Anda di halaman 1dari 7

materi masyarakat dan kekuasaan relasi politik.

Definisi Kekuasaan Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengatasi perlawanan dari orang lain
dalam mencapai tujuan, khususnya untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Otoritas adalah
kemungkinan seseorang akan ditaati atas dasar suatu kepercayaan legitimasi haknya untuk
mempengaruhi (Lawang, 1990). Sedangkan paksaan adalah kemampuan untuk menguasai atau
mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu atau kemampuan untuk mengatasi perlawanan
dari orang lain dalam mencapai tujuan melalui cara yang tidak sah. Pandangan tersebut merupakan
gagasan Weber tentang konsep kekuasaan, otoritas dan paksaan. Hubungan kekuasaan,
kewenangan dan paksaan sangat erat. Kekuasaan bersifat netral. Sedangkan kewenangan
merupakan dimensi positif dari kekuasaan, sebaliknya paksaan merupakan dimensi negatif dari
kekuasaan (Damsar, 2010). Kekuasaan menurut Sanderson sebagai kemampuan untuk
mengendalikan perilaku orang lain atau bahkan memadamkan usaha menentangnya. Di balik
kekuasaan terkandung makna adanya ancaman paksaan atau kekuatan konstan jikalau ada perintah
atau keputusan yang tidak dipatuhi secara sukarela. Kekuasaan didukung oleh kemampuan
penggunaan kekerasan (Damsar, 2010). Blau mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan
seseorang atau sekelompok orang untuk memaksakan keinginannya pada yang lain meski dengan
kekuatan penangkal, baik dalam bentuk pengurangan secara tetap ganjaran-ganjaran yang
disediakan maupun dalam bentuk hukuman, keduanya sama bersifat negatif. 7 Kemampuan untuk
memproduk pengaruh melalui kekuatan telah memberikan cara kepadanya untuk menggunakan
sanksi-sanksi yang negatif (Martin, 1993). Terdapat empat istilah yang berhubungan dengan
kekuasaan yaitu kepatuhan, paksaan, otoritas dan pengaruh. Kepatuhan mengacu pada tindakan-
tindakan yang mengesampingkan dirinya sendiri karena sumpah kepada orang lain (Martin, 1993).
Pemaksaan, otoritas dan pengaruh adalah produk dari hubungan ketergantungan yang timpang.
Akan tetapi tindakan yang mengesampingkan diri sendiri bisa pula terjadi kalau ketergantungan
itu seimbang, atau kalau keseimbangan itu diterima oleh para pelaku yang patuh. Kalau
ketergantungan itu seimbang, maka kepatuhan merupakan hasil dari pertukaran (Martin, 1993).

2.2. Pilar Kekuasaan Ketiga dimensi distribusi kekuasaan dapat dikembangkan menjadi pilar dari
setiap dimensi distribusi kekuasaan tersebut. Dimensi politik dari distribusi kekuasaan dengan
pilarnya negara. Dimensi ekonomi dengan pilarnya pasar dan dimensi sosialbudaya dengan
pilarnya masyarakat sipil (Damsar, 2010). Pilar kekuasaan yang berkaitan dengan penelitian ialah
negara dan masyarakat. Robert M. Maclver: negara adalah asosiasi yang menyelenggarkan
penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum
yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa
(Budiardjo, 2008). Masyarakat sipil merupakan masyarakat yang bebas dari ketergantungan
negara dan pasar, taat nilai dan norma yang berlaku. Bebas dari ketergantungan sebagai kebebasan
melakukan aktivitas kemasyarakatan (sosial, budaya, politik dan agama) (Damsar, 2010). 8 Negara
memiliki kekuatan politik melalui intervensi dan masyarakat sipil mempunyai kekuatan sosial
melalui gerakan sosial. Hubungan antara negara dan masyarakat ialah masyarakat sipil diharapkan
mampu mengatasi negara sehingga ia tidak memiliki kekuasaan mutlak, memiliki kekuatan politis
yang dapat mengekang atau mengontrol kekuatan intervensionis negara. Kejatuhan rezim Soeharto
merupakan kekuatan masyarakat sipil yang mampu mengontrol bahkan menjatuhkan penguasa.
Selain itu terdapat hubungan kooptatif dan hegemoni oleh negara terhadap masyarakat sipil.
Negara berhak semaunya mendistribusikan sumber daya finansial dan akomodasi kepada
organisasi yang ada tanpa ada pertanggungjawaban publik dan kontrol dari pihak lain. Hubungan
antara negara dan kekuasaan sama sekali tidak dapat dipisahkan. Negara merupakan lembaga yang
mempunyai kekuasaan tertinggi, dan dengan kekuasaan itu pula negara melakukan pengaturan
terhadap masyarakatnya. Dalam kaitan ini Arief menyatakan bahwa kekuasaan negara yang
sedemikian besar akibat negara merupakan pelembagaan dari kepentingan umum. Sejumlah
teoritisi juga menyatakan bahwa negara berhak serta mempunyai kekuasaan penuh terhadap
masyarakatnya (dalam komentar Lukmantoro: Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan
dan Ideologi).

2.3. Cara Kekuasaan Digunakan Menggunakan kekuasaan dipahami sebagai aktivitas sosial dan
politik untuk memakai kekuasaan. Tujuannya banyak diantaranya memakmurkan bangsa dan
meraih kepentingan pribadi atau kelompok. Cara untuk menggunakan kekuasaan melalui kerja
sama, persaingan dan konflik. 9 Kerja sama merupakan interaksi dari orang-orang yang bekerja
sama untuk mencapai tujuan bersama. Bekerja sama dilakukan karena tidak bisa melakukannya
sendiri atau tujuan lebih mudah dan cepat dicapai dengan kerja sama. Dalam situasi kelangkaan
seperti barang dan jasa termasuk kekuasaan yang diharapkan tidak tersedia cukup maka, hubungan
sosial dan politik yang mungkin terjadi adalah kompetisi atau konflik. Konflik akan muncul jika
sumber-sumber langka tidak diatur bersama. Konflik mencakup usaha untuk menetralkan,
merusak dan mengalahkan lawan. Hasilnya, konflik membuat perpecahan tetapi juga
meningkatkan solidaritas dalam kelompok (Damsar, 2010).

2.4. Distribusi Kekuasaan Sumber-sumber kekuasaan tidak pernah terdistribusikan secara merata
dalam setiap masyarakat atau sistem politik. Hal ini bertolak belakang dengan paham demokrasi
yang memostulatkan kekuasaan berada di setiap diri individu. Untuk memahami hal ini kiranya
perlu kita mendalami logika kekuasaan yang terbangun di dalam masyarakat baik pada negara-
negara yang demokrasinya telah mapan maupun yang tidak (Affandi, file.upi.edu/). Ada tiga
logika kekuasaan untuk memahami hal tersebut. Pertama, bahwa klas yang memerintah jumlahnya
sedikit oleh karena jabatan-jabatan publik yang tersedia pun terbatas. Keterbatasan untuk
memasukan ranah-ranah jabatan publik sangat dimungkinkan oleh karena adanya perbedaan
(kemampuan, keahlian, kapabilitas, kecakapan dan lain-lain) dalam setiap diri manusia.
Perbedaan-perbedaan inilah yang menyebabkan tidak semua individu dapat memiliki kekuasaan
dalam konteks politik. Kedua, pendistribusian kekuasaan yang tidak merekat. Hal ini berkait
dengan hal yang pertama. Di mana ketika ruang-ruang kekuasaan hanya tersedia sedikit maka 10
pendistrubusian kekuasaan akan sangat tergantung pada merit sistem (pada kepemerintahan yang
demokratis) dan kolusi dalam sistem yang tak demokratis. Ketiga, adanya kesamaan nilai politik
penguasa mengenai kekuasaan yakni berusaha untuk mempertahankan dan memperluas
kekuasaan. Ketika penguasa lama berusaha untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan
sudah barang tentu ruang-ruang kekuasaan akan semakin mempersempit kesempatan bagi
masyarakat luas (Affandi, file.upi.edu/). Kelompok yang dominan dalam masyarakat ikut serta
dalam pendistribusian dan pengalokasian sumber-sumber melalui keputusan politik sebagai upaya
menegakkan pelaksanaan keputusan politik. Pemerintah mengalokasikan sumbersumber yang
langka pada beberapa kelompok dan individu, tetapi mengurangi atau tak mengalokasikan sumber-
sumber itu kepada kelompok atau individu yang lain. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah tidak akan pernah menguntungkan semua pihak. Kelompok atau individu
yang mendapatkan keuntungan dari pola distribusi sumber yang ada berupaya keras untuk
mempertahankan struktur yang menguntungkan (Surbakti, 1992).

2.5. Relasi Kekuasaan Kekuasaan dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat dalam ilmu
politik. Dalam politik, terdapat sejumlah konsep yang berkaitan erat dengan kekuasaan, seperti
pengaruh, persuasi, manipulasi, koersi, force dan kewenangan. Kekuasaan politik dirumuskan
sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya,
kelompoknya atau masyarakat umum. Politik 11 dipahami sebagai kekuasaan, kewenangan,
kehidupan publik, pemerintahan, negara, resolusi konflik, kebijakan, pengambilan keputusan dan
pembagian (Surbakti, 1992). Kekuasaan mencakup hubungan sosial antar manusia. Kekuasaan
dalam suatu hubungan sangat tergantung pada penyebaran ketergantungan dan ketersediaan
jalanjalan pelepasan diri tertentu. Jika tingkat ketidakseimbangan dalam ketergantungan itu besar
dan pelepasan dirinya mudah maka, kepatuhan mungkin akan lebih didasarkan pada paksaan.
Kalau ketidakseimbangan dalam ketergantungan itu besar, dan kemungkinan pelepasan diri kecil
maka, hubungan itu mungkin akan lebih didasarkan pada keotoritasan: pihak yang dikuasai pasti
akan menyerahkan dirinya untuk kepentingan harga diri, sementara pihak yang menguasai sendiri
menggunakan keotoritasan secara mudah dalam memperoleh kepatuhan ketimbang ia
menggunakan paksaan (Martin, 1993). Ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan.
Pertama bilamana orang melihat politik pada dasarnya sebagai arena pertarungan atau medan
pertempuran. Kekuasaan memainkan peranan sebagai biang konflik dan alat untuk menindas.
Duverger menyebut ini sebagai aspek antagonisme dari kekuasaan. Memegang posisi kekuasaan
memberikan seseorang keuntungan yang sangat besar. Pergumulan politik mempunyai motif yang
sama seperti persaingan ekonomi. Keduaduanya adalah bentuk dari struggle for life, yang secara
mendasar menempatkan satu spesies melawan yang lain. Tafsiran kedua menganggap bahwa
politik sebagai suatu usaha untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan melindungi
kemakmuran umum dan kepentingan umum dari tekanan dan tuntutan kelompokkelompok
kepentingan yang khusus. Di sini kekuasaan memainkan peranan integrative, memihak dan
melindungi kepentingan bersama vis-à-vis kepentingan kelompok. Sifat politik atau kekuasaan
yang seperti itu diumpamakan oleh Duverger 12 sebagai Dewa Janus yang mempunyai dua muka
yang menghadap ke arah berlawanan (Duverger, 1972). Kekuasaan menurut Foucault mesti
dipandang sebagai relasi-relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan yang mempunyai ruang
lingkup strategis. Kekuasaan menurut Foucault bukan mekanisme dominasi sebagai bentuk
kekuasaan terhadap yang lain dalam relasi yang mendominasi dengan yang didominasi atau yang
powerful dengan powerless. Dengan demikian, kekuasaan mesti dipahami sebagai bentuk relasi
kekuatan yang imanen dalam ruang dimana kekuasaan itu beroperasi. Kekuasaan mesti dipahami
sebagai sesuatu yang melanggengkan relasi kekuatan itu yang membentuk rantai atau sistem dari
relasi itu atau justru yang mengisolasi mereka dari yang lain dari suatu relasi kekuatan (Mudhoffir,
2013). Oleh karena itu, kekuasaan merupakan strategi di mana relasi kekuatan adalah efeknya.
Persoalan kekuasaan bukanlah persoalan pemilikan, dalam konteks siapa menguasai siapa atau
siapa yang powerful sementara yang lain powerless. Kekuasaan itu tersebar, berada di mana-mana
(omnipresent), imanen terdapat dalam setiap relasi sosial. Hal ini karena kekuasaan selalu
diproduksi dalam setiap momen dan setiap relasi. Kekuasaan itu ada di mana-mana bukan karena
ia merengkuh segala sesuatu melainkan karena ia datang dari manapun (Mudhoffir, 2013).
Kekuasaan, menurut pandangan Foucault, tidaklah dimiliki (possessed) melainkan
bermain/dimainkan terus-menerus. Sehingga kebijakan yang selalu dikaitkan dengan pemerintah
itu (instrument of governance) boleh dibilang sebagai alat atau instrumen, yang dipakai pemerintah
dalam memainkan kekuasaan yang terdapat di dalam relasi-relasi antara pemerintah dan individu-
individu. Namun, sebaliknya juga, para individu pun dapat memainkan kekuasaan untuk
mempengaruhi (kalau sanggup) kebijakan-kebijakan pemerintah (Zuska, 2005). 13 Acapkali
negara menjadi lembaga yang sangat otonom serta telah mengabaikan berbagai kebutuhan
masyarakat. Hubungan negara dengan masyarakat tidak selalu harmonis dan saling mengisi
melainkan, antara negara dan masyarakat berdiri dalam posisi yang saling berlawanan. Relasi yang
tercipta adalah keinginan untuk saling menundukkan. Karena, negara tidak lagi menjadi
“kendaraan” bagi masyarakat untuk mencapai proses progresivitas sejarah pada titik kemuliaan.
Namun, justru sebagai lembaga kekuasaan yang menciptakan relasi-relasi konfliktual (dalam
komentar Lukmantoro: Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi).

2.6. The Power Cube The Power Cube diperkenalkan oleh John Gaventa seorang Proffesor dari
IDS (Institute of Development Studies) Sussex University pada tahun 2006 dalam artikel “Finding
the Spaces for Change : A power Analysis, IDS Bulletin Vol. 37 number 6 November 2006.
Gaventa menjelaskan bahwa telah bermunculannya ruang-ruang baru dan peluang masyarakat
untuk terlibat dalam proses kebijakan, namun pertanyaan kritis juga harus dijawab adalah apakah
hal itu telah benar-benar mewakili jika telah terjadi pergeseran nyata atas kekuasaan, apakah hal
itu benar-benar telah membuka ruang partisipasi, apakah keterlibatan masyarakat tersebut justru
beresiko karena hanya akan melegitimasi status quo atau justru memberi kontribusi pada
“pengucilan” (peminggiran kelompok lain) dan ketidakadilan semata. Lebih jauh lagi Gaventa
menjelaskan beberapa istilah tentang kekuatan (power) dimana (dalam Baruno, 2013) :
1. Kekuatan ‘lebih’ (power over)

mengacu pada kemampuan kuat untuk mempengaruhi tindakan dan menggunakannya untuk
menguasai yang lain. 14

2. Kekuatan ‘untuk’ (Power to) adalah sesuatu yang penting berkaitan dengan kemampuan dan
kapasitas untuk melakukan tindakan, untuk menjalankan hak dan mewujudkan potensi hak,
kewarganegaraan.

3. Kekuatan ‘dalam’ (Power within) sering merujuk bagaimana warga memperoleh rasa identitas
diri, percaya diri dan kesadaran yang merupakan prasyarat untuk melakukan tindakan.

4. Kekuasaan ‘dengan’ (power with) mengacu pada sinergi yang dapat muncul melalui kemitraan
dan kolaborasi dengan kelompok/orang lain, atau melalui proses aksi kolektif dan dalam sebuah
bangunan aliansi. Menurut Gaventa “Power Analisys” dapat digambarkan sebagai sebuah the
Power Cube yang terbagi seperti rubik yang terdiri dari level, ruang partisipasi dan bentuk
kekuatan yang mempengaruhi kebijakan. Gaventa menjelaskan bahwa ruang partisipasi terbagi
menjadi beberapa yaitu ruang tertutup, diundang dan ruang yang direbut atau dibuat. Untuk lebih
jelasnya maka beberapa tulisan berikut ini adalah penjelasan dari istilah ruang tertutup (closed),
diundang (invited) dan ruang yang direbut atau dibuat (claim) (dalam Baruno, 2013). 1. Ruang
Tertutup (Closed) adalah meskipun memfokuskan pada ruang dan tempattempat yang terbuka
membuka kemungkinannya untuk partisipasi, tetapi di sisi lain ternyata masih banyak
pengambilan keputusan yang dilakukan ruang tertutup. Artinya, keputusan dibuat oleh
sekelompok aktor di belakang “pintu tertutup”, tanpa mencoba untuk membuka sebuah proses
yang lebih inklusif. Dalam kacamata pemerintah, cara lain untuk memahami ruang ini adalah
sebagai ruang yang ‘diberikan’ kepada elite (baik itu birokrat, ahli atau wakil-wakil terpilih) yang
membuat keputusan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat, 15 tanpa harus perlu lebih
luas untuk melakukan konsultasi dan adanya partisipasi masyarakat. 2. Ruang di mana masyarakat
“Diundang” (invited) yaitu masyarakat “diundang” sebagai upaya memperluas partisipasi dengan
pemerintah. Ruang “diundang” ini mungkin diatur sedemikian rupa dan kegiatan tersebut
dilembagakan sebagai bentuk konsultasi. 3. Diklaim/menciptakan ruang (claim). Akhirnya, ada
ruang yang diklaim oleh aktor yang tidak kuat tetapi melawan pemegang kekuasaan, atau ruang
tersebut dibuat lebih mandiri oleh mereka. Ada yang menyatakan bahwa ‘ruang ketiga’ ini di mana
aktor sosial menolak ruang hegemonik dan menciptakan ruang untuk sendiri (Soja, 1996 seperti
yang disadur oleh Gaventa, 2006). Ruang ini berkisar dari yang diciptakan oleh gerakan sosial dan
forum warga, di mana di ruang ini orang bukan hanya berkumpul tetapi dapat pula untuk berdebat,
berdiskusi dan menolak. Sedangkan bentuk kekuatan yang mempengaruhi kebijakan terbagi
menjadi : 1. Kekuatan yang terlihat (visible power): Pengambilan keputusan yang terlihat. Tingkat
ini meliputi aspek-aspek terlihat dan didefinisikan sebagai kekuasaan politik. Baik itu dalam hal
aturan formal, struktur, pemerintah, lembaga dan prosedur pengambilan keputusan. Strategi yang
menargetkan tingkat ini adalah mencoba untuk mengubah ‘siapa, bagaimana dan apa’ dari
pembuatan kebijakan sehingga proses kebijakan yang terjadi lebih demokratis dan akuntabel, dan
melayani kebutuhan dan hak-hak masyarakat. 2. Kekuatan yang tersembunyi (hidden power):
disetting oleh agenda politik. Orang kuat tertentu dan lembaga menggunakan pengaruhnya untuk
mengendalikan siapa yang mengambil keputusan dan apa yang didapatkan dari sebuah agenda.
Dinamika ini beroperasi pada berbagai tingkatan untuk mengucilkan dan 16 mendevaluasi
representasi dari kelompok yang tidak kuat lainnya. Strategi advokasi pemberdayaan menjadi
fokus pada penguatan organisasi dan gerakan masyarakat miskin agar dapat membangun kekuatan
banyak kolektif dan mencetak aktor pemimpin baru untuk mempengaruhi cara-cara berbentuk
agenda politik dan meningkatkan visibilitas dan legitimasi pada masalah mereka, suara dan
kebutuhan masyarakat.

3. Kekuatan tak terlihat (Invisible Power):

dari tiga dimensi kekuasaan, hal ini yang paling terdalam dan tidak terlihat. Kekuatan tak terlihat
tersebut mampu membentuk psikologis dan ideologis batas partisipasi. Masalah yang berpengaruh
dan isu-isu yang tidak dibicarakan di meja pengambilan keputusan, aktor yang terlibat bukanlah
sebagai pelaku asli. Cara ini mencoba mempengaruhi bagaimana individu berpikir dan menerima
status quo.

Anda mungkin juga menyukai