Pendahuluan
Negara sebagai aktor utama dalam kajian hubungan internasional melakukan berbagai upaya
untuk menjamin keberlangsungan hidup dan mencapai kepentingan nasionalnya.
Pembentukan aliansi merupakan salah satu cara negara untuk meningkatkan kekuatan agar
dapat bertahan hidup dalam sistem internasional yang anarki. Keneth Waltz berpendapat
bahwa dalam struktur internasional yang anarki, aliansi terbentuk karena ketidakseimbangan
kekuatan antara aktor-aktor utama dalam sistem internasional atau balance of power (Waltz,
1979 ). Sedangkan bagi Stephen M Walt, aliansi terbentuk karena adanya persepsi ancaman
yang tidak seimbang dari dua negara atau disebut balance of threat. Negara akan memilih
untuk beraliansi dengan negara yang dapat memberikan jaminan keamanan (diistilahkan
dengan balancing) atau beraliansi dengan negara yang justru memiliki potensi ancaman yang
lebih besar (diistilahkan dengan bandwagoning) (Walt, 1987).
Secara empirik global, bentuk aliansi dipengaruhi oleh waktu dan tempat. Ketika
Perang Dingin bentuk aliansi yang dibangun adalah pakta pertahanan. Setelah Perang Dingin,
Amerika Serikat sebagai pemenang muncul menjadi satu-satunya super power dalam sistem
internasional, hal ini setidaknya berjalan selama dua dekade. Dekade pertama merupakan
transisi kemenangan Amerika Serikat dari Uni Soviet yang membuat struktur internasional
bergerak dari bipolar menuju unipolar. Pada dekade kedua atau pada awal abad 21, Amerika
Serikat membentuk aliansi global melawan terorisme lewat kebijakan global war on terror
setelah kejadian 9/11, yang mana terorisme menjadi musuhnya. (Krauthammer, 2002: 5-8).
Namun demikian pada abad 21, pengaruh Amerika Serikat sebagai satu-satunya super power
dalam hubungan internasional terlihat menurun diikuti dengan penurunan kepercayan negara-
negara yang selama ini menjadi sekutunya. Hal ini diperparah dengan meningkatnya pengaruh
Tiongkok di kawasan Asia.
Dalam merespon hal ini Pemerintahan Obama mengeluarkan kebijakan Pivot to ASIA.
Kebijakan tersebut diejawantahkan kepada beberapa area penting, salah satunya memperkuat
keamanan bilateral dengan para aliansinya (Bush, 2012). Salah satu aliansi Amerika Serikat
1
yang cukup lama di Asia adalah Filipina. Aliansi antara Amerika Serikat dan Filipina
mengalami dinamika penguatan dan pelemahan.
Pada tahun 1947 Amerika dan Filipina menandatangani Military Base Agreement.
Dalam perjanjian tersebut Filipina mengizinkan Amerika Serikat untuk membangun
pangkalan militer di Filipina selama 99 tahun dan juga ada klausul bahwa tentara kedua
negara saling bekerja sama untuk kepentingan kedua negara (United States Library of
Congress, 1947). Adanya pangkalan militer Amerika Serikat di Filipina sangat
menguntungkan Amerika Serikat dalam mencegah pengaruh Uni Soviet di Asia Tenggara.
Pada tahun 1951 Amerika Serikat dan Filipina menandatangani perjanjian Mutual Defense
Treaty (MDT). Salah satu kesepakatannya adalah kedua negara akan saling membantu ketika
menghadapi ancaman bersama dari pihak lain. Namun, Pada tahun 1987 gerakan anti
Amerika Serikat semakin tinggi dan hasilnya pada tahun 1991 pemungutan suara oleh senator
Filipina memutuskan tidak akan memperpanjang pangkalan militer Amerika Serikat di
Filipina (Shen, 1991).
Pasca penutupan pangkalan militer AS di Filipina tidak terjadi kerja sama militer yang
signifikan antara kedua negara tersebut. Menurut Castro kerjasama militer yang kuat kembali
terjadi ketika di akhir 90-an PRC muncul sebagai kekuatan baru dan pada 2001 Amerika
Serikat mengalami kejadian 9/11. Pada tahun 1998, Amerika Serikat dan Filipina sepakat
untuk memperkuat kembali kesepakatan yang dulu pernah disepakati bersama yaitu MDT,
maka lahirlah perjanjian Visiting Forces Agreement (VFA). Perjanjian ini membuat pasukan
Amerika dapat kembali diletakan secara temporer di Filipina (Castro, 2004: 971-972). Setelah
kejadian teror di Amerika Serikat fokus kerjasama keduanya adalah pada gerakan global war
on terrror. Pada tahun 2003 aliansi keduanya semakin menguat ketika Filipina ditunjuk
sebagai non-member allies di NATO.
Pada November tahun 2011 Filipina semakin mendekat ke Amerika Serikat dengan
keduanya menandatangani perjanjian Manila untuk merayakan 60 tahun Mutual Defense
Treaty. Keduanya bersepakat untuk meningkatkan kerjasama terutama di bidang keamanan
dan pertahanan (U.S. Depertmen of State, 2011). Pada tahun 2014 Amerika dan Filipina
menyepakati perjanjian enhanced defense cooperation Agreement (EDCA), yang framewok
nya hampir sama dengan MDT. Dalam preambul perjaniannya dinyatakan bahwa kedua
negara tersebut berkomitmen bahwa akan menyelesaikan konflik atau sengketa dengan cara
damai sesuai dengan mekanisme PBB. Pada tahun 2013 Filipina membawa sengketa Laut
2
Cina Selatan ke Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) di Den Haag. Kemudian pada tahun 2016,
PCA memutuskan kemenangan Filipina.
Akan tetapi, terjadi perubahan sikap Filipina terhadap Amerika Serikat setelah Duterte
terpilih menjadi Presiden pada pertengahan tahun 2016. Duterte mengeluarkan pernyataan-
pernyataan keras terhadap Amerika Serikat dan lebih memilih mendekat kepada Tiongkok.
Pada tanggal 14 September 2016, Duterte menunjukan ketidaksukaannya kepada Amerika
Serikat dengan berkata “Saya tidak suka orang orang Amerika Serikat. Itu adalah prinsip bagi
saya” (The Asian Wall Street Journal Asia, 2016). Banyak pernyataan-pernyataan Duterte
yang menunjukan ketidak sukaannya kepada Amerika Serikat.
3
tahun ini juga kongres mengambil keputusan untuk meninjau kembali bantuan militer yang
diberikan kepada Filipina (drugpolicy.org, 2017). Pada tahun 2018 Bilateral Strategic
Dialogue yang dilakukan setiap tahunnya untuk memperkuat aliansi militer antara Amerika
Serikat dan Filpina tidak dilakukan oleh Amerika Serikat (Amador, 2019:1-2). Selanjutnya,
pada tahun 2019 terjadi insiden kapal nelayan Filipina ditabrak kapal Tiongkok. Duterte
meminta Amerika Serikat untuk mengaktifkan pasal dalam MDT dan menyerang kapal
Tiongkok. Namun Amerika Serikat tidak melihat insiden tersebut sebagai penyerangan yang
mampu mengaktifkan pasal dalam MDT (Lockie, 2019).
Jika dilihat dari sisi historis pragmatik, Amerika Serikat dan Filipina memiliki catatan
yang baik dalam menghadapi ancaman aktor lain. Idealnya Amerika Serikat dan Filipina
memperkuat aliansi agar dapat mengalahkan Tiongkok. Di sisi lain, Amerika Serikat yang
selama ini sudah merawat aliansinya dengan Filipina harusnya tidak membiarkan Filipina
mendekat kepada Tiongkok dengan meningkatkan kerja sama militernya. Namun, Amerika
Serikat malah menurunkan kerja sama militernya. Asumsi idealnya Amerika Serikat dan
Filipina meningkatkan kekuatan aliansi mereka untuk membendung meningkatnya kekuatan
Tiongkok di kawasan agar tercipta balance of power seperti teori Waltz (Waltz,1979 ). Atau,
jika Tiongkok dilihat sebagai sumber ancaman, harusnya keduanya meningkatkan kekuatan
aliansi agar terjadi keseimbangan ancaman atau balance of threat (Walt, 1987).
Asumsi kondisi ideal, baik dari sisi pragmatik maupun teoretis, harusnya Amerika
Serikat meningkatkan kerja sama militernya dengan Filipina di tengah meningkatnya
kekuatan Tiongkok. Namun kenyataannya, Amerika Serikat lebih memilih menurunkan kerja
sama militernya dengan Filipina. Maka dari itu pertanyaan penelitian ini adalah “Mengapa
Amerika Serikat menurunkan kerja sama militernya dengan Filipina di tengah
meningkatnya pengaruh politik-keamanan Tiongkok di Asia Tenggara?”
Pembahasan
4
Secara teoretis dalam freedom of action, Amerika Serikat sebagai negara besar
senantiasa membuat celah (loopholes) dalam perjanjian aliansi yang dibuatnya dengan negara
lain. Hal ini dilakukan agar dapat menghindar dari komitmen aliansi yang dapat mengikatnya
dalam konflik (Beckley, 2015: 9). Celah dalam perjanjian tersebut indikatornya adalah
dengan adanya kebiasan dalam perjanjian. Kebiasan tersebut bisa dilihat dari tiga hal, yaitu:
adanya paradoks nilai, multitafsir bahasa, dan ketidakpastian dalam perjanjian. Ketiga hal
tersebut digunakan sebagai indikator menganalisis MDT. MDT merupakan perjanjian aliansi
yang relatif sederhana. Isi dalam MDT hanya meliputi 8 pasal perjanjian. Setiap pasalnya ada
yang memiliki nilai tersendiri dan ada juga yang menjelaskan pasal lainnya, seperti pasal 5
yang menjelaskan pasal 4 dalam isinya (MDT US-Philippine, 1951).
Paradoks nilai dalam MDT membuat perjanjian ini semakin bias. Hal ini bisa terlihat
di beberapa Pasal MDT yang menunjukan adanya paradox nilai yang menciptakan kebiasan.
Contoh paradoks nilainya dalam MDT adalah semangat untuk melawan penyerangan
eksternal secara langsung dan melalui proses konstitusi. Dalam MDT ada bagian di Pasal IV
yang memiliki nilai paradoks“...it would act to meet the common dangers in accordance with
its constitutional processes... ” (MDT US-Philippine, 1951: 2). Di satu sisi, kedua aliansi akan
mengambil tindakan ketika menghadapi ancaman, tetapi di sisi lain tindakan tersebut tidak
bisa langsung diambil karena harus disetujui terlebih dahulu oleh kongres di masing-masing
negara. Menurut Heydarian kondisi ini disebut dengan “temporal automaticity”, kondisi di
mana tidak ada kepastian untuk mengintervensi sebuah kejadian besar. Heydarian juga
melihat bahwa adanya kata “constitutional processes” dapat diartikan bahwa Pemerintahan
Amerika Serikat akan bergantung kepada persetujuan kongres yang mana bisa ditunda, dan
menyulitkan untuk adanya intervensi militer atas nama aliansi dengan Filipina. Hal ini bisa
juga dikarenakan meningkatnya gelombang suara sentimen terhadap perang di Amerika
Serikat (Heydarian, 2019).
5
Treaty, dan perjanjian lainnya tidak memiliki definisi yang jelas dan diinterpretasikan secara
beragam.
HAM merupakan salah satu bagian penting yang senantiasa dipromosikan oleh
kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Pada kebijakan Pivot to Asia salah satu tujuan
Amerika Serikat adalah memajukan demokrasi dan HAM di regional Asia. Menurut Susan
Herman nilai-nilai HAM merupakan nilai fundamental yang secara historis diperjuangkan
Amerika Serikat untuk kemerdekaannya. Dengan kata lain nilai-nilai HAM merupakan nilai
nasional yang mendarah daging dalam diri Amerika Serikat (Herman, 2017: 1-9). Setelah
terpilih menjadi Presiden Filipina, Duterte mengambil kebijakan dalam negeri yang
kontroversial. Duterte mengkampanyekan untuk membunuh para pengedar dan pecandu obat-
obat terlarang di tempat (Guardian staff and agencies, 2016). Hal ini sangat bertentangan
dengan nilai-nilai HAM yang ingin disebarluaskan oleh Presiden Obama di wilayah Asia.
6
Obama menyampaikan kritik terhadap kebijakan Duterte tersebut dengan mengingatkan
Filipina untuk mengatasi permasalahan obat-obat terlarang tersebut dengan baik dan benar
sesuai dengan nilai dan hukum internasional. Karena jika cara penanganannya salah dapat
menyakiti orang tak bersalah (Rappler.com, 2016).
Hubungan kedua negara semakin kurang baik dengan banyaknya korban pelanggaran
HAM dalam kebijakan memerangi obat-obatan terlarang. Tercatat hingga akhir tahun 2016
ada 6,100 orang yang terbunuh akibat dari kebijakan tersebut (Reyes, 2016: 112). Dalam
merespon hal tersebut, kongres Amerika Serikat menghentikan rencana penjualan sekitar
26,000 senapan ke polisi nasional Filipina. Amerika Serikat enggan untuk menyediakan
senjata tersebut menyusul temuan di lapangan terhadap pertempuran mematikan Presiden
Rodrigo Duterte untuk kampanye memerangi obat-obatan terlarang (Favila, 2016).
Penghentian ini tidak membuat Duterte menghentikan kebijakannya.
Pada tahun 2019 pelanggaran HAM masih dilakukan oleh Duterte. Departemen
Negara Amerika Serikat mengeluarkan laporan yang menunjukan bahwa ada dari bulan
September 2018 sampai bulan Juni 2019, dilakukan 30,000 operasi terhadap obat-obatan
terlarang di Filipina. Dari operasi tersebut total ada 600 penduduk sipil yang meninggal (U.S.
Departement of State, 2019). Hal ini memberikan pertimbangan bagi Kongres Amerika
Serikat khususnya untuk memberikan tindakan kepada Filipina. Hal ini bisa dilihat secara
statistik ekspor senjata yang terus menurun dari tahun 2018 ke tahun 2019. Pada tahun 2018
total nilai ekspor senjata yang dikirimkan berada di angka $24 juta dolar, menurun cukup
drastis dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2019 tidak ada total senjata yang dikirimkan.
Jika kerja sama militer ditingkatkan maka Amerika Serikat memiliki potensi kerugian
secara ekonomi, risiko melebarnya konflik, dan dampak terhadap politik internal. Dari sisi
ekonomi Amerika Serikat secara rutin memberikan bantuan program pengontrolan narkotika.
Namun, jika ini terus ditingkatkan dan Duterte masih menjalankan program yang mengancam
kepentingan vital Amerika Serikat, maka Amerika Serikat akan merugi. Kemudian dari sisi
akan melebarnya konflik dan dampak terhadap politik internal yang saling berkaitan. Amerika
Serikat terkenal sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM baik di luar maupun dalam
negeri. Jika bantuan ataupun pengiriman senjata militer ditingkatkan, maka seolah Amerika
Serikat mendukung kebijakan Duterte. Hal ini dapat menciptakan citera kurang baik bagi
Amerika Serikat di luar negeri dan akan banyak kritik di dalam negeri.
7
Kemudian di tinjau dari sisi dampak terhadap balance of power. Di bawah
kepemimpinan Duterte, Filipina menjauh dari Amerika Serikat dan mendekat kepada
Tiongkok. Duterte banyak mengeluarkan pernyataan anti-Amerika Serikat. Pada tahun 2016
Duterte bahkan pernah menyatakan akan memutus kerja sama militer dengan Amerika Serikat
(Hendler, 2018: 236). Di sisi lain Filipina semakin banyak melakukan kerja sama dengan
Tiongkok. Bahkan Duterte banyak menyanjung Tiongkok di berbagai kesempatan. Pada
pertemuan antara kedua negara tehun 2017, Duterte berterimakasih kepada Pemerintahan
Tiongkok dengan berkata “Terimakasih telah mencintai dan membantu kami bertahan hidup”
(Nestor Corrales, 2017). Sanjungan Duterte kepada Tiongkok bahkan disampaikan juga di
pertemuan-pertemuan ASEAN. Salah satunya adalah ketika ASEAN-China 22nd Summit
tahun 2019. Duterte menyatakan bahwa “Hubungan ASEAN-Tiongkok merupakan salah satu
kerja sama yang paling substantif di antara ASEAN dan partner dialognya.” Duterte juga
menyatakan “ Negara-negara ASEAN dengan senang hati menerima dukungan penuh
Tiongkok untuk pengembangan kawasan dalam kerja sama perdagangan, ekonomi dan
maritim (Xinhua, 2019). Hal ini menunjukan betapa besarnya pengaruh Tiongkok terhadap
Filipina.
Sikap Filipina jika ditinjau dari balance of power merepresentasikan aliansi yang tidak
dapat diandalkan (unreliable alliance). Secara teoretis sikap Filipina seperti ini mengancam
vital interest Amerika Serikat (Nuechterlein, 1976). Menurut Stephen M. Walt aliansi yang
dapat diandalkan (reliable) merupakan hal penting dalam balance of power. Cara untuk
membuat aliansi dapat diandalkan tidak hanya terkait memberikan bantuan militer. Dengan
kata lain bantuan militer tidak lantas membuat negara aliansi dapat diandalkan. Hal yang
terpenting dalam aliansi menurutnya adalah memiliki kesamaan kepentingan. (Walt, 1985:
30). Jika Amerika Serikat terus menerus meningkatkan bantuan militernya agar Filipina
menjadi aliansi yang dapat diandalkan, maka secara analisis kerugian Amerika Serikat akan
merugi.
Dari sisi ekonomi jelas Amerika Serikat akan mengalami kerugian dengan terus
memberikan bantuan militer, namun tidak mengubah Filipina untuk dapat diandalkan. Dari
sisi risiko konflik, Amerika Serikat harus memikirkan langkah lain dibandingkan
meningkatkan bantuan militernya karena hal ini berdampak kepada balance of power yang
dapat menciptakan konflik. Dari sisi politik internal muncul kritik-kritik terhadap
pemerintahan dikarenakan balance of power. Kritik Kongres Amerika Serikat disampaikan
kepada Presiden Trump di awal pemerintahannya. Hal ini dikarenakan absennya operasi
8
FONOPs di tengah agresifnya Tiongkok di LCS yang mengancam balance of power(Dummit,
2017).
Selanjutnya, ditinjau dari sisi sikap aliansi. Hal ini dilihat dari sikap semua aliansi
Amerika Serikat di Asia. Australia dan Jepang adalah aliansi yang sesuai dengan Amerika
Serikat dari sisi tujuan dan persepsi ancaman. Thailand dan Korea Selatan cenderung
memiliki tujuan yang sama di salah satu kebijakan Amerika Serikat, namun dari sisi ancaman
tidak memiliki persepsi yang sama. Dibandingkan dengan aliansi Amerika Serikat lainnya,
Filipina di bawah kepemimpinan Duterte memilki tujuan yang berbeda dengan Amerika
Serikat. Walaupun sejatinya memilki persepsi ancaman yang sama, namun Filipina memiliki
pendekatan tersendiri dengan mendekat kepada Tiongkok. Dengan seperti ini Filipina menjadi
aliansi yang tidak dapat diandalkan. Dengan masih dominannya aliansi yang bisa diandalkan
oleh Amerika Serikat, maka sikap aliansi-aliansi ini tidak terlalu mengancam kepentingan
vital Amerika Serikat. Hanya Filipina yang terlihat mengancam kepentingan vital Amerika
Serikat dari sisi dampak terhadap balance of power Amerika Serikat di kawasan.
Kemudian dilihat dari variabel portofolio Filipina sebagai aliansi Amerika Serikat.
Kemampuan aliansi dipetakan sebagai portofolio bagi Amerika Serikat untuk menjadi bahan
pertimbangan dalam kerja sama yang dibangun. Portofolio aliansi memperlihatkan kerekatan
aliansi antara Amerika Serikat dan negara aliansinya. Kerekatan aliansi ini sangat penting
untuk mewujdkan keberhasilan dalam aliansi. Menurut Holsti kerekatan aliansi adalah
kemampuan untuk menyetujui tujuan, strategi, taktik dan dapat mengkoordinasikan
aktivitasnya kepada tujuan beraliansi (Holsti, 1974: 16). Untuk dapat melihat kerekatan
aliansi Holsti dan Kim membaginya kepada 2 dimensi, yakni: attitudinal dan behavioural
(Kim, 2011; Holsti, 1974). Kedua dimensi ini dirasa masih kurang untuk dapat melihat
kerekatan aliansi. Untuk menyempurnakannya Kih menambahkan dimensi kapabilitas mililter
(Kih, 2019). Sehingga pada subbab ini ada tiga dimensi yang akan dibahas untuk melihat
kerekatan aliansi Amerika Serikat-Filipina, yakni : kapabilitas militer, sikap, dan tingkah laku
Filipina sebagai aliansi Amerika Serikat.
Filipina secara kapabilitas militer merupakan negara yang terlemah di antara aliansi
Amerika Serikat di Asia. Pada tahun 2003 Filipina memberikan dukungan kepada Amerika
Serikat dengan mengirimkan 60 tenaga medis, 25 petugas kepolisian, 50 prajurit, dan 39
tenaga sosial ke Iraq untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Sebagai imbalannya pada
tahun 2003 ini militer Filipina mendapatkan bantuan onderdil peralatan militer dari Amerika
9
Serikat dengan total mencapai $20 juta dolar (Castro, 2006: 113-114). Namun dukungan
Filipina tersebut tidak bertahan lama karena ada insiden penculikan supir truk Filipina di Irak.
Filipina menarik dukungannya tersebut kembali ke negaranya (Castro, 2009: 407). Secara
historis Filipina sangat ketergantungan dari sisi kapabilitas militer kepada Amerika Serikat.
Untuk mengubah hal tersebut, Duterte mencari alternatif lain agar tidak ketergantungan
dengan Amerika Serikat. Duterte mendekat kepada Tiongkok dan Rusia untuk persenjataan
militer (Talabong, 2018). Sikap Duterte ini malah membuat level kerekatan aliansi antara
kedua negara ini melemah, apalagi Tiongkok dan Rusia merupakan rival bagi Amerika
Serikat.
Selanjutnya, ditinjau dari sisi sikap aliansi. Menurut Kim dalam komponen sikap
aliansi, sangat ditentukan oleh kesamaan tujuan, dan persepsi ancaman (H. W. Kim, 2011:
342-343). Pemerintahan Duterte senantiasa menunjukan sikap anti-Amerika Serikat. Pada
tahun 2016, Duterte melakukan kunjungan kenegaraan ke Tiongkok. Pada saat itu Duterte
meyatakan akan memutuskan kerja sama militer Filipina dengan Amerika Serikat. Pada tahun
2017 Duterte juga mengecam kebijakan Freedom of Navigation Operations (FONOPS)
Amerika Serikat di LCS. Menurut Duterte hal itu bisa menciptakan risiko lebih besar dalam
menciptakan konflik di LCS ( Castro, 2017: 173). Pada tahun 2018 Pemerintahan Duterte
melalui Sekretaris Pertahanan Filipina, Lorenzana, secara terus menerus meminta peninjauan
ulang perjanjian aliansi dengan Amerika Serikat. Bahkan salah satu opsinya adalah mencabut
perjanjian tersebut (Chorn & Sato, 2019: 1). Hal ini menunjukan adanya perbedaan tujuan
antara Amerika Serikat dan Filipina.
Sikap Duterte yang tidak keras dan bahkan mendekat kepada Tiongkok membuat
persepsi ancaman Filipina terhadap Tiongkok melemah. Sedangkan, Amerika Serikat melihat
Tiongkok sebagai ancaman. Hal ini menunjukan adanya ketidakseusaian persepsi ancaman
kedua negara. Sikap seperti ini membuat kerekatan aliansi antara keduanya melemah.
Sehingga ini menjadi pertimbangan Amerika Serikat untuk menurunkan kerja sama
militernya.
Selanjutnya, Tingkah laku (behavioral) aliansi yang juga memiliki peranan penting
dalam menciptakan kerekatan aliansi. Menurut Kim salah satu komponen dalam dimensi
tingkah laku aliansi adalah kesesuaian strategi (strategic compatibility) dalam aliansi (Kim,
2011: 342). Ketidaksesuaian strategi Amerika Serikat dan Filipina bisa dilihat dari beberapa
fenomena. Kampanye Duterte dalam perang melawan obat-obatan terlarang menjadi titik awal
10
ketidaksesuaian strategi Filipina dan Amerika Serikat. Dalam kampanye teresbut banyak
orang terbunuh. Hanya dalam waktu dua bulan, tercatat ada 3,000 orang terbunuh. Hal ini
jelas bertentangan dengan area HAM yang ingin dimajukan oleh Amerika Serikat dalam
Pivot to Asia.
Pada tahun 2017 Duterte mengecam strategi Amerika Serikat di LCS, yaitu Freedom
of Navigation Operations (FONOPs). Menurut Duterte FONOPs bisa menciptakan risiko
lebih besar dalam menciptakan konflik di LCS (Castro, 2017: 173). Delfin Lorenzana juga
mengkritisi FONOPs dengan menyatakan bahwa strategi tersebut tidak menunjukan
keseriusan Amerika Serikat untuk melakukan pencegahan terhadap ambisi Tiongkok untuk
menjadi yang paling unggul di kawasan (Amador, 2019: 1). Ketidaksesuaian strategi Filipina
dengan FONOPs bahkan diimplementasikan dengan tidak diperbolehkannya Amerika Serikat
untuk mengakses pangkalan militer untuk melancarkan FONOPs melawan klaim berlebihan
Tiongkok di LCS (Heydarian, 2017: 578). Kritik dan langkah pemutusan akses pangkalan
militer dari pemerintahan Filipina untuk strategi FONOPs ini menendakan ketidaksesuaian
strategi tersebut dengan strategi Filipina.
Untuk variabel terakhir adalah dual deterrence. Variabel ini dilihat dari sisi kebijakan
Amerika Serikat terhadap Filipina dan Tiongkok terutama di Laut Cina Selatan (LCS).
Menurut Beckley Amerika Serikat akan cenderung bersikap hati-hati dengan menahan
aliansinya untuk tidak bertindak ceroboh dan mencegah negara agresor untuk tidak bersikap
agresif. Sikap kehati-hatian Amerika Serikat ini bertujuan untuk mencegah konflik semakin
besar yang dapat mengakibatkan peperangan. Amerika Serikat akan cenderung untuk menjadi
mediator dalam permasalahan aliansinya dan menciptakan efek deterrence bagi negara
agresor agar tidak bertindak semena-mena (Beckley & Wohlforth, 2015: 20-21).
Setidaknya ada tiga kebijakan Amerika Serikat dalam menjelaskan isu ini, yaitu Pivot
to Asia, Free and Open Indo Pacific (FOIP), dan Freedom of Navigation Operations
(FONOPs). Kebijakan Pivot to Asia memiliki semangat untuk memediasi persoalan yang ada
di LCS. Amerika Serikat menggunakan berbagai langkah yang merepresentasikan semangat
nilai Pivot to Asia yang diusung, yaitu (1) Amerika Serikat menginisiasi perjanjian informal
antara Filipina dan Tiongkok, (2) Amerika Serikat mendorong Filipina untuk menggunakan
jalur hukum/institusi untuk menyelesaikan permasalahan, (3) Amerika Serikat tetap
meningkatkan kerja sama militer untuk meningkatkan kemampuan aliansinya dan
11
menciptakan efek deterrence bagi Tiongkok dengan kehadiran militer Amerika Serikat di
Filipina (Tolentino & Ham, 2015: 12).
Salah satu agenda penting dalam FOIP adalah Laut Cina Selatan. Hal ini dijelaskan
oleh H.R. Mc Master, Penasihat Keamanan Nasional, dan James Mattis, Sekretaris
Pertahanan, bahwa freedom of the seas menjadi agenda dari FOIP yang salah satunya ada di
LCS. Hal ini menunjukan Amerika Serikat ingin LCS menjadi perairan yang aman untuk
dilalui dan digunakan baik oleh Angkatan Laut maupun Kapal komersial (Poling, 2019).
Untuk mengamankan wilayah maritim tersebut Amerika Serikat akan bekerja sama dengan
partner di Indo-Pasifik dalam rangka menjaga kebebasan navigasi dan penggunaan wilayah
perairan yang sah secara hukum. Amerika Serikat akan mendorong negara-negara yang
memiliki klaim di LCS untuk menyelesaikan permasalahan dengan damai, tanpa ada paksaan,
dan sesuai dengan hukum internasional (Department of State, 2019: 23).
Suksesnya implementasi dari FOIP ini juga tergantung kepada aliansi dan partner
Amerika Serikat di kawasan Indo-Pasifik. mendekatnya Filipina kepada Tiongkok menjadi
salah satu penghambat Filipina dapat terlibat secara aktif di FOIP. Menurut Prashanth
Parameswaran salah satu tantangan Amerika Serikat dalam implementasi FOIP adalah adanya
bukti bahwa Filipina di bawah Pemerintahan Duterte tidak dapat membantu di LCS
(Parameswaran, 2018: 4). Filipina yang mendapatkan kemenangan dari PCA memiliki basis
legal yang sah yang menyatakan klaim Tiongkok tidak sesuai dengan hukum internasional.
Namun, Duterte hingga tahun 2019 tidak menggunakan hasil PCA tersebut untuk
menyelesaikan persoalan Filipina dengan Tiongkok (theguardian.com, 2016). Dengan
2
demikian nampaknya agak sulit bagi Amerika Serikat untuk bisa melibatkan Filipina secara
aktif sesuai agenda dalam FOIP. Hal yang sama terjadi dalam kebijakan FONOPs Amerika
Serikat. Bahkan Duterte menutup akses pangkalan yang biasa digunakan untuk FONOPs
(Heydarian, 2018).
Kesimpulan
Berdasarkan temuan yang diperoleh dari hasil analisis melalui freedom of action theory
menunjukkan bahwa Amerika Serikat sebagai negara kuat memiliki kebebasan bertindak
untuk tidak terjerat dalam komitmen aliansi yang merugikan. Komponen loopholes,
sidestepping, diversification, dan dual deterrence dalam teori tersebut menjadi pertimbangan
12
Amerika Serikat dalam mengambil kebijakan untuk menurunkan kerja sama militernya dalam
aliansinya dengan Filipina.
13
Daftar Referensi
Aaron Favila. (2016, November 1). U.S. Halted Sale of Weapons to Philippines Over Duterte’s Deadly Drug
War. Retrieved June 5, 2020, from https://www.nbcnews.com/news/world/u-s-halted-sale-weapons-
philippines-over-duterte-s-deadly-n676221
Adrien Chorn & Monica Michiko Sato. (2019). MARITIME GRAY O ZONE TACTICS : THE ARGUMENT FOR
REVIEWING MUTUAL DEFENSE. 3–9.
Alex Lockie. (2019). Philippines President Calls Up Defense Pact With US Against China. Retrieved June 15,
2020, from http://www.businessinsider.sg/philippines-president-duterte-naval-clash-with-china-2019-7?
r=US&IR=T
Amador, J. (2019). The Philippine-US Alliance in 2019. Asia Pacific Bulletin, (453), 2018–2019.
Beckley, M., & Wohlforth, W. (2015). The Myth of Entangling Alliances. International Security, 39(4), 7–48.
https://doi.org/10.1162/ISEC
Castro, R. C. De. (2004). THE REVITALIZED PHILIPPINE-U.S. SECURITY RELATIONS: A Ghost from the
Cold War or an Alliance for the 21st Century? Asian Survey, 43(6), 971–988.
https://doi.org/10.1525/as.2003.43.6.971
Castro, R. C. De. (2017). The Duterte Administration ’ s appeasement policy on China and the crisis in the
Philippine – US alliance The Duterte Administration ’ s appeasement policy on China and the crisis in the
Philippine – US alliance. Philippine Political Science Journal, 4451, 1–23.
https://doi.org/10.1080/01154451.2017.1412161
CASTRO, R. C. DE. (2009). The US-Philippine Allia An Evolving Hedge agai Emerging China Challenge.
31(3), 399–423. https://doi.org/10.1355/cs31-3b
Corning, G. P. (1990). The Philippine Bases and U. S. Pacific Strategy. Pacific Affairs, 63(1), 6.
https://doi.org/10.2307/2759811
Department of State. (2019). A Free and Open Indo-Pacific: Advancing a Shared Vision. Retrieved from
https://www.state.gov/wp-content/uploads/2019/11/Free-and-Open-Indo-Pacific-4Nov2019.pdf
drugpolicy.org. (2017, May 3). Bipartisan Senate Bill Introduced to Rein in U.S. Support of Philippines’ Drug
War | Drug Policy Alliance. Retrieved July 24, 2020, from
https://www.drugpolicy.org/news/2017/05/bipartisan-senate-bill-introduced-rein-us-support-philippines-
drug-war
Fang, S., Johnson, J. C., & Leeds, B. A. (2014). International Organization Foundation To Concede or to Resist?
The Restraining Effect of Military Alliances. Source: International Organization, 68(4), 775–809.
Retrieved from https://www.jstor.org/stable/43283279
Fernandez, A. M. (1976). The Philippines and the United States today: The forging of new relations. Philippine
Political Science Journal, 3(3), 269–308. https://doi.org/10.1080/01154451.1976.9753929
Galang, M. A. (2019). Manila ’ s National Security Interests And The Philippines-US Mutual Defense Treaty –
Analysis. (March).
Glenn H . Snyder. (1990). Journal of International Affairs Editorial Board ALLIANCE THEORY : A
NEOREALIST FIRST CUT Author ( s ): Glenn H . Snyder Published by : Journal of International Affairs
Editorial Board Stable URL : https://www.jstor.org/stable/24357226 ALLIANCE THEORY : A. 44(1),
103–123. Retrieved from https://www.jstor.org/stable/24357226 ALLIANCE THEORY : A
Gregory B. Poling. (2019, November 13). For Lack of a Strategy: The Free and Open Indo-Pacific - War on the
Rocks. Retrieved June 15, 2020, from https://warontherocks.com/2019/11/for-lack-of-a-strategy-the-free-
14
and-open-indo-pacific/
Guardian staff and agencies. (2016, July 5). Philippines president Rodrigo Duterte urges people to kill drug
addicts | World news | The Guardian. Retrieved June 5, 2020, from
https://www.theguardian.com/world/2016/jul/01/philippines-president-rodrigo-duterte-urges-people-to-
kill-drug-addicts
Haverland, J. B. & M. (2012). Designing Case Studies Explanatory Approaches in Small-N Research. In Journal
of Chemical Information and Modeling (1st editio). https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Hendler, B. (2018). Duterte’s Pivot to China, and Prospects for Settling the South China Sea Disputes. Contexto
Internacional, 40(2), 319–337. https://doi.org/10.1590/s0102-8529.2018400200005
Heydarian, R. J. (2019). US Ambiguity Is Pushing te Philippines Toward China. Retrieved June 2, 2020, from
https://nationalinterest.org/feature/us-ambiguity-pushing-philippines-toward-china-43917
Jared Dummit. (2017, May 12). Water Wars: To FONOP or Not To FONOP? - Lawfare. Retrieved June 17,
2020, from https://www.lawfareblog.com/water-wars-fonop-or-not-fonop
Kih, J. (2019). Capability building and alliance cohesion : comparing the US-Japan and US-Philippines alliances.
Australian Journal of International Affairs, 0(0), 1–22. https://doi.org/10.1080/10357718.2019.1685935
Kim, H. W. (2011). Substantiating the cohesion of the post-cold war US-Japan alliance. Australian Journal of
International Affairs, 65(3), 340–359. https://doi.org/10.1080/10357718.2011.567442
Krause, V., & Singer, D. (1982). Minor Powers , Alliances , And Armed Conflict : 12–19.
Krauthammer, C. (2002). The Unipolar Moment. The National Interest, 70(1), 5–18.
https://doi.org/10.2307/20044692
Lowther, A. B., & Lucius, C. (2013). Identifying America’s vital interests. International Affairs Forum, 4(2),
156–166. https://doi.org/10.1080/23258020.2013.864884
Nestor Corrales. (2017, March 8). Duterte tells China: Thank you for loving us, helping us survive | Global
News. Retrieved June 8, 2020, from https://globalnation.inquirer.net/153188/duterte-tells-china-thank-
loving-us-helping-us-survive
Nuechterlein, D. E. (1976). National interests and foreign policy: A conceptual framework for analysis and
decision-making. British Journal of International Studies, 2(3), 246–266.
https://doi.org/10.1017/S0260210500116729
Parameswaran, P. (2018). ASEAN’s Role in a U.S. Indo-Pacific Strategy. Wilson Center Asia Program,
(September).
Rambo Talabong. (2018, August 16). U.S. official warns PH vs buying Russian equipment. Retrieved June 6,
2020, from https://www.rappler.com/nation/209697-us-defense-randall-schriver-warning-philippines-
buying-equipment-from-russia
Rappler.com. (2016, September 8). Obama to Duterte: Fight crime, terror “the right way.” Retrieved June 5,
2020, from https://www.rappler.com/nation/145619-obama-duterte-crime-war-right-way
Reyes, D. A. (2016). The spectacle of violence in duterte’s “war on drugs.” Journal of Current Southeast Asian
Affairs, 35(3), 111–137. https://doi.org/10.1177/186810341603500306
15
Richard Javad Heydarian. (2018, December 18). Uncertainties Ahead for Philippine-China Relations - Richard
Javad Heydarian - CHINA US Focus. Retrieved June 17, 2020, from
https://www.chinausfocus.com/foreign-policy/uncertainties-ahead-for-philippine-china-relations
Saha, P. (2019). Why the Philippines wants to review the mutual defence treaty with United States. Retrieved
May 23, 2020, from https://www.orfonline.org/expert-speak/why-the-philippines-wants-to-review-the-
mutual-defence-treaty-with-the-united-states-47865/
Security Assistance Monitor. (2019b). Security Aid Pivot Table - Programs by Fiscal Year Pivot Table by
Programs. Retrieved March 14, 2019, from
https://securityassistance.org/data/program/military/Pakistan/2002/2019/all/Global//
SHEN, P. (1991, September). Philippine Senate Votes To Reject U . S . Base. The New York Times. Retrieved
from https://www.nytimes.com/1991/09/16/world/philippine-senate-votes-to-reject-us-base-renewal.html
theguardian.com. (2016, November 23). Philippines to “set aside” South China Sea tribunal ruling to avoid
imposing on Beijing | Philippines | The Guardian. Retrieved June 12, 2020, from
https://www.theguardian.com/world/2016/dec/17/philippines-to-set-aside-south-china-sea-tribunal-ruling-
to-avoid-imposing-on-beijing
Tolentino, E., & Ham, M. (2015). The entrapment of asymmetry : the Philippines between the US and China.
Bandung: Journal of the Global South. https://doi.org/10.1186/s40728-015-0016-8
U.S. Departement of State. (2019). 2019 Country Reports on Human Rights Practices: Philippines (Vol. 12).
Retrieved from https://www.state.gov/reports/2019-country-reports-on-human-rights-practices/philippines/
United States Library of Congress. (1947). “Agreement between the United States of America and the Republic
of the Philippines Concerning Military Bases.” United States and Philipphines.
Walt, S. M. (1985). Alliance Formation and the Balance of World Power. 9(4), 3–43.
Weismann, H. (2017). How Vague Are International Agreements ? Introducing a Method for Systematic
Comparison zur Erlangung des Grades eines Doktors der Philosophie ( Dr . phil ) der Technischen
Universität Darmstadt vorgelegt von Hanne Weismann.
xinhua. (2019, November 3). ASEAN welcomes China’s support on regional development: Philippine president
- Xinhua | English.news.cn. Retrieved June 8, 2020, from
http://www.xinhuanet.com/english/2019-11/03/c_138525705.htm
16