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini. Bagian pertama ini juga berisi kerangka pemikiran yang akan
digunakan dalam analisis ini. Bagian kedua berisi tentang kepentingan ekonomi dan pertahanan
Amerika Serikat terkait sengketa Laut China Selatan. Bagian ketiga akan melihat bagaimana
kekuatan ekonomi dan militer China dan bagaimana kekuatan China tersebut mampu
mempengaruhi image China di mata Amerika Serikat.

Kepentingan Ekonomi dan Pertahanan Amerika Serikat

6
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang memiliki ekonomi paling besar dan
secara teknologi paling kuat dan paling penting sedunia, dengan GDP per kapita sebesar $48.900
(https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/us.html). Ketika Amerika
Serikat menyumbang hanya sekitar 4% dari populasi dunia, GDP-nya adalah 26% dari total
output ekonomi dunia. Sejak tahun 1960an, ekonomi Amerika Serikat bertanggung jawab akan
penyerapan tabungan global. Terlepas tantangan dari negara berkembang, Amerika Serikat tetap
menjadi negara paling banyak investasi ke negara-negara di dunia, dengan foreign direct
investment senilai $2,398 triliun pada tahun 1990, Amerika Serikat juga merupakan investor
terbesar di dunia, dengan investasi keluar negeri senilai $3,259 triliun pada tahun 2010
(http://www.economywatch.com/world_economy/usa/?page=full).
Ekonomi Amerika Serikat berorientasi pada sistem pasar bebas yang mana perusahaan
swasta mendapat intervensi yang terbatas dari pemerintah dalam bidang-bidang seperti
kesehatan, transportasi, dan pensiun. Dalam ekonomi yang berorientasi pada pasar, pelaku
bisnis, baik individu dan perusahaan, membuat hampir semua keputusan, dan pemerintahan
negara dan federal membeli barang dan jasa yang dibutuhkan sebagian besar di pasar swasta
(https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/us.html). Meskipun Amerika
Serikat pendukung kuat prinsip pasar bebas, pemerintah masih memainkan peran utama dalam
mendikte perekonomian Amerika Serikat masih mengandalkan pemerintah untuk mengatasi
masalah yang sektor swasta hadapi, dari masalah pendidikan sampai perlindungan lingkungan.
Dari waktu ke waktu, pemerintah Amerika Serikat juga telah bertugas memelihara industri-
industri baru, dan juga melindungi perusahaan-perusahaan domestik dari kompetisi asing.
Dengan demikian, perekonomian Amerika Serikat dapat digambarkan sebagai ekonomi
campuran dimana struktur ekonomi ditegakkan melalui interaksi antara sektor swasta, publik,
dan internasional.
Perdagangan luar negeri dan kebijakan ekonomi global Amerika Serikat berubah secara
drastis sejak jaman pendirinya. Sebelum Great Depression dan Perang Dunia II, pemerintah dan
perusahaan bisnis mayoritas lebih terkonsentrasi pada pengembangan perekonomian domestik
terlepas dari apa yang terjadi di luar negeri
(http://www.economywatch.com/world_economy/usa/?page=full). Akan tetapi, sejak dua
peristiwa besar itu, Amerika Serikat berusaha untuk mengurangi hambatan perdagangan dan
mengkoordinasikan sistem ekonomi dunia. Saat ini, Amerika Serikat adalah negara perdagangan
terbesar di dunia – secara bersamaan memimpin dunia dalam impor dan menjadi tiga besar
negara-negara pengekspor di dunia
(http://www.economywatch.com/world_economy/usa/?page=full). Meskipun Amerika Serikat
7
merupakan salah satu negara eksportir terbesar di dunia (China dan Jerman adalah dua lainnya),
penjualan ke luar negeri Amerika Serikat dibayangi oleh permintaan besar dari konsumen dan
industri akan produk impor. Sebagian besar produk dan jasa yang dikonsumsi internal tetapi
ekonomi tidak dapat mengasilkan barang yang cukup untuk memenuhi permintaan konsumen.
Akibatnya, selama beberapa dekade, Amerika Serikat, mengimpor jauh lebih banyak produk
daripada mengekspornya. Sejak tahun 1976, Amerika Serikat terus menerus mengalami defisit
perdagangan barang dengan jumlah yang terus menerus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun
2005 sampai dengan 2008, defisit perdagangan berada pada batas wajar atas. Kemudian pada
tahun 2009, dampak dari krisis ekonomi global, defisit perdagangan atas barang menurun sekitar
39%, karena impor turun jauh lebih cepat daripada ekspor selama resesi (Williams and Donelly,
2012:1). Ketika ekonomi pulih, defisit perdagangan mulai meningkat lagi, sebesar 28% pada
tahun 2010 dan 15% pada tahun 2011.
Bagi kongres, defisit perdagangan dan aspek lain dari perdagangan internasional masuk
ke dalam pertimbangan kebijakan publik melalui berbagai tingkat (Williams and Donelly,
2012:2). Pada tingkat makroekonomi, defisit perdagangan adalah sebuah persoalan karena
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, suku bunga, tenaga kerja, dan beban utang Amerika
Serikat. Ketika defisit perdagangan relatif naik terhadap total ekonomi, resiko meningkat bahwa
dolar akan melemah, harga akan naik, pasar keuangan akan terganggu dan kesejahteraan
ekonomi penduduk akan berkurang. Akan tetapi, bagaimanapun, defisit perdagangan secara
alami akan mengikuti ekonomi yang berkembang pesat karena permintaan domestik yang kuat
menghasilkan pembelian terhadap baik barang domestik maupun barang impor.
Pada tingkat strategis, hubungan perdagangan sering memicu semakin dalamnya
hubungan bilateral dengan negara-negara lain yang dapat berkembang menjadi Free Trade
Agreements (FTAs) formal atau perjanjian politik dan keamanan. Perdagangan dapat juga
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan strategis, khususnya melalui penyediaan
kesepakatan perdagangan istimewa atau dengan memberlakukan sanksi perdagangan
Pada tingkat mikroekonomi, impor produk tertentu dapat menghasilkan pergesekan
perdagangan dan tekanan dari kepentingan konstituen bagi pemerintah untuk melindugi
produsen AS dari persaingan asing, memberikan bantuan penyesuaian, pasar luar negeri terbuka,
atau membantu industri Amerika Serikat untuk menjadi lebih kompetitif

8
Pada tingkat rumah tangga, peningkatan defisit perdagangan dan perjanjian perdagangan
bebas sering dikaitkan dengan pekerjaan, terutama kekhawatiran atas hilangnya pekerjaan yang
merupakan isu yang sangat relevan dengan publik Amerika Serikat.6
Pada tahun 2009, karena krisis keuangan global yang memburuk, Amerika Serikat dan
negara maju lainnya jatuh kedalam resesi, kemudian terjadi penurunan defisit perdagangan yang
memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (Williams and
Donelly, 2012:3). Namun karena kondisi ekonomi global sedang goyah yang menyebabkan
permintaan akan impor terus menurun, dan karenanya terjadi penurunan defisit perdagangan, hal
itu juga menyebabkan penurunan permintaan barang dan jasa domestik.
Pada tahun 2010 dan 2011, Amerika Serikat berusaha bangkit dan memaksa perusahaan
untuk semakin bersaing dengan impor untuk terus menghadapi permintaan yang berkurang
karena ekonomi domestik tetap berjalan lamban. Kondisi ini juga meningkatkan tekanan
terhadap kekuatan politik untuk melindungi industri dalam negeri dari impor, tidak hanya di
Amerika Serikat tetapi juga di seluruh dunia. Ketika dunia sudah mulai pulih dari resesi, negara-
negara kembali berlomba-lomba untuk meningkatkan perdagangan global.
Dari segi militer, Amerika Serikat juga merupakan salah satu negara yang paling kuat.
Akan tetapi Amerika Serikat menyadari bahwa tidak ada satu bangsapun –tidak peduli seberapa
kuat – dapat memenuhi tantangan global sendirian. Sehingga, Amerika Serikat memiliki
kebutuhan untuk menjalin pendekatan kooperatif antara negara-negara lain. Cara yang dilakukan
Amerika Serikat adalah dimulai dengan komitmen untuk membangun fondasi yang kuat yaitu
peningkatan kesejahteraan domestik yang akan memberi pengaruh terhadap kesejahteraan
global. Kesejahteraan domestik yang dimaksud antara lain adalah peningkatan ekonomi.
Hubungan perdagangan sering memicu kepada semakin dalamnya hubungan bilateral
dengan negara-negara lain seperti, perjanjian politik dan keamanan. Pemeliharaan perdamaian,
stabilitas, dan aliran perdagangan bebas tergantung pada keseimbangan kapabilitas dan
kehadiran militer. Sehingga, kepentingan ekonomi dan militer Amerika Serikat saling berkaitan
satu sama lain. Kepentingan ekonomi dan militer Amerika Serikat pada pemerintahan Barack
Obama terkait erat dengan perkembangan yang membentang dari Pasifik Barat dan Asia Timur
ke wilayah Samudera Hindia dan Asia Selatan, menciptaan perkembangan tantangan dan

6
Sebagai contoh, pada November 2009, The Pew Research Center menemukan bahwa 85% responden dalam
sebuah survei menyatakan bahwa melindungi pekerjaan seharusnya menjadi prioritas kebijakan luar negeri top dan
bahwa isu ekonomi merupakan masalah internasional terebsar yang melanda Amerika Serikat. Dalam The Pew
Survey, 53% berpikir bahwa FTA memicu pada hilangnya pekerjaan, 49% pada menurunnya gaji, dan 42% pada
pertumbuhan ekonomi yang terus melambat; dalam Pew Research Center for the People and the Press, 2009, “U.S.
Seen as Less Important, China as More Powerful, Isolationist Sentiment Surges to Four-Decade High”, Survey
Reports
9
kesempatan berkembang (Departement of Defense, 2012). Oleh karena itu, sementara militer
Amerika Serikat terus memberikan kontribusi bagi keamanan global, Amerika Serikat juga akan
menyeimbangkan kebutuhan dalam kawasan Asia Pasifik. Amerika Serikat juga akan terus
melanjutkan untuk membuat investasi yang diperlukan untuk memastikan akan pertahanan akses
regional dan kemampuan untuk beroperasi secara bebas sesuai dengan kewajiban perjanjian dan
hukum internasional dengan mempertahankan kemampuan militer yang relevan dan
interoperable.
Untuk mengaktifkan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan, Amerika Serikat berusaha
melindungi kebebasan akses yang menjadi kepentingan global bersama dimana wilayah-wilayah
di luar yuridiksi nasional yang merupakan jaringan penghubung yang penting dari sistem
internasional (Departement of Defense, 2012). Keamanan dan kesejahteraan semakin tergantung
pada aliran bebas dari barang yang dikirim melalui udara dan laut. Namun aktor negara dan non-
negara menimbulkan potensi ancaman dalam mengakses kepentingan global tersebut
pertumbuhan jumlah negara yang memiliki masalah terhadap ruang wilayah juga mengarah pada
meningkatnya lingkungan ruang yang semakin sesak dan diperebutkan, yang pada akhirnya
mengancam keselamatan dan keamanan.
Kepentingan Amerika Serikat mencakup berbagai isu, baik domestik maupun global.
Dalam mempertimbangkan strategi pertahanan, namun hanya suatu himpunan bagian yang
penting. Hanya beberapa kepentingan dapat dilindungi atau dipromosikan melalui penggunaan
kekuatan militer, bahkan hanya sedikit yang cukup penting untuk melakukan peperangan. Ketika
Perang Dingin berakhir dan tidak ada lagi negara adidaya saingan yang mengancam untuk
meningkatkan konflik. Akibatnya, sebagian orang Amerika mulai mendefinisikan kepentingan
yang layak mempertaruhkan nyawa orang Amerika lebih luas dari sebelumnya (Defense
Advisory Committe, 2012:15).
Menilai kepentingan Amerika Serikat dapat menggunakan dua kategori. Kategori
pertama adalah kepentingan absolut atau vital (Defense Advisory Committe, 2012:15).
Kepentingan vital yang dimaksud, meliputi melindungi tanah air dari serangan luar, melindungi
aliansi-aliansi dari serangan, dan memastikan akses tanpa hambatan pada global commons.
Kemudian, terdapat kepentingan kondisional. Pertama, intervensi dalam konflik intra-negara
untuk menegakkan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi warga negaranya sendiri dari
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, pembersihan etnis, atau kejahatan perang serius dan
sistematis. Kedua adalah menstabilkan pemerintahan di negara-negara lain untuk menghindari
munculnya ancaman baru bagi kepentingan Amerika Serikat, seperti pembentukan kelompok
teroris.
10
Amerika Serikat adalah negara yang kuat dalam bidang ekonomi dan militer. Sebagai
negara kuat, Amerika Serikat juga secara otomatis bertanggung jawab sebagai penstabil kondisi
di dunia. Meskipun begitu, Amerika Serikat tetap membutuhkan negara lain untuk
mempertahankan stabilitas dunia, sekuat apapun itu. Amerika Serikat juga sangat bergantung
pada negara lain, terutama dalam penyediaan barang dan jasa. Produksi domestik tidak mampu
mengatasi permintaan, sehingga banyak dari komoditas barang dan jasa yang harus diimpor dari
negara lain. Asia, menjadi salah satu mitra terbesar Amerika Serikat, baik dalam ekspor maupun
impor, terutama China. China merupakan salah satu penyuplai barang impor bagi Amerika
Serikat. Kemudian ada Jepang dan Taiwan. Dalam bidang ekspor, Amerika Serikat menyuplai
barang ke terutama ke Hongkong dan Singapura. Sehingga untuk menjaga hubungan baik
dengan negara lain, Amerika Serikat menjalin hubungan perdagangan dengan mereka. Hal ini
dikarenakan perdagangan internasional memiliki pengaruh dalam berbagai tingkat, baik tingkat
strategis, mikroekonomi, makroekonomi, dan rumah tangga. Dan ketika mitra dagangnya terlibat
sengketa, hal ini juga membuat Amerika Serikat tidak bisa tinggal diam. Karena selain
mengganggu kestabilan kawasan tersebut tetapi juga mengganggu jalannya perdagangan karena
selain terlibat sengketa adalah mitra dagang Amerika Serikat, yang menjadi sengketa adalah
salah satu jalur perdagangan penting dunia, juga bagi Amerika Serikat.
Selain memiliki kepentingan ekonomi, Amerika Serikat memiliki kepentingan keamanan
dan pertahanan, karena kedua kepentingan ini juga saling berkaitan. Salah satu kepentingannya
adalah melindungi aliansi-aliansi dari serangan. Amerika Serikat telah berkomitmen secara resmi
dalam perjanjian untuk mempertahankan 34 negara dari serangan–28 negara merupakan anggota
NATO ditambah Australia, Jepang, Selandia Baru, Filipina, Korea Selatan, dan Thailand. Selain
itu, presiden Amerika Serikat telah membuat komitmen lisan untuk membela negara-negara lain.
Selain itu Amerika Serikat memiliki kepentingan dalam memastikan akses tanpa
hambatan pada commons global. Sejak awal kemerdekaan, Amerika Serikat bersedia untuk
berjuang dalam mempertahankan kebebasan laut, kepentingan sangat penting berkaitan dengan
pergerakan sumber daya energi. Amerika Serikat juga menyatakan bahwa semua negara harus
dapat secara bebas mengeksploitasi sumber daya di bawah dasar laut di perairan internasional.
Hukum Perjanjian Laut menyusun aturan untuk membedakan antara perairan teritorial, zona
ekonomi nasional, dan perairan internasional. Amerika Serikat juga mengerahkan sumber daya
militer untuk mempertahankan penggunaan luar angkasa untuk tujuan militer dan sipil, dan
global commons lain yang dapat terancam oleh negara, individu, atau kelompok. Sehingga ada
kebutuhan bagi Amerika Serikat untuk ikut serta membantu penyelesaian sengketa tersebut.

11
Kekuatan Ekonomi dan Militer China dan Pengaruhnya terhadap Persepsi Amerika
Serikat terhadap China
China merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia karena luas
wilayahnya yang juga menjadikan China sebagai negara terluas di dunia
(http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/18902.html#econ). Ciri perekonomian China berdasar pada
sosialisme yang dijalankan dengan ciri dan cara sendiri. Pada masa terdahulu, ekonomi China
bersifat tertutup karena ideologi komunis yang dianutnya. Namun sejak tahun 1978,
kepemimpinan China telah memperbarui ekonomi dari ekonomi terencana Soviet ke ekonomi
yang berorientasi-pasar tetapi masih dalam kerangka kerja politik yang kaku dari partai Komunis
(http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/18902.html#econ). Sejak perubahan ekonomi tersebut,
pemerintah China memfokuskan diri dalam perdagangan asing sebagai kegiatan utama untuk
pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan membuka lebih dari 2000 Zona Ekonomi khusus
dan melonggarkan hukum investasi yang semula ketat dan tertutup untuk menarik modal asing
(http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/18902.html#econ). Sikap dan keputusan pemerintah tersebut
menghasilkan perubahan GDP yang mulai naik dari tahun ke tahun, serta kekuatan pasar China
mengalami kenaikan.
Foreign Direct Investment (FDI) di China juga telah tumbuh bahkan lebih cepat dari
perdagangan, serta memainkan peran penting dalam mentransfer modal, teknologi dan
keterampilan manajemen yang telah mendukung ekonomi China yang tumbuh pesat. Investasi
asing awal terutama berasal dari etnis China yang tinggal di luar China. China telah menarik
lebih dari $350 miliar investasi dari gabungan semua negara-negara berkembang lainnya
(http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/18902.html#econ).
Seperti pembangunan ekonomi China yang terus berlanjut dan berbagai aspirasi daerah
yang berkembang, modernisasi militernya juga terus berlanjut. Akan tetapi, militer China tidak
berkembang dalam cara kekuatan besar tradisional biasa lakukan seperti membangun aliansi,
memperoleh basis dan pengiriman pasukan ke luar negeri, membangun kemampuan proyeksi
kekuatan global, pelayaran angkatan lautnya untuk mengelilingi dunia, memaksa orang lain atau
berjuang dalam konflik secara langsung atau melalui wakil (Shambaugh, 2013:215). Sebaliknya
China memperluas kekuatannnya tetapi sejauh ini membatasi penyebaran pada wilayah
kedaulatan China sendiri, pesisir laut Asia, atau di bawah mandat PBB dalam misi penjagaan
perdamaian di negara-negara ketiga.
Dari berbagai dimensi kehadiran keamanan global China, salah satu impor dan
kepentingan terbesar adalah kemampuan militernya yang berkembang pesat. Program
modernisasi militer China telah berkembang secara bertahap dan mantap. Selama lebih dari tiga
12
dekade China mengejar upaya modernisasi militer yang berkelanjutan dan komprehensif.
Perkembangan ini bukanlah terjadi dalam waktu yang sangat cepat, meskipun pengeluaran resmi
militer –dalam persentase kenaikan tahunan– memiliki bahkan melebihi tingkat pertumbuhan
ekonomi China yang menakjubkan (Shambaugh, 2013:218). Bila diukur dalam persentase dari
GDP atau belanja negara, bagaimanapun, belanja pertahanan China jauh lebih sederhana–
masing-masing rata-rata 1,4% dan 8,5%. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat menghabiskan
hampir 5% dari GDPnya untuk pertahanan, sementara Uni Soviet, pada saat itu, menghabiskan
lebih dari setengah anggaran negara hanya untuk militer selama puncak Perang Dingin. Hal ini
membuat China sedikit berhati-hati untuk mengalokasikan dana untuk militer, karena China
menyimpulkan bahwa Uni Soviet runtuh karena dua alasan utama yaitu pengeluaran berlebihan
untuk militer dan distorsi ekonomi nasional dalam mendukung industri militer. Meskipun China
telah belajar hal tersebut, akan tetapi keseluruhan anggaran pertahanan sangat signifikan. Bahkan
menjadi anggaran terbesar kedua di dunia yang mencapai $106 miliar pada tahun 2012
(Shambaugh, 2013:218).
Dengan anggaran besar dan mulai terlibatnya militer China, walaupun sedikit demi
sedikit, dalam keamanan global, bukan tidak mungkin China akan muncul sebagai negara
adidaya dalam hal militer, tidak hanya dalam ekonomi saja. Hal ini dikarenakan, sebagai hasil
dari investasi berkelanjutan dan setiap tahun terus menerus naik, The Peoples Liberation Army
(PLA) dengan cepat mengembangkan kemampuannya pada segala aspek, seperti, personel,
pelatihan, logistik, fasilitas, dan persenjataan (Shambaugh, 2013:219). Perkembangan ini melaju
selama dekade pertama pada abad ke-20, dengan sistem senjata baru yang dimiliki PLA,
meskipun modernisasi telah menjadi proses yang stabil sejak tahun 1980an.
Dengan kekuatan ekonomi dan militer yang dimiliki oleh China, hal ini mempengaruhi
image China di mata Amerika Serikat. Awalnya, pandangan Amerika Serikat terhadap China,
apakah yang positif atau negatif, umumnya telah dibangun pada asumsi bahwa nilai-nilai dan
kekuatan Amerika Serikat lebih unggul (Lautz, 2011:9). Pada awal abad ke-20, Amerika Serikat
berinvestasi dalam mendorong China untuk melihat dunia luar. Banyak pemimpin dari China –
yang beberapa dari mereka dilatih di Amerika Serikat atau di perguruan tinggi Kristen di China –
yang menerima ide-ide liberal Barat tentang pendidikan, budaya dan masyarakat. Gagasan
bahwa China berusaha untuk menjadi seperti Amerika Serikat dipelihara oleh beberapa generasi
misionaris Amerika Serikat yang memiliki kepentingan dalam menciptakan ikatan yang akan
mengikat dua budaya bersama-sama.
Dalam awal pertemuan dengan China, Amerika Serikat membuat cerita tentang China.
Seringkali stereotip rasis diberikan terhadap sejumlah kecil masyarakat China di
13
Amerika.mengenai perdagangan, dan pengaruh China yang terbatas di dunia. Sejarah dan budaya
China adalah sumber daya tarik, tapi China dianggap lemah dan tidak teratur (Lautz, 2011:10).
Citra negatif ini berasal dari beberapa sumber. Salah satu jenis pemikiran yang paling
berpengaruh berasal dari kaum misionaris pada abad ke-19 (Lautz, 2011:11). Bagi orang
Amerika Serikat, kemiskinan dan penyakit yang meluas membuktikan bahwa China itu kelam,
masyarakatnya terdiri dari msyarakat kafir yang membutuhkan penebusan. Perbedaan budaya,
miskomunikasi, ketidakpercayaan dan perlawanan terhadap kehadiran Barat menambahkan
frustasi pada utusan Amerika Serikat.
Kadang-kadang gambaran-gambaran ini diberi kode warna. “Yellow Peril” (Bahaya
Kuning) muncul untuk menggambarkan China atau Jepang sebagai ancaman yang akan
mengganggu Barat (Lautz, 2011:11). Gagasan ini mucul kembali pada tahun 1950an sebagai Red
Conspiracy (Konspirasi Merah) yang dihuni oleh rakyat yang berpakaian seragam “semut biru”
yang mewakili jumlah tak terhingga dari rakyat China yang telah dicuci otaknya oleh pemimpin
kejam mereka. Hal ini juga menjadi stereotip bagi Gengis Khan dan Mongol yang telah
dikuasainya.
Hubungan Amerika dan China, secara politik, juga bisa dibilang mengalami pasang surut.
Selama paruh pertama abad ke-20, Amerika Serikat mendekati China, tapi China menolak.
Amerika Serikat membayangkan adanya konvergensi kepentingan dan nilai-nilai China dan
Amerika Serikat, akan tetapi tidak memahami kekuatan penuh nasionalisme China. Akan tetapi
pada tahun 1970an, hubungan Amerika Serikat dan China membaik karena memiliki
kepentingan geostrategis yang sama untuk melawan Uni Soviet. Namun pada tahun 1989, selama
terjadinya peristiwa penumpasan Tianamanen di China, keduanya berselisih paham kembali.
Dengan serangan terhadap New York dan Washington pada 11 September 2001, rekonsilisasi
muncul.
Pandangan Amerika Serikat terhadap China memang tidak pernah sama, selalu berubah
terus menerus. Hal ini dikarenakan, China menantang beberapa keyakinan dasar mengenai
keunggulan Amerika Serikat. Apalagi kelemahan Amerika Serikat mulai terlihat ketika
munculnya krisis finansial global. Apakah memang kapitalisme otoriter China memang lebih
dapat diandalkan dibandingkan pendekatan berbasis pasar yang tidak memiliki banyak peraturan
milik Amerika Serikat? Barat kemudian mempublikasikan pengungkapan kecemasan mengenai
meningkatnya kekuatan China. Apalagi media Amerika sering menggambarkan China sebagai
raksasa yang melahap sumber daya yang gagal memberikan hak kekayaan intelektual,
memproduksi mainan dengan timbal, suka mengganggu pesaingnya, mengabaikan hak asasi

14
manusia, dan memanipulasi mata uangnya. Sehingga perang dagang dan perjuangan untuk
sumber daya mineral di masa depan tampaknya tidak terelakkan (Wilgoos, 2006).
Pada saat yang sama, Amerika Serikat juga melihat pertumbuhan China dengan kagum
dan rasa hormat. Presiden Barack Obama mengartikulasikan perspektif ini dalam pidatonya
kepada mahasiswa China di Shanghai pada tahun 2009 (Lautz, 2011:15). Pidato Barack Obama
ini menjelaskan bahwa Amerika Serikat perlu untuk melupakan sejarah emosional dengan China.
Sejarah memang tidak bisa diubah dan mungkin terbukti mustahil untuk mendamaikan
pandangan yang kontras untuk melihat dunia. Namun kesamaan, suatu saat dapat diidentifikasi,
bahkan jika konvergensi bukan merupakan pilihan yang realistis. Amerika Serikat tidak lagi
memiliki pilihan menerima atau menolak terlibat dengan China. Pada akhirnya Amerika Serikat
saat ini berusaha untuk berdamai dan melihat China sebagai teman yang potensial lebih dari
sekedar musuh yang mengancam.
Pada masa lalu, Amerika Serikat melihat China sebagai bangsa yang berseberangan
dengan mereka. Banyak citra negatif yang muncul untuk menggambarkan China dalam
pandangan Amerika Serikat. Sehingga, pada saat itu Amerika Serikat menganggap China sebagai
ancaman yang akan mengganggu stabilitas nilai-nilai dan gaya hidup Amerika Serikat yang coba
mereka terapkan di luar Amerika Serikat. Apalagi, China juga tidak menerima adanya nilai-nilai
yang diterapkan Amerika Serikat. Sehingga, hubungan Amerika Serikat dan China mengalami
pasang surut. Hubungan mereka membaik ketika ada kepentingan yang sama dan akhirnya
mereka memutuskan untuk bekerja sama. Ketika kepentingan berseberangan, maka mereka akan
berselisih kembali. Pada sengketa Laut China Selatan, kepentingan keduanya berseberangan.
Ketika masa pemerintahan pertama Obama, Amerika Serikat memutuskan untuk ikut campur
dalam penyelesaian sengketa, China merasa ini serangan untuk meruntuhkan China. Akan tetapi,
Pemerintahan Obama menekankan bahwa Amerika Serikat hanya ingin membantu dan
menganggap negara-negara pengklaim adalah mitra yang butuh penengah agar tidak terjadi salah
paham. Sehingga, pemerintahan Obama juga menganggap bahwa China adalah mitra, bukanlah
musuh, dan meminta untuk saling melupakan sejarah masa lalu yang kelam dalam hubungan
Amerika Serikat dan China.7
Persepsi ini mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat dalam
upaya penyelesaian sengketa Laut China Selatan menjadi lunak. Meskipun dalam konflik
tersebut China melakukan tindakan yang tegas, namun Amerika Serikat berusaha agar China ikut
dalam usaha perdamaian dengan cara mengikuti pertemuan-pertemuan dengan negara-negara
pengklaim yang lain.
7
Ibid.,
15
Kesimpulan
Kepentingan ekonomi dan pertahanan Amerika Serikat pada masa pemerintahan Obama
dianalisis sebagi faktor determinan. Amerika Serikat adalah negara yang kuat dalam bidang
ekonomi dan militer. Sebagai negara kuat, Amerika Serikat juga secara otomatis bertanggung
jawab sebagai penstabil kondisi di dunia. Meskipun begitu, Amerika Serikat tetap membutuhkan
negara lain untuk mempertahankan stabilitas dunia, sekuat apapun itu. Amerika Serikat juga
sangat bergantung pada negara lain, terutama dalam penyediaan barang dan jasa. Apalagi, ketika
Amerika Serikat mengalami resesi global 2008, mereka sedang berada pada fase pemulihan
dalam bidang ekonomi. Sehingga stabilitas perdagangan jangan sampai terganggu. Jika sengketa
tidak kunjung selesai, maka hubungan antar negara akan memanas, sementara Amerika Serikat
tidak bisa memihak salah satu, karena Amerika Serikat membutuhkan China dan negara-negara
lawannya, yaitu di Asia Tenggara dan Taiwan untuk menjadi mitra baik bidang ekonomi dan
juga bidang pertahanan.
Pentingnya China bagi Amerika Serikat juga merupakan suatu persepsi yang didasarkan
pada adanya kekuatan China sekarang. Image China merupakan suatu elemen yang
mempengaruhi faktor international circumstances. China dilihat sebagai kekuatan baru Asia
yang mampu membantu Amerika Serikat dalam mencapai stabilitas dunia. Apalagi, persepsi
Amerika Serikat pada masa pemerintahan pertama Obama terhadap China menjadi lebih positif.
Pemerintahan Obama mencoba untuk berdamai dan tidak ingin berselisih dengan China.
Selain memiliki kepentingan ekonomi, Amerika Serikat memiliki kepentingan keamanan
dan pertahanan, karena kedua kepentingan ini juga saling berkaitan. Salah satu kepentingannya
adalah melindungi aliansi-aliansi dari serangan. Amerika Serikat telah berkomitmen secara resmi
dalam perjanjian untuk mempertahankan 34 negara dari serangan–28 negara merupakan anggota
NATO ditambah Australia, Jepang, Selandia Baru, Filipina, Korea Selatan, dan Thailand. Selain
itu, presiden Amerika Serikat telah membuat komitmen lisan untuk membela negara-negara lain.
Selain itu Amerika Serikat memiliki kepentingan dalam memastikan akses tanpa
hambatan pada commons global. Sejak awal kemerdekaan, Amerika Serikat bersedia untuk
berjuang dalam mempertahankan kebebasan laut, kepentingan sangat penting berkaitan dengan
pergerakan sumber daya energi. Amerika Serikat juga menyatakan bahwa semua negara harus
dapat secara bebas mengeksploitasi sumber daya di bawah dasar laut di perairan internasional.
Hukum Perjanjian Laut menyusun aturan untuk membedakan antara perairan teritorial, zona
ekonomi nasional, dan perairan internasional. Amerika Serikat juga mengerahkan sumber daya
militer untuk mempertahankan penggunaan luar angkasa untuk tujuan militer dan sipil, dan
16
global commons lain yang dapat terancam oleh negara, individu, atau kelompok. Sehingga ada
kebutuhan bagi Amerika Serikat untuk ikut serta membantu penyelesaian sengketa tersebut.
Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, Amerika Serikat perlu mengeluarkan
serangkaian kebijakan, baik berupa aksi, strategi, dan keputusan, terutama terhadap China.
karena, China merupakan negara pertama yang mengklaim bahwa Laut China Selatan menjadi
wilayah yang masuk kedaulatannya. Kemudian China yang berupaya untuk mengintimidasi
ExxonMobil dan perusahaan minyak lainnya untuk menghentikan kegiatan mereka di perairan
Vietnam dibawah kontrak dengan pemerintah Vietnam. Sehingga menimbulkan konflik ini
menjadi lebih rumit. Akan tetapi, Amerika Serikat tidak bisa mengambil tindakan tegas, selain
karena akan menimbulkan konflik yang lebih besar, tetapi juga karena China memiliki kekuatan
yang tidak kalah dari Amerika, terutama kekuatan militer dan ekonomi. China muncul menjadi
kekuatan ekonomi dan militer Asia yang sudah melampaui Jepang. Bahkan ketika krisis ekonomi
melanda negara-negara maju, China tidak begitu terpengaruh. Secara statistik melambat, tetapi
tidak signifikan. Sehingga, kalau Amerika Serikat secara langsung menghukum China, maka
China akan melawan dan akan menimbulkan perang besar, dan situasi di kawasan tersebut akan
semakin tidak stabil. Apalagi saat ini, Amerika Serikat berusaha melihat China sebagai teman
yang potensial bukan lawan yang mengancam. Karena meskipun jika dilihat dari aspek sejarah,
kedua negara tidak memiliki hubungan yang terlalu baik, akan tetapi kedua negara ini saling
membutuhkan terutama dalam peningkatan ekonomi masing-masing negara.

Daftar Pustaka
Buku dan Artikel
Boulding, Kenneth E., 1969. “National Images and International System”. dalam James N.
Rosenau (Ed.). International Politics and Foreign Policy. New York: Free Press
Breuning, Marijke. 2007. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New York:
Palgrave Macmillan
Collins, Allan. 2003. Security and Southeast Asia’s Domestic. Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies
Coplin, William D., 1971., Introduction to International Politics, New Jersey: Prentice Hall Inc.
Defense Advisory Committee. 2012. A New US DEfense Strategy for New Era: Military
Superiority, Agility, and Efficiency. Washington: Stimson
Department of Defense. 2012. Sustaining U.S. Global Leadership: Priorities for 21st Century
Defense. Washington DC

17
Emmers, Ralf. 2010. Geopolitics and Maritime Territorial Disputes in East Asia. London:
Routledge
____________. 2010. The Changing Power Distribution in the South China Sea: Implications
for Conflict Management and Avoidance. Political Science 62(2). Wellington: Sage
Holsti, K.J., 1983. International Politics: A Framework for Analysis. 4th edition. London:
London Prentice Hall
Lautz, Terry. 2011. “U.S. Views of China: History, Values, and Power” dalam Douglas G.
Spelman (ed.), The United States and China: Mutual Public Perceptions, Washington
D.C.: Woodrow Wilson International Center for Scholars
Nuechterlein, Donald E., 1979. The Concept of National Interest: A Time for New Approaches.
Orbis: A Journal of World Affairs (Vol. 23, No. 1, Spring)
Perwita, A.A. Banyu dan Yani, Y.M., 2006. Pengantar Hubungan Internasional. Bandung:
Remaja Rosdakarya Offset
Shambaugh, David. 2013. China Goes Global: The Partial Power. Oxford: Oxford University
Press
Ring, Andrew H., 2012. A US South China Sea Perspective: Just over the Horizon. Harvard
University: Weatherhead Center for International Affairs
Willgoos, Robert G., 2006. America's Changing Views of China: Through the Eyes of Janus.
Shepherd: The Forum on Public Policy
Williams, B.R. dan Donnelly, J.M., 2012. U.S. International Trade: Trends and Forecasts.
Congressional Research Service: CSR Report for Congress
Zao, Shuisheng. 2011. Shoring up US Leadership in the Asia Pacific: The Obama
Administration’s Hedge Strategy against China. Melbourne: Burwood Campus
Internet
Anonim. Indonesia-AS Berkomitmen Ikut Menyelesaikan Konflik Laut China Selatan. 4
September 2012 [diakses 17 Desember 2012]; diunduh dari:
http://indonesia.ucanews.com/2012/09/04/indonesia-as-berkomitmen-ikut-menyelesaikan-
konflik-laut-china-selatan/
_______. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat di Asia Tenggara. Nasionalis Rakyat Merdeka
Online edisi 21 Juni 2012 [diakses 28 Desember 2012]; diunduh dari:
http://nrmnews.com/2012/06/12/kebijakan-luar-negeri-amerika-serikat-di-asia-tenggara/
_______. Kerjasama Strategi Maritim Cegah Konflik Laut Cina Selatan, Pelita Online edisi 24
Oktober 2012 [diakses 25 Desember 2012]; diunduh dari: http://militer-

18
hankam.pelitaonline.com/news/2012/10/24/kerjasama-strategi-maritim-cegah-konflik-laut-
cina-selatan#.UNnEyOSTxc0
Economy Watch, US Economy, [online] [diakses 5 Mei 2013]; diunduh dari:
http://www.economywatch.com/world_economy/usa/?page=full
Glaser, Bonnie. 2012. Trouble in the South China Sea [Online] [Diakses 31 Desember 2012];
diunduh dari:
http://www.foreignpolicy.com/articles/2012/09/17/trouble_in_the_south_china_sea
Hargreaves, Steve. Tensions Heat Up Over Oil, Gas in South China Sea, CNN edisi 26 April,
2012 [diakses 17 November 2012]; diunduh dari:
http://money.cnn.com/2012/04/24/news/economy/south-china-sea/index.htm
U.S. Department of State, China Economy Profile [online] [diakses 7 Mei 2013]; diunduh dari:
http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/18902.html#econ
The World Factbook: United States [online] [diakses 5 Mei 2013]; diunduh dari:
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/us.html

19

Anda mungkin juga menyukai