Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

PERAN INDONESIA DALAM PERDAMAIAN DUNIA MENGHADAPI

CLAIM CINA TERHADAP KEPULAUAN NATUNA

NAMA : Adinda Kirana Wahyudiono

KELAS : XI MIA 2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya

sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Kami

juga panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan keridhoan-Nya Makalah Tugas PKN

dengan judul “Peran Indonesia Dalam Perdamaian Dunia Menghadapi Claim Cina Terhadap

Kepulauan Natuna” ini dapat terselesaikan.

Tak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada sumber-sumber yang telah

membantu kami dalam proses peyusunan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini dapat

menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca mengenai isi makalah yang kami

susun. Kami akan terus berusaha untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun

menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami, kami yakin masih banyak

kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang

membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Mudah-mudahan dengan

terselesaikannya makalah ini, dapat membantu para pembaca dalam memperluas pengetahuan

tentangperan Indonesia dalam perdamaian dunia menghadapi claim Cina terhadap Kepualauan

Natuna.

Jakarta, 25 Januari 2020

Penyusun
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Natuna terdiri dari tujuh pulau dengan Ibu Kota di Ranai. Pada 1957, Kepulauan Natuna

masuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di Malaysia. Namun pada abad ke-

19, Kepulauan Natuna akhirnya masuk ke dalam kepenguasaan Kedaulatan Riau dan menjadi

wilayah dari Kesultanan Riau. Natuna sampai saat ini masih menjadi jalur strategis dari

pelayaran internasional.Pulau Natuna berada di Provinsi Kepulauan Riau dan berada dekat

dengan Laut China Selatan. Kawasan tersebut sampai saat ini menjadi sumber konflik antara

kedaulatan Indonesia dengan China. Diambil dari jurnal Konflik Kepulauan Natuna antara

Indonesia dengan China (2017) oleh Butje Tampil, isu tersebut menguak setelah Presiden

Republik Indonesia Joko Widodo mengkritik peta dari China yang memasukkan daerah Natuna

ke dalam wilayahnya.

Berada di kawasan dengan sumber daya alam melimpah dan berbatasan langsung dengan

laut bebas membuat Natuna menjadi incaran banyak negara tetangga. Kontraversi diawali dari

Malaysia yang menyatakan bahwa Natuna secara sah seharusnya milik Malaysia. Namun untuk

menghindari konflik panjang, pada era konfrontasi 1962-1966 Malaysia tidak menggugat status

Natuna. Memasuki era Presiden Joko Widodo, pihaknya kembali menegaskan dengan keras,

bahwa Sembilan Titik yang diklaim China tidak memiliki dasar hukum internasional apapun.

Bahkan dikutip dari Surat Kabar Jepang Yomiuri Shimbun, Presiden Joko Widodo mengatakan

China perlu hati-hati dalam menentukan peta perbatasan lautnya. Indonesia salah satu negara

yang terancam dirugikan akibat Sembilan Titik yang digambar China. Menurut Kementrian Luar

Negeri, klaim China atas Natuna telah melanggar Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.

Posisi Natuna sangat jauh dari China. Natuna justru berdekatan dengan batas Vietnam dan
Malaysia. Sehingga tidak masuk akal jika China mengklaim Natuna masuk wilahnya.

1.2 Pokok Masalah

Masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Apa penyebab dari konflik antara Cina dan Indonesia?

2. Bagaimana cara untuk menyelesaikan konflik ini?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui gambaran umum mengenai Laut China Selatan dan posisi wilayah

Indonesia terhadap Laut China Selatan

2. Untuk mengetahui serta mendeskripsikan kepentingan nasional Indonesia dalam

pengamanan di Laut China Selatan.

3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam

mencapai kepentingan nasionalnya di Laut Cina Selatan.


BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pokok Masalah

Berada di kawasan dengan sumber daya alam melimpah dan berbatasan langsung

dengan laut bebas membuat Natuna menjadi incaran banyak negara tetangga. Kontraversi

diawali dari Malaysia yang menyatakan bahwa Natuna secara sah seharusnya milik

Malaysia. Namun untuk menghindari konflik panjang, pada era konfrontasi 1962-1966

Malaysia tidak menggugat status Natuna. Lepas dari konflik tersebut, Indonesia

membangun berbagai infrastruktur di kepulauan seluas 3.420 kilometer persegi. Etnis

Melayu menjadi penduduk mayoritas di Natuna, mencapai sekitar 85 persen. Suku Jawa

sekitar 6,34 persen dan etnis Tionghoa sekitar 2,52 persen.

Selepas kofrontasi Indonesia-Malaysia, sentimen anti China di kawasan Natuna

muncul. Dari 5.000-6.000 orang, tersisa 1.000 orang etnis China. Kemudian muncul
slentingan warga keturunan Tionghoa menghubungi Presiden China saat itu, Deng

Xiaoping untuk mendukung kemerdekaan Natuna. Meski banyak pihak yang memaksa

merebut Natuna, secara Hukum Internasional, negosiasi yang dibangun China tidak dapat

dibuktikan sampai saat ini. Pada 2009 secara nyata China melanggar Sembilan Titik

ditarik dari Pulau Spartly ditengah Laut China Selatan, lalu diklaim sebagai wilayah Zona

Ekonomi Eksklusifnya. Saat itu Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang

Yudhoyono memprotes langkah China melalui Komisi Landas Kontinen PBB. Di mana

garis putus-putus yang diklaim China sebagai Pembaharuan peta 1947 membuat

pemerintah Indonesia atas negara-negara yang berkonflik akibat Laut China Selatan.

Klaim yang membuat repot negara-negara tetangga ternyata dipicu dari kebijakan

pemerintahan Partai Kuomintang (saat itu di Taiwan). Bahwa wilayah China mencapai 90

persen Laut China Selatan. Meski saat itu China tidak pernah menyinggung isu Natuna

dihadapan PBB, sejak 1996 Indonesia telah mengerahkan lebih dari 20.000 personil TNI

untuk menjaga Natuna yang memiliki cadangan gas terbesar di Asia. Memasuki era

Presiden Joko Widodo, pihaknya kembali menegaskan dengan keras, bahwa Sembilan

Titik yang diklaim China tidak memiliki dasar hukum internasional apapun. Bahkan

dikutip dari Surat Kabar Jepang Yomiuri Shimbun, Presiden Joko Widodo mengatakan

China perlu hati-hati dalam menentukan peta perbatasan lautnya. Indonesia salah satu

negara yang terancam dirugikan akibat Sembilan Titik yang digambar China. Menurut

Kementrian Luar Negeri, klaim China atas Natuna telah melanggar Zona Ekonomi

Eksklusif milik Indonesia. Posisi Natuna sangat jauh dari China. Natuna justru
berdekatan dengan batas Vietnam dan Malaysia. Sehingga tidak masuk akal jika China

mengklaim Natuna masuk wilahnya.

Sampai saat ini Natuna masih menjadi sasaran negara-negara asing untuk berlayar

masuk ke wilayah tersebut. Bahkan Indonesia beberapa kali masih menangkap kapal-

kapal asing yang masuk ke Natuna. Dilansir dari Kompas.com kapal penangkap ikan dan

coast guard China diduga melakukan pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif dengan

memasuki Perairan Natuna pada 31 Desember 2019. Mereka juga melakukan

pelanggaran ZEE seperti melakukan praktik illegal, Unreported and Unregulated (IUU)

Fishing di wilayan tertitori Indonesia. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri

Retno Masudi meminta China untuk patuh terhadap ketentuan yang telah ditetapkan

UNCLOS 1982 tentang batas teritori. Selain itu kementrian Luar Negeri telah

mengirimkan nota protes resmi dan memanggil Dubes China untuk Indonesia di Jakarta.

2.2 Penyelesaian Konflik

TIONGKOK berharap bisa menyelesaikan konflik Natuna dengan Indonesia secara

diplomatis, Hal itu diungkapkan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Geng Shuang

dalam konferensi pers, Selasa (7/1).

Dalam penyelesaian masalah perbatasan sesungguhnya telah cukup banyak

rujukan yang bisa dipakai. Di antaranya ada United Nations Convention on the Law of the

Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Kelautan). Selain UNCLOS, terdapat sejumlah
keputusan ICJ yang bisa dijadikan acuan dalam perundingan masalah perbatasan.

Penyelesaian perbatasan laut untuk segmen barat antara Indonesia dengan Singapura,

dengan membuat rujukan bersama sebagai pedoman penyelesaian masalah perbatasan,

juga menjadi contoh baik.

Akan tetapi, dalam banyak penyelesaian masalah perbatasan, keberadaan itikad

baik dari pihak-pihak yang bersengketa juga menjadi modal utama yang sangat

menentukan. Sayangnya, banyak pihak lebih senang ”menggantung” masalah perbatasan

ini karena berbagai pertimbangan yang lebih banyak berbobot politis.


BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Natuna merupakan asset Negara yang berharga yang disebabkan oleh jalur strategis dari

pelayaran internasional yang dimilikinya. Sebelum keputusan PCA ini, Presiden Indonesia, Joko

Widodo, berkomentar tentang masalah sengketa Laut China Selatan yang mengatakan walaupun

letak Indonesia dekat dengan Laut China Selatan, Indonesia tidak memiliki kepentingan

langsung di Laut China Selatan. Namun, perkembangan terkini menunjukkan posisi yang

berbeda.

Selama kunjungan Presiden Jokowi ke Kepulauan Natuna belum lama ini, ia mengingatkan

bahwa pada tahun 1996 China telah mengakui perairan Natuna sebagai Zona Ekonomi Eksklusif

(ZEE) Indonesia.

Walaupun sengketa Laut China Selatan sejauh ini tidak berdampak langsung terhadap Indonesia,

namun, beberapa wilayah ZEE Indonesia di Kepulauan Natuna tumpang tindih dengan sembilan

garis putus-putus China. Karena China telah menyatakan penolakannya terhadap keputusan

PCA, Indonesia harus membuat kerangka hukum dan kebijakan lebih lanjut untuk

mengimplementasikan hak kedaulatannya atas ZEE di Kepulauan Natuna. Selain itu, pernyataan

politik yang kuat juga harus diambil untuk mengantisipasi pergerakan China di Laut China

Selatan melalui klaim sembilan garis putus-putusnya. Upaya menghentikan sengketa Laut China

Selatan ditingkatkan agar hal tidayyang diinginkan tidak terjadi.

Anda mungkin juga menyukai