Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kekuatan-kekutan politik di manapun selalu pada dirinya mencerminkan masalah-
masalah mendalam ke sejarahan dan struktural dimana kekuatan-kekuatan politik
kontenporer yang menampilkan diri sebagai PARPOL, Angkatan Bersenjata, Pemuda,
Mahasiswa, Kaum Intelektual dan golongan pengusaha, kelompok-kelompok penekan lain
nya serta Brokrasi malah sering di kemukakan sebagai bentuk-bentuk luar dari masalah-
masalah mendalam seperti perkembangan pikiran,ideologi,nilai-nilai, struktur sosial dan
ekonomi.
Jika kekuatan politik dilihat secara demikian analisa dan deskripsi serta pemahaman-
pemahaman mengenai kecenderungan-kecenderungan politik serta kekuatan-kekuatan politik
yang terlibat di dalamnya akan bersifat menyeluruh dan mendalam serta yang lebih penting
lagi akan memiliki dimensi sruktural dan kesejarahan.
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan
sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana
lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada
instansi yang sifatnya administratif maupun militer.
Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan
dengan jelas dalam organigram. Organisasi inipun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga
cenderung kurang fleksibel.Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus
dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana Perspektif Teoritis tentang Pergeseran Kekuatan Politik?
2. Apa yang dimaksud dengan birokrasi?
3. Bagaimana peran Birokrasi Lokal?
4. Mengetahui bagaimana Birokrasi dan Proses Politik?
5. Apa faktor yang mempengaruhi pergeseran kekuatan politik?

1.3 Tujuan
adapun beberapa tujuan mengapa kita perlu mempelajari tentang KEKUATAN
POLITIK DIBIDANG BIROKRASI adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui Bagaimana Perspektif Teoritis tentang Pergeseran Kekuatan Politik?
2. Mengetahui Apa yang di maksud dengan birokrasi
3. Mengetahui Bagaimana Peran Birokrasi Lokal
4. Mengetahui bagaimana Birokrasi dan Proses Politik
5. Mengetahui faktor yang mempengaruhi pergeseran kekuatan politik

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perspektif Teoritis tentang Pergeseran Kekuatan Politik

Kekuatan Politik Strategis: Pengertian, Sumber, dan Pemetaannya


Yang dimaksud dengan kekuatan adalah kemampuan yang bersifat fisik untuk
merealisasikan dan menggunakan (enforcing) kekuasaan yang dimiliki atau yang
dipersepsikan dimiliki baik oleh individu maupun kelompok. (Pfeffer, Jeffrey, 1992).
Sementara itu yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kapasitas seseorang dan/atau
kelompok untuk mengakibatkan orang atau pihak lain melakukan apa yang dikehendaki.
Kekuasaan berisi pengaruh yang bersifat memaksa dan selalu terkait dengan relasi-relasi,
jejaring (networks) dan komunikasi. Kekuatan politik strategis dapat didefinisikan sebagai
kekuatan individu dan/atau kelompok yang nyata dan mampu merealisasikan kekuasaan yang
dimilikinya dalam relasi-relasi, jejaring, dan komunikasi politik yang bersifat strategis di
dalam suatu masyarakat atau negara. (Op.cit. Pfeffer). Kekuatan ini dapat mewujud dalam
bentuk aktor-aktor politik yang memainkan peranan dalam kehidupan politik, dimana aktor-
aktor ini terdiri dari pribadi-pribadi yang hendak mempengaruhi proses pengambilam
keputusan politik. Dari sini kekuatan politik dianggap sebagai lembaga atau organisasi
ataupun bentuk lain yang bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan
dalam sistem politik. (Budiarjo, Miriam, 2002).
Menurut French dan Raven (1959), ada lima sumber-sumber kekuasaan, yaitu
legitimasi, referensi atau kehormatan, keahlian atau kepakaran, imbalan, dan pemaksaan.
(Raven & French, 1959). Pada sisi legitimasi, kekuasaan diperoleh karena posisi yang legitim
dalam organisasi. Kekuasaan ini bisa berbentuk wewenang yang dimiliki oleh seorang
dan/atau kelompok yang sebagaimana telah ditentukan oleh aturan main. Pada sisi referensi,
kekuasaan yang diperoleh karena kemampuan seseorang dan/atau kelompok karena
kemampuan seseorang dan/ atau kelompok karena kemampuan mendapatkan penghormatan
atau loyalitas dari pihak lain. Kekuasaan semacam ini muncul karena adanya kharisma atau
kemampuan pribadi yang luar biasa sehingga membuat orang lain memberikan loyalitas dan
kepercayaan kepadanya.

Pada sisi keahlian atau kepakaran, kekuasaan diperoleh karena kemampuan dan
kepakaran dari pribadi dan/ atau kelompok yang sangat diperlukan dalam bidang-bidang yang
khusus. Pada sisi imbalan, kekuasaan diperoleh dari hasil yang mengubah suatu imbalan
(reward) setelah melakukan sesuatu yang dianggap penting. Keberhasilan menjalankan tugas
tertentu, misalnya, mengakibatkan seseorang mendapat imbalan yang kemudian
digunakannya sebagai kekuasaan. Dan terakhir, pada sisi pemaksaan, kekuasaan diperoleh
karena penggunaan pengaruh-pengaruh negative (negative influence). Kekuasaan melalui
pemaksaan biasanya hanya memiliki kapasitas yang bersifat artifisial dan sementara sehingga
memerlukan upaya pemaksaan terus menerus.

2
Menurut Pfeffer (1992), lokasi kekuatan politik strategis dalam negara dapat dilihat
dari pribadi-pribadi, seperti pemimpin pemerintahan atau organisasi kemasyarakatan dan
politik, seperti presiden, pejabat, tokoh masyarakat, dan lain-lain. Kekuatan politik strategis
pun dapat ditemui dalam organisasi politik yang menentukan arah kebijakan dalam lingkup
nasional, seperti parpol, ormas, korporasi dan lain-lain. Selain itu instansi-instansi seperti
militer, kepolisian, intelijen, organisasi profesi, dan lain-lain juga termasuk lokasi kekuatan
politik strategis, karena dianggap sebagai organisasi profesional yang khusus. (Pfeffer,
Jeffrey, 1992). Selain itu ada lokasi kekuatan juga bersumber dari media massa dan media
sosial, karena pihak tersebut dianggap sebagai interlokutor dalam jejaring komunikasi
(communication networks). Pada media sosial tidak lagi berlaku one man one vote, tetapi
satu orang bisa memiliki kekuatan setara puluhan, ratusan, atau ribuan lebih orang karena
mampu mempengaruhi lawan dan kawannya melalui media sosial. Inilah kelebihan media
sosial, yakni efektif sebagai sarana kekuasaan yang dikemas dengan ajang pemaparan ide
yang berlangsung amat cepat dan hampir tanpa batas. (Media Sosial Dalam Kampanye
Politik , 2014). Media sosial merupakan sumber kekuasaan di era modern, karena hampir
semua kekuatan baik individu maupun kelompok seakan berlomba-lomba menunjukkan
kekuatan dan pengaruhnya melalui dunia maya. Contohnya, partai-partai politik di Indonesia
dipastikan memiliki akun jejaring facebook yang digunakan untuk melancarkan strategi
politiknya di samping menunjukkan kekuatan pada anggotanya, simpatisan, dan bahkan
lawan politiknya.

2.2 Pengertian Birokrasi

Secara teoritis birokrasi adalah alat kekuasaan untuk menjalankan keputusan-


keputusan politik, namun dalam prakteknya birokrasi telah menjadi kekuatan politik yang
potensial yang dapat merobohkan kekuasaan. Birokrasi juga merupakan alat politik untuk
mengatur dan mewujudkan agenda-agenda politik, sifat kekuasaan aparat birokrasi
sebenarnya bukan tanpa kendali tetapi tetap dibatasi oleh perangkat kendali dari luar dan dari
dalam. Birokrasi juga dapat dibedakan dengan dua tipe, yaitu tipe birokrasi klasik dan
birokrasi perilaku.
Ilmuwan lain Max Weber, melihat birokrasi atau aparat pemerintah merupakan unsur
penting bagi pertumbuhan dan perkembangan dari organisasi pemerintah. Organisasi
pemerintah merupakan alat untuk mencapai tujuan tertentu dalam suatu negara. Oleh karena
itu perhatian Weber tertuju pada struktur yang diatur secara normatif dan punya mekanisme
untuk mempertahankan struktur tersebut. Selanjutnya, dalam pandangan Weber, birokrasi ini
bisa terjadi baik di organisasi pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. Di suatu
perusahaan birokrasi bisa terjadi. Demikian pula, di suatu organisasi yang besar birokrasi
akan terjadi. Birokrasi merupakan suatu sistem untuk mengatur organisasi yang besar agar
diperoleh pengelolaan yang efisien, rasional, dan efektif (Thoha, 2008: 15). Dalam kontek ini
birokrasi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah birokrasi pemerintah yaitu pegawai negeri
dari pejabat eselon atau jabatan structural sampai jabatan fungsional yang langsung
berhadapan dengan masyarakat.

3
Max Weber memandang Birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan
yang terdiri atas pejabat-pejabat atau sekelompok yang pasti dan jelas pekerjaannya serta
pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi.

2.3 Peran Birokrasi Lokal

Peran birokrasi publik tidak bisa dilepaskan dari sistem politik yang merupakan
political setting perilaku birokrasi publik. Dalam kasus Indonesia, kajian terhadap birokrasi
publik tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem pemerintahan daerah di Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa perhatian terhadap sistem pemerintahan daerah telah menjadi salah
satu kebijakan politik penting setiap pemerintahan kolonial yang pernah menjajah Indonesia.
Pasca periode koionial perkembangan sistem pemerintahan daerah di Tanah Air tampak
semakin dinamis. Ini dibuktikan dengan perubahan peraturan perundangan-undangan yang
mengatur tentang pemerintahan daerah. Tentu saja, muatan setiap peraturan perundang-
undangan mewakili semangat zaman, pemikiran dan konfigurasi politik dimana undang-
undang tersebut dipraktekkan.

Dalam periode kemerdekaan ketika Indonesia baru saja lepas dari belenggu
penjajahan birokrasi publik cenderung masih merupakan institusi politik yang masih mencari
jati diri. Ketika itu kuantitas birokrasi publik relatif kecil, tidak memiliki pengaruh politik,
kendati merupakan sektor yang menjanjikan prestise sosial tinggi karena dianggap
masyarakat mewakili apa yang disebut sebagai `kelas ningrat'. Kondisi ini sebetulnya tidak
bisa dilepaskan dari akar pertumbuhan institusi pemerintahan yang terkait erat dengan
lembaga kerajaan dan praktek pemerintahan kolonial Belanda. Beban pembangunan yang
relatif kecil akibat ketiadaan dana pembangunan - meskipun persoalan mendesak yang harus
diatasi begitu banyak - mengakibatkan birokrasi hanya cenderung mengedepankan fungsi
utama sebagai instrumen politik semata.

Di zaman Orde Baru, birokrasi publik tidak hanya sekedar menjadi instrumen untuk
menjalankan program-program pembangunan, tetapi juga terlibat aktif dalam percaturan
politik. Di tingkat nasional, birokrasi diposisikan sebagai salah satu jalur/jalan untuk
mempertahankan single mayority yang dinikmati partai penguasa (baca: sekarang disebut
Partal Golkar). Kondisi ini mengakibatkan terjadinya pemanfaatan jaringan birokrasi lokal
dalam proses pemilihan umum. Banyak kasus mengungkapkan bahwa aparat birokrasi lokal,
mulai dari kepala daerah, camat, dan kepala desa terlibat aktif sebagai vote getters dalam
setiap pemilihan umum yang diadakan selama rezim Orde Baru berkuasa. Singkat kata,
dalam periode ini birokrasi merupakan bagian tak terpisahkan percaturan politik nasional.
Birokrasi adalah aktor politik yang memiliki kekuatan dan kepentingan politik. Konsep
netralitas birokrasi yang secara teoritik absah dan rasional menjadi tidak berarti ketika
berhadapan dengan ideologi developemntalism yang sejalan dan selaras dengan
kecenderungan perilaku politik birokrasi publik.

Tampaknya dari berbagai segi pemerintahan ada keyakinan, bahwa tak ada satu cara
yang baku, tak ada cara yang terbaik ke arah pemerintah yang baik keculi birokrasi dan
politik mempunyai inovasi-inovasi baru untuk membentuk pemerintah yang lebih baik.

4
Birokrasi dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah dan pembangunan bangsa, dengan
sifat dan lingkup pekerjaannya, menguasai aspek-aspek yang sangat luas dan strategis.
Birokrasi menguasai akses-akses sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek serta
menguasai akses pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak lain. Birokrasi juga
memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan berbagai
kebijakan publik, serta dalam evaluasi kinerjanya. Dalam posisi yang strategis seperti itu,
adalah logis apabila setiap perkembangan politik, selalu terdapat upaya menarik birokrasi
pada area permainan politik. Birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan,
ataupun memperkuat kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak pemegang kekuasaan. Pada
prakteknya, upaya menarik gerbong birokrasi ke dalam politik dan kekuasaan sudah terlihat
sejak lama, yakni sejak negeri ini berdiri. Sejak awal kemerdekaan, birokrasi telah menjadi
objek dan alat politik. Mulai dari era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an, era Orde Baru,
hingga masa Reformasi, bahkan ketika masa Orde Baru, birokrasi benarbenar menjelma
sebagai kekuatan politik penguasa yang bisa diarahkan tergantung ke mana pemimpin
menginginkannya.

2.4 Pergeseran Kekuatan Politik Strategis Indonesia

a. Periode Pasca-Kemerdekaan (1945-1959)

Pada periode ini kondisi perpolitikan nasional berada pada transisi pasca-
kemerdekaan (post-independence transition) yang ditandai dengan berbagai upaya
konsolidasi sistem politik dan mencari format politik yang dianggap tepat dalam
menyelenggaraan ketatanegaraan di Republik yang masih muda. Lingkungan strategis global
memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap perpolitikan nasional. Pasca
PD II disusul dengan bipolarisme dengan munculnya blok Barat, yaitu AS dan Eropa Barat
serta sekutu-sekutunya. Sedangkan pada blok Timur Uni Soviet juga membangun kekuatan
bersama sekutunya. Negara-negara pasca-kolonial di Afrika dan Asia sebagian menolak
mengikuti kedua blok secara prinsipil, termasuk Indonesia, Tiongkok, Mesir, India, dan lain-
lain yang kemudian membentuk pengelompokan negara-negara Non-Blok tahun 1955.

Lingkungan strategis nasional ditandai dengan masih belum kondusifnya tatanan


ipoleksosbudhankam, sehingga ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional sangat
besar, termasuk ancaman riil disintegrasi nasional. Dalam kurun waktu 14 tahun pasca-
kemerdekaan ini bisa dikatakan sebagai kurun waktu ‘pancaroba’ politik yang sangat
menentukan, apakah Republik yang baru tersebut akan berhasil melewati transisi dan
melakukan proses konsolidasi. Peran kekuatan-kekuatan politik strategis sangat vital bagi
keberlangsungan negara yang baru merdeka dari penjajahan selama lebih dari tiga abad,
terlebih jika dilihat bagaimana lemahnya struktur sosial, ekonomi, dan politik di dalam
masyarakat Indonesia saat itu.

Struktur sosial dan budaya masyarakat Indonesia pasca-kemerdekaan masih


didominasi oleh struktur masyarakat feodal-agraris dan masih belum terbentuknya kelas
menengah yang mampu menjadi motor perubahan sosial menuju masyarakat modern dan

5
demokratis. Ekonomi Indonesia yang merupakan warisan kolonial yaitu ekonomi dualistis
(dual economic system) tidak mampu menjadi pendorong yang kuat bagi akselerasi
pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesejahteraan yang merupakan komponen utama bagi
terbangunnya kelas menengah yang besar dan kuat sebagai pilar masyarakat modern. Secara
politik, struktur perpolitikan yang berorientasi kepada loyalitas primordial mempersulit
konsolidasi untuk mewujudkan sebuah sistem politik demokrasi konstitusional (constitutional
democracy). Halangan-halangan struktural (structural constraints) seperti itulah yg dihadapi
oleh negara-bangsa yang baru pada kurun waktu ini dan ikut mempengaruhi pembentukan,
peran, dan fungsi dari kekuatan-kekuatan politik strategis di Indonesia.

Oleh sebab itu percobaan-percobaan dalam menciptakan tatanan politik pada kurun
waktu ini ditandai dengan volatilitas politik yang sangat tinggi, baik pada tataran fondasi,
bentuk maupun praktik pelaksanaannya. Misalnya, pada 1945-1949, kendati secara prinsipil
UUD 1945 adalah fondasi konstitusional yang digunakan, namun dalam kenyataan bentuk
negara kesatuan dengan pemerintahan yang menggunakan sistem Parlementarian berdasarkan
Maklumat Pemerintah Nomor X, tahun 1945. Pada periode 1950-1959, Indonesia
menggunakan sistem politik Parlementarian dengan fondasi berbeda, yaitu Konsitusi RIS dan
bentuk negara federalis. Setelah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, Indonesia kembali
menggunakan fondasi Konstitusional UUD 1945 dengan bentuk negara kesatuan dan sistem
pemerintahan Presidensiil. Dari periode 1950-1959, terjadi perombakan kabinet pemerintahan
sebanyak tujuh kali. Pertama, pada Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951), kedua
adalah Kabinet Soekiman (April 1951-Februari 1952), ketiga adalah Kabinet Wilopo (April
1952-Juni 1953), keempat adalah Kabinet Ali Sastroamijoyo (Agustus 1953-Juli 1955),
kelima adalah Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), keenam adalah
Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956-Maret 1957), dan ketujuh Kabinet Djuanda (April
1957-Juli 1959). (Pelaksanaan Demokrasi Parlementer di Indonesia, 2013 : 5-12). Terjadinya
perombakan kabinet selama tujuh kali dalam periode sembilan tahun memperlihatkan
ketidakstabilan politik di usia Indonesia yang baru saja meraih kemerdekaannya.

b. Periode Orde Lama (1959-1966)

Pada periode ini proses konsolidasi negara dan masyarakat Indonesia pasca-
kemerdekaan diwarnai dengan adanya pergolakan-pergolakan politik yang sangat meluas dan
mendalam dalam batang tubuh masyarakat dan di pentas perpolitikan. Oleh karena itu
persaingan antara kekuatan-kekuatan politik strategis melibatkan keterlibatan masyarakat
sampai di lapisan akar rumput. Pergolakan tersebut juga melibatkan dimensi ideologis,
ekonomis, sosial budaya, dan sangat terkait dengan dinamika lingkungan strategis global dan
regional. Upaya Presiden Soekarno yang mendapat dukungan luas dari sebagian besar
kekuatan-kekuatan politik strategis, baik sipil maupun militer, untuk kembali menggunakan
Konstitusi UUD 1945, bentuk negara kesatuan, dan penerapan sistem Presidensialisme,
bukan menghentikan konflik tetapi justru memperdalam dan memperluasnya. Tak berlebihan
jika kurun waktu 7 tahun masa Orde Lama ini menyaksikan suatu situasi krisis yang akhirnya
berujung pada sebuah implosi yang memakan korban sangat besar di negeri ini.

6
Secara politik negara memang telah mampu melakukan konsolidasi dengan
menghentikan berbagai konflik yang mengancam eksistensinya seperti gerakan separatis
yang marak mulai awal 50-an. Dalam percaturan geopolitik global, Indonesia juga mendapat
pengakuan sebagai salah satu kekuatan yang merepresentasikan negara-negara yang tidak
mengikuti kedua blok yang bersaing dalam perang dingin. Kendati demikian, dalam praktik,
Pemerintah Soekarno lebih cenderung memilih blok Timur dalam strategi geopolitik dan
polugrinya, sehingga Indonesia dipersepsikan sebagai pihak yang berseberangan dengan
Barat. Dukungan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sangat kuat kepada kebijakan-
kebijakan politik Soekarno pada gilirannya menciptakan konflik dengan kekuatan-kekuatan
politik strategis, khususnya kelompok nasionalis dan Islam serta militer.

Hubungan mesra antara Soekarno dan PKI terjadi karena PKI dianggap satu-satunya
partai yang sangat mendukung gerakan Ganyang Malaysia, yang dianggap antek
neokolonialisme dan imperialisme. PKI secara terang-terangan berusaha membangkitkan
semangat Indonesia dan menempatkan posisinya pada pusat percaturan politik nasional di
tangan Soekarno. Lebih lanjut, Soekarno juga menggambarkan posisi ke”kiri”annya dalam
perpolitikan saat itu, dimana Soekarno merasa pemikirannya mirip dengan Marxisme dan
Leninisme. Fakta ini jelas membuat lawan-lawan pollitik Soekarno semakin berkeinginan
untuk menggeser posisi Soekarno sebagai pimpian nasional karena visi dan misinya dianggap
sudah bertolak belakang dengan Pancasila.

Secara sosiologis, masyarakat Indonesia pada saat itu juga masih belum mengalami
perubahan struktural yang cukup berarti dibandingkan dengan pada era sebelumnya. Hal ini
disebabkan karena basis perekonomian masih belum mengalami perubahan dari agrikultural
menjadi industrial, sementara ketergantungan Indonesia terhadap asing cenderung meningkat.
Kemiskinan akut yang sejak masa penjajahan sudah ada tidak mendapat perhatian dan
mengalami perubahan fundamental, termasuk dalam hal perubahan struktural yang
memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian.

Dalam periode ini Pemerintah membentuk Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk


mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Namun, dalam
pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada
1961-1962 harga barang-barang naik 400%. Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan
moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya,
termasuk untuk membangun berbagai proyek mercusuar. Kemerorotan ekonomi ini makin
diperparah oleh sikap perlawanan terhadap kekuatan ekonomi kapitalis dunia yang
merupakan konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa
diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun
bidang-bidang lain. (Leirissa, RZ, GA Ohorella, dan Yuda B. Tangkilisan, 1996). Terjadinya
krisis ekonomi di era Orde Lama merupakan faktor krusial yang memperburuk kondisi
struktural masyarakat yang ditandai dengan kemiskinan akut.

Ketimpangan struktural inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan


politik strategis dalam konflik-konflik memperebutkan akses kekuasaan. Konflik yang
sejatinya merupakan konflik elit tersebut kemudian menjadi meluas dan mendalam. Meluas,

7
karena konflik-konflik tersebut tidak terbatas pada elit di pusat dan daerah saja, tetapi sampai
di akar rumput. Mendalam karena konflik tersebut masuk ke ranah ideologis dan bahkan pada
ranah yang sangat pribadi, yaitu kepercayaan, ideologi, dan budaya.

c. Periode Orde Baru (1966-1998)

Tumbangnya rezim Soekarno dan disusul dengan munculnya Orde Baru (Orba)
dibawah Presiden Soeharto meretas jalan bagi sebuah perubahan mendasar dalam struktur
politik, ekonomi, sosial dan budaya yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia.
Dalam kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa di bawah Orba, berbagai perubahan signifikan
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara terjadi sebagai akibat dari proses penataan
politik yang didukung oleh pembangunan ekonomi. Orba, berbeda dengan rezim
pemerintahan sebelumnya, menggunakan paradigma yang kemudian dikenal sebagai
paradigma ‘pembangunanisme’ (developmentalism) sebagai landasan bagi transformasi
ipoleksosbudhankam di Indonesia.

Paradigma yang sangat populer pada dasawarsa 60 dan 70an di negara-negara Barat,
Amerika Latin, Afrika, dan Asia yang tidak mengikuti jalan sosialis dan komunis itu,
menjadikan pembanguan ekonomi sebagai panglima dengan titik tekan pada pertumbuhan
yang diikuti pemerataan dengan prinsip “efek tetesan ke bawah” (trickle down effect)
(Rostow, 1960). Dengan model seperti ini maka diperlukan sebuah tatanan politik (political
order) yang berorientasi kepada stabilitas politik dan keamanan dengan kontrol dan
pengawasan yang kuat dari sektor negara. Seperti pada umumnya negara-negara yang
memakai paradigma ini, sistem politik yang digunakan adalah otoriterisme dengan
keterlibatan militer, birokrasi, dan partai politik yang menjadi garda depan (vanguard) atau
mesin politik penguasa. Mekanisme kontrol terhadap masyarakat dan kelembagaan politik
yang digunakan adalah melalui jejaring korporatisme birokratik (bureaucraticcorporatism)
dan diperkuat dengan pengembangan hegemoni ideologi.

Selama tiga dasawarsa pemerintahan Orba, Indonesia mengalami berbagai


peningkatan dan kemajuan signifikan yang mengubahnya dari negara terbelakang menjadi
salah satu calon negara industri baru (newly industrialized country) di Asia Timur. Masa
Orde Baru dapat dikatakan sebagai tonggak perubahan struktur ekonomi Indonesia menjadi
bagian dari sistem kapitalis dunia (world capitalist system), karena pada masa ini
pembangunan ekonomi dilakukan dengan model kapitalis sebagai arus utama. Dalam rangka
memantapkan pembangunan ekonomi, maka diterbitkannya ketetapan MPRS No.
XXIII/MPRS/1966 Tentang Pembaruan Kebijakan Ekonomi dan Pembangunan. Kebijakan
tersebut bertujuan untuk memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan perlambatan
ekonomi, memperlancar kemudahan bagi produsen-produsen kecil, dan mempermudah
masuknya investasi untuk pembangunan. Selain itu, Pemerintah juga membentuk suatu
skema pembangunan ekonomi yang berkelanjutan secara periodik lima tahun yang dianggap
sebagai keberhasilan di Era Orba, yakni Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), yang
dimulai pada 1969-1994.

8
Dalam bidang politik, Indonesia dapat menjaga stabilitas politik internalnya dalam
tempo yang cukup lama dengan menggunakan menerapkan sistem politik yang dikenal
dengan sebutan otoriterisme birokratis.Melalui sistem politik inilah Orba melakukan proses
konsolidasi negara secara efektif kendati dengan meminggirkan peran masyarakat sipil (civil
society). (Lihat Hikam, Muhammad AS , 1996). Dalam percaturan geopolitik regional dan
global, Indonesia di bawah Orba menjadi negara yang sangat diperhitungkan di Asia dan
dunia karena berbagai keberhasilannya, antara lain, dalam menjadi motor penggerak dan
pemimpin kawasan ASEAN serta aktif di dunia Islam sebagai negara berpenduduk mayoritas
Muslim. Pada masa ini, kebijakan politik luar negeri Indonesia lebih mengarah kepada
rebuilding image, yaitu pengubahan akan citra negara yang lebih baik dari pandangan global
maupun dalam negeri. (Politik Luar Negeri Indonesia Era Orde Baru dan Reformasi Pada
Rezim Susilo Bambang Yudhoyono, 2013 : 3).
Terlepas dari perbedaan politik dan sosial antar negara, keberhasilan Indonesia
merangkul negara-negara sahabat dalam komunitas ASEAN dianggap sebagai prestasi luar
biasa oleh dunia Internasional. Kondisi ini membuat Indonesia dihormati dan dianggap
sebagai yang dituakan di kawasan regional Asia Tenggara. Stabilitas nasional yang kuat
menjadi salah satu pilar Orba, sehingga ancaman-ancaman seperti regionalisme dan
separatisme serta gerakan-gerakan anti pemerintah dari kekuatan-kekuatan politik berbasis
ideologi baik kanan maupun kiri dicegah dengan keras dan menggunakan kekuatan repressif.
Hal ini dilakukan melalui pelibatan militer secara meluas dengan menerapkan doktrin
dwifungsi ABRI, yaitu militer sebagai kekuatan pertahanan-keamanan dan kekuatan sosial
dan politik. Dengan doktrin inilah militer kemudian memperluas dan memperdalam
pengaruhnya di politik pemerintahan Indonesia, baik di parlemen maupun di kursi-kursi
kepemimpinan daerah provinsi dan kabupaten, yaitu posisi Gubernur dan Bupati. (Crouch,
Harold, 1978).

d. Periode Reformasi (1998- sekarang)

Tumbangnya Orba pada 1998 yang dipelopori oleh kekuatan masyarakat sipil
merubah kembali tatanan politik nasional melalui reformasi terhadap landasan konstitusi dan
sistem Presidensil. Beberapa perubahan terjadi seperti Amandemen terhadap UUD 1945
sebanyak empat kali, Militer/Polri dan birokrasi mengalami reformasi dalam bentuk
depolitisasi, otonomi daerah diberlakukan secara nasional, dan penguatan perlindungan hak-
hak asasi manusia gencar dikumandangkan oleh para aktivis dan LSM.

Adanya perubahan-perubahan tersebut jelas memberikan implikasi terhadap praktik


kenegaraan. Misalkan saja, MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang memiliki
hak memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Keduanya dipilih secara
langsung melalui suatu Pemilihan Umum untuk Presiden dan Wapres. Selain itu dibentuknya
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif yang mewakili daerah, selain
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mewakili rakyat. Terakhir adalah penguatan checks
and balances antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, serta pembentukan
Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial.

9
Implikasi reformasi terhadap konstelasi elit dari perubahan mendasar di atas adalah
militer, Polri, dan birokrasi pemerintahan tidak lagi menjadi penentu utama dalam politik
praktis, tetapi partai-partai politiklah yang menjadi kekuatan paling strategis di dalam
perpolitikan nasional. Selain itu dalam perpolitikan nasional, kelompok pemilik modal atau
oligarki memiliki akses politik yang bukan hanya satu kekuatan politik. Hal ini lah yang
menjadi faktor kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) mulai berkompetisi untuk
mendapatkan akses politik tanpa selalu melalui jejaring birokrasi negara.

Perubahan mencolok pada sektor hankam terjadi dengan adanya pemisahan Polri dari
tubuh ABRI 1 April 1999. (Reformasi Totalkan Polri, 2015). Sejak itu Polri berada langsung
dibawah komando Presiden dan melalui UU No. 2 Tahun 2002 Polri diberikan mandat untuk
memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. (Lihat pasal 1 ayat 4 pada UU Polri No. 2 tahun 2002). Tanggung jawab pada
sektor keamanan dan ketertiban umum, termasuk yang terkait ancaman dan gerakan
radikalisme praktis dibawah kendali Polri. Hal ini menandakan adanya pergeseran kekuatan
strategis dari TNI ke Polri di bidang keamanan nasional. Praktis penambahan kerjasama antar
negara, anggaran, dan alat senjata diberikan kepada Polri sebagai aktor utama.

Era reformasi yang menuntut adanya intervensi dan pengawasan sipil membuat segala
kebijakan TNI berada di bawah Kementerian Pertahanan. Reformasi di tubuh TNI
menunjukkan TNI benar-benar ingin menunjukkan profesionalismenya dengan melepas Dwi
Fungsi ABRI-nya dengan tetap fokus menjaga pertahanan NKRI. Dalam perkembangannya,
melalui reformasi internal ini citra militer semakin positif dan diterima oleh masyarakat sipil
Indonesia. Salah satu indikatornya adalah munculnya dukungan peningkatan modernisasi
alutsista TNI tanpa melihat sejarah kelam pelanggaran HAM di era-era sebelumnya.
(Modernisasi Alutsista TNI Adalah Sebuah Keniscayaan, 2015). Hal ini menandakan TNI
mampu memperbaiki dan masih memiliki ruang dalam peta kekuatan strategis negara di era
reformasi.
Sedangkan pada ranah ideologi, perubahan di era reformasi membawa implikasi-
implikasi yang cukup fundamental yaitu terjadi kebangkitan kembali dan berkembangnya
primordialisme. Formalisasi Pancasila sebagai ideologi negara diterima meskipun gagasan
wawasan kebangsaan mengalami degradasi baik pada tataran kognisi maupun praksis.
Degradasi ini diyakini menjadi salah satu faktor mengapa begitu mudahnya dan
berkembangnya gerakan dan aksi radikalisme tumbuh di era reformasi.

Pengaruh terhadap relasi negara dan masyarakat sipil dari perubahan dapat dilihat
ketika pemerintah tidak lagi dalam posisi super-ordinat vis-à-vis masyarakat sipil. Namun
yang terjadi adalah akses politik organisasi masyarakat sipil menjadi semakin berkembang
dan meluas. Politisasi terhadap masyarakat sipil tidak lagi dapat dilakukan dengan kooptasi
negara atau hegemoni. Dan yang terakhir adalah penegakkan hukum dan rule of law masih
merupakan peroalan struktural yang paling lemah dalam era reformasi sehingga menjadi
penghalang bagi proses konsolidasi demokrasi.

2.5 Faktor yang mempengaruhi pergeseran kekuatan politik


10
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan birokrasi publik di Tanah Air tidak bisa
dilepaskan dari setting sistem politik di Tanah Air. Dalam konteks ini, dinamika politik yang
berkembang selama periode Indonesia Transisi melahirkan tuntutan dan peran baru birokrasi
publik dalam pengelolaan negara. Disamping itu, tekanan dunia eksternal yang semakin
mengedepankan nilai competitiveness merupakan faktor lain yang mendorong perlunya
pemikiran bersama yang berkaitan dengan strategi reformasi dan transformasi birokrasi
publik. Diluar faktor ini, penulis mencatat beberapa faktor penting yang mendorong kenapa
reposisi birokrasi dalam proses politik di tingkat lokal perlu segera direalisasikan.

Faktor pertama adalah kompleksitas dinamika masyarakat lokal. Termasuk dalam


kategori ini adalah pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, munculnya masalah-
masalah sosialpolitik yang lahir sebagai akibat alokasi sumber daya ekonomi-politik yang
bias, dan pelbagai pengaruh yang berasal dari lingkungan eksternal masyarakat lokal.
Perubahan, baik dilihat dari dimensi kualitas dan kuantitas, dalam setiap variabel di atas akan
sangat mempengaruhi derajat perubahan birokrasi lokal. Sebagai contoh, pemekaran propinsi
dan kabupaten/kota secara logis menimbulkan tuntutan kepada pemerintah pusat untuk
menyediakan dana yang cukup besar untuk membantu daerah-daerah yang baru saja
dimekarkan. Disamping itu, masalah-masalah teknis seperti relokasi pegawai, penyediaan
gedung/kantor pemerintahan, dan fasilitas umum yang bersifat vital harus juga dipenuhi.
Perubahan ini jelas mendesak birokrasi untuk melakukan reposisi peran dan fungsi mereka.

Faktor kedua adalah perubahan paradigma pengelolaan negara dari government-


oriented ke governance-oriented. Selama ini birokrasi publik diasumsikan memiliki otoritas
tunggal terhadap masalah-masalah publik. Birokrasi publik seolah-olah berdiri di atas
masyarakat. Sementara aktor-aktor lain yang ada di masyarakat dianggap tidak memiliki
dimensi ke-publik-kan dan hanya mengedepankan kepentingan kelompok masing-masing.
Padahal realitas sosial-politik mengungkapkan bahwa birokrasi publik tidak selamanya
profesional dalam menangani masalahmasalah yang muncul dalam masyarakat. Kendati
birokrasi merupakan perpanjangan tangan lembaga-lembaga politik yang merepresentasikan
`suara rakyat' tetapi birokrasi memendam persoalan-persoalan krusial yang menggerogoti
kualitas kelembagaan mereka.

BAB 3

11
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

kekuatan adalah kemampuan yang bersifat fisik untuk merealisasikan dan


menggunakan (enforcing) kekuasaan yang dimiliki atau yang dipersepsikan dimiliki baik oleh
individu maupun kelompok. (Pfeffer, Jeffrey, 1992). Sementara itu yang dimaksud dengan
kekuasaan adalah kapasitas seseorang dan/atau kelompok untuk mengakibatkan orang atau
pihak lain melakukan apa yang dikehendaki. Kekuasaan berisi pengaruh yang bersifat
memaksa dan selalu terkait dengan relasi-relasi, jejaring (networks) dan komunikasi.
Kekuatan politik strategis dapat didefinisikan sebagai kekuatan individu dan/atau kelompok
yang nyata dan mampu merealisasikan kekuasaan yang dimilikinya dalam relasi-relasi,
jejaring, dan komunikasi politik yang bersifat strategis di dalam suatu masyarakat atau
negara. (Op.cit. Pfeffer). Kekuatan ini dapat mewujud dalam bentuk aktor-aktor politik yang
memainkan peranan dalam kehidupan politik, dimana aktor-aktor ini terdiri dari pribadi-
pribadi yang hendak mempengaruhi proses pengambilam keputusan politik. Dari sini
kekuatan politik dianggap sebagai lembaga atau organisasi ataupun bentuk lain yang
bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam sistem politik.
(Budiarjo, Miriam, 2002).
Secara teoritis birokrasi adalah alat kekuasaan untuk menjalankan keputusan-
keputusan politik, namun dalam prakteknya birokrasi telah menjadi kekuatan politik yang
potensial yang dapat merobohkan kekuasaan. Birokrasi juga merupakan alat politik untuk
mengatur dan mewujudkan agenda-agenda politik, sifat kekuasaan aparat birokrasi
sebenarnya bukan tanpa kendali tetapi tetap dibatasi oleh perangkat kendali dari luar dan dari
dalam. Birokrasi juga dapat dibedakan dengan dua tipe, yaitu tipe birokrasi klasik dan
birokrasi perilaku.
Tampaknya dari berbagai segi pemerintahan ada keyakinan, bahwa tak ada satu cara
yang baku, tak ada cara yang terbaik ke arah pemerintah yang baik keculi birokrasi dan
politik mempunyai inovasi-inovasi baru untuk membentuk pemerintah yang lebih baik.
Birokrasi dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah dan pembangunan bangsa, dengan
sifat dan lingkup pekerjaannya, menguasai aspek-aspek yang sangat luas dan strategis.
Birokrasi menguasai akses-akses sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek serta
menguasai akses pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak lain. Birokrasi juga
memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan berbagai
kebijakan publik, serta dalam evaluasi kinerjanya. Dalam posisi yang strategis seperti itu,
adalah logis apabila setiap perkembangan politik, selalu terdapat upaya menarik birokrasi
pada area permainan politik. Birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan,
ataupun memperkuat kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak pemegang kekuasaan. Pada
prakteknya, upaya menarik gerbong birokrasi ke dalam politik dan kekuasaan sudah terlihat
sejak lama, yakni sejak negeri ini berdiri. Sejak awal kemerdekaan, birokrasi telah menjadi
objek dan alat politik. Mulai dari era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an, era Orde Baru,
hingga masa Reformasi, bahkan ketika masa Orde Baru, birokrasi benarbenar menjelma

12
sebagai kekuatan politik penguasa yang bisa diarahkan tergantung ke mana pemimpin
menginginkannya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Fakhruddin, 2012. MODEL HUBUNGAN ANTARA BIROKRASI DAN POLITISI DI


INDONESIA. Review Politik, 02(2).284-285
Firnas,2016. POLITIK DAN BIROKRASI: MASALAH NETRALITAS BIROKRASI DI
INDONESIA ERA REFORMAS. Review Politik, 06(1).164
Alamsyah,2003. POLITIK DAN BIROKRASI: Reposisi Peran Birokrasi Publik dalam
Proses Politik Lokal. 2(1). 59-60
Hikam,2015. PERKEMBANGAN DAN PEMETAAN KEKUATAN POLITIK STRATEGIS
INDONESIA DARI ERA KEMERDEKAAN SAMPAI ERA REFORMASI. Ilmu dan
Budaya, 39(47).114-126

14

Anda mungkin juga menyukai