Kekuatan atau power dalam ilmu Hubungan Internasional adalah elemen utama,
terutama dalam kaca mata realisme, Morgenthau menjelaskan bahwa perilaku
negara pada dasarnya adalah perjuangan untuk memperoleh kekuatan atau struggle
for power (Morgenthau,1948). Dan keinginan untuk mencapai kekuatan inilah yang
mendasari pola perilaku dan interaksi antar manusia, yang menurut Morgenthau
bahwa tujuan kekuatan tadi bisa diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk
terminologi; seperti agama, filosofi, ekonomi atau kondisi sosial yang ideal.
Kekuatan sendiri diambil dari kata kuat yang berarti kemampuan, dan etimologis ini
sama dengan makna Power yaitu kata yang diambil dari bahasa inggris abad
pertengahan dan anglo-perancis (poer,pouer) yang bermakna to be able atau
menjadi bisa/mampu (Merriam Webster dictionary, 2008).
Membangun Perbatasan
Read more
Belum lagi kemampuan yang minim dalam memprediksi apa yang akan terjadi pada
sistem internasional di masa yang akan datang oleh negara-negara tersebut.
Sehingga yang terjadi adalah tiap pemerintah negara-negara tersebut selalu
memberikan usaha-usaha yang berkesinambungan untuk menanamkan
pengaruhnya dalam politik internasional dan usaha-usaha tersebut akan menjadi
sia-sia jika negara tersebut tidak memiliki power yang cukup untuk menanamkan
pengaruhnya di sistem politik internasional.
Sedangkan tujuan utama seorang aktor untuk mempengaruhi aktor yang lain adalah
kepentingan (Michael C. Williams, 2007), dengan kata lain bahwa seorang aktor
memperjuangkan kekuatan (power) terkait korelasi dengan kepentingannya, definisi
kepentingan sendiri adalah seperangkat pemikiran/rencana yang akan digapai dan
akan memberi manfaat baik untuk rakyat maupun menjaga keberlangsungan-
keamanan-kemapanan suatu negara.
Power (kekuatan) menurut Joseph S. Nye Junior dibagi ke dalam beberapa bentuk,
pertama adalah hard power (kekuatan keras). Dan hard power adalah bentuk
langsung dari pendayagunaan kekuatan, baik dengan pola
pendekatan coercive (memaksa) maupun reward (pemberian hadiah) (Joseph S.
Nye, Jr, 2004), pada prinsipnya hard power memiliki karakter yang transaksional dan
perpaduan antara kemampuan organisatoris (manajemen kekuatan dan informasi)
serta Machiavelis (kemampuan untuk mengancam serta membangun koalisi
kemenangan).
Dimana tujuan-tujuan itu antara lain adalah; 1. mengontrol negara dari berbagai
tindak kekerasan (Militer), 2. mengontrol produksi ekonomi, 3. mengontrol sistem
finansial dan kredit, 4. mengontrol dan memiliki pengaruh yang besar pada ilmu
pengetahuan dan komunikasi (Susan Strange, 1987).
Dan pemikiran ini mirip dengan seorang neo-marxist, yaitu Immanuel Wallerstein
bahwa seorang pemimpin harus bisa memaksakan kepentingannya dibidang
ekonomi, politik, militer, diplomasi dan bahkan budaya/pendidikan (William
Wallerstein, 1984).