Anda di halaman 1dari 9

Masyarakat dan Kekuasaan : Relasi Politik

Dosen Pengampu :Dr.Piers Andreas Noak,SH.,M.Si

Kelompok 3

I Putu Satya Ariwinata 1707521061

Gede Angga Pratama Saputra 1707521087

I Gusti Bagus Hery Setiawan 1707521125

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Udayana

2020
2.1 Definisi Kekuasaan Kekuasaan

kemampuan untuk mengatasi perlawanan dari orang lain dalam mencapai tujuan, khususnya
untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Otoritas adalah kemungkinan seseorang akan ditaati
atas dasar suatu kepercayaan legitimasi haknya untuk mempengaruhi (Lawang, 1990).
Sedangkan paksaan adalah kemampuan untuk menguasai atau mempengaruhi orang lain untuk
melakukan sesuatu atau kemampuan untuk mengatasi perlawanan dari orang lain dalam
mencapai tujuan melalui cara yang tidak sah. Pandangan tersebut merupakan gagasan Weber
tentang konsep kekuasaan, otoritas dan paksaan. Hubungan kekuasaan, kewenangan dan paksaan
sangat erat. Kekuasaan bersifat netral. Sedangkan kewenangan merupakan dimensi positif dari
kekuasaan, sebaliknya paksaan merupakan dimensi negatif dari kekuasaan (Damsar, 2010).
Kekuasaan menurut Sanderson sebagai kemampuan untuk mengendalikan perilaku orang lain
atau bahkan memadamkan usaha menentangnya. Di balik kekuasaan terkandung makna adanya
ancaman paksaan atau kekuatan konstan jikalau ada perintah atau keputusan yang tidak dipatuhi
secara sukarela. Kekuasaan didukung oleh kemampuan penggunaan kekerasan (Damsar, 2010).
Blau mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk
memaksakan keinginannya pada yang lain meski dengan kekuatan penangkal, baik dalam bentuk
pengurangan secara tetap ganjaran-ganjaran yang disediakan maupun dalam bentuk hukuman,
keduanya sama bersifat negatif. 7 Kemampuan untuk memproduk pengaruh melalui kekuatan
telah memberikan cara kepadanya untuk menggunakan sanksi-sanksi yang negatif (Martin,
1993). Terdapat empat istilah yang berhubungan dengan kekuasaan yaitu kepatuhan, paksaan,
otoritas dan pengaruh. Kepatuhan mengacu pada tindakan-tindakan yang mengesampingkan
dirinya sendiri karena sumpah kepada orang lain (Martin, 1993). Pemaksaan, otoritas dan
pengaruh adalah produk dari hubungan ketergantungan yang timpang. Akan tetapi tindakan yang
mengesampingkan diri sendiri bisa pula terjadi kalau ketergantungan itu seimbang, atau kalau
keseimbangan itu diterima oleh para pelaku yang patuh. Kalau ketergantungan itu seimbang,
maka kepatuhan merupakan hasil dari pertukaran (Martin, 1993).

2.2. Pilar Kekuasaan

Ketiga dimensi distribusi kekuasaan dapat dikembangkan menjadi pilar dari setiap dimensi
distribusi kekuasaan tersebut. Dimensi politik dari distribusi kekuasaan dengan pilarnya negara.
Dimensi ekonomi dengan pilarnya pasar dan dimensi sosialbudaya dengan pilarnya masyarakat
sipil (Damsar, 2010). Pilar kekuasaan yang berkaitan dengan penelitian ialah negara dan
masyarakat. Robert M. Maclver: negara adalah asosiasi yang menyelenggarkan penertiban di
dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang
diselenggarakan oleh suatu pemerintah untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa
(Budiardjo, 2008). Masyarakat sipil merupakan masyarakat yang bebas dari ketergantungan
negara dan pasar, taat nilai dan norma yang berlaku. Bebas dari ketergantungan sebagai
kebebasan melakukan aktivitas kemasyarakatan (sosial, budaya, politik dan agama) (Damsar,
2010). 8 Negara memiliki kekuatan politik melalui intervensi dan masyarakat sipil mempunyai
kekuatan sosial melalui gerakan sosial. Hubungan antara negara dan masyarakat ialah
masyarakat sipil diharapkan mampu mengatasi negara sehingga ia tidak memiliki kekuasaan
mutlak, memiliki kekuatan politis yang dapat mengekang atau mengontrol kekuatan
intervensionis negara. Kejatuhan rezim Soeharto merupakan kekuatan masyarakat sipil yang
mampu mengontrol bahkan menjatuhkan penguasa. Selain itu terdapat hubungan kooptatif dan
hegemoni oleh negara terhadap masyarakat sipil. Negara berhak semaunya mendistribusikan
sumber daya finansial dan akomodasi kepada organisasi yang ada tanpa ada pertanggungjawaban
publik dan kontrol dari pihak lain. Hubungan antara negara dan kekuasaan sama sekali tidak
dapat dipisahkan. Negara merupakan lembaga yang mempunyai kekuasaan tertinggi, dan dengan
kekuasaan itu pula negara melakukan pengaturan terhadap masyarakatnya. Dalam kaitan ini
Arief menyatakan bahwa kekuasaan negara yang sedemikian besar akibat negara merupakan
pelembagaan dari kepentingan umum. Sejumlah teoritisi juga menyatakan bahwa negara berhak
serta mempunyai kekuasaan penuh terhadap masyarakatnya (dalam komentar Lukmantoro: Arief
Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi).

2.3. Cara Kekuasaan Digunakan

Menggunakan kekuasaan dipahami sebagai aktivitas sosial dan politik untuk memakai
kekuasaan. Tujuannya banyak diantaranya memakmurkan bangsa dan meraih kepentingan
pribadi atau kelompok. Cara untuk menggunakan kekuasaan melalui kerja sama, persaingan dan
konflik. 9 Kerja sama merupakan interaksi dari orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai
tujuan bersama. Bekerja sama dilakukan karena tidak bisa melakukannya sendiri atau tujuan
lebih mudah dan cepat dicapai dengan kerja sama. Dalam situasi kelangkaan seperti barang dan
jasa termasuk kekuasaan yang diharapkan tidak tersedia cukup maka, hubungan sosial dan
politik yang mungkin terjadi adalah kompetisi atau konflik. Konflik akan muncul jika sumber-
sumber langka tidak diatur bersama. Konflik mencakup usaha untuk menetralkan, merusak dan
mengalahkan lawan. Hasilnya, konflik membuat perpecahan tetapi juga meningkatkan solidaritas
dalam kelompok (Damsar, 2010).

2.4. Distribusi Kekuasaan

Sumber-sumber kekuasaan tidak pernah terdistribusikan secara merata dalam setiap masyarakat
atau sistem politik. Hal ini bertolak belakang dengan paham demokrasi yang memostulatkan
kekuasaan berada di setiap diri individu. Untuk memahami hal ini kiranya perlu kita mendalami
logika kekuasaan yang terbangun di dalam masyarakat baik pada negara-negara yang
demokrasinya telah mapan maupun yang tidak (Affandi, file.upi.edu/). Ada tiga logika
kekuasaan untuk memahami hal tersebut. Pertama, bahwa klas yang memerintah jumlahnya
sedikit oleh karena jabatan-jabatan publik yang tersedia pun terbatas. Keterbatasan untuk
memasukan ranah-ranah jabatan publik sangat dimungkinkan oleh karena adanya perbedaan
(kemampuan, keahlian, kapabilitas, kecakapan dan lain-lain) dalam setiap diri manusia.
Perbedaan-perbedaan inilah yang menyebabkan tidak semua individu dapat memiliki kekuasaan
dalam konteks politik. Kedua, pendistribusian kekuasaan yang tidak merekat. Hal ini berkait
dengan hal yang pertama. Di mana ketika ruang-ruang kekuasaan hanya tersedia sedikit maka 10
pendistrubusian kekuasaan akan sangat tergantung pada merit sistem (pada kepemerintahan yang
demokratis) dan kolusi dalam sistem yang tak demokratis. Ketiga, adanya kesamaan nilai politik
penguasa mengenai kekuasaan yakni berusaha untuk mempertahankan dan memperluas
kekuasaan. Ketika penguasa lama berusaha untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan
sudah barang tentu ruang-ruang kekuasaan akan semakin mempersempit kesempatan bagi
masyarakat luas (Affandi, file.upi.edu/). Kelompok yang dominan dalam masyarakat ikut serta
dalam pendistribusian dan pengalokasian sumber-sumber melalui keputusan politik sebagai
upaya menegakkan pelaksanaan keputusan politik. Pemerintah mengalokasikan sumbersumber
yang langka pada beberapa kelompok dan individu, tetapi mengurangi atau tak mengalokasikan
sumber-sumber itu kepada kelompok atau individu yang lain. Oleh karena itu, kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak akan pernah menguntungkan semua pihak.
Kelompok atau individu yang mendapatkan keuntungan dari pola distribusi sumber yang ada
berupaya keras untuk mempertahankan struktur yang menguntungkan (Surbakti, 1992).
2.5. Relasi Kekuasaan

Kekuasaan dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat dalam ilmu politik. Dalam politik,
terdapat sejumlah konsep yang berkaitan erat dengan kekuasaan, seperti pengaruh, persuasi,
manipulasi, koersi, force dan kewenangan. Kekuasaan politik dirumuskan sebagai kemampuan
menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya
atau masyarakat umum. Politik 11 dipahami sebagai kekuasaan, kewenangan, kehidupan publik,
pemerintahan, negara, resolusi konflik, kebijakan, pengambilan keputusan dan pembagian
(Surbakti, 1992). Kekuasaan mencakup hubungan sosial antar manusia. Kekuasaan dalam suatu
hubungan sangat tergantung pada penyebaran ketergantungan dan ketersediaan jalanjalan
pelepasan diri tertentu. Jika tingkat ketidakseimbangan dalam ketergantungan itu besar dan
pelepasan dirinya mudah maka, kepatuhan mungkin akan lebih didasarkan pada paksaan. Kalau
ketidakseimbangan dalam ketergantungan itu besar, dan kemungkinan pelepasan diri kecil maka,
hubungan itu mungkin akan lebih didasarkan pada keotoritasan: pihak yang dikuasai pasti akan
menyerahkan dirinya untuk kepentingan harga diri, sementara pihak yang menguasai sendiri
menggunakan keotoritasan secara mudah dalam memperoleh kepatuhan ketimbang ia
menggunakan paksaan (Martin, 1993).

Ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan. Pertama bilamana orang
melihat politik pada dasarnya sebagai arena pertarungan atau medan pertempuran. Kekuasaan
memainkan peranan sebagai biang konflik dan alat untuk menindas. Duverger menyebut ini
sebagai aspek antagonisme dari kekuasaan. Memegang posisi kekuasaan memberikan seseorang
keuntungan yang sangat besar. Pergumulan politik mempunyai motif yang sama seperti
persaingan ekonomi. Keduaduanya adalah bentuk dari struggle for life, yang secara mendasar
menempatkan satu spesies melawan yang lain. Tafsiran kedua menganggap bahwa politik
sebagai suatu usaha untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan melindungi
kemakmuran umum dan kepentingan umum dari tekanan dan tuntutan kelompokkelompok
kepentingan yang khusus. Di sini kekuasaan memainkan peranan integrative, memihak dan
melindungi kepentingan bersama vis-à-vis kepentingan kelompok. Sifat politik atau kekuasaan
yang seperti itu diumpamakan oleh Duverger 12 sebagai Dewa Janus yang mempunyai dua muka
yang menghadap ke arah berlawanan (Duverger, 1972). Kekuasaan menurut Foucault mesti
dipandang sebagai relasi-relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan yang mempunyai
ruang lingkup strategis. Kekuasaan menurut Foucault bukan mekanisme dominasi sebagai
bentuk kekuasaan terhadap yang lain dalam relasi yang mendominasi dengan yang didominasi
atau yang powerful dengan powerless. Dengan demikian, kekuasaan mesti dipahami sebagai
bentuk relasi kekuatan yang imanen dalam ruang dimana kekuasaan itu beroperasi. Kekuasaan
mesti dipahami sebagai sesuatu yang melanggengkan relasi kekuatan itu yang membentuk rantai
atau sistem dari relasi itu atau justru yang mengisolasi mereka dari yang lain dari suatu relasi
kekuatan (Mudhoffir, 2013). Oleh karena itu, kekuasaan merupakan strategi di mana relasi
kekuatan adalah efeknya. Persoalan kekuasaan bukanlah persoalan pemilikan, dalam konteks
siapa menguasai siapa atau siapa yang powerful sementara yang lain powerless. Kekuasaan itu
tersebar, berada di mana-mana (omnipresent), imanen terdapat dalam setiap relasi sosial. Hal ini
karena kekuasaan selalu diproduksi dalam setiap momen dan setiap relasi. Kekuasaan itu ada di
mana-mana bukan karena ia merengkuh segala sesuatu melainkan karena ia datang dari manapun
(Mudhoffir, 2013).

Kekuasaan, menurut pandangan Foucault, tidaklah dimiliki (possessed) melainkan


bermain/dimainkan terus-menerus. Sehingga kebijakan yang selalu dikaitkan dengan pemerintah
itu (instrument of governance) boleh dibilang sebagai alat atau instrumen, yang dipakai
pemerintah dalam memainkan kekuasaan yang terdapat di dalam relasi-relasi antara pemerintah
dan individu-individu. Namun, sebaliknya juga, para individu pun dapat memainkan kekuasaan
untuk mempengaruhi (kalau sanggup) kebijakan-kebijakan pemerintah (Zuska, 2005). 13
Acapkali negara menjadi lembaga yang sangat otonom serta telah mengabaikan berbagai
kebutuhan masyarakat. Hubungan negara dengan masyarakat tidak selalu harmonis dan saling
mengisi melainkan, antara negara dan masyarakat berdiri dalam posisi yang saling berlawanan.
Relasi yang tercipta adalah keinginan untuk saling menundukkan. Karena, negara tidak lagi
menjadi “kendaraan” bagi masyarakat untuk mencapai proses progresivitas sejarah pada titik
kemuliaan. Namun, justru sebagai lembaga kekuasaan yang menciptakan relasi-relasi konfliktual
(dalam komentar Lukmantoro: Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi).

2.6. The Power Cube

The Power Cube diperkenalkan oleh John Gaventa seorang Proffesor dari IDS (Institute of
Development Studies) Sussex University pada tahun 2006 dalam artikel “Finding the Spaces for
Change : A power Analysis, IDS Bulletin Vol. 37 number 6 November 2006. Gaventa
menjelaskan bahwa telah bermunculannya ruang-ruang baru dan peluang masyarakat untuk
terlibat dalam proses kebijakan, namun pertanyaan kritis juga harus dijawab adalah apakah hal
itu telah benar-benar mewakili jika telah terjadi pergeseran nyata atas kekuasaan, apakah hal itu
benar-benar telah membuka ruang partisipasi, apakah keterlibatan masyarakat tersebut justru
beresiko karena hanya akan melegitimasi status quo atau justru memberi kontribusi pada
“pengucilan” (peminggiran kelompok lain) dan ketidakadilan semata. Lebih jauh lagi Gaventa
menjelaskan beberapa istilah tentang kekuatan (power) dimana (dalam Baruno, 2013) :

1. Kekuatan ‘lebih’ (power over) mengacu pada kemampuan kuat untuk mempengaruhi tindakan
dan menggunakannya untuk menguasai yang lain. 14

2. Kekuatan ‘untuk’ (Power to) adalah sesuatu yang penting berkaitan dengan kemampuan dan
kapasitas untuk melakukan tindakan, untuk menjalankan hak dan mewujudkan potensi hak,
kewarganegaraan.

3. Kekuatan ‘dalam’ (Power within) sering merujuk bagaimana warga memperoleh rasa
identitas diri, percaya diri dan kesadaran yang merupakan prasyarat untuk melakukan tindakan.

4. Kekuasaan ‘dengan’ (power with) mengacu pada sinergi yang dapat muncul melalui
kemitraan dan kolaborasi dengan kelompok/orang lain, atau melalui proses aksi kolektif dan
dalam sebuah bangunan aliansi. Menurut Gaventa “Power Analisys” dapat digambarkan sebagai
sebuah the Power Cube yang terbagi seperti rubik yang terdiri dari level, ruang partisipasi dan
bentuk kekuatan yang mempengaruhi kebijakan. Gaventa menjelaskan bahwa ruang partisipasi
terbagi menjadi beberapa yaitu ruang tertutup, diundang dan ruang yang direbut atau dibuat.
Untuk lebih jelasnya maka beberapa tulisan berikut ini adalah penjelasan dari istilah ruang
tertutup (closed), diundang (invited) dan ruang yang direbut atau dibuat (claim) (dalam Baruno,
2013).

1. Ruang Tertutup (Closed) adalah meskipun memfokuskan pada ruang dan tempattempat yang
terbuka membuka kemungkinannya untuk partisipasi, tetapi di sisi lain ternyata masih banyak
pengambilan keputusan yang dilakukan ruang tertutup. Artinya, keputusan dibuat oleh
sekelompok aktor di belakang “pintu tertutup”, tanpa mencoba untuk membuka sebuah proses
yang lebih inklusif. Dalam kacamata pemerintah, cara lain untuk memahami ruang ini adalah
sebagai ruang yang ‘diberikan’ kepada elite (baik itu birokrat, ahli atau wakil-wakil terpilih)
yang membuat keputusan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat, 15 tanpa harus perlu
lebih luas untuk melakukan konsultasi dan adanya partisipasi masyarakat.

2. Ruang di mana masyarakat “Diundang” (invited) yaitu masyarakat “diundang” sebagai upaya
memperluas partisipasi dengan pemerintah. Ruang “diundang” ini mungkin diatur sedemikian
rupa dan kegiatan tersebut dilembagakan sebagai bentuk konsultasi.

3. Diklaim/menciptakan ruang (claim). Akhirnya, ada ruang yang diklaim oleh aktor yang tidak
kuat tetapi melawan pemegang kekuasaan, atau ruang tersebut dibuat lebih mandiri oleh mereka.
Ada yang menyatakan bahwa ‘ruang ketiga’ ini di mana aktor sosial menolak ruang hegemonik
dan menciptakan ruang untuk sendiri (Soja, 1996 seperti yang disadur oleh Gaventa, 2006).
Ruang ini berkisar dari yang diciptakan oleh gerakan sosial dan forum warga, di mana di ruang
ini orang bukan hanya berkumpul tetapi dapat pula untuk berdebat, berdiskusi dan menolak.
Sedangkan bentuk kekuatan yang mempengaruhi kebijakan terbagi menjadi :

1. Kekuatan yang terlihat (visible power): Pengambilan keputusan yang terlihat. Tingkat ini
meliputi aspek-aspek terlihat dan didefinisikan sebagai kekuasaan politik. Baik itu dalam hal
aturan formal, struktur, pemerintah, lembaga dan prosedur pengambilan keputusan. Strategi yang
menargetkan tingkat ini adalah mencoba untuk mengubah ‘siapa, bagaimana dan apa’ dari
pembuatan kebijakan sehingga proses kebijakan yang terjadi lebih demokratis dan akuntabel, dan
melayani kebutuhan dan hak-hak masyarakat.

2. Kekuatan yang tersembunyi (hidden power): disetting oleh agenda politik. Orang kuat tertentu
dan lembaga menggunakan pengaruhnya untuk mengendalikan siapa yang mengambil keputusan
dan apa yang didapatkan dari sebuah agenda. Dinamika ini beroperasi pada berbagai tingkatan
untuk mengucilkan dan 16 mendevaluasi representasi dari kelompok yang tidak kuat lainnya.
Strategi advokasi pemberdayaan menjadi fokus pada penguatan organisasi dan gerakan
masyarakat miskin agar dapat membangun kekuatan banyak kolektif dan mencetak aktor
pemimpin baru untuk mempengaruhi cara-cara berbentuk agenda politik dan meningkatkan
visibilitas dan legitimasi pada masalah mereka, suara dan kebutuhan masyarakat.

3. Kekuatan tak terlihat (Invisible Power):


dari tiga dimensi kekuasaan, hal ini yang paling terdalam dan tidak terlihat. Kekuatan tak terlihat
tersebut mampu membentuk psikologis dan ideologis batas partisipasi. Masalah yang
berpengaruh dan isu-isu yang tidak dibicarakan di meja pengambilan keputusan, aktor yang
terlibat bukanlah sebagai pelaku asli. Cara ini mencoba mempengaruhi bagaimana individu
berpikir dan menerima status quo.

Anda mungkin juga menyukai