Perseteruan atas klaim perbatasan (territorial zone) di Laut Cina Selatan hingga
kini belum juga terselesaikan. Persinggungan klaim kedaulatan dan yurisdiksi
wilayah di kawasan Laut Cina Selatan melibatkan enam negara yaitu: Cina,
Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam. Sifat pola interaksi
antar setiap negara tersebut menjadi lebih konfliktual, dikarenakan kepentingan
masing-masing negara terhadap kawasan Laut Cina Selatan.
Perairan ini terdiri dari beberapa gugusan pulau yang berjumlah sekitar 170
pulau kecil, karang, dan banks. Salah satu gugus pulau di perairan ini yang
memiliki cadangan gas dan minyak berlimpah adalah pulau Spartlay dan Paracel.
Setidaknya terdapat tiga faktor yang membuat Spratly dinilai strategis. Pertama,
penguasaan terhadap pulau-pulau tersebut akan sangat menentukan garis batas
negara yang menguasainya dan berdampak pada luas jangkauan Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) yang akan dimiliki. Kedua, wilayah Kepulauan Spratly merupakan
bagian dari jalur lalulintas internasional, baik untuk kapal dagang dan kadang
kapal militer, sehingga akan sangat menentukan bagi posisi geostrategis negara
tersebut. Ketiga, lautan di wilayah sekitar kepulauan ini disinyalir mengandung
cadangan minyak dan gas alam yang besar.
Menurut Robert D. Kaplan dalam “The South China Sea is The future of Conflict
”, dalam Foreign Policy, September-Oktober 2011, hal 78-85 bahwa estimasi
kalkulatif jumlah cadangan minyak dan gas alam di kawasan Laut Cina Selatan
adalah sekitar 7 miliar barel dan 900 triliun kubik kaki gas alam. Sehingga, faktor
utama atas klaim wilayah di kawasan Laut Cina Selatan ini semakin terlihat dan
gencar diperdebatkan. Dari enam negara yang terlibat sengketa atas Kepulauan
Spratly, tiga negara mengklaim seluruh wilayah, yaitu: Cina, Vietnam dan
Taiwan. Sementara tiga negara lainnya hanya mengklaim sebagian wilayah,
yaitu: Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam.
Ketiga, tidak membolehkan China untuk mengizinkan klaim mereka atas Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang juga meliputi 12 pulau besar lainnya diseputar
Spratly.
Keenam, Raul Pedrozo menyakini bahwa China secara bertahap akan semakin
berani mengklaim apapun di wilayah Laut China Selatan walaupun sudah diatur
dalam UNCLOS, terbukti China tidak menyetujui adanya the ASEAN Declaration
of Conduct (DOC) terkait sengketa Laut China Selatan.
Peran Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara sebenarnya tidak terlibat
secara langsung di dalam konflik perebutan wilayah di Laut Cina Selatan tersebut.
Akan tetapi, Asia Tenggara merupakan lahan strategis bagi Indonesia yang memiliki
sejumlah potensi regionalitas di dalam keanggotaan ASEAN. Dengan demikian,
apabila stabilitas regional di dalam ASEAN terancam akibat konflik di kawasan Laut
Cina Selatan, tentu akan berpengaruh bagi Indonesia.
Apabila konflik ini tidak juga segera diselesaikan, diperkirakan akan menimbulkan
sebuah chaos yang semakin memuncak. Sehingga, walaupun Indonesia bukan
merupakan aktor yang langsung terlibat di dalam sengketa wilayah ini. Akan tetapi,
Indonesia memiliki potensi untuk menjadi aktor kunci guna memberikan peran
secara konstruktif dalam upaya penyelesaian masalah konflik di Laut Cina Selatan
secara damai.
Langkah tersebut senada dengan yang di ungkapkan oleh Menteri Luar Negeri
Indonesia RI, Marty Natalegawa saat menyampaikan Pernyataan Pers Tahunan
Kementeriaan Luar Negeri RI 2014 di Jakarta. Menurut dia, pemerintah Indonesia
memiliki keyakinan bahwa kekuatan diplomasi menjadi solusi dalam mewujudkan
situasi damai dan harmonis di kawasan Asia. “Termasuk dalam penyelesaian konflik
di laut Cina Selatan”. Marty menyatakan bahwa melalui forum ASEAN maupun
forum lainnya, Indonesia akan selalu menggunakan kekuatan diplomasi untuk
berkontribusi mewujudkan perdamaian, keamanan dan kemakmuran di dunia
internasional.
Semua pihak terus berharap, semoga Konflik dilaut cina selatan dapat teratasi
dengan baik tanpa harus menelan korban, Dengan demikian, situasi politik dapat
berjalan kondusif dan Indonesia dapat terus menanamkan kewibawaanya dimata
Internasional. Negara-negara yang berkonflik perlu meniru langkah Indonesia dalam
menyelesaikan masalah perbatasannya dengan Pilipina, tidak perlu menggunakan
diplomasi kapal perang.
PENGIRIMAN PASUKAN GARUDA I
Nasionalisasi terusan suez yang dilakukan oleh pihak mesir mengakibatkan Negara-
negara yang mempunyai kepentingan atas terusan suez seperti Inggris dan Perancis
menolak nasionalisasi tersebut. Pendekatan-pendekatan untuk jalan damai terus
dilakukan namun Mesir menolak dengan kukuh mengatakan bahwa Terusan Suez
adalah bagian dari wilayhnya. Perjanjian damai yang diupayakan buyar ketika
tentara Israel menyerbu pada tanggal 30 oktober 1956 hingga melewati garis
perbatasan Meir dengan bertujuan menduduki gurun siani hingga terusan suez.
Pergolakan yang terjadi di wilayah terusan suez itu mengundang perhatian PBB
untuk mencarikan jalan keluar dan mendamaikan Negara yang bersengketa, oleh
karena itu PBB mengirimkan pasukan perdamaian ke Mesir. Pemerintah Indonesia
menyatakan kesediannya ikut serta dalam pasukan PBB dengan mengirimkan
pasukan Garuda . pada tanggal 31 desember 1956, pasukan garuda I dibawah
pimpinan Mayor Sudiyono mengadakan apel persiapan di Istana Merdeka.
- Landasan ideologi Indonesia (Pancasila)
Pasukan Polisi PBB dibentuk dengan anggota berjumlah 550 orang (1 Detasemen).
Pada tanggal 28 Desember 1956 pasukan Indonesia untuk PBB diresmikan oleh
KSAD dengan nama Garuda.. Susunan pimpinan Pasukan Garuda I adalah: