Anda di halaman 1dari 8

KEKUATAN(-KEKUATAN) POLITIK INDONESIA

(Indonesian Political Forces)


Pengantar TeoriBahan Perkuliahan Sesi 1 s.d. 3 Semester Genap
TA 2022-2023

Prof. Rusadi Kantaprawira


Program Studi Ilmu Politik
Konsentrasi Hubungan Internasional dan Kebijakan Publik
Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial
Universitas Bakrie

Dalam kenyataan (realitas), selalu terdapat berbagai kekuatan (forces) yang eksis
atau hadir dalam suatu masyarakat itu. Hal ini disebabkan, karena masyarakat
(society) itu di dalamnya terdapat aneka macam kepentingan. Di samping
kepentingan yang sifatnya sejalan atau bersamaan (common interest), namun
takbisa dinafikan selalu terdapat yang berbeda dan bahkan bertentangan yang satu
dengan yang lainnya(opposing each others). Society berbeda dengan community
(komunitas).
Ciri dari sebuah komunitas adalah adanya persamaan-persamaan dari para anggota
pembentuk komunitas tadi (dalam arti lebih “guyub” atau dalam bahasa Jerman
dikenal dengan istilah “Gemeinschaft”).
Artinya, masyarakat itu cenderung secara alamiah memastikan adanya perbedaan
(Jer.: “Gesellschaft”), mulai dari hal yang sepele (gradual or slight differences) atau
disebut perbedaan tingkat ketiga, kemudian perbedaan yang bersifat “menengahan”
atau perbedaan tingkat kedua (secondary differences) sampai dengan mungkin yang
bersifat sangat prinsipil (primary differences) yang bersifat “opposing each other”
tadi atau disebut perbedaan tingkat pertama. Perbedaan tingkat pertama ini bersifat
fundamental atau mendasar.
Hoetink, seorang sarjana Belanda menyatakan kehadiran kekuatan politik dalam
masyarakat itu sebagai faktor-faktor real yang selalu hadir dan nyata adanya dalam
sebuah masyarakat. Oleh dia disebut sebagai “de rieele machtsfactoren”).
Dalam bahasa Belanda, makna kekuatan (Ing.: force) maupun kekuasaan (Ing.:
power) itu, kedua-duanya disebut “macht”. Jadi bahasa Inggris lebih terspesifikasi 1.
1
Pemisahan kekuasaan gagasan Montesquieu (trias politica) di dalam bahasa Belanda
dikenal dengan istilah: “machtenscheiding”. Artinya dalam terminologi Belanda untuk kata
“kekuatan” maupun “kekuasaan” itu, semuanya dipakai kata “ macht” (tunggal) dan

1
Karena itu, adanya berbagai kekuatan politik dalam masyarakat adalah merupakan
suatu keniscayaan. Pluralitas adalah terutama dijamin di dalam faham demokrasi
yang terekspresikan dalam sistem politik demokratis. Artinya di dalam sistem politik
non-demokratis, yang bersifat sentralistik dan monolitik hanya membenarkan
adanya satu kekuatan politik yang memonopoli segala hal kehidupan masyarakat
dapat dikategorikan sebagai sistem non-demokratis.
Dari sudut inilah kita dapat menyebut bahwa “sistem satu-partai”, monopartisme,
unipartisme atau “one-party system” adalah suatu contradictio in terminis.
Kata party itu akar-katanya adalah dari part atau bagian. Sesuatu tidak mungkin
hanya mempunyai satu bagian saja, sesuatu akan selalu mempunyai lebih dari satu
bagian atau part(s) tadi. Pepatah Prancis: “Du choc des opinions jaillit la vérité”
mengandung makna “dengan perbenturan pendapat akan terbersit kebenaran”.
Perbedaan itu, untuk taraf tertentu merupakan “ negative feedback” yang bermakna
untuk kemajuan, karena secara dini memberikan peringatan untuk tidak
menyimpang dari target, sasaran dan tujuan adalah tindakan terpuji seperti halnya
yang kita kenal sebagai “kritik dan oposisi loyal, korektif dan bersifat membangun”
(Bld.: opbouwend kritiek). Tindakan peringatan ini ibarat suatu “ early warning
system” dan katup-pengaman (safety valve) berupa “corrective action” (negentropy
= negative entropy = tindakan mencegah kepunahan).
Kekuatan politik tersebut selalu berupaya guna mewujudkan struktur yang lebih
memungkinkan untuk berkembang dan kekuatannya menjadi signifikan serta
diperhitungkan. Struktur itu merupakan “rumah” (rumah yang tidak menyenangkan
akan ditinggalkan = akan terjadi “ exodus”) atau “wadah” dan “bangunan” dari cita-
cita, idea, gagasan, pemikiran, ideologi dan tujuan tertentu. Dengan demikian selalu
mempunyai program, cara-cara dan metode supaya makin menampakkan
“strength”-nya. Jadi kekuatan politik yang mapan menpunyai “strong elements” yang
dikenal sebagai “strength” tadi, baik yang terukur (measurable) maupun yang
takbisa diukur (unmeasurable) yang masih imaginer misalnya.
Bangunan universal dari kekuatan-kekuatan politik di dunia hari, bermula dari abad
19-20 adalah dikenalnya apa yang disebut dengan partai politik (political parties).
Adapun faktor-faktor yang takdapat atau takmudah untuk diukur adalah berkenaan:

“machhten” (jamak), Dalam bahasa Inggris, pemisahan kekuasaan itu disebut: “ separation/
distribution of powers”. Bahasa Inggris membedakan “kekuatan” (force) dengan
“kekuasaan” (power).
Kemudian, kata benda abstrak “power” itu sesungguhnya adalah sesuatu yang
“uncountable” (tidak bisa dihitung), oleh karena sebenarnya takbisa dihitung. Namun
ternyata yang disebut “power” disini adalah lembaga; yakni “legislative power”, “executive
power”, dan ”judicial power”, sehingga distribusi ke ketiga lembaga tersebut bisa disebut:
“separation/ distribution of powers”.
Kemudian diuraikan bahwa “force” itu adalah dikenal dengan sebutan “naked power”.
Artinya “force” itu lebih telanjang/ vulgar dibandingkan dengan “power” yang telah
mendapatkan sentuhan “pakaian” atas dasar faktor legalitas.

2
1. Kehadiran adanya ideolog dan teoritisi partai atau pemikir dari elite partai
yang diandalkan sebagai “braintrust” dan adanya ahli-ahli (expert, expertise),
2. Adanya “sphere of influence” yang dirasakan getaran wibawa dan kharisma
dalam kehadirannya,
3. Adanya kelengkapan teoritisi, praktikan dan implementer, teknokrasi,
expertise yang berkenaan dengan pemahaman akan masa lampau, masa kini
dan terutama keahlian yang berkenaan dengan masa depan (futurologi),
4. Adanya getaran pengaruh (sphere of influence) atau “aegis” serta “berat
jenis” partai (kendati sama-sama bernama partai, namun berat jenisnya satu
sama lain berbeda, karena adanya faktor pengalaman dalam pemerintahan,
ketahanan dalam melakukan survival ketika ditempa krisis adanya
perpecahan, dan krisis lainnya telah bersiap dengan cara-cara penyelesaian
konflik (confict-/ crisis- management), berapa kuat daya tahan (resistence)
terhadap pertarungan antar faksi (interfaction struggle) di dalam organisasi
partai dsb-nya.
5. Bagaimana kualitas “management style” di dalam organisasi berupa
ketegasan bilamana diperlukan dan adanya kelenturan di dalam penyelesaian
persoalan-persoalan internal partai.
Adapun faktor-faktor yang dapat terukur secara kasat-mata adalah:
1. Berapa besar anggaran biaya (budget) dari kehidupan routine
keorganisasiannya dan berapa besar dan konstannya sumber dana keuangan
(financial resources)-nya? Berapa besar sumbangan-sumbangan (kontribusi)
yang diterima dan diperkenankan oleh perundang-undangan?
2. Berapa besar dan rutinnya anggaran dan kesiapan dari setiap “ event” yang
dijadwalkan, baik untuk tingkat pusat maupun daerah? Anggaran untuk
penyelenggaraan konvensi, musyawarah nasional (munas), kongres, mubes
(musyawarah besar), konferensi cabang (koncab), penataran, secara
terprogram, acara-acara turun ke bawah/masyarakat (turba), dll.
3. Volume berapa besaran (bisa dipakai pertanyaaan: how many?, how much?)
keanggotaan, kelengkapan berbagai keahlian yang dibutuhkan dan ukuran
(size) dari kader, anggota, supporters, simpatisan, pemilih serta dukungan
finansial/keuangan, how big is the majority in the parliament and how solid
their are? Dewasa ini secara merata di Indonesia, biaya rutin keorganisasian
setiap partai nampaknya bisa berjalan, karena adanya sumbangan (potongan
wajib) dari honorarium keanggotaan di berbagai peringkat lembaga
perwakilan rakyatnya.
4. Berapa luas size ketersebaran wilayah atau teritori secara horisontal dan
vertikal (sampai ke pelosok). Apakah hanya di wilayah pedesan (rural) saja?
Atau hanya di perkotaan (urban) saja? Atau merata, baik yang “rural”
maupun “urban”.
5. How big is the role of the party either in the popular level or in the
governmental sector?

3
Ini yang biasa kita sebut dalam “polling” sebagai: popular/electoral strength
dan governmental-/ parliamentary- strength,
6. Berapa banyak acara penataran/ upgrading, latihan kepemimpinan, acara-
acara publik yang bisa memberi efek “ bandwagon” tehadap popularitas partai
dan dukungan (support) disamping mengenali aspirasi (hearing to the mass)
serta mengolah tuntutan (demands) dari masyarakat,
7. Berapa banyak dan luas “organisasi mantel” atau organisasi sayapnya (di
Indonesia dikenal dengan sebutan “organisasi kemasyarakatan atau ormas”
dan berapa variatif ormas-ormas tersebut (keagamaan, petani, buruh, tani,
pemuda, wanita, pedagang, pengusaha, profesi, anggota public servant
orgaization (di Indonesia PNS yang tak boleh berpartai, namun rasanya tidak
ada larangan eksplisit menjadi anggota organisasi mantelnya),
8. Apakah partai massa atau partai kader?
9. Berapa banyak dan berapa variatif keahlian yang disiapkan untuk menjabat di
legislatif dan eksekutif di berbagai strata sampai ke tingkat pusat? Dewasa ini
tidak banyak partai politik di Indonesia yang sudah siap untuk mencalonkan
kadernya guna bersaing dalam Pilpres maupun Pilkada! Di negara-negara
maju, telah disiapkan “menteri-menteri bayangan” yang setiap waktu
langsung bisa “tune-in” untuk menggantikan pemeritahan yang tumbang,
baik karena krisis internal partainya ataupun karena terkena mosi tak percaya
(vote of censure, vote of no confidence),
10. Menentukan peta jalan (road map) perjuangan partai dari pilkada/ pemilu ke
pilkada/ pemilu lainnya.
Ini semua akan menentukan kekuatan dan kekuasaan, wibawa dan pengaruh dari
partai-partai politik sebagai kekuatan politik terpokok dewasa ini di dunia. Jadi mau
tidak mau, apabila terjadi kelemahan dari kalangan partai politik, maka harus secara
sistematis dipersiapkan metode dan sistem yang membuat organisasi dan sistem
kepartaiannya menjadi bisa diandalkan dalam demokrasi kita!
Artinya pembangunan politik demokratis itu harus bermula dari perbaikan dan
memperkembangkan kesehatan dan kebugaran dari sistem kepartaian dan
keorganisasiannya di dalam sektor kehidupan politik rakyat (infrastruktur politik/
socio-political sphere). Apabila kehidupan kepartaiannya tidak sehat yang berada di
hulu atau penghujung awalnya, maka ke hilirnya akan terkontaminasi (d.h.i.
suprastruktur politiknya).
Juga berarti bahwa sektor kehidupan politik kenegaraan (governmental political
sphere)-nya akan terkena dampak negatif, mudah dan rentan digoyahkan dan
bahkan bisamenyebabkan terjadinya instabilitas politik/ pemerintahan yang
mengganggu pencapaian penyelasaian proyek-proyek, program-program bahkan
menghambat kemantapan pelayanan dari burokrasi terhadap masyarakat.
Dari sudut ini bisa disarikan, bahwa secara alur sistemik adalah apabila terdapat
“electoral healthiness” dalam arti berlangsungnya pemilu yang “jujur dan adil”, maka
partai-partai akan berkompetisi secara sehat dan menyiapkan struktur organisasinya

4
secara sehat pula yang selanjutnya akan tercermin dalam lahirnya kualitas legislatif
dan jajaran eksekutif yang akseptabel, kapabel serta akuntabel.
Secara singkat, dengan terkondisikan dan terjaminnya “electoral healthiness”, lalu
akan tercipta “party system and party organization’s healthiness ” yang akhirnya
dapat menciptakan “government healthiness” yang akhirnya bisa melahirkan
stabilitas politik yang pas dan pantas (proper) bahkan kuat (strong government)
yang akhirnya melahirkan pemerintahan yang berkemampuan dan amanah untuk
mengemban tugas-tugas kenegaraan menuju tujuan bersama masyarakat adil,
makmur dan berkesejahteraan.
Dapat dimengerti apabila Maurice Duverger, sarjana ilmu politik Prancis yang
menulis buku yang monumental, berjudul “ Political Parties” (1951), yang sampai
dewasa ini masih relevan untuk dibicarakan setelah lebih dari 70 tahun silam)
menyatakan perlunya sistem kepartaian dan sistem organisasinya yang sehat pula.
Buku tersebut di samping mengupas tentang sistem kepartaian secara mendalam
juga membahas tentang keorganisasiannya. Saking masih relevan pendapat-
pendapatnya yang ibarat rumus itu (tentang sistem kepartaian) disebut sebagai
“Duverger’s Law”!2
Di dalam buku tadi dikupas hubungan penyelenggaraan sistem pemilihan umum
proporsional (proportional representation/PR) dan sistem pemilihan umum distrik
(single-member constituency, khusus istilah Amerika Serikat: plurality3) dengan
lahirnya sistem kepartaian tertentu (sistem multi-partai/ multipartism dan sistem
dua-partai/ bipartism), sehingga sedemikian rupa layak untuk bisa dipastikan ibarat
suatu rumus dan dalil (law).
Dalam literatur, kita mengenal adanya kategori partai. Ada yang berorientasi pada
pembinaan kualitas dari anggota-anggotanya agar mempunyai keahlian yang
dibutuhkan dalam pengelolaan negara, secara singkatnya dikenal sebagai “ cadre
party” yang menghasilkan figur-figur politik yang cemerlang dan kapabel, namun
tidak merakyat (isoteric) dan karenanya tidak terpilih dalam pemilu.
Di Indonesia, dalam Pemilu 1955, Partai Sosialis Indonesia (PSI), di dalam tubuhnya
terkenal terdapat para pemikir dan intelektual yang hebat, namun dalam Pemilu
pertama dalam sejarah Indonesia hanya memperoleh suara 2% saja 4 .
2
Grofman, Bernard, André Blais and Shaun Bowler (Eds.), Duverger’s Law of Plurality Voting:
The Logic of Party, Competition in Canada, India, the United Kingdom and the United
States, Springer, Department of Political Science University of California, Riverside, USA,
2009.
3
Plurality: the number of votes cast for a candidate who receives more than any other but
does not receive an absolute majority.
4
Lihat Feith, Herbert and Lance Castles (Eds.), Indonesian Political Thinking: 1945-1965,
Cornell University Press, Ithaca, 1970, p.15: “The democratic socialism of the Indonesian
Socialist Party (PSI) was similarly modern in its central ideas but far less successful
inestablishing itself among the mass of the people. The PSI was very influential in capital-
city politics,especially in the late 1940’s and early 1950’s, but fared badly in the elections of
1955, obtaining only 2 per cent of the vote’.

5
Di samping itu ada yang dikenal sebagai partai massa (mass party), yaitu yang
sedemikian rupa mengutamakan upaya memperbesar jumlah keanggotaan dan
pemilihnya dalam pemilihan umum (general elections) agar dapat mendudukkan
kader-kadernya dalam pemerintahan. Beberapa di antaranya, pada Pemilu 1955
tersebut adalah: (1) Partai Nasional Indonesia/ PNI, (2) Masyumi/ Majelis Syuro
Muslimin Indonesia, (NU/ Nahdatul Ulama) dan Partai Komunis Indonesia/PKI
(seperti tergambar dalam buku Herbert Feith and Lance Castles, “Indonesian
Political Thinking: 1945-165, p. 14: “Political parties and streams of political
thinking”, di bawah ini.

Tentu saja akan terdapat partai-partai yang melakukan pengkaderan yang intensif di
samping berupaya meraih keanggotaan sebanyak mungkin dan menjadi kapabel
untuk berbagai jabatan publik, serta memperluas dukungan (support), simpati dari
para calon pemilih di masa yad apabila diperlukan melalui upaya memperbesar
“bandwagon effect”, agar nanti menghasilkan suara (votes) yang tinggi.

6
Sehubungan dengan itu maka dikenal kategori partai yang memformulasikan
“kepolitikan”5 dirinya dengan upaya agar sungguh-sungguh dirasakan bahwa setiap
orang merasa tercakup secara lahir-batin dan cocok dengan partai tersebut. Inilah
uraian singkat dan padat tentang apa yang dikenal dengan sebutan “catch all party” 6
atau partai tenda besar (big tent).
Menurut pandangan saya, partai “catch all” adalah upaya aktif dari partai tertentu
untuk meraih dan mengajak masyarakat untuk masuk atau setidak-tidaknya
bersimpati dan tidak secara a priori bersifat antipati terhadapnya.Oleh karena itu
dipilih sedemikian rupa gagasan-gagasan bahkan ideologi yang “bersayap-lebar”
agar masyarakat merasa “nyaman” tergolong dan terlindungi untuk berada di dalam
naungannya.
Sesuai dengan kata “catch” yang berkonotasi bersifat aktif untuk “menangkap” para
calon anggota dan simpatisan serta calon pemilihnya, di samping itu dikenal partai
yang disebut sebagai “match all party”7. Nama “match-all party” ini diajukan oleh M.
Faishal Aminuddin dan Moh. Fajar Shodiq Ramadhan (Universitas Brawijaya), yang
menurut pemahaman sederhana, kata “cocok untuk semua” itu adalah lebih
bermakna bahwa partai ybs bersifat “pasif” dalam arti telah menyediakan sejumlah
tawaran yang akan menyerahkan pilihannya secara “á la carte” (Jawa: prasmanan,
Sunda: parasmanan) untuk bebas dipilih oleh para calon pemilih dan
simpatisannyamenurut selera masing-masing?

Pekerjaan Rumah:

5
Istilah “kepolitikan” ini digunakan oleh rekan penulis, Prof. Nazaruddin Sjamsuddin, guru
besar UI dalam “PNI dan Kepolitikannya: 1963-1969”, Rajawali, Jakarta, 1984..
6
Istilah Otto Kirchheimer, April 2003, West European Politics26(2).23-40
DOI:10.1080/014023805112331341091
7
Penamaan istilah “match-all party” ini diperkenalkan oleh M. Faishal Aminuddin dan Moh.
Fajar Shodiq Ramadlan dar Universitas Brawijaya, “Match-All Party: Pragmatisme Politik dan
Munculnya Species Baru Partai Politik di Indonesia Pasca Pemilu 2009”, Jurnal Politik. Vol. 1:
Iss.1 Article 2. DOI: 10.7454/jp.v1i1.9

7
Pye Chart di bawah ini adalah Komposisi perolehan 9 (sembilan) partai politik yang
lolos dari Parliamentary Treshold dalam Pemilu Legislatif 2019, dimulai dari yang
terbesar (PDIP) secara “clock-wise” menuju yang terkecil yaitu PPP.
Kemudian, buatlah pye chart secara berurutan juga atas dasar besaran Koalisi
antara:
1. “Koalisi Indonesia Bersatu” yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP (jumlah ....
%),
2. Koalisi antara Gerindra dan PKB (jumlah ....%),
3. “Koalisi Perubahan” yang baru diperkirakan terwujud dalam waktu mendatang
antara Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan PKS (jumlah ....%), dan
4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/ PDIP yang tanpa memerlukan
berkoalisi sudah melampaui ketentuan “Presidential Treshold”(....%)!
Apakah dalam perkembangannya lebih lanjut agar menjadi cukup besar peluang
untuk berkompetisi dalam Pilpres itu PDIP pun mencoba membuat koalisi yang
sudah terbentukpun menjadi bubar?

Yogyakarta, Rabu 8Maret 2023.

Anda mungkin juga menyukai