Anda di halaman 1dari 11

Implementasi Three Faces of Power yang Digunakan Tiongkok untuk Menjadi

Negara Hegemon

Hafidz Zaula Miftah

Pendahuluan
Dewasa ini Tiongkok muncul sebagai kekuatan baru yang cukup diperhitungkan dalam
berbagai sektor perdagangan, ekonomi, diplomasi hingga kekuatan militer. Hal-hal tersebut
membuat Tiongkok mampu bersaing dengan Amerika Serikat, utamanya dalam menjadi
hegemoni dunia, serta menjadi aktor negara yang berpengaruh di kawasan Asia. 1 Tentu saja
untuk menjadi negara hegemon, diperlukan adanya power yang kuat. Oleh karenanya dalam
literature review ini, penulis melakukan review dan studi pustaka berkaitan dengan usaha
Tiongkok untuk menjadi negara hegemon, menggunakan konsep three faces of power yang
dikemukakan oleh ahli Hubungan Internasional Joseph Nye Jr. Adapun terkait dengan ketiga
konsep power tersebut ialah: hard power, soft power, dan smart power.
Dalam literature review ini, penulis akan membaginya dalam beberapa bagian segmen
diantaranya sebagai berikut: pertama terlebih dahulu penulis menjelaskan mengenai teori
power serta pandangan beberapa ahli mengenai teori tersebut, penjabaran mengenai three faces
of power menurut Nye, lalu analisis konsep/teori ke dalam beberapa studi kasus yang dibahas,
dan terakhir kesimpulan akhir mengenai implementasi three faces of power yang digunakan
Tiongkok untuk menjadi negara hegemon. Teknik pengumpulan data yang penulis
implementasikan dalam literature review ini menggunakan beberapa literatur seperti buku,
jurnal bereputasi, artikel ilmiah dan website yang menjadi bahan bacaan dan analisis teoritis.
Sebelum menuju pada studi kasus, terlebih dahulu penulis akan menjalaskan mengenai
konsep/teori yang ada pada literature review ini.

Power
Studi hubungan internasional memiliki berbagai pendekatan yang digunakan sebagai alat
untuk menganalisa suatu isu dalam politik internasional. Salah satu pendekatan atau paradigma

1
Hegemoni dapat dipahami sebagai kemampuan suatu negara untuk memasukkan negara lain ke dalam
pengaruhnya dan kemampuan tersebut bersumber pada kekuatan militer, politik, institusi, ekonomi, dan ideologi
yang dimiliki oleh suatu negara
yang cukup terkenal ialah realisme, terdapat tema struggle for power and security dalam
pendekatan ini, serta menganggap hubungan internasional ditandai dengan anarki.2

Salah satu tokoh realis yakni Hans Morgenthau menyatakan power sebagai “kemampuan
seseorang untuk mengendalikan pikiran dan tindakan orang lain”. Power menjadi alat yang
digunakan negara untuk mencapai kepentingan nasional (national interest). Beliau juga
berpendapat bahwa power merupakan fokus utama dalam studi dan praktik hubungan
internasional.3 Tidaklah mudah untuk mendefinisikan konsep kekuasaan atau power walaupun
kekuasaan merupakan teori, praktik, dan konsep, hal ini diperkuat dengan argumen yang
dikemukakan oleh Robert Gilpin yang menilai bahwa konsep kekuasaan sulit untuk
didefinisikan. Selain itu, istilah power yang merupakan sebuah kata dalam bahasa Inggris, sulit
untuk diartikan ke bahasa Indonesia secara baku, dikarenakan memiliki berbagai makna yang
beragam. Power memiliki berbagai makna, seperti daya paksa atau kekuatan (forces),
kapabilitas (capability), otoritas (authority), pengaruh (influence), kemampuan (abilty), dan
kekuasaan (power). Oleh karenanya hingga saat ini tidak ada kesepakatan tunggal mengenai
definisi dari konsep power dalam studi Hubungan Internasional.4
Joseph Nye menganalogikan power seperti ‘cuaca’, semua orang bergantung padanya
dan membicarakannya, tetapi hanya sedikit yang memahaminya.5 Sejalan dengan penilaian ini,
power saat ini tidak diragukan lagi merupakan salah satu konsep paling sentral dalam ilmu-
ilmu sosial pada umumnya, terkhusus dalam Hubungan Internasional.6 Sama seperti cuaca,
menurut Nye power tampaknya memiliki pengaruh yang besar pada hampir semua aspek
kehidupan manusia. Secara garis besar power diimplementasikan melalui 3 cara yakni
pancingan dan pembayaran (“carrots”), ancaman (tindakan koersif), dan pengaruh atau daya
tarik agar membuat pihak lain mau melakukan apa yang kita inginkan. 7 Cara-cara tersebut
menurut Nye kemudian membentuk penggelompokan power menjadi tiga cara yakni dengan
hard power (paksaan/militer), soft power (daya tarik), serta smart power (kombinasi antara

2
Rendi Prayuda and Rio Sundari, “Diplomasi Dan Power: Sebuah Kajian Analisis,” Journal of Diplomacy and
International Studies 02, no. 1 (2019): 80–93, https://journal.uir.ac.id/index.php/jdis/index.
3
Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin Dan Metodologi (Yogyakarta: LP3ES, 1990).
4
Arry Bainus and Junita Budi Rachman, “Editorial: Kekuasaan Naratif (Narrative Power) Dalam Hubungan
Internasional,” Intermestic: Journal of International Studies 5, no. 1 (2020): 1,
https://doi.org/10.24198/intermestic.v5n1.1.
5
Joseph S Nye Jr, Soft Power: The Means to Success in World Politics, First (New York: Public Affairs, 2004).
6
Hendrik W Ohnesorge, Soft Power: The Forces of Attraction in International Relations (Bonn: Springer
Nature, 2020).
7
Mawaddah Rahmarilla Dhuha, “Soft Power Dalam Hubungan Internasional,” IISAUC, 2019,
https://www.iisauc.org/2019/10/21/soft-power-dalam-hubungan-internasional/.
hard power dan soft power). Pada bagian selanjutnya, penulis akan lebih jauh menjelaskan
mengenai ketiga konsep tersebut.

1) Hard Power
Hard power dapat diartikan sebagai kemampuan yang digunakan negara dengan
melibatkan berbagai cara atau tindakan koersif untuk dapat mencapai tujuan atau kepentingan
nasionalnya. Hard power dapat dikatakan sebagai bentuk kekuatan tertua; ini memiliki
keterkaitan dengan ide sistem internasional yang anarkis, dimana negara-negara tidak
mengakui adanya otoritas yang lebih tinggi sehingga harus fokus pada politik kekuasaan. 8
Dalam politik internasional, penerapan hard power bersifat mengancam, yang
melibatkan penggunaan kekuatan ekonomi dan militer untuk mempengaruhi negara. Oleh
karenanya, negara yang memiliki kemampuan militer dan ekonomi yang kuat dapat
menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut untuk menebar pengaruhnya terhadap negara-
negara yang tidak memiliki kemampuan begitu kuat dalam kedua kapasitas tersebut. Sebagai
contoh, praktik penggunaan hard power biasanya berfokus kepada strategi intervensi militer,
pelarangan perdagangan, maupun diplomasi koersif. Secara historis, hard power dapat diukur
dengan kriteria seperti jumlah populasi, geografi, sumberdaya, kekuatan militer dan kekuatan
ekonomi. Untuk memudahkan para pembaca dalam memahami kriteria-kriteria tersebut,
penulis melampirkan diagram sebagai berikut:

Hard Power
Geography/ Economic
Geography/ Econ4

Population Geography Resource Military Economic


Strenght Strenght

Gambar 1: Kriteria hard power


Sumber: Diolah oleh penulis

8
Aigerim Raimzhanova, “Power in IR: Hard, Soft and Smart,” The Annual Conference on Cultural Diplomacy
2015, no. December (2015): 1–20, http://www.culturaldiplomacy.org/academy/content/pdf/participant-
papers/2015-12_annual/Power-In-Ir-By-Raimzhanova,-A.pdf.
Pada perkembangannya, power bukan hanya sebatas “hard power” saja dimana konsep
tersebut mencakup ekonomi dan militer. Power yang dimiliki suatu negara seharusnya bersifat
atraktif dibanding koersif melalui pendekatan kebijakan luar negeri, ideologi, dan kebudayaan.
Dalam konteks tersebut, power yang dimaksud disebut sebagai “soft power”. Pada halaman
berikut, penulis akan menjelaskan lebih lanjut mengenai soft power.
2) Soft Power
Soft power merupakan kemampuan yang dimiliki aktor negara untuk mempengaruhi
pihak lain untuk mendapatkan hasil atau tujuan yang diinginkan dengan daya tarik. Soft power
meliputi aspek budaya, ideologi, ataupun kebijakan luar negeri suatu negara sehingga sifatnya
cenderung lebih imateriel dibandingkan hard power. Pada dasarnya, soft power menekankan
pada pendekatan instrument nilai dan kebudayaan yang diimplemetasikan untuk menarik
perhatian dan hati masyarakat dan negara lain, bertujuan untuk menggapai national interest
suatu negara. Soft power pertama kali dicetus oleh Joseph Nye.9 Melalui soft power, negara
akan berfokus kepada sikap yang persuasif, atraktif, dan menunjukkan good manner tanpa
menggunakan paksaan atau ancaman.
Nye menilai legitimasi merupakan unsur yang utama dalam soft power, dengan adanya
legitimasi aktor dapat dengan mudah untuk diterima oleh aktor lain. Nye berpendapat akan
lebih mudah untuk membujuk seseorang ke nilai-nilai demokrasi, daripada harus memaksa
mereka menjadi demokratis. Menurut Nye, soft power berperan penting dalam menciptakan
perdamaian.10 Dalam prosesnya, soft power menggunakan istilah aktor-aktor yaitu
“receivers”, dan “referees”. Kedua istilah tersebut berpedoman pada pihak yang menjadi
sumber kredibilitas dan legitimasi soft power dan pihak yang menerima soft power.11 Terdapat
tiga sumber soft power menurut Nye yaitu values (political values, religious values dan social
values), foreign policy (kebijakan luar negeri), dan culture (kebudayaan). Lebih lanjut penulis
melampirkan diagram terkait dengan tiga sumber soft power:

Soft Power
(Nye)

Values Foreign Culture


Policy
9
Ibid
10
Joseph S Nye Jr, Power in the Global Information Age: From Realism to Globalization (London: Routledge,
2004).
11
Ibid
Gambar 2: Sumber soft power
Sumber: Diolah oleh penulis

3) Smart Power
Pada tahun 2003 Nye mengembangkan istilah “smart power” untuk melawan persepsi
yang salah mengenai soft power yang dikatakan dapat mewujudkan kebijakan luar negeri yang
efektif. Smart power ialah kemampuan aktor negara untuk menggabungkan hard power dan
soft power untuk menggapai kepentingan nasional aktor negara.
Smart power memiliki prinsip yaitu terintegrasi, menciptakan sebuah strategi yang
berbasis sumberdaya, serta memiliki instrumen untuk menggapai tujuan yang ingin dicapai.
Nye memberikan contoh bahwa strategi smart power menekankan pada pentingnya aliansi,
kemitraan, kekuatan militer yang kuat, serta institusional di berbagai tingkatan demi
mendukung terciptanya legitimasi dan pengaruh suatu aktor. 12
Strategi smart power memiliki tujuan akhir yang bukan hanya pada kepentingan nasional
saja. Tetapi juga demi meningkatkan dan mempertahankan pengaruh dari negara tersebut.

Hard Power Soft Power

Smart Power

Gambar 3: Diagram smart power


Sumber: Diolah oleh penulis

Asumsi penting dalam hubungan internasional adalah bahwa negara, seperti halnya
individu, memiliki kepentingan untuk mencari cara agar kesejahteraan mereka dapat
meningkat. Cara yang dimaksud ialah dengan mempromosikan kepentingan mereka di arena
politik internasional, yang mungkin berasal dari sumber seperti militer, sosial, ekonomi, atau

12
Richard. L Armitage and Joseph S Nye Jr, “CSIS Commision On Smart Power,” CSIS, 2007, 1–82,
https://carnegieendowment.org/files/csissmartpowerreport.pdf.
diplomatik; bahkan budaya pun bisa berpengaruh ataupun menggabungkan elemen-elemen
tersebut seperti yang ada dalam smart power.13

Three Faces of Power Tiongkok


Studi kasus yang penulis angkat dalam konsep hard power ini ialah kebangkitan ekonomi
dan militer Tiongkok. Selama lebih dari 40 tahun Tiongkok meluncurkan kebijakan reformasi
yang melakukan modernisasi ekonomi serta membuka diri terhadap dunia, kebijakan itu
bernama open door policy yang digagas oleh Deng Xiaoping. Akibat dari kebijakan tersebut,
membuat pertumbuhan ekonomi Tiongkok berkembang dengan cepat sehingga menyediakan
sumber daya untuk membangun hard power, dimana kekuatan militer dan ekonomi yang kuat
berperan penting dalam penerapan hard power. Dengan demikian, Tiongkok memiliki
kapasitas untuk mendorong negara lain untuk bertindak seusai keinginan yang
dikehendakinya.14 Kekayaan baru Tiongkok akibat pertumbuhan ekonomi yang berkembang
pesat, telah menjamin pengejaran program ambisius modernisasi militer, sehingga
pengembangan hard power diharapkan meningkatkan peran Tiongkok sebagai negara
hegemon.
Pada Dekade 1990-an, Tiongkok mulai menyadari terhadap pentingnya hard power,
dengan dua peristiwa yang sangat penting yakni: peristiwa pertama ketika kemenangan
Amerika Serikat dan sekutu yang begitu cepat dan luar biasa atas Irak selama perang Teluk
pertama.15 Belajar dari kemenangan AS di perang Teluk pertama serta mengingat kekuatan
militer dari Amerika Serikat yang paling dominan di dunia, oleh karenanya Tiongkok
menggangap hal tersebut sebagai ancaman dari luar. Ditambah kapal perang milik AS yang
terkadang melewati Selat Taiwan, dimana tindakan ini dianggap oleh Tiongkok sebagai
tindakan provokasi dan dapat mengancam kedaulatan Tiongkok.16 Peristiwa kedua yakni
ketika krisis Selat Taiwan 1996 yang pada saat itu terjadi ketika Tiongkok melakukan uji coba
rudal ke Selat Taiwan menjelang pemilu untuk mengintimidasi pemilih dalam pemilihan

13
Joseph S Nye, S Nye, and Leslie Gelb, “Get Smart: Combining Hard and Smart Power,” Jstor 88, no. 4
(2014): 160–63, http://www.jstor.org/stable/20699631 .
14
Jacques deLisle, “Foreign Policy through Other Means: Hard Power, Soft Power, and China’s Turn to
Political Warfare to Influence the United States,” Orbis 64, no. 2 (2020): 174–206,
https://doi.org/10.1016/j.orbis.2020.02.004.
15
Harlan W Jencks, “Chinese Evaluations Of ‘Desert Storm’: Implications For PRC Security,” Jstor 6, no. 2
(2015): 447–77.
16
Yudono Yanuar, “Kapal AS Lintasi Selat Taiwan, Cina: Sengaja Memprovokasi,” tempo.co, 2022,
https://dunia.tempo.co/read/1565331/kapalas-lintasi-selat-taiwan-cina-sengaja-memprovokasi.
Presiden Taiwan. Hal tersebut dilakukan agar pemilih tidak memilih salah satu calon Presiden
yaitu Lee Teng-Hui yang diyakini berusaha mewujudkan kemerdekaan Taiwan.17

Implementasi dalam hard power Tiongkok yakni keterlibatan militernya di beberapa


negara Afrika. Hal ini bertujuan untuk memajukan kepentingan ekonomi dan strategis Beijing,
khususnya kebijakan Belt and Road Intiative. Pada Tahun 2015, Tiongkok mengesahkan
undang-undang yang mengizinkan penempatan People‘s Liberation Army (PLA) di Luar
Negeri. Kemudian mereka membangun pangkalan militer pertamanya di Djibouti. 18
Keberadaan pangkalan militer Tiongkok di Afrika, membuat penulis menilai bahwa Tiongkok
ingin menebar pengaruh di kawasan ini. Hal tersebut tentu saja sebagai bentuk hegemoni
Tiongkok di kawasan Afrika.
Tiongkok menggunakan strategi soft power dengan memberikan pada penekanan
penggunaan nilai dan sumberdaya institusi. Beijing kemudian mencetuskan enam unsur yang
menjadi sumber dari soft power Tiongkok, yakni relasi diplomatik yang canggih, kerjasama-
kerjasama di berbagai sektor dengan berbagai negara, kemajuan sains-teknologi, penyebaran
budaya, persatuan nasional, serta perilaku terhormat di forum internasional. 19 Implementasi
soft power Tiongkok dapat dilihat dengan berdirinya Confucius Institute di berbagai negara.
Institute ini digunakan Tiongkok sebagai alat diplomasi budayanya, hal ini dikarenakan
Confucius Institute merupakan sebuah lembaga pendidikan bahasa dan budaya Tiongkok.
Confucius Institute dimulai ketika era Deng Xiaoping yang saat itu berkuasa mulai
mengangkat kembali konsep konfusianisme sebagai ideologi alternatif Tiongkok. Pada era
yang sama, pertumbuhan ekonomi yang cepat di Tiongkok dianggap oleh pemerintah sebagai
penerapan dari budaya konfusianisme yang melekat dalam diri masyarakat Tiongkok. 20
Confucius Institute dianggap sebagai soft power Tiongkok dikarenakan menyebarkan nilai-
nilai budaya Tiongkok dalam skala global karena institute tersebut terdapat di berbagai negara.

17
Uji coba tersebut memicu konflik dengan AS, yang membuat AS mengerahkan Carrier Battle Group ke Selat
Taiwan agar Tiongkok mau menghentikan uji coba rudalnya. Dengan pengerahan pasukan ini membuat
Tiongkok mundur, adapun hasil dari pemilihan Presiden Taiwan dimenangkan oleh Lee Teng-Hui.
18
Paul Nantulya, “Chinese Hard Power Supports Its Growing Strategic Interest In Africa,” Africa Center For
Strategic Studies, 2019, https://africacenter.org/spotlight/chinese-hard-power-supports-its-growing-strategic-
interests-in-africa/.
19
Dina Yulianti R. Muhammad Teguh N., “Strategi Soft Power Dalam Ekspansi Ekonomi China Di Timur
Tengah: Studi Kasus Kerjasama China-Iran,” Jurnal Mandala Jurnal Ilmu Hubungan Internasional 1 (2018):
247–65, https://doi.org/10.33822/mjihi.v1i2.432.
20
Fikri Fendi Ferdiansyah, “Faktor Pendorong Perkembangan Confucius Institute Di Amerika Serikat,” no. 1
(2019): 135–66.
Pendapat tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Menteri Pendidikan Tiongkok (2003-
2009) Zhou yang mengatakan Confucius Institute menjadi soft power Tiongkok: 21
“…..it helps Chinese higher education gain international recognition for its
delivery of educational services in the global market and expand Chinese influence
worldwide”.
Strategi smart power yang Tiongkok gunakan dapat dilihat melalui kebijakan One Belt
One Road (OBOR), kebijakan ini dicetus oleh Xi Jinping pada tahun 2013. Kebijakan OBOR
yang kemudian diubah namanya menjadi Belt and Road Initiative (BRI). Dalam kebijakan ini,
Tiongkok membangun infrastruktur di kawasan yang menghubungkan Asia Timur dengan
negara-negara maju di Eropa melalui jalur ekonomi jalur sutra sehingga menjamin konektivitas
di kawasan negara-negara di Asia, Afrika, dan Eropa.22 Penulis memandang bahwa kebijakan
ini merupakan implementasi dari smart power dikarenakan menggabungkan konsep hard
power dan soft power.
Di beberapa negara di Afrika, proyek BRI Tiongkok sebagian besar berfokus pada
proyek infrastruktur besar-besaran. Pemerintah juga mempertimbangkan aspek keamanan dari
proyek tersebut, mengingat kawasan Afrika yang terkadang kurang stabil dan rawan akan
terjadinya konflik. Oleh karenanya, People’s Liberation Army (PLA) membangun fasilitas
militer di negara Djibouti pada tahun 2018. Kehadiran tentara Tiongkok memberi jaminan
keamanan terhadap proyek BRI. Hal ini merupakan implementasi dari hard power karena
menggunakan kekuatan militer demi menggapai tujuan kepentingan nasional dari Tiongkok
(keamanan proyek BRI).23
Pada paragraf sebelumnya dapat diketahui mengenai kebijakan BRI yang menggunakan
elemen hard power dengan melibatkan kekuatan militernya demi keamanan dari proyek BRI.
Kebijakan ini merupakan smart power Tiongkok, selain menggunakan elemen hard power,
juga menggunakan elemen soft power. Pada saat ini soft power telah berkembang hingga
merembet pada hal-hal tangible seperti infrastruktur. Proyek ini menimbulkan pengaruh
Tiongkok sebagai negara terkemuka, sebuah efek dari intangible berupa soft power yang
dihasilkan melalui proyek tangible (infrastruktur).24 Meskipun soft power lebih memiliki
keterkaitan dengan hal-hal seperti budaya, diplomasi, dan hal-hal yang bersifat imateriel, soft

21
Ibid
22
Jeremy Garlick, “The Regional Impacts of China’s Belt and Road Initiative,” Journal of Current Chinese
Affairs 49, no. 1 (2020): 3–13, https://doi.org/10.1177/1868102620968848.
23
Ibid
24
Tangible merujuk pada hal yang nyata dan dapat diamati dan dirasakan secara fisik melalui indikator
pengukuran yang jelas. Sedangkan intangible bersifat abstrak dan tidak dapat dirasakan secara fisik
power bisa berpengaruh terhadap hal substansial seperti ekonomi karena sifatnya yang
berkaitan erat dengan perdagangan internasional.25

Kesimpulan
Pada akhirnya penulis telah merampungkan literature review ini, dan dapat menarik
kesimpulan bahwa kebangkitan Tiongkok, utamanya pada sektor militer dan ekonomi dalam
beberapa dekade terakhir, membuatnya menjadi kekuatan baru yang cukup diperhitungkan.
Dengan menggunakan ketiga konsep/teori power yang telah penulis bahas sebelumnya, serta
berbagai studi kasus yang penulis bahas dalam literature review ini. Mencerminkan bahwa
Tiongkok berusaha untuk menggapai kepentingan nasionalnya serta menebar pengaruh kepada
beberapa negara terutama di kawasan Asia-Pasifik hingga kawasan Afrika. Hal tersebut
membuat Tiongkok dapat bersaing dengan Amerika Serikat dalam memperebutkan pengaruh
dan dominasi dunia. Tidak menutup kemungkinan, kelak dimasa yang akan datang Tiongkok
dapat mengalahkan Amerika Serikat di berbagai sektor termasuk menjadi negara hegemon.

25
Janitra Nuraryani, “Mempelajari Rahasia Soft Power China, Memimpin Dunia Dengan Cara Halus,” Institut
Teknologi Bandung School of Business and Management, 2022,
https://www.sbm.itb.ac.id/id/2022/08/09/mempelajari-rahasia-soft-power-china-memimpin-dunia-dengan-cara-
halus/.
DAFTAR PUSTAKA

Armitage, Richard. L, and Joseph S Nye Jr. “CSIS Commision On Smart Power.” CSIS,
2007, 1–82. https://carnegieendowment.org/files/csissmartpowerreport.pdf.
Bainus, Arry, and Junita Budi Rachman. “Editorial: Kekuasaan Naratif (Narrative Power)
Dalam Hubungan Internasional.” Intermestic: Journal of International Studies 5, no. 1
(2020): 1. https://doi.org/10.24198/intermestic.v5n1.1.
deLisle, Jacques. “Foreign Policy through Other Means: Hard Power, Soft Power, and
China’s Turn to Political Warfare to Influence the United States.” Orbis 64, no. 2
(2020): 174–206. https://doi.org/10.1016/j.orbis.2020.02.004.
Ferdiansyah, Fikri Fendi. “Faktor Pendorong Perkembangan Confucius Institute Di Amerika
Serikat,” no. 1 (2019): 135–66.
Garlick, Jeremy. “The Regional Impacts of China’s Belt and Road Initiative.” Journal of
Current Chinese Affairs 49, no. 1 (2020): 3–13.
https://doi.org/10.1177/1868102620968848.
Jencks, Harlan W. “Chinese Evaluations Of ‘Desert Storm’: Implications For PRC Security.”
Jstor 6, no. 2 (2015): 447–77.
Mas’oed, Mochtar. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin Dan Metodologi. Yogyakarta:
LP3ES, 1990.
Nantulya, Paul. “Chinese Hard Power Supports Its Growing Strategic Interest In Africa.”
Africa Center For Strategic Studies, 2019. https://africacenter.org/spotlight/chinese-
hard-power-supports-its-growing-strategic-interests-in-africa/.
Nuraryani, Janitra. “Mempelajari Rahasia Soft Power China, Memimpin Dunia Dengan Cara
Halus.” Institut Teknologi Bandung School of Business and Management, 2022.
https://www.sbm.itb.ac.id/id/2022/08/09/mempelajari-rahasia-soft-power-china-
memimpin-dunia-dengan-cara-halus/.
Nye, Joseph S, S Nye, and Leslie Gelb. “Get Smart: Combining Hard and Smart Power.”
Jstor 88, no. 4 (2014): 160–63. http://www.jstor.org/stable/20699631 .
Nye Jr, Joseph S. Power in the Global Information Age: From Realism to Globalization.
London: Routledge, 2004.
———. Soft Power: The Means to Success in World Politics. First. New York: Public
Affairs, 2004.
Ohnesorge, Hendrik W. Soft Power: The Forces of Attraction in International Relations.
Bonn: Springer Nature, 2020.
Prayuda, Rendi, and Rio Sundari. “Diplomasi Dan Power: Sebuah Kajian Analisis.” Journal
of Diplomacy and International Studies 02, no. 1 (2019): 80–93.
https://journal.uir.ac.id/index.php/jdis/index.
R. Muhammad Teguh N., Dina Yulianti. “Strategi Soft Power Dalam Ekspansi Ekonomi
China Di Timur Tengah: Studi Kasus Kerjasama China-Iran.” Jurnal Mandala Jurnal
Ilmu Hubungan Internasional 1 (2018): 247–65.
https://doi.org/10.33822/mjihi.v1i2.432.
Rahmarilla Dhuha, Mawaddah. “Soft Power Dalam Hubungan Internasional.” IISAUC, 2019.
https://www.iisauc.org/2019/10/21/soft-power-dalam-hubungan-internasional/.
Raimzhanova, Aigerim. “Power in IR: Hard, Soft and Smart.” The Annual Conference on
Cultural Diplomacy 2015, no. December (2015): 1–20.
http://www.culturaldiplomacy.org/academy/content/pdf/participant-papers/2015-
12_annual/Power-In-Ir-By-Raimzhanova,-A.pdf.
Yanuar, Yudono. “Kapal AS Lintasi Selat Taiwan, Cina: Sengaja Memprovokasi.” tempo.co,
2022. https://dunia.tempo.co/read/1565331/kapalas-lintasi-selat-taiwan-cina-sengaja-
memprovokasi.

Anda mungkin juga menyukai