Anda di halaman 1dari 5

I Gst Ayu Agung Rani Aristyaningsih_071711233035 Class A_Week 6

Kekuatan Nasional dalam Hubungan Internasional

Esensi dalam Ilmu Hubungan Internasional saling berkaitan satu sama lain. Negara merupakan suatu entitas
politik yang memiliki kekuatan sebagai unsur penting yang harus ada saat melakukan suatu interaksi dalam
rangka mencapai kepentingan nasional. Sebagian besar interaksi internasional yang terjadi bersifat politis
untuk politik. Dengan demikian, kekuatan nasional telah menjadi bahan perbincangan tokoh hubungan
internasional dalam diskusi mengenai interaksi internasional. Perbincangan mengenai diskusi tentang
peranan kekuasaan dalam hubungan internasional menghasilkan beberapa definisi mengenai kekuatan dalam
hubungan internasional (Baldwin, 2002: 8). Nye (1990: 154) mendefinisikan kekuatan sebagai wilayah,
ukuran ekonomi, kekuatan militer, stabilitas politik, penduduk dan sumber daya alam yang ada pada suatu
negara. Sedangkan menurut Barnett & Duval (2005: 40) konsep realis mengenai kekuatan nasional adalah
kemampuan suatu negara untuk menggunakan sumber daya yang dimiliki agar dapat mempengaruhi negara
lain untuk melakukan apa yang mereka inginkan dalam rangka mewujudkan kepentingan nasionalnya.
Kepentingan nasional sendiri juga sering diartikan sebagai wewenang, pengaruh, control, bujukan, perintah
dan lain sebagainya (Baldwin, 2002: 8).

Pada hakekatnya, kekuatan nasional di dalam hubungan internasional dibagi menjadi dua jenis yaitu Soft
Power dan Hard Power. Kedua power tersebut memiliki perbedaan yang signifikan dalam mempengaruhi
negara lain (Henderson, 1998: 100). Soft Power merupakan kekuatan negara untuk mempengaruhi aktor atau
pihak lain dalam melakukan pendekatan melalui kerjasama yang menguntungkan, diplomasi, dan jalan lain
tanpa adanya kekerasan dalam mencapai kepentingan nasionalnya tanpa adanya paksaan (Nye, 1990: 154).
Contoh dari Soft Power adalah saat perebutan pulau Sipadan dan pulau Ligitan antara Indonesia dan
Malaysia. Indonesia menempuh jalan dengan cara berdiplomasi dengan Malaysia mengenai kepemilikan
pulau tersebut (Karim, 2010). Pada mulanya banyak negara yang dalam melakukan suatu interaksi
internasional menggunakan hard power, dapat dilihat dari adanya konflik konflik yang terjadi selama masa
perang dunia. Namun dengan perkembangan jaman, banyak negara yang mulai mengembangkan soft
powernya dibandingkan hard powernya untuk mewujudkan kepentingan nasional sehingga dalam interaksi
nasional militer bukanlah kekuatan utama (Nye, 1990: 154). Hard Power merupakan kemampuan atau
kekuatan negara untuk mempengaruhi aktor lain dalam mencapai kepentingan nasionalnya melalui
kebijakan vital yang bersifat memaksa dengan menggunakan kekuatan militer dan ekonomi atau kombinasi
dari keduanya (Henderson, 1998: 100). Contohnya adalah sejarah dari Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Negara negara yang terlibat peperangan menggunakan kekuatan mereka di bidang militer untuk mencapai
suatu kekuasaan dan kepentingannya terhadap negara lain. Peperangan tersebut terjadi dikarenakan adanya
keinginan untuk menguasai suatu wilayah dan menjadi penguasa dunia (Schwartz, 1996: 10).
Nossel (2004: 134) berasumsi bila suatu negara hanya menggunakan hard power, maka akan terkesan
menekan dan mengancam dengan kekuatan militer yang dimiliki oleh suatu negara. Sebaliknya, jika hanya
menggunakan soft power saja maka negara tersebut akan dianggap lemah maka ada jenis kepentingan yang
disebut dengan Smart Power. Smart Power merupakan perpaduan dan pengaplikasian aspek soft power dan
hard power, dengan smart power negara tidak hanya mampu mempengaruhi dari segi fisik saja namun,
dapat mempengaruhi negara lain dari segi psikis untuk melakukan interaksi hubungan internasional (Nossel,
2004: 133). Contoh dari smart power adalah kasus 9/11 yang menimpa gedung WTC di Amerika Serikat
dengan soft power dan hard power yang ia miliki yaitu berupa pengaruh beserta kekuatan militernya
mengajak dunia untuk memiliki visi yang sama dalam memerangi terorist yang meresahkan dunia.

Terciptanya kekuatan nasional yang hakiki karena terdapat tiga unsur yang saling terintegrasi satu sama lain
yaitu kekuatan (force), pengaruh (influence), dan kekuasaan (authoritty) (Dugis, 2017). Selain dengan unsur
unsur, untuk menciptakan kekuatan nasional juga memerlukan adanya sumber sumber kekuatan nasional.
Sumber sumber kekuatan nasional adalah potensi yang telah dimiliki suatu negara untuk dikembangkan lalu
dijadikan sebagi tolak ukur dalam melakukan interaksi dalam hubungan internasional. Menurut Dugis
(2017) ada tiga bentuk sumber sumber kekuatan nasional yaitu sosial psikologi (social-psicological) seperti
stabilitas nasional, kepemimpinan negara, dan keinginan politik, alami (natural)  contohnya seperti unsur-
unsur geografis suatu negara, sumber daya alam, dan populasi negara, dan sintesis (synthesis) seperti
kapasitas industri dan militer.

Sumber pertama dalam kekuatan nasional adalah sosial-psikologis meliputi stabilitas nasional,
kepemimpinan negara dan keinginan politik. Holsti (1964: 184) menyatakan bahwa dalam mencapai
stabilitas nasional harus ada kepemimpinan dalam suatu negara dengan pemimpin yang memenuhi kriteria
dan kualitas yang unggul untuk menjalankan hubungan politik dalam mempengaruhi negara lain. Sumber
kedua adalah sumber alami, dengan unsur unsurnya adalah geografis suatu negara, sumber daya alam, dan
populasi negara. Contohnya adalah suatu negara yang berada pada letak wilayah geografis yang strategis
pasti menguntungkan suatu negara, otomatis dengan wilayah yang strategis ini sumber daya alam yang
dimiliki oleh wilayah tersebut melimpah. Sumber daya alam yang melimpah pada wilayah yang strategis
harus dikelola dengan sebaik baiknya oleh populasi yang berkualitas misalkan dalam bidang teknologi, yang
menjadikan populasi sebagai aset besar dalam kekuatan nasional (Dugis, 2017). Sumber terakhir adalah
sumber sintetis yang meliputi kapasitas industri dan militer. Kapasitas industri suatu negara merupakan
kemempuan suatu negara dalam mengolah sumber daya alamnya untuk menjadi sesuatu yang bermanfaat,
atau bahkan dapat mempengaruhi negara lain untuk melakukan hal hal dalam rangka mencapai kepentingan
nasional negara tersebut. Militer dalam suatu negara bertugas mempertahankan keamanan maupun
eksistensi suatu negara dari ancaman negara lain. Contohnya, negara-negara di dunia berlomba-lomba
memperkuat militernya guna mempertahankan kedaulatan wilayahnya hingga melindungi warga negaranya
dari ancaman negara lain (Barnett & Dauval, 2005: 67).
Kekuatan nasional dalam mencapai kepentingan nasionalnya menggunakan empat metode fundamental yaitu
persuasi, penghargaan, hukuman dan paksaan. Persuasi atau ajakan adalah situasi dimana aktor mengartikan
dan menerima respon tanpa memberikan penolakan sehingga negara tersebut mau merubah pikirannya untuk
mengikuti aktor yang mempengaruhi. Contohnya Amerika yang membujuk dan meyakinkan negara lain
mengenai apa yang seharusnya dilakukan negara tersebut. Metode selanjutnya adalah penghargaan yang
berupa bantuan militer, ekonomi, pendidikan dan lainnya yang dapat menunjang negara yang dipengaruhi.
Contohnya, negara dimana aktor A berjanji untuk melakukan dan memberikan penghargaan jika aktor B
melakukan apa yang aktor A minta atau tawarkan. Metode ketiga adalah hukuman, hukuman akan diberikan
ketika suatu negara tidak mau melaksanakan apa yang diinginkan oleh negara yang memberikan hukuman.
Pemberian hukuman dibagi menjadi dua yaitu dengan memberikan perlakuan secara positif dan perlakuan
negatif (Dugis, 2017). Contohnya adalah penutupan penerbangan ke Qatar atas negara Saudi Arabia atas
tuduhan terhadap Qatar yang mendukung teroris dan terlalu dekat dengan iran. Metode terakhir adalah
paksaan yang biasa dipakai apabila tiga metode sebelumnya tidak dapat membantu suatu negara dalam
mempengaruhi negara lain, dengan menggunakan taktik untuk mendominasi negara lain. Contohnya adalah
negara Amerika melancarkan suatu aksi nyata seperti menggerakkan militernya ke negara lain karena
menolak untuk melakukan hal-hal yang diinginkan oleh negara Amerika (Bueno de Mesquita, 2003: 225).

Kekuatan nasional didalam dunia internasional dapat dihitung dengan suatu cara yang diciptakan dan
dikemukakan oleh Ray S. Cline didalam bukunya yang berjudul World Power Trends. Cara
penghitungannya yaitu dengan menjumlahkan populasi dan wilayah, kemampuan militer dan kemampuan
ekonomi lalu dikalikan dengan hasil jumlah dari rencana pasti dan keinginan serta strategi nasional dengan
rumus Pp= (C+E+M) X (S+W). Dimana C merupakan population and territory, E merupakan economic
capability, M merupakan military capability, S merupakan national strategy dan W merupakan will
(Henderson, 1998: 124). Pengukuran atas kekuatan yang dimiliki oleh suatu negara menyebabkan adanya
suatu pengklasifikasian kekuatan nasional menjadi tiga bagian yaitu, super power, middle power dan
regional power. Contoh negara negara yang termasuk dalam super power adalah Amerika, China, dan
Rusia, dikatakan super power karena pengaruh dalam berbagai bidang, karakteristik militer serta
kemampuan berdiplomasi yang kuat. Contoh negara yang termasuk dalam middle power adalah Singapura
dan Saudi Arabia, dikatakan middle power dengan alasan negara tersebut bukanlah negara yang hebat dan
kelebihannya hanya pada SDA, ekonomi dan teknologi namun berpengaruh bagi negara lain. Negara yang
termasuk didalam regional power adalah Indonesia, karena pengaruhnya dalam perkembangan ASEAN.
Negara didalam regional power hanya memiliki pengarauh didalam batas wilayah tertentu (Baldwin, 2002:
16).

Kesimpulan mengenai materi kekuatan nasional yang telah dipaparkan yaitu definisi dari kekuatan nasional
secara garis besar adalah kemampuan suatu negara untuk menggunakan sumber daya yang dimiliki agar
dapat mempengaruhi negara lain untuk melakukan apa yang mereka inginkan dalam rangka mewujudkan
kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional sendiri juga sering diartikan sebagai wewenang, pengaruh,
control, bujukan, perintah dan lain sebagainya. Kekuatan nasional di dalam hubungan internasional dibagi
menjadi dua jenis yaitu Soft Power dan Hard Power. Jika dengan soft power dan hard power dirasa kurang
cukup untuk mempengaruhi negara lain maka ada jenis kepentingan yang disebut dengan Smart Power.
Smart Power merupakan perpaduan dan pengaplikasian dua aspek dari soft power dan hard power. Sumber
dalam kekuatan nasional adalah sosial psikologi (social-psicological) seperti stabilitas nasional,
kepemimpinan negara, dan keinginan politik, alami (natural)   contohnya seperti unsur-unsur geografis suatu
negara, sumber daya alam, dan populasi negara, dan sintesis (synthesis) seperti kapasitas industri dan militer.
Kekuatan nasional dalam mencapai kepentingan nasionalnya menggunakan empat metode fundamental yaitu
persuasi, penghargaan, hukuman dan paksaan. Kekuatan nasional didalam dunia internasional dapat dihitung
dengan suatu cara, cara penghitungannya yaitu dengan dengan menjumlahkan populasi dan wilayah,
kemampuan militer dan kemampuan ekonomi lalu dikalikan dengan hasil jumlah dari rencana pasti dan
keinginan serta strategi nasional dengan rumus Pp= (C+E+M) X (S+W). Dimana C merupakan population
and territory, E merupakan economic capability, M merupakan military capability, S merupakan national
strategy dan W merupakan will. Pengukuran atas kekuatan yang dimiliki oleh suatu negara menyebabkan
adanya suatu pengklasifikasian kekuatan nasional menjadi tiga bagian yaitu, super power, middle power dan
regional power.

REFERENSI:

Baldwin, David A. 2002. “Power and International Relations” in Walter Carlsnaes, Thomas Risse, Beth
Simmons [eds], Handbook of International Relations, SAGE.

Barnett, Michael & Duval, Raymond. 2005. “Power in International Politics” International Organization,
Vol.59, No.1; pp.39-75. Cambridge University Press on behalf of the International Organization
Foundation.

Bueno de Mesquita, Bruce. 2003. “Principles of International Politics, People's Power, Preferences, and
Perception”. QC Press.

Cline, Ray S. 1980. “World Power Trends”. US foreign policy.

Dugis, Vissensio. 2017. Materi disampaikan pada kuliah Ilmu Hubungan Internasional, Departemen HI,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, pada 19 September 2017.

Henderson, Conway W. 1998. International Relations, Conflict and Cooperation at the Turn of the 21st
Century. McGraw-Hill International Editions.

Holsti, K.J. 1964. “The Concept of Power in the Study of International Relations”. Background, Vol.7,
No.4; pp.194. Wiley on behalf of The International Studies Association.
Karim, Muhamad. 2010. Eksistensi Pulau Pulau Kecil di Kawasan Perbatasan Negara. [Jurnal Online].
tersedia dalam http://tataruang.atr-bpn.go.id/Bulletin/upload/data_artikel/TOPIK%20UTAMA
%20EKSISTENSI%20PULAU_pa%20muhammad%20karim-new.pdf [Diakses pada 21
September 2017]

Nossel, Suzanne. 2004. “Smart Power”.  Foreign Affairs, Vol.83, No.2; pp 131-142. Council on Foreign
Relations.

Nye, Joseph S. 1990. “Soft Power”. Foreign Policy, No. 80, Twentieth Anniversary (autumn, 1990), pp.
153-171. Washington: Washingtonpost Newsweek Interactive, LLC.

Schwartz, Barry. 1996. “Memory as a cultural system: Abraham lincoln in world war II” [journal article]
Tersedia dalam American Sociological Association http://www.jstor.org/stable/2096461 [journal
article] Vol. 61, No. 5 pp. 908-927. [Diakses pada 21 September 2017]

Anda mungkin juga menyukai