Anda di halaman 1dari 107

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Film merupakan salah satu sebuah karya dari manusia yang begitu sangat
populer dari dulu hingga sekarang, bahkan film sudah ada sejak sebelum Perang
Dunia I, namun kala itu masih menggunakan format hitam putih dan tidak ada
dialog antar tokoh atau disebut silent film. Bahkan film merupakan contoh dari
komunikasi massa, yang dimana film tidak hanya menampilkan sebuah hiburan
(entertain) bahkan film bisa dapat menampilkan sebuah pendidikan (education).
Saat ini sudah banyak film yang dikeluarkan oleh produsen – produsen yang
berurusan dengan film, yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Film
merupakan salah satu komunikasi massa (Mcquail, 2011). Sebuah film hidup dari
bentukan teknologi rekaman gambar dan suara, dan termasuk ada di dalamnya
berbagai unsur kesenian seperti sastra, teater, seni rupa, dan juga musik
(Wikipedia, 2017).

Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Dikatakan sebagai


media komunikasi massa karena merupakan bentuk komunikasi saluran (media)
dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, dalam arti
berjumlah banyak, tersebar dimana – mana, khalayaknya heterogen dan anonym,
dan menimpulkan efek tertentu. Film dan televisi memiliki kemiripan, terutama
sifatnya yang audio visual, tetapi dalam proses penyampaian pada khalayak dan
proses produksinya agak sedikit berbeda (Tan dan Wright, dalam Ardianto &
Erdinaya, 2005:3) (Vera, 2014).

1
Definisi film berbeda di setiap negara; di Perancis ada pembedaan antara
film dan sinema.“Filmis” berarti berhubungan dengan film dan dunia sekitarnya,
misalnya sosial politik dan kebudayaan. Sedangkan di Yunani film dikenal
dengan istilah cinema, yang merupakan singkatan dari cinematograph (nama
kamera dari Lumiere bersaudara). Cinemathographie secara harfiah berarti
cinema (gerak), tho atau phytos adalah cahaya, sedangkan graphie berarti tulisan
atau gambar.Jadi, yang dimaksud cinemathographie adalah melukis gerak dengan
cahaya. Ada juga istilah lain yang berasal dari bahasa Inggris, yaitu movies;
berasal dari kata move, yang berarti gambar bergerak atau gambar hidup (Vera,
2014).

Film gangster atau juga sering disebut “Mafia Film” atau “Mob Film”
merupakan salah satu genre besar yang telah populer sejak lama. Film gangster
umumnya berkisah bagaimana sebuah kelompok kriminal memperbesar
kekuasaan dan memperluas wilayah operasinya. Para gangster beroperasi diluar
sistem hukum dimana mencuri, memeras, hingga membunuh menjadi bagian dari
hidup mereka. Film gangster sering kali melibatkan bos kriminal yang berwatak
amoral, kejam, dan brutal dalam menyingkirkan gangster pesaingnya atau sistem
hukum yang menghalangi mereka. Kekuatan film gangster sering kali tampak
pada kekuatan akting dari para aktornya yang bertampang keras dan dingin.
Rivalitas antar kelompok gangster biasanya memperlihatkan adegan-adegan aksi
kekerasan brutal tidak manusiawi yang penuh darah. Adegan-adegan aksi sadis
dan brutal biasanya ditampilkan secara eksplisit dengan senjata-senjata khas
seperti senapan mesin “tommy gun”, tongkat pemukul, bom mobil, dan lainnya.

Plot film gangster juga kadang melibatkan “kucing-kucingan” antara


pihak gangster dan penegak hukum. Pihak penegak hukum sendiri sering kali
menggunakan cara-cara di luar aturan hukum untuk melawan kelompok gangster.
Film-film gangster biasanya mengambil setting di kota – kota besar yang
berpenduduk sangat padat. Latar cerita sering mengambil tempat di lokasi “gelap”

2
seperti, jalanan, bar, klab malam, rumah judi, tempat prostitusi yang menjadi
tempat favorit berkumpulnya para gangster. Cerita film gangster biasanya tidak
lepas dari bisnis barang ilegal seperti minuman keras, narkotika, senjata api, dan
lainnya.

Meskipun film gangster terdapat unsur kekerasan didalamnya, namun film


gangstser juga terdapat unsur maskulinitas di dalamnya. Salah satu film bertema
gangster yang cukup terkenal dalam dunia perfilman dari tahun 1972 ialah The
Godfather, karya Francis Ford Coppola. Film ini berasal dari novel karya Mario
Puzo, dan mendapatkan Oscar Kategori Skenario Adaptasi Terbaik danFilm
Terbaik tahun 1973. Film tersebut menceritakan kehidupan Mafia bernama Don
Vito Corleone dan memiliki 4 orang anak yang selalu setia kepada ayahnya, mulai
dari Santino “Sonny” Corleone, Alfredo “Fredo” Corleone, Michael Corleone,
Constanzia “Connie” Corleone, serta anak angkat bernama Tom Hagen, namun
dari film tersebut dipusatkan kepada Michael Corleone. Setting film tersebut di
kota New York, Pulau Sicilia, dan California pada era pasca Perang Dunia II
(1945), dimana terpusatkan di Little Italy, New York. Film ini mendapatkan citra
positif dari kritikus, bahkan dalam Metacritic memberi skor 100 (nilai sempurna),
dan menjadikan film ini membuat film terbaik sepanjang masa di sejarah
perfilman dunia. Film ini meskipun mempunyai genre film kriminal khususnya
gangster dan drama, namun film ini mempunyai sikap kekeluargaan yang sangat
melekat didalamnya, serta dalam film tersebut terdapat dominanya pihak laki –
laki ketimbang pihak perempuan adanya sifat kepimpinan layaknya kepala
keluarga, lalu adanya unsur kelaki-laki yang dimana laki – laki jika berkelahi
menggunakan tangan kosong untuk menonjolkan sifat machonya.

Film ini mempunyai durasi sekitar 2 jam 55 menit atau 175 menit dan di
sutradarai oleh Francis Ford Coppola, dan dirilis pada tahun 1972 di Indonesia
hampir sudah memiliki bioskop untuk menayangkan film tersebut. Di Amerika

3
Serikat sendiri memberi rating “R” atau “Restricted” yang dikata lain, film
tersebut hanya diperbolehkan khusus dewasa. (filmratings.com)

Film ini mempunyai unsur ideologi yang terkandung dalamnya, dimana


adanya unsur minoritas kaum perempuan didalamnya, serta dalam film tersebut
menonjolkan dominan sifat kelaki – lakian atau maskulinitas, meskipun dari pihak
perempuan hanya sedikit yang terkandung dalamnya. Serta didalamnya juga
adanya unsur kreatif yang memetingkan dalam film tersebut.

Dari observasi yang dilakukan, film The Godfather tersebut memiliki


adanya dominan laki – laki, sehingga di film tersebut jarang sifat feminisme
ditonjolkan film tersebut. Film ini sangat fenomenal pada era saat itu (1970an)
tetapi film ini sangat diminati oleh pencinta film diseluruh dunia sampai sekarang
sehingga menduduki peringkat 2 dari 250 film terbaik sepanjang masa versi
Internet Movie Database (IMDb) dengan skor 9.2 dari 10. Hal ini dikarenakan
banyak peran laki – laki yang mempunyai peran dari scene awal hingga akhir
didalamnya, sehingga penulis melakukan analisis penelitian deskriptif dengan cara
menganalisis dengan cara semiotika komunikasi yang dikembangkan oleh Charles
Sanders Peirce. Semiotika ini dinilai cocok dengan analisis yang terdapat dari
teori tersebut, sehingga penulis dapat menjabarkan dengan mencocokan teori –
teori maskulinitas dengan disisipkan scene – scene yang terkandung dengan
maskulinitas.

Maskulin atau maskulinitas sendiri berasal dari bahasa Perancis,


masculinine adalah sebuah kata sifat, adjektif yang berarti "kepriaan" atau
menunjukkan sifat laki - laki. Lawan katanya adalah feminin. Istilah ini berbeda
dengan “kejantanan” (yang lawan katanya adalah "kebetinaan"). Dapat dikatakan
maskulin jika: Gagah, kekar, lebih berpikir secara logika daripada perasaan.
Biasanya maskulin kerap dihubungkan dengan gambar pria berotot besar dan

4
macho. Namun maskulin juga dapat diidentifikasikan dengan pria menggunakan
jas (maskulin) supaya terlihat lebih gagah.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka terdapat


identifikasi masalah, yang dapat dirumuskan adalah adanya elemen semiotika
dalam film The Godfather cenderung bersifat seperti adanya sifat dari maskulin
yang ditujukan bahwa laki – laki itu mempunyai tanggung jawab yang besar,
bersifat sayang kepada keluarga, dan masih banyak lagi. Meskipun film The
Godfather adalah film bergenrekriminal dan drama. Visual dalam film tersebut
berperan penting dalam penyampaian pesan, karena pesan dalam film dibentuk
berdasarkan elemen-elemen visualnya. Sedangkan kaitannya dengan semiotika
adalah bahwa segala sesuatu yang dapat diinderai manusia dapat menjadi tanda,
sehingga elemen visual iklan juga dapat menjadi sebuah tanda.Dalam semiotika
Charles Sanders Peirce terdapat pengkajian tingkatan tanda yang menghasilkan
makna – makna berdasarkan relasi tanda, yang dalam sebuah film makna - makna
tersebut merupakan pesan dalam film.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas penulis menyusun sebuah rumusan yaitu

Bagaimana maskulinitas dalam film The Godfather karya Francis Ford


Coppola menggunakan analisis semiotika komunikasi Charles Sanders Peirce?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang peneliti capai dari penelitian ini ialah ingin
mendeskripsikan maskulinitas dalam film The Godfather karya Francis Ford
Coppola menggunakan analisis semiotika komunikasi Charles Sanders Peirce.

5
1.5 Signifikasi Penelitian

1) Akademis

Untuk menjelaskan bahwa film merupakan salah satu komunikasi massa


yang di mana ada unsur budaya, sastra, dan sebagainya. Serta sebagai bahan
referensi untuk mengkaji Ilmu Komunikasi dalam terkait unsur kajian film dengan
menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Peirce.

2) Praktis

Untuk menjelaskan kepada praktisi terutama bagi pembuat film agar


mengetahui adegan mana saja yang mengandung unsur – unsur maskulinitas
dalam konteks Amerika Serikat pada tahun 1940an hingga 1950an.

1.6 Sistematika Penelitian

Untuk memberikan sistematika penelitian yang jelas, maka pada skripsi ini
peneliti mencoba menguraikan isi kajian penelitian. Adapun sistematika penelitian
sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan merupakan pengantar dari skripsi ini terdiri dari beberapa


subbab, yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, signifikasi masalah, dan sistematika penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini peneliti menjelaskan secara rinci mengenai beberapa tinjauan
pustaka atau peneliti terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti. Juga menjelaskan teori yang nantinya akan digunakan
sebagai landasan penelitian. Tidak lupa juga menjelaskan teori yang berdasarkan
dari penelitian dan pendapat ahli teori tersebut.

6
BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab ini peneliti akan menjelaskan tentang metode peneltian yang
akan peneliti gunakan, seperti paradigma penelitian, cara teknik mengumpulkan
dan bagaimana prosedur cara peneliti dalam menganalisis data tersebut.

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti akan menjelaskan tentang penyajian data dan
pembahasan tentang maskulinitas dalam film The Godfather dengan cara
menggunakan analisis semiotika komunikasi Charles Sanders Peirce.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang peneliti akan menjabarkan mengenai
kesimpulan dan juga saran dari penelitian yang sudah peneliti lakukan.

7
8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka (Peneliti Terdahulu)

Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian – penelitian


terdahulu yang sebelumnya yang pernah dilakukan sebagai pembanding dan
kajian refrensi.

Penelitian mengenai Maskulinitas Dalam Film The Godfather (Analisis


Semiotika Komunikasi Charles Sanders Peirce) memiliki beberapa skripsi, tesis
dan jurnal rujukan. Berikut dibawah ini merupakan skripsi rujukanatau penelitian
terdahulu:

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Judul, Penulis, Tahun, Objek Fokus dan Metode


Institusi Penelitian Paradigma Penelitian
Representasi
Maskulinitas Dalam
Iklan Produk
Perawatan Tubuh
Iklan Produk
Untuk Laki – Laki
Perawatan
(Analisis Semiotika
Tubuh Laki – Maskulinitas Analisis
Iklan Clear Men
1 laki (Clear (Paradigma Semiotika
Sampo Versi Rain
Men Sampo Kritis) Roland Barthes
dan L’oreal Men
dan L’Oreal
Expert Versi Matthew
Men Expert)
Fox), (2011) –
Febriyanti,
Universitas Atma
Jaya Yogyakarta

9
Hegemoni
Maskulinitas Dalam
Iklan Minuman Iklan
Berenergi (Analisis Minuman
Semiotika TVC Extra Berenergi Maskulinitas Analisis
2 Joss dan Kuku Bima (Extra Joss (Paradigma Semiotika
Ener-G), (2011) – I dan Kuku Kritis) Roland Barthes
Nyoman Winata, Bima Ener-
Universitas G)
Diponegoro,
Semarang

Maskulinitas Pada
Iklan Televisi
Iklan Produk
(Analisis Semiotik
Khusus Pria:
Iklan Produk Khusus Maskulinitas
Extra Joss, Analisis
Pria: Extra Joss, (Paradigma
3 Surya Pro Semiotika
Surya Pro Mild, dan Critical
Mild, dan Roland Barthes
Vaseline Men contrutionism)
Vaseline Men
Moisturiser), (2012) –
Moisturiser
Rosalina, Universitas
Indonesia, Depok
Representasi
Maskulinitas Dalam
Film Legend No. 17 Analisis
Karya Nikolai Film Legend Semiotika
Maskulinitas
Lebedev: Sebuah No. 17 Karya Roland Barthes
4 (Paradigma
Kajian Semiotika, Nikolai dan Semiotika
Deskriptif)
(2014) – Anniesa Lebedev Charles Sanders
Fithiriana, Peirce
Universitas
Indonesia, Depok
Maskulinitas Dalam
Film The Godfather
(Analisis Semiotika Film The
Analisis
Komunikasi Charles Godfather Maskulinitas
Semiotika
5 Sanders Peirce), Karya (Paradigma
Charles Sanders
(2017) – Felix Francis Ford Konstruktivisme)
Peirce
Kencana, Universitas Coppola
Pembangunan Jaya,
Tangerang Selatan

10
Tabel 2.1 Menjabarkan peneliti terdahulu yang fokus penelitian sejenis dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan. Sumber: Dokumen Peneliti

Dari hasil beberapa jurnal, skripsi dan tesis rujukan maka hasil yang
pertama ialah mengenai penelitian dengan judul Representasi Maskulinitas Dalam
Iklan Produk Perawatan Tubuh Untuk Laki – Laki (Analisis Semiotika Iklan Clear
Men Sampo Versi Rain dan L’oreal Men Expert Versi Matthew Fox), karya
Febriyanti tahun 2011. Penelitian ini merepresentasikan

maskulinitas yang mengukuhkan ideologi patriarki. Hampir dalam setiap adegan,


maskulinitas direpresentasikan melalui kekuatan laki - laki, perlindungan laki -
laki terhadap perempuan, penempatan laki - laki di ranah publik,kesuksesan dan
kesejahteraan. Ada tiga mitos maskulinitas dalam ideologi patriarki yang sering
muncul dalam iklan Clear Men Sampo dan L’Oreal Men Expert yakni:

(1) No sissy stuff, di mana laki - laki tidak boleh tampil feminin dan laki -
laki sangat dianjurkan untuk tidak mengurusi hal yang berkaitan dengan
femininitas,

(2) Be a Big Wheel, maskulinitas juga diukur dari kekuasaan atau kekuatan
yang dimiliki, tingkat kesuksesan, tingkat kesejahteraan, dan status yang dimiliki,

(3) Give ‘em Hell, mengacu pada sikap dan aura laki - laki yang berani dan
agresif, dimana setiap laki - laki maskulin berani menambil resiko.

Lalu dalam penelitian kedua dengan judul Hegemoni Maskulinitas Dalam


Iklan Minuman Berenergi (Analisis Semiotika TVC Extra Joss dan Kuku Bima
Ener-G), karya I Nyoman Winata tahun 2011. Penggunaan image - image
simbolik dan bahasa - bahasa dalam kedua iklan tersebut sangatlah hegemoni
maskulin. Iklan Kuku Bima Ener-G maupun Extra Joss memanfaatkan kuatnya
ideologi patriarki yang terdapat dalam masyarakat mereproduksi dan

11
menyebarkannya melalui media massa. Maskulinitas di representasikan melalui
proses mitologisasi,dimana maskulinitas adalah kesempurnaan manusia sehingga
menjadi kekuatan yang dominan diatas kekuatan lainnya yakni femininitas.

Dalam penelitian ketiga berdasarkan tesis yang berjudul Maskulinitas Pada


Iklan Televisi (Analisis Semiotik Iklan Produk Khusus Pria: Extra Joss, Surya Pro
Mild, dan Vaseline Men Moisturiser), karya Rosalina tahun 2011. Penelitian ini
menemukan bahwa iklan yang dibuat oleh produsen dengan melanggengkan
ideologi patriarki di Indonesia supaya industri tetap berjalan sesuai dengan
kepentingan kapitalis.Sehingga iklan bukan sekedar mengemas produk, tetapi juga
bagaimana para produsen menggunakan maskulinitas sebagai komoditas bagi
produk mereka.

Dengan demikian penelitian yang berjudul Representasi Maskulinitas


Dalam Film Legend No. 17 Karya Nikolai Lebedev: Sebuah Kajian Semiotika,
karya Anniesa Fithiriana tahun 2014, dapat disimpulkan bahwa film Legend No.
17 karya sutradara Nikolai Lebedev ini telah memberikan gambaran mengenai
bentuk-bentuk maskulinitas, sesuai dengan konsep stereotipe maskulinitas yang
berkaitan erat dan tidak dapat dilepaskan dari budaya patriarki.

Sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan ialah mengenai


Maskulinitas Dalam Film The Godfather (Analisis Semiotika Komunikasi Charles
Sanders Peirce) memiliki perbedaan antara Peneliti dengan peneliti lainnya adalah
adanya perbedaan dari paradigma penelitian atau pendekatan penelitian. Dalam
hal ini Peneliti menggunakan teori konstruktivisme dan peneliti lain menggunakan
teori kritis dan teori deskriptif. Dari kebanyakan peneliti terdahulu hanya
membahas dalam iklan yang mengandung maskulinitas, dan dari film hanya satu
peneliti. Oleh karena itu Peneliti ingin mengembangkan fokus penelitian
maskulinitas dalam dunia film, dan menggunakan metode penelitian dengan cara

12
analisis semiotika yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce dan
menggunakan metode penelitian kualitatif.

Lalu dalam film The Godfather karya sutradara Francis Ford Coppola
tersebut memilki peran penting laki – laki dalam hal kekeluargaan, dimana adanya
di scene – scene film tersebut laki – laki mempunyai hal yang dingin untuk
mengambil keputusan dalam hal ini menunjukan sifat maskulinitas. Hal ini terjadi
dalam budaya Indonesia yang memiliki sistem budaya patriarki, sehingga dalam
kekeluargaan laki – laki mempunyai dominan lebih tinggi dari pada perempuan.

2.2 Komunikasi Massa

Menurut kodratnya manusia sebagai mahluk sosial (Zoon politicon) atau


makhluk bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal dan pikiran
yang berkembang serta dapat dikembangkan.Dalam hubungannya dengan
manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia
lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakkan
dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu
bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia sebagai makhluk individu maupun
makhluk sosial, memiliki dorongan ingin tahu, ingin maju dan berkembang, salah
satu sarananya adalah komunikasi.

Komunikasi menurut James A.F.Stoner yang dikutip oleh A.W. Widjaja,


menyebutkan bahwa komunikasi adalah: “Proses di mana seseorang berusaha
memberikan pengertian dengan cara pemindahan pesan”. (Widjaja, 1993:8).

Pendapat John R. Schemerhorn cs yang dikutip oleh A.W. Widjaja,


menyatakan bahwa komunikasi itu dapat diartikan sebagai: “Proses antar pribadi
dalam mengirim dan menerima simbol-simbol yang berarti bagi kepentingan
mereka“. (Widjaja, 1993 : 8).

13
Lalu ilmu komunikasi menurut Berger dan Chaffe yang dikutip Wiryanto,
menyebutkan bahwa ilmu komunikasi adalah: “Ilmu komunikasi itu mencari
untuk memahamu mengenai produksi, pemrosesan dan efek dari symbol serta
sistem signal, dengan mengembangkan pengujian teori-teori menurut hukum
generalisasi guna menjelaskan fenomena yang berhubungan dengan produksi,
pemrosesan dan efeknya.” (Wiryanto, 2004)

Komunikasi massa menurut Richard West dan Lynn H. Turner adalah


“Komunikasi kepada khalayak luas dengan menggunakan media massa”. Lalu
apa itu media massa? “Media massa adalah sebuah saluran – saluran atau cara
pengiriman bagi pesan – pesan dengan menggunakan massa”. (West & Turner,
2008).

Dennis McQuail mengatakan bahwa komunikator dalam komunikasi


massa bukanlah satu orang melainkan sebuah organisasi formal. Komunikasi
massa menciptakan pengaruh secara luas dalam waktu singkat kepada banyak
orang serentak (Denis McQuail, 2011:32).

Proses komunikasi massa ada dua model proses komunikasi massa


tersebut yaitu

a. Linear Process: komunikasi massa merupakan sebuah proses produksi


dan penyampaian pesan kepada khalayak massa yang berlangsung satu arah atau
linear. Contohnya ialah membaca koran.

b. Cultural Process: audiens berperan serta aktif dalam menafsirkan pesan


mereka dapat memilah pesan, bahkan menolak pesan dari media massa yang tidak
sesuai dengan keyakinan mereka atau disebut juga selective exposure yaitu
dimana individu selalu mencari pesan yang memiliki hubungan dengan
keyakinan, kepercayaan, nilai, budaya, dan minat mereka.

14
2.3 Media Massa

Media massa adalah “komunikasi dengan menggunakan sarana


atau peralatan yang dapat menjangkau massa sebanyak-banyaknya dan area yang
seluas- luasnya”.

Dennis McQuail menyatakan “Komunikasi massa tak akan lepas dari


massa, karena dalam komunikasi massa, penyampaian pesannya adalah melalui
media.” (McQuail 2005:3) Media massa merupakan sumber kekuatan alat kontrol,
manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai
pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.

Ada berbagai jenis media massa, seperti:

a. Media Cetak (Printed Media): Surat kabar, Tabloid, Majalah.

b. Media Elektronik (Electronic Media): Radio, Televisi, Film/Video

c. Media Siber (Cyber Media) atau disebut juga Media Baru (New
Media): Website, Portal Berita, Blog, Media Sosial.

2.4 Film

Media film tidak lepas dari perkembangan dari era elektronik yang dimana
baru pertama kali dalam pertemuan teknologi telegraf pada tahun 1840. Banyak
kontribusi telegraf untuk komunikasi seperti:

a. Membedakan komunikasi dari transportasi. Membuat berbagai macam


pesan dapat diterima secara langsung tanpa harus bergantung pada moda
transportasi lain.

b. Telegraf, bersamaan dengan berkembangnya surat kabar mulai merubah


informasi menjadi komoditas.

15
c. Telegraf memudahkan kalangan militer, bisnis dan para pemimpin
politik untuk berkoordinasi dengan pihak –pihak terkait, terlebih lagi setelah
adanya instalasi kabel transatlantic pada tahun 1860-an

d. Telegraf merupakan awal mula dari perkembangan teknologi


komunikasi, yang mengawali penemuan radio, mesin faksimili, dan telepon.

Pertama kali dikembangkan oleh Marconi pada tahun 1896, radio mulai
berkembang menjadi sebuah bisnis yang sangat menguntungkan terutama pada
tahun 1920. Pada saat itu radio menjadi satu media bagi masyarakat yang
menyediakan berbagai berita dan hiburan, sehingga banyak produsen yang mulai
memasang iklan mereka di radio. Pada abad ke 20, industri perfilman mulai
berkembang. Masyarakat terutama di Amerika memiliki alternatif hiburan.
Munculnya film dan radio merupakan pertanda awal kebangkitan era informasi.
Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie (pelesetan untuk frasa
moving picture, ‘gambar bergerak’). Film, secara kolektif, sering disebut
‘sinema’. Gambar hidup adalah bentuk seni, bentuk symbol - simbol dari hiburan,
dan juga bisnis. Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk
fantasi dan simbol palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. Pengertian film
berdasarkan Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman pada
Bab 1 Pasal 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan film adalah karya seni budaya
yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat
berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat
dipertunjukan. (Vera:2014)

Karakteristik film yang spesifik menurut (Vera, 2014), yaitu layar lebar,
pengambilan gambar, konsentrasi penuh, dan identifkasi psikologis.

1. Layar yang luas/lebar, maksudnya kelebihan media film


dibandingkan televisi adalah layar yang digunakan untuk pemutaran film
lebih berukuran besar atau luas. Dengan layar film yang luas, telah

16
memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan – adegan
yang disajikan dalam film.

2. Pengambilan gambar pemandangan menyeluruh, dengan kelebihan


film, yaitu layar yang besar, maka teknik pengambilan gambarnya pun
dapat dilakukan dapat dilakukan atau dapat memungkinkan dari jarak jauh
atau extreme long shot dan panoramic shot. Pengambilan gambar yang
seperti ini dapat memunculkan kesan artistik dan suasana yang
sesungguhnya.

3. Konsentrasi penuh. Karena kita menonton film di bioskop, tempat


yang memilki ruangan kedap suara, maka pada saat kita menonon film,
kita fokus pada alur cerita yang ada di dalam film tersebut. Tanpa adanya
gangguan dari luar.

4. Identifikasi psikologis, konsentrasi penuh saat kita menonton di


bioskop, tanpa kita sadari dapat membuat kita benar – benar menghayati
apa yang ada di dalam film tersebut. Penghayatan yang dalam itu membuat
kita secara tidak sadar menyamakan diri kita sebagai salah seorang
pemeran dalam film tersebut. Menurut ilmu jiwa sosial, gejala seperti ini
disebut sebagai identifikasi psikologis.

Film juga terdapat dua macam yaitu film dokumenter dan film fiksi.
Masing – masing karakteristik memilki pengertian yang berbeda, seperti;

1. Film Dokumenter

Film dokumenter menurut (Beaver, 2006) ialah sebuah film non-fiksi.


Film Dokumenter biasanya di-shoot di sebuah lokasi nyata, tidak
menggunakan actor dan temanya terfokus pada subyek–subyek seperti

17
sejarah, ilmu pengetahuan, social atau lingkungan. Tujuan dasarnya
adalah untuk memberi pencerahan, member informasi, pendidikan,
melakukan persuasi dan memberikan wawasan tentang dunia yang kita
tinggali.

2. Film Fiksi

Film fiksi menurut (Bordwell, Thompson, & Smith, 2017) adalah


sebuah genre film yang mengisahkan cerita fiktif maupun narasi. Film
cerita biasanya berkebalikan dengan film yang menyajikan informasi,
seperti film dokumenter, begitupun beberapa film percobaan (seperti
Wavelength oleh Michael Snow, Man with a Movie Camera oleh
Dziga Vertov, atau film-film karya Chantal Akerman). Dalam
beberapa contoh film dokumenter, bila nonfiksi, dapat menyajikan
sebuah kisah.

Sejak kemunculan gaya klasik Hollywood di awal abad ke-20, film cerita
yang biasanya dalam bentuk film utama telah mendominasi film komersial.
Pembuatan film zaman dulu dan tak terlihat (sering disebut fiksi "realis") sering
menjadi pusat definisi umum ini. Unsur kunci pembuatan film tak terlihat ini
berada pada pengeditan berkelanjutan.

Sebelum masa ini, film akan termasuk catatan di awal yang


menginformasikan pemirsa bahwa kejadian yang ditayangkan adalah fiktif dan
jika ada kesamaan dengan peristiwa nyata, hanyalah bersifat "kebetulan belaka".
Kini, film cenderung memasukkan catatan kalau tidak menayangkan kejadian
fiktif, yang dapat "berdasar atas kisah nyata" atau beberapa ragamnya. Menurut
(Vera, 2014), genre adalah klasifikasi tertentu pada sebuah film yang memiliki
ciri tersendiri, dalam film fiksi atau film cerita. Genre film antara lain seperti
berikut:

18
1. Film drama. Film drama adalah sebuah genre film yang sebagian
besar tergantung pada pengembangan mendalam karakter realistis
yang berurusan dengan tema emosional. Contoh dari film drama;
“Citizen Kane” (1941), ”All About Eve” (1950), “Metropolis”
(1927), “The Godfather” (1972).
2. Film laga (action). Film laga atau action adalah sebuah genre film
yang satu atau beberapa tokohnya terlibat dalam tantangan yang
memerlukan kekuatan fisik ataupun kemampuan khusus. Contoh
dari film laga; “Mad Max: Fury Road” (2015), “Wonder Woman”
(2017), “Dunkirk” (2017), “Logan” (2017).
3. Film komedi. Film komedi merupakan genre film yang di mana
penekanan utamanya pada humor. Contoh dari film komedi;
“Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part I” (2016),
“Ghostbusters” (1984), “Get Out” (2017), “La La Land” (2016).
4. Film horor. Film horor adalah merupakan genre film yang
berusaha untuk memancing emosi berupa ketakutan dan rasa ngeri
dari penontonnya. Alur cerita film horor sering melibatkan tema –
tema kematian, supranatural, atau penyakit mental. Contoh dari
film horor; “It” (2017), “Keluarga Tak Kasat Mata” (2017), “ The
Exocist” (1973), “Psycho” (1960).
5. Film animasi. Film animasi adalah film yang merupakan hasil dari
pengolahan gambar tangan menjadi gambar yang bergerak. Pada
awal penemuannya, film animasi dibuat dari berlembar – lembar
kertas gambar yang kemudian di”putar” sehingga muncul efek
gambar bergerak. Dengan bantuan komputer dan grafika komputer,
pembuatan film menjadi lebih mudah dan cepat. Sekarang akhir –
akhir ini lebih banyak memunculkan film animasi 3 dimensi
daripada film 2 dimensi. Contih dari film animasi; “Toy Story”

19
(1995), “Battle of Surabaya” (2015), “Moana” (2016), “Coco”
(2017).
6. Film fiksi ilmiah (science fiction). Film fiksi ilmiah atau science
fiction adalah film yang menggunakan tema fiksi sains, yang
dimana penggambaran fenomena berbasis ilmu pengetahuan yang
belum tentu diterima pada oleh ilmu pengetahuan pada saat itu,
seperti bentuk kehidupan di luar bumi, dunia asing, persepsi akan
ekstra-indrawi, dan perjalanan waktu. Film tersebut sering bersama
dengan unsur dengan futuristik seperti, wahana, robot, cyborg,
perjalanan ruang angkasa antarbintang, mahluk asing (alien), dan
teknologi lainnya. Contoh dari film fiksi ilmiah; “Star Wars:
Episode IV – A New Hope” (1977), “Jurassic Park” (1993),
“Terminator 2: Judgment Day” (1991), ‘The Day the Earth Stood
Still” (1951).
7. Film musikal. Film musikal adalah genre film di mana lagu
dinyanyikan oleh karakter terjalin ke dalam narasi, kadang –
kadang disertai menari. Contoh dari film musikal; “Sweeney Todd:
The Demon Barber of Fleet Street” (2007), “Les Misérables”
(2012), “La La Land” (2016), “Beauty and the Beast” (2017).

2.4.1 Perkembangan Film di Indonesia

Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi


raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-
bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy,
Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada
saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Nike Ardilla,
Paramitha Rusady, Desy Ratnasari. Pada tahun-tahun itu acara Festival Film
Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada
insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman

20
Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film
Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film
Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri.

Periode 1900 – 1942, merupakan era awal perfilman Indonesia ini diawali
dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember 1900 di daerah
Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan berbagai
film bisu. Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu
tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda
G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia
belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan
Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film
Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember,
1926 di teater Elite and Majestic, Bandung. Setelah sutradara Belanda
memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari
industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan
menyutradarai Lily van Java (1928) pada perusahaan South Sea Film Co.
Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan
perusahaan Halimoen Film.

Periode 1942 – 1949 pada masa ini, produksi film di Indonesia dijadikan
sebagai alat propaganda politik Jepang. Pemutaran film di bioskop hanya dibatasi
untuk penampilan film -film propaganda Jepang dan film-film Indonesia yang
sudah ada sebelumnya, sehingga bisa dikatakan bahwa era ini bisa disebut sebagai
era surutnya produksi film nasional. Pada 1942 saja, Nippon Eigha Sha,
perusahaan film Jepang yang beroperasi di Indonesia, hanya dapat memproduksi 3
film yaitu Pulo Inten, Bunga Semboja dan 1001 Malam. Lenyapnya usaha swasta
di bidang film dan sedikitnya produksi yang dihasilkan oleh studio yang dipimpin
oleh Jepang dengan sendirinya mempersempit ruang gerak dan kesempatan hidup
para artis dan karyawan film dan pembentukan bintang-bintang baru hampir tidak

21
ada. Namun mereka yang sudah dilahirkan sebagai artis tidaklah dapat begitu saja
meninggalkan profesinya. Satu-satunya jalan keluar untuk dapat terus
mengembangkan dan memelihara bakat serta mempertahankan hidup adalah naik
panggung sandiwara. Beberapa rombongan sandiwara profesional dari zaman itu
antara lain adalah Bintang Surabaya, Pancawarna dan Cahaya Timur di Pulau
Jawa. Selain itu sebuah kumpulan sandiwara amatir Maya didirikan, dimana
didalamnya bernaung beberapa seniman-seniwati terpelajar dibawah pimpinan
Usmar Ismail yang kelak menjadi Bapak Perfilman Nasional.

Periode 1950 – 1962 terlahirlah Hari Film Nasional diperingati oleh insan
perfilman Indonesia setiap tanggal 30 Maret. Karena pada tepatnya tanggal 30
Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film Darah & Doa atau
Long March of Siliwangi yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Hal ini
disebabkana karena film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan
Indonesia. Selain itu film ini juga merupakan film pertama yang benar-benar
disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga diproduksi oleh perusahaan film
milik orang Indonesia asli yang bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional
Indonesia) dimana Usmar Ismail tercatat juga sebagai pendirinya. Selain itu pada
tahun 1951 diresmikan pula Metropole (sekarang bernama Metropole XXI),
bioskop termegah dan terbesar pada saat itu. Pada masa ini jumlah bioskop
meningkat pesat dan sebagian besar dimiliki oleh kalangan non pribumi. Pada
tahun 1955 terbentuklah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan
Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya
melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI). Pada masa itu
selain PFN yang dimiliki oleh negara, terdapat dua perusahaan perfilman terbesar
di Indonesia, yaitu Perfini dan Persari (dipimpin oleh Djamaluddin Malik)

Periode 1962 – 1965, era ini ditandai dengan beberapa kejadian penting
terutama menyangkut aspek politis, seperti aksi pengganyangan film-film yang
disinyalir sebagai film yang menjadi agen imperialisme Amerika Serikat,

22
pemboikotan, pencopotan reklame, hingga pembakaran gedung bioskop. Saat itu
Jumlah bioskop mengalami penurunan sangat drastis akibat gejolak politik. Jika
pada tahun 1964 terdapat 700 bioskop, pada tahun berikutnya, yakni tahun 1965
hanya tinggal tersisa 350 bioskop.

Periode 1965 – 1970, era ini dipengaruhi oleh gejolak politik yang
diakibatkan oleh peristiwa G30S PKI yang membuat pengusaha bioskop
mengalami dilema karena mekanisme peredaran film rusak akibat adanya gerakan
anti imperialisme, sedangkan produksi film nasional masih sedikit sehingga
pasokan untuk bioskop tidak mencukupi. Saat itu inflasi yang sangat tinggi
melumpuhkan industri film. Kesulitan ini ditambah dengan kebijakan pemerintah
mengadakan sanering pada tahun 1966 yang menyebabkan inflasi besar-besaran
dan melumpuhkan daya beli masyarakat. Pada akhir era ini perfilman Indonesia
cukup terbantu dengan membanjirnya film impor sehingga turut memulihkan
bisnis perbioskopan dan juga meningkatkan animo masyarakat untuk menonton
yang pada akhirnya meningkatkan jumlah penonton.

Periode 1970 – 1991 merupakan teknologi pembuatan film dan era


perbioskopan mengalami kemajuan, meski di satu sisi juga mengalami persaingan
dengan televisi (TVRI). Pada tahun 1978 didirikan Sinepleks Jakarta Theater oleh
pengusaha Indonesia, Sudwikatmono menyusul dibangunnya Studio 21 pada
tahun 1987. Akibat munculnya raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan
terjadinya monopoli dan berimplikasi terhadap timbulnya krisis bagi bioskop -
bioskop kecil dikarenakan jumlah penonton diserap secara besar-besaran oleh
bioskop besar. Pada masa ini juga muncul fenomena pembajakan video tape.

Periode 1991 – 1998, perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati


suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Selain itu film-film
Indonesia didominasi oleh film-film bertema seks yang meresahkan masyarakat.
Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta,

23
serta munculnya teknologi VCD, LD dan DVD yang menjadi pesaing baru.
Bertepatan dengan era ini lahir pula UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang
mengatur peniadaan kewajiban izin produksi yang turut menyumbang surutnya
produksi film. Kewajiban yang masih harus dilakukan hanyalah pendaftaran
produksi yang bahkan prosesnya bisa dilakukan melalui surat-menyurat. Bahkan
sejak Departemen Penerangan dibubarkan, nyaris tak ada lagi otoritas yang
mengurusi dan bertanggungjawab terhadap proses produksi film nasional.

Dampaknya ternyata kurang menguntungkan sehingga para pembuat film


tidak lagi mendaftarkan filmnya sebelum mereka berproduksi sehingga
mempersulit untuk memperoleh data produksi film Indonesia - baik yang utama
maupun indie - secara akurat. Pada era ini muncul juga buku mengenai perfilman
Indonesia yaitu 'Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia yang terbit pada
tahun 1992 dan mengupas tahapan perfilman Indonesia hanya sampai periode
1991.

Periode 1998 – sekarang, merupakan sebagai era kebangkitan perfilman


nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang
mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama
yang muncul di era ini adalah Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho.
Setelah itu muncul Mira Lesmana dengan Petualangan Sherina dan Rudi
Soedjarwo dengan Ada Apa dengan Cinta? (AADC) yang sukses di pasaran.
Hingga saat ini jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat meski
masih didominasi oleh tema-tema film horor dan film remaja. Pada tahun 2005,
hadir Blitzmegaplex di dua kota besar di Indonesia, Jakarta dan Bandung.
Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang
dimiliki oleh kelompok 21 yang selama bertahun-tahun mendominasi penayangan
film.

24
2.4.2 Film Gangster

Sejak awal perkembangan sinema di Amerika Serikat, elemen gangster


telah muncul pada film – film pendek seperti “The Moonshiners” (1904) and “The
Black Hand” (1906) yang menggambarkan realitas sosial urban kala itu, yakni
pemukiman padat, imigran, serta geng jalanan. “The Musketeers of Pig Alley”
(1912) karya D.W Griffith serta “The Regeneration” (1915) karya Raoul Walsh
juga menggambarkan kelompok kriminal yang terorganisir di kota besar.
Sementara di Eropa, sineas Jerman, Fritz Lang memproduksi dua seri film
gangster berpengaruh yakni, “Dr. Mabuse, the Gambler Part I – The Great
Gambler: A Picture of the Time dan Part II – Inferno: A Game for the People of
our Age” (1922 – 1923). Sebelum era film bicara, film gangster telah populer
melalui “Underworld” (1927) karya sineas Joseph von Sternberg. Film ini sering
dianggap sebagai film gangster “modern” pertama karena menggunakan tokoh
gangster sebagai karakter protagonis. Sementara film gangster lainnya, “The
Racket” (1928) arahan Lewis Milestone, berkisah tentang korupsi dan organisasi
kriminal di kota besar. Munculnya teknologi suara semakin menaikkan pamor
film-film gangster. Dengan efek suara tembakan, jeritan, serta suara mobil, film
gangster menjadi lebih realistik. Tercatat film gangster “bicara” pertama adalah
“The Ligths of New York” (1928) yang mengetengahkan kisah kriminal di kota
besar. Era 30-an dianggap sebagai era berpengaruh bagi perkembangan genre
gangster. Isu serta masalah sosial yang muncul pada era ini turut mempopulerkan
genre ini. Depresi Besar (Great Depression) yang melanda Amerika Serikat
mempertinggi angka kriminal, perjudian, dan prostitusi di kota – kota besar. Juga
pelarangan alkohol di Amerika pada tahun 1920 – 1931, serta beberapa peristiwa
kriminal besar, seperti pembantaian berdarah di St. Valentine (1929), serta
munculnya tokoh-tokoh gangster besar seperti, Al Capone. Isu-isu sosial ini
rupanya menarik perhatian studio-studio besar Hollywood terutama Warner
Brothers untuk mengangkat kehidupan para gangster ke layar lebar. Film – film

25
gangster era baru ini menawarkan suatu bentuk aksi kekerasan kejam dan brutal
yang belum pernah tampak di layar lebar sebelumnya.

Tercatat tiga film gangster berpengaruh yang diproduksi pada era ini
memantapkan gangster sebagai genre populer yakni, “Little Caesar” (1930), “The
Public Enemy” (1931), serta “Scarface, The Shame of Nation” (1932). Dua film
pertama diproduksi oleh Warner Bros yang dirilis hampir bersamaan. Sementara
film terakhir adalah produksi United Artist. “Little Caesar” arahan Mervyn Le
Roy mengetengahkan kisah seorang kriminal bernama Enrico Bandello yang
karakternya diinspirasi dari Al Capone. Karakter bengis ini diperankan dengan
sempurna oleh Edward G. Robinson yang setelah ini meroketkan namanya
menjadi bintang gangster pertama. Kemudian William Wellman mengarahkan
“The Public Enemy”, dibintangi oleh James Cagney yang bermain sebagai Tom
Powers seorang gangster yang kejam dan brutal. Sementara film kontroversial
“Scarface” arahan Howard Hawks dibintangi oleh Paul Muni. Film ini juga
banyak terispirasi dari tokoh-tokoh serta peristiwa kriminal besar pada era ini.

Adegan – adegan aksi kejam, brutal, dan sadis pada film – film tersebut,
terutama “Public Enemy” dan Scarface, membuat lembaga pra-sensor film (baru
resmi dibentuk tahun 1934) mengecam keras film-film tersebut. Produser “Public
Enemy” berkilah mereka hanya memaparkan fakta problem sosial yang terjadi di
masyarakat. Juga ending pada dua film tersebut menggambarkan para tokoh
gangster yang tewas mengenaskan, mengisyaratkan bahwa perbuatan jahat
(kriminal) tidak akan membuahkan hasil apapun. Namun pihak pengecam
menganggap pada sisi-sisi tertentu film-film tersebut mampu memberikan kesan
kuat jika kehidupan kriminal (gangster) penuh dengan glamour dan
“kesenangan“. Pihak produser pun akhirnya mengalah, seperti pada kasus
“Scarface” mereka terpaksa mengganti atau menghapus beberapa adegan yang
dinilai tidak pantas.

26
Tekanan dari pihak sensor tidak serta merta membuat genre ini kehilangan
popularitasnya. Para kreator dengan cerdik mengubah sentral plot tidak pada
karakter gangsternya melainkan pada karakter yang memihak hukum seperti
polisi, agen pemerintah, atau detektif. Dalam “G-Men” (1935), James Cagney
berperan sebagai seorang agen FBI yang menyamar dalam suatu kelompok
gangster. Walau berperan sebagai hamba hukum namun Cagney berperan nyaris
sama dinginnya dengan film – film gangster yang ia bintangi sebelumnya. Hal
yang sama juga dilakukan oleh Edward G. Robinson dalam “Bullets or Ballots”
(1936). Dalam “Angels with Dirty Faces” (1938) yang dibintangi Cagney,
mengisahkan dua orang sahabat yang mengambil jalan hidup yang
bertolakbelakang, yakni seorang gangster dan seorang pendeta.

Warner Bros yang sukses bersama Cagney kali ini mendapat lawan main
sepadan dengan munculnya bintang baru yakni, Humprey Bogart. Bersama
sutradara Raoul Walsh, dua aktor tersebut sukses dengan tiga film gangster yakni,
“The Roaring Twenties” (1939), “They Drive By Night” (1940), dan “High
Sierra” (1941). Karir Bogart semakin meroket dengan beberapa film noir-nya
yang merupakan pengembangan dari genre gangster. Melalui film noir, genre
gangster melunak dengan menitikberatkan pada aspek misteri pada plot serta
pendekatan estetik yang khas. Film noir menjadi tren film kriminal hingga dekade
50-an. Bogart sukses dengan film – film noir seperti, “The Maltese Falcon”
(1940) dan “The Big Sleep” (1946). Adapun film – film noir lainnya yang sukses
seperti “Double Indemnity” (1944), “The Asphalt Jungle” (1950), “The Big Heat”
(1953), hingga “The Third Man” (1959).

Selain film noir, genre gangster juga berkembang lebih variatif dengan
film bertema penjara, “Each Dawn I Die” (1938), “Brute Force” (1947), “The
Defiant Ones”, (1958) hingga yang paling sukses, “Cool Hand Luke” (1967).
Sineas besar Billy Wilder sukses menggabungkan genre komedi dan gangster
melalui “Some Like It Hot” (1950) yang dibintangi aktris seksi, Marilyn Monroe.

27
Pada era ini adaptasi kisah nyata rupanya masih juga menjadi pilihan, seperti
“Machine Gun Kelly” (1958), “Al Capone” (1959), dan “The St. Valentine Day
Massacre (1967). Sementara film – film kriminal-gangster lain yang menonjol
sebelum era 70-an adalah “On the Waterfront” (1954) arahan Elia Kazan, “The
Killing” (1956) arahan Stanley Kubrick, serta “Bonny and Clyde” (1967) arahan
Arthur Penn.

Pada era 70-an genre gangster kembali mengulangi masa jayanya melalui
film-film kriminal-gangster yang sangat populer. Francis Ford Coppola menjadi
motor dengan dua film gangster yang dianggap terbaik sepanjang masa yakni,
“The Godfather” (1972) dan “The Godfather Part II” (1974). Film yang
mengisahkan keluarga Mafia Corleone tersebut sangat sukses baik komersil
maupun kritik. Keduanya bahkan sama-sama mendapatkan Oscar untuk film
terbaik. Pada era ini pula sineas spesialis gangster, Martin Scorcese mulai
menarik perhatian pengamat melalui “Mean Street” (1973), lalu karya
fenomenalnya, “Taxi Driver” (1976). Variasi gangster yang juga populer pada
dekade ini yakni, “The French Connection” (1971) arahan John Frankenheimer
(mendapatkan Oscar untuk film terbaik), seri pertama si detektif keras, “Dirty
Harry” (1971) yang dibintangi Clint Easwood, lalu film neo-noir “Chinatown”
(1974) arahan Roman Polanski, serta juga “Dog Day Afternoon” (1975) karya
Sidney Lumet.

Pada periode 80-an hingga era milenium baru beberapa sineas kawakan
memproduksi beberapa film gangster berpengaruh. Martin Scorcese makin
memantapkan posisinya sebagai spesialis gangster dengan film-filmnya yang
keras dan brutal, yakni “Goodfellas” (1990), “Casino” (1995), ”Gangs of New
York” (2002), hingga terakhir “The Departed” (2006). Brian DePalma juga sukses
dengan film – film gangsternya seperti, “Scarface” (1983), “The Untouchable”
(1987), serta “Carlito’s Way” (1989). Coppola gagal menyamai sukses
pendahulunya melalui penutup epik triloginya, “The Godfather Part III” (1990).

28
Sementara sineas spesialis western, Sergio Leone sukses dengan film
gangsternya, “Once Upon A Time in America” (1984).

Beberapa sineas muda juga dikenal akrab dengan tema kriminal gangster
dan yang paling menonjol adalah Quentin Tarantino. Film – film Tarantino
dikenal melalui penuturan plotnya yang unik serta para bintang yang bertaburan
dalam filmnya. Ia memulai debutnya melalui film gangster brutal yang penuh
darah, “Reservoir Dogs” (1992). Sukses Tarantino berlanjut dengan film
fenomenalnya “Pulp Fiction” (1994) yang sukses secara komersil maupun kritik.
Setelah “Jackie Brown” (1997) gagal menyamai sukses pendahulunya, Tarantino
kembali sukses besar melalui seri “Kill Bill Vol.1” (2003) dan “Kill Bill Vol.2”
(2004). Di lain tempat sineas Inggris, Guy Ricthie sukses dengan film – film
gangsternya yang dituturkan dengan gaya khas, yakni “Lock, Stock and Two
Smocking Barrels” (1998) dan “Snacth” (2000).

Adapun film – film kriminal-gangster lainnya yang juga menonjol pada


era 90-an hingga kini seperti, “Dick Tracy” (1990) sebuah film gangster unik
yang diadaptasi dari komik, “The Usual Suspect” (1995) arahan Bryan Singer,
“L.A. Confidential” (1997) arahan Curtis Hanson, hingga “Road to Perdition”
(2001) arahan Sam Mendes. Sineas aksi Michael Mann sukses besar dengan film
bertema perampokan bank, “Heat” (1995) serta adaptasi film seri kriminalnya,
“Miami Vice” (2006). Sementara sineas horor, David Cronenberg berubah haluan
di milenium baru melalui film – film kriminal-gangster seperti “History of
Violence” (2005) dan “Eastern Promises” (2007). Coen Bersaudara sukses dengan
film gangster, “Miller Crossing” (1990) bersama film – film kriminal lainnya
yang unik seperti, “Fargo” (1996), “The Big Lebowsky” (1998), “The Ladykiller”
(2004), hingga peraih Oscar, “No Country for Oldman” (2007). Steven Soderberg
juga sukses memproduksi film – film kriminal seperti “Ocean Eleven” (2001)
bersama dua sekuelnya, “Out of Sight” (1998), hingga “Traffic” (2000). Belum

29
lama ini sineas top, Ridley Scott juga mencoba peruntungannya dengan
memproduksi film gangster, “American Gangster” (2007).

Sementara di Asia genre gangster berkembang dalam bentuk yang sama


sekali berbeda. Di negara – negara besar seperti Jepang dan terutama Hong Kong,
gangster begitu populer dengan “yakuza film” dan “triad film”. Film – film
kriminal Hong Kong dipengaruhi kehidupan para triad sesungguhnya yang
mengontrol segala sendi ekonomi dan hiburan termasuk industri film sendiri. Pada
pertengahan 80-an, genre ini mulai populer setelah film – film seperti “Long Arm
of the Law” (1984) arahan Johnny Mak, “Brotherhood” (1986) arahan Stephen
Shin, “City on Fire” (1987) arahan Ringo Lam, dan “A Better Tomorrow” (1987)
arahan John Woo. Film-film gangster ini mengeksplotasi penuh adegan – adegan
aksinya yang khas serta menekankan pada nilai persaudaraan, loyalitas,
kehormatan sesama anggota triad. Sementara John Woo mulai menarik perhatian
internasional melalui film-filmnya seperti “A Better Tomorrow”, “The Killer”
(1989) dan “Hard Boiled” (1992).

Mulai era 90-an beberapa sineas dan aktor laga kenamaan Hong Kong
seperti John Woo, Jackie Chan, Chow Yun Fat, Jet Lee mulai merintis karir dan
sukses di Amerika. Film-film mereka disana pun tidak lepas dari tema kriminal
dengan sentuhan aksi laga khas Hong-Kong. Sementara di Hong Kong sendiri,
genre gangster masih tetap populer dengan mengubah sasaran penonton, yakni
kaum muda. Satu contoh yang tersukses adalah “Young and Dangerous” (1996)
arahan Andew Lau yang berlanjut dengan lima sekuelnya. Pencapaian sinema
Hong Kong khususnya film aksi-gangster dianggap mencapai titik tertinggi
melalui “Infernal Affairs” (2002) arahan Andrew Lau dan Alan Mak. Sukses
komersil dan kritik film ini memicu produksi prekuel bersama sekuelnya,
“Infernal Affairs 2” dan “Infernal Affairs 3” yang sama – sama dirilis setahun
kemudian. Hollywood pun tidak ketinggalan turut ikut me-remake film ini melalui

30
“The Departed” (2006) arahan Scorcese dan sukses meraih empat Oscar termasuk
film terbaik.

2.4.3 Perkembangan Film Genre Drama Kriminal Indonesia

Perkembangan film genre drama kriminal di Indonesia dimulainya dengan


judul Karma yang dirilis tahun 1965. Sebanyak 53 judul film genre drama
kriminal sudah dirilis di Indonesia, terakhir film dengan berjudul “Serigala
Terakhir” karya Upi Avianto, tahun 2009. Film drama kriminal adalah menurut
International Design School mengatakan bahwa kejahatan (gangster) film
dikembangkan pada tindakan jahat penjahat atau mafia, khususnya pencuri uang
atau preman kejam yang beroperasi di luar hukum, mencuri dan membunuh jalan
melalui hidup. Genre film kriminal dan gangster sering dikategorikan sebagai
genre film noir atau film detektif-misteri – karena mendasari kesamaan antara
bentuk-bentuk sinematik. Kategori ini berisi deskripsi dari berbagai ‘pembunuh
berantai’ film.

2.5 Maskulinitas

Maskulin atau maskulinitas dari bahasa Perancis, masculinine adalah


sebuah kata sifat, adjektif yang berarti "kepriaan" atau menunjukkan sifat laki –
laki. Lawan katanya adalah feminin. Istilah ini berbeda dengan "kejantanan"
(yang lawan katanya adalah "kebetinaan"). Dapat dikatakan maskulin jika: Gagah,
kekar, lebih berpikir secara logika daripada perasaan. Biasanya maskulin kerap
dihubungkan dengan gambar pria berotot besar dan macho. Namun maskulin juga
dapat diidentifikasikan dengan pria menggunakan jas (maskulin) supaya terlihat
lebih gagah.

Maskulinitas adalah imaji kejantanan, ketangkasan, keperkasaan,


keberanian untuk menantang bahaya, keuletan, keteguhan hati, hingga keringat
yang menetes, otot laki – laki yang menyembul atau bagian tubuh tertentu dari

31
kekuatan daya tarik laki – laki yang terlihat secara ekstrinsik. Maskulinitas sendiri
selain merupakan konsep yang terbuka pada dasarnya bukan merupakan identitas
yang tetap dan monolitis yang dipisahkan dari pengaruhi ras, kelas, dan budaya
melainkan sebuah jarak (range) identitas yang kondraktif. Maskulinitas menurut
R.W. Connell (1987,1995) berpendapat bahwa dalam masyarakat ada konsep
maskulinitas secara dominan yang disebut juga dengan maskulinitas hegemonik.

Menurut Jonathan Rutherford laki – laki muncul dengan cara


menrepresentasikan adanya kemuakan terhadap aturan main sosial tradisional,
sebuah keyakinan bahwa kebusukan sudah terlalu melanda dunia dan seorang laki
– laki hanya mengandalkan dirinya sendiri untuk menyelamatkan baik dirinya
maupun dan bangsanya. Bahkan keyakinan ini dimainkan dalam rangka bertahan
hidup (survice), kekhawatiran obsesif akan kehancuran besar dan ikthiar
penemuan diri seraya belajar membunuh dan bertahan hidup di keliaran alam.
(Rutherford, 2014)

Rutherford merepresentasi maskulinitas yang berbeda – beda ini pada


akhirnya mengkristal dalam idealisasi dua pencitraan yaitu maskulinitas diresepsi
dan yang berhubungan dengan artinya secara publik, yaitu Laki – laki Baru dan
Laki – laki Retributif (pembalas). Laki – laki Retributif mewakili perjuangan
untuk menegaskan kembali maskulinitas tradisional, sebuah otoritas mandiri yang
tangguh.

Secara seksual, maskulinitas dapat dikategorikan dalam tipe kontinum


maskulinitas (Jewitt).

a. Tipe gladiator-retro man: pria yang secara seksual aktif memegang


kontrol.
b. Tipe protector: pria pelindung dan penjaga
c. Tipe clown of buffoon: pria yang menyenangkan atau humoris
d. Tipe gay man: pria yang mempunyai orientasi seksual, homoseksual

32
e. Tipe wimp: jenis pria yang ‘lain’ yang lemah dan pasif

Kiesling mengatakan bahwa ada empat wacana budaya tentang maskulinitas di


Amerika Serikat yakni

a. Perbedaan gender adalah wacana yang melihat pria dan wanita secara
alami dan pasti berbeda dalam biologi dan perilaku.
b. Heterosexim, yaitu maskulin sebagai heterokseksual; maksud wacana
ini yaitu keinginan seksual untuk perempuan bukan untuk laki – laki.
Pada bagian artikulasi sangat berperan dalam wacana ini.
c. Dominasi, yakni identifikasi maskulin lebih dominan, wewenang dan
kekuatan. Untuk menjadikan seorang pria yang kuat, berwibawa, dan
terkendali.
d. Male solidarity, yaitu seorang laki – laki memahami aturan yang ingin
dilakukan dengan kelompok laki – laki lain. (Kiesling, 2005)

Konsep maskulinitas dalam perkembangan jaman mengalami dinamika


perkembangan. Beynon melakukan kajian tentang maskulinitas dalam bukunya
Masculinities and Culture, dalam buku tersebut menggambarkan sosok maskulin
dalam setiap dekade. Beynon membagi bentuk maskulin dengan ide serta tren
perkembangan jaman sebagai berikut:

a. Maskulin sebelum tahun 1980-an.


Sosok maskulin yang muncul adalah figur laki – laki kelas pekerja
dengan bentuk tubuh dan perilakunya sebagai dominator, terutama atas
perempuan. Citra laki – laki semacam ini kental dengan awal
industrialisasi pada masa itu, laki – laki bekerja di paik sebagai buruh
berlengan baja. Terlihat sangat kebapakan, yakni sebagai penguasa
dalam keluarga dan sosok yang mampu memimpin perempuan
pembuat keputusan utama. Konsep maskulin semacam ini dinamakan
konsep maskulin yang tradisonal dalam pandangan kajian barat. Secara

33
umum, maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai – nilai, antara
lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian,
kepuasan diri, kesetiakawanan laki – laki, dan kerja. Diantara yang
dipandang rendah adalah hubungan interpersonal, kemampuan verbal,
kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-
anak (Barker dalam Nasir ,2007:1). Selain itu karakteristik maskulin
tradisional dapat dilihat dari selera berpakaian, penampilan, bentuk
aktifitas, cara bergaul, cara penyelesaian permasalahan ekspresi verbal
maupun non verbal hingga jenis aksesoris tubuh yang dipakai
(Vigorito & Curry, 1998:1).
b. Maskulin tahun 1980-an.
Sosok maskulin kemudian berkembang dengan cara yang berbeda.
Pada babak ini maskulin bukanlah laki-laki yang berbau woodspice
lagi, maskulin adalah sosok laki-laki sebagai new man. Beynon dalam
Nasir (2007) menunjukkan dua buah konsep maskulinitas pada babak
ini dengan anggapan-anggapan bahwa new man as nurturer dan new
man as narcissist. Konsep pertama merupakan gelombang awal reaksi
laki-laki terhadap feminism.Laki-laki pun menjalani sifat alamiahnya
seperti perempuan sebagai mahluk yang mempunyai rasa perhatian.
Laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya
untuk mengurus anak. Keinginan laki-laki dalam arena domestik.
Kelompok ini biasanya berasal dari kelas menegah, berpendidikan
baik, dan intelek. Sedangkan konsep kedua hal ini berkaitan dengan
komersialisasi terhadap maskulinitas dan konsumerisme semenjak
akhir Perang Dunia II. New man as narcisstict adalah anak – anak dari
generasi hippies yang tertarik pada fashion dan musik pop. Banyak
produk-produk komersil untuk laki – laki yang bermunculan, bahkan
laki – laki sebagai objek seksual bisnis yang amat luar biasa. Di sisni

34
laki – laki menunjukkan maskulinitasnya dengan gaya hidup yang
flamboyan.
c. Maskulin tahun 1990-an
Di era tahun 1990-an muncul kembali sosok laki – laki yang bersifat
tidak peduli lagi terhadap hal remeh-temeh seperti kaum maskulin
yuppies di tahun 80-an, disini ditekankan kepada sifat kelaki-lakian
yang lebih macho, kekerasan, dan hooliganisme. Laki – laki kemudian
menyatakan dirinya dalam label konsumerisme yang lebih macho,
seperti membangun kehidupannya di sekitar football atau sepak bola
dan dunia minum-minum,dan juga seks. Pada babak ini kaum laki –
laki mementingkan leisuretime sebagai waktu untuk bersenang-senang
dan menikmati hidup bebas seperti apa adanya.
d. Maskulin tahun 2000-an.
Diluar perkembangan maskulin yang dikemukakan oleh John Beynon,
perlu dicermati maskulin pada era 2000-an. Pada babak ini terdapat
terminolog-terminologi baru mengenai laki – laki. Homoseksual telah
berkembang semenjak dekade 80-an, sekarang bahkan terminologi laki
– laki sudah mengenal istilah metroseksual. Laki – laki metroseksual
adalah laki – laki yang berasal dari kalangan menegah atas, mereka ijin
berdandan, dan juga tergabung dalam komunitas yang terpandang
dalam masyarakat. Laki – laki metroseksual semacam socialite.
Mereka umumnya memiliki pandangan yang luas, atau mereka yang
disebut dengan laki – laki yang berbudaya. Laki – laki metroseksual
mengagungkan fashion, mirip dengan tipe maskulin 80an (Beynon,
2002).

Dari empat kelompok tersebut, ditariklah sifat-sifat maskulinitas menurut


Beynon, seperti berikut:
a. No Sissy Stuff (Tidak kewanita-wanitaan)

35
b. Be a Big Wheel (Berpengaruh penting)
c. Be a Sturdy Oak (Kuat)
d. Give em Hell (Berani)
e. New Man as Nurturer (Kebapakan)
f. New Man as Narcissist (Narsistik)
g. Sifat kelaki-lakian yang macho, kekerasan dan hooliganism
(Sangar)
h. Laki-laki metroseksual mengagungkan fashion (Demartoro,
2010).

2.5.1 Maskulinitas Dalam Film

Maskulintas dalam film muncul ketika tahun 1980 film “First Blood”.
Film yang bercerita tentang veteran Perang Vietnam yang bernama John Rambo
yang diperankan oleh Sylvester Stallone. Cara Stallone mengekspresikan
kejantanan secara membabi buta itu sangat berbeda dari genre film perang
umumnya. Perang biasanya dipandang sebagai ritual inisiasi, sebuah kesempatan
bagi laki – laki untuk menemukan diri, untuk membuktikan kejantanan dan
kapasitas dalam menaklukan tubuh dan fisiknya (Rutherford, 2014). Menurut
(Demartoro, 2010) konsep maskulinitas dalam media siar khususnya film, televisi,
video , internet, dan radio muncul berbagai paradoks mengenai maskulinitas. Film
“Saving Private Ryan” (1998) karya sutradara Steven Spielberg menunjukan
maskulinitas yang luar biasa dalam peperangan. Namun, film ini memunculkan
juga pertanyaan mengenai maskulinitas kekinian seperti dalam film “Fight Club”
karya sutradara David Fincher dan film “American Beauty” karya sutradara Sam
Mendes yang di rilis tahun 1999 ini tidak hanya memperlihatkan kekuatan otot
laki – laki seperti film “First Blood”, namun juga memiliki unsur emosional laki –
laki yang terlihat maskulinitas pada periode tahun 1980an. Film dengan terkait
dalam cerita perang menurut (Rutherford, 2014) mengambil alienasi laki – laki
dan menjualnya sebagai kekuatan dan kebangaan. Sejumlah harian umum

36
membanjiri ruang publik dengan maskulinitas retributif dalam rangka mengklaim
kembali relevansi kejantanan dalam masyarakat yang sudah terlaluaman dan
nyaman.

37
38
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Paradigma Penelitian

Secara etimologis, istilah paradigma pada dasarnya berasal dari bahasa


Yunani yaitu dari kata “para” yang artinya di sebelah atau pun di samping, dan
kata “diegma” yang artinya teladan, ideal, model, atau pun arketif. Sedangkan
secara terminologis, istilah paradigma diartikan sebagai sebuah pandangan atau
pun cara pandang yang digunakan untuk menilai dunia dan alam sekitarnya, yang
merupakan gambaran atau pun perspektif umum berupa cara – cara untuk
menjabarkan berbagai macam permasalahan dunia nyata yang sangat kompleks.
Menurut George Ritzer (1980) paradigma adalah pandangan mendasar ilmuwan
tentang apa materi pelajaran harus dipelajari oleh cabang atau disiplin, dan apa
aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan informasi yang akan dikumpulkan
informasi yang dikumpulkan dalam menanggapi isu-isu ini.

Dalam penelitian ini Peneliti akan menggunakan paradigma konstruktivis.


Menurut Creswell (2010:11) konstruktivis sosial meneguhkan asumsi bahwa
individu – individu selalu berusaha memahami dunia dimana mereka hidup dan
bekerja. Mereka mengembangkan makna subjektif atas pengalaman – pengalaman
mereka dimana makna tersebut diarahkan pada objek – objek atau benda – benda
tertentu. Untuk mengeksplorasi pandangan – pandangan perlu diajukan
pertanyaan – pertanyaan. Pertanyaan bisa bersifat luas dan umum, sehingga
partisipan dapat mengkonstruksi makna atas situasi tersebut.

Menurut (Patton, 2002), para peneliti konstruktivis mempelajari beragam


realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi
kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu
memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, peneliti dengan strategi

39
seperti ini menyarankan bahwa setiap cara individu dalam dunia adalah valid, dan
perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut.

Terkait dengan konstruktivisme ini, Crotty 1998 (dalam Creswell,


2010:12) memperkenalkan sejumlah asumsi yakni:

1. Makna-makna dikonstruksi oleh manusia agar mereka bisa terlibat


dengan dunia yang tengah mereka tafsirkan. Para peneliti kualitatif cenderung
menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka agar partisipan dapat
mengungkapkan pandangan-pandangannya.

2. Manusia senantiasa terlibat dengan dunia mereka dan berusaha


memahaminya berdasarkan perspektif historis dan sosial mereka sendiri, kita
semua dilahirkan ke dunia makna (world of meaning) yang dianugerahkan oleh
kebudayaan di sekeliling kita. Untuk itulah, para peneliti kualitatif harus
memahami konteks atau latar belakang partisipan mereka dengan cara
mengunjungi konteks tersebut dan mengumpulkan sendiri informasi yang
dibutuhkan. Mereka juga harus menafsirkan apa yang mereka cari: sebuah
penafsiran yang dibentuk oleh pengalaman dan latar belakang mereka sendiri.

3. Yang menciptakan makna pada dasarnya adalah lingkungan sosial, yang


muncul di dalam dan di luar interaksi dengan komunitas manusia. Proses
penelitian kualitatif bersifat induktif dimana didalamnya peneliti menciptakan
makna dari data-data lapangan yang dikumpulkan.

Lalu dalam paradigma konstruktivis dapat memudahkan dijelaskan melalui empat


dimensi seperti yang diutarakan oleh Deddy N. Hidayat, sebagai berikut:

1. Ontologis: relativism, realitas merupakan konstruksi sosial kebenaran


suatu realitas bersifat relative, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai
relevan oleh pelaku sosial.

40
2. Epistemologis: transactionalist / subjectivist, pemahaman tentang suatu
realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara
peneliti dengan yang diteliti.
3. Axiologis: nilai, etika, dan pilihan moral merupakan bagian tak
terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant,
fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial.
Tujuan penelitian lebih kepada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis
antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.
4. Metodologis: menenkankan empati, dan interaksi dialektis antara peneliti
dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti melalui
metode metode kualitatif seperti participant observation. Kriteria kualitas
penelitian authenticity dan reflectivity : sejauh mana temuan merupakan
refleksi ontentik dari realitas yang dihayati oleh pelaku sosial.

Berdasarkan kesimpulan singkat dan paparan tersebut, peneliti akan


mengungkapkan pandangan mengenai maskulinitas adanya sifat kelaki – lakian
dalam film The Godfather. Hal ini bertujuan kepada masyarakat dapat mengerti
mengapa ini film bergenre drama lebih spesifik ke dalam film The Godfather
tidak menonjolkan sisi drama melainkan unsur – unsur maskulinitas didalamnya.
Setelah itu, ketika masyarakat sudah mengetahui masalah tersebut, peneliti
mencoba merubah pandangan masyarakat dan para pembuat film untuk
mengetahui segala unsur maskulinitas didalam film drama khususnya crime film.

Atas dasar itulah peneliti menggunakan paradigma konstruktivis karena


peneliti menggunakan pemikiran atau nalar dalam memberikan pembahasan
makna dan juga tanda di dalam film yang akan diteliti menggunakan analisis
semiotika yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce. Didalam penelitian
ini peneliti mencoba memahami bagaimana memaknai sebuah tanda atau makna
dari maskulinitas dalam film The Godfather.

41
3.2 Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan


kualitatif, menurut Bogdan dan Guba pendekatan kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif (data yang dikumpulkan berupa kata
- kata, gambar, dan bukan angka). Hal ini dimaksudkan peneliti menggunakan
menjelaskan dengan cara memahami studi kasus didalamnya. Hal ini
dimaksudkan banyaknya adegan – adegan kekerasan film atau media massa
tersebut.

Menurut Kirk dan Miller penelitian kualitatif merupakan tradisi tertentu


dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan
dengan orang lain dalam bahasa dan peristilahannya.

Lalu metode kualitatif menurut Creswell adalah suatu proses penelitian


yang berdasarkan pada pendekatan penelitian metodologis yang khas yang
meneliti permasalahan sosial dan kemanusiaan. Dapat membangun gambaran
secara holistik yang kompleks; menganalisis kata – kata; melaporkan pandangan
detail dari para partisipan; dan melaksanakan studi tersebut dalam setting atau
lingkungan yang alami. (Creswell, 2015)

Metode kualitatif memandang realitas sebagai sesuatu yang berdimensi -


banyak, suatu kesatuan yang utuh, serta berubah - ubah, karena itu pula rancangan
penelitian tidak disusun secara rinci dan pasti sebelum penelitian dimulai. Untuk
itu pula pengertian kualitatif sering diasosiasikan dengan teknik analisis data dan
penulisan laporan penelitian.

3.2.1 Metode Analisis Semiotika

Terma semoitik bukanlah istilah baru. Istilah ini berasal dari kata Yunani,
semeion, yang berarti tanda atau dari kata semeiontikos, yang berarti teori tanda.

42
Menurut Paul Colbey, kata dasar semiotik terdapat dari kata seme (Yunani) yang
berarti penafsir tanda. Menurut (Rusmana, 2014) istilah semiotik lazim dipakai
oleh imuwan Amerika Serikat, sedangkan ilmuwan Eropa lebih banyak
menggunakan istilah semiologi. Semiotik sendiri merupakan cabang ilmu yang
mengkaji persoalan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda.
Semiotik juga merupakan suatu tanda sebagai tindak komunikasi yang
disempurnakan menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua
faktor dan aspek substansi untuk pemahaman gejala kesusastraan sebagai alat
komunikasi yang khas dalam masyarakat (Rusmana, 2014).

Secara signifikan semiotik mengkaji dan mencari tanda – tanda dalam wacana
dan menerangkan maksud dari tanda – tanda tersebut dengan mencari hubungan
antara ciri – ciri tanda dan makna yang dikandungnya (Rusmana, 2014). Berbeda
menurut Daniel Chadler dalam (Vera, 2014) mengatakan, “The shortest definition
is that is that study of signs” (definisi singkat dari semiotika adalah ilmu tentang
tanda – tanda). Oleh karena itu (Vera, 2014) mengatakan semiotika adalah ilmu
tentang tanda, dan merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari dan
menelaah “tanda”.

Pengembangan semiotika sebagai bidang studi sudah ditetapkan dalam


pertemuan Vienna Circle yang berlangsung di Vienna University tahun 1922. Di
dalam pertemuan Vienna Circle, sekelompok sarjana menyajikan sebuah karya
yang berjudul “International Encyclopedia of Unifed Science”. Dalam karya
volume I, Charles Morris selaku sekelompok sarjana menuliskan dalam karyanya
yang berjudul “Foundation of Sign Theory” mengelompokan semiotika menjadi
tiga bagian atau tiga cabang ilmu tentang tanda yaitu;

1. Semantics, yang mempelajari bagaimana sebuah tanda berkaitan dengan


yang lain.

43
2. Syntactics, yang mempelajari bagaimana sebuah tanda memiliki arti
dengan tanda yang lain.
3. Pragmatics, yang mempelajari bagaimana tanda digunakan dalam
kehidupan sehari – hari.

Studi tentang bagaimana mengorganisasikan sistem tanda – tanda dan


penggunanya disebut syntactic dan pragmatic codes. Syntactic mempelajari
bahwa sebuah tanda mempunyai arti bila dikaitkan dengan tanda lain, dalam
sebuah aturan formasi, atau disebut sebagai tata bahasa. Sedangkan pragmatics
mempelajari bahwa sesuatu memiliki arti tergantung pada kesepakatan sehari –
hari sebuah komunitas. Misalnya, kata clean bagi kelompok penggemar tato
adalah bagian tubuh yang belum sama sekali di tato, sedangkan bagi komunitas
lain kata clean memiliki makna yang berbeda (Little John, 2002) dalam (Vera,
2014).

Berdasarkan Kaelan dalam (Vera, 2014) lingkup pembahasannya, semiotika


dibedakan atas tiga macam seperti berikut.

1. Semiotika murni (Pure)

Pure Semiotic membahas tentang dasar filosofis semiotika, yaitu berkaitan


dengan metabahasa, dalam arti hakikat bahasa secara universal. Misalnya,
pembahasan tentang hakikat bahasa sebagaimana dikembangkan oleh
Saussure dan Peirce.

2. Semiotika Deskriptif (Descriptive)

Descriptive Semiotic adalah lingkup semiotika yang membahas tentang


semiotika tertentu, misalnya sistem tanda tertentu atau bahasa tertentu
secara deskriptif.

3. Semiotika Terapan (Applied)

44
Applied Semiotic adalah lingkup semiotika yang membahas tentang
penerapan semiotika pada bidang atau konteks tertentu, misalnya dengan
kaitannya sistem tanda sosial, sastra, komunikasi, periklanan, dan lain
sebagainya.

Oleh karena itu peneliti ini akan menggunakan metode analisis semiotika.
Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)
memaknai hal - hal (things). Memaknai berarti bahwa objek - objek tidak hanya
membawa informasi, dalam hal mana objek - objek itu hendak berkomunikasi,
tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

Peneliti akan mencoba memaknai analisis semiotika Charles Sanders


Peirce yang berusaha memaknai objek – objek yang tidak hanya membawa
informasi tetapi objek tersebut akan berkomunikasi dan juga mengkonstruksi
sistem terstruktur dari sebuah tanda.

3.3 Unit Analisis

Menurut (Hamidi, 2010) menyatakan bahwa unit analisis adalah satuan


yang diteliti yang bisa berupa individu, kelompok, benda atau suatu latar peristiwa
sosial seperti misalnya aktivitas individu atau kelompok sebagai subjek penelitian.
Unit analisis Peneliti ialah film The Godfather itu sendiri, benda tersebut
merupakan hasil dari download, berasal dari situs website Layarkaca21. Peneliti
menggunakan dalam bentuk video dengan format MP4 dan mempunyai resolusi
1280x720 (720p) atau menggunakan resolusi HD Ready. Serta menggunakan
buku novel untuk acuan dalam pembuatan skripsi tersebut. Dalam hal ini disebut
bisa dari data digital, data online, dan data sekunder berupa buku dari novel itu
sendiri.

45
Gambar 3.1 : Unit Analisis Penelitian

Gambar 3.1 Menggambarkan Unit Analisis Penelitian

Sumber: Dokumen Peneliti

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data penelitian komunikasi kualitatif pada umumnya isinya berupa informasi


kategori substantif yang sulit dinumerisasikan. Menurut (Arikunto, 2006) metode
penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data
penelitiannya ”. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa metode
penelitian adalah cara yang dipergunakan untuk mengumpulkan data yang di
perlukan dalam penelitian.

46
Tabel 3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan Data Penjelasan


Sumber primer adalah sumber data
yang lansung memberikan data
Data Primer menurut
kepada pengumpul data. Dalam hal
(Sugiyono, 2011)
ini data primer yang peneliti yang
akan pakai ialah data audio visual.
Sumber data yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul
data, misalnya lewat orang lain atau
Data sekunder menurut lewat dokumen. Dalam hal peneliti
(Sugiyono, 2011) menggunakan data sekunder
beberapa jurnal terkait, novel yang
mendasarkan film tersebut, artikel –
artikel terkait, dan data online.
Tabel 3. 1 Menjelaskan Tabel Pengumpulan Data
Sumber: Peneliti

Dari tabel tersebut disimpulkan peneliti menggunakan dua sumber data,


yaitu data dari primer yaitu film The Godfather itu sendiri, sedangkan data
sekunder peneliti menggunakan dari data online yang berguna untuk mencari
profil film tersebut, mulai dari novel, sutradara, pemain, studio produksi, sinopsis
atau alur cerita, dan sebagainya

3.5 Metode Analisis Data

Analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam metode ilmiah,
karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dan
memecahkan masalah penelitian.

47
Setelah peneliti mengumpulkan data dan telah terpenuhi, selanjutnya
peneliti akan melakukan analisis data. Analisis data dengan cara menggunakan
teknik analisis data semiotika Charles Sanders Peirce. Perbincangan sistematis
semiotik menempati dalam khazanah ilmu pada abad ke-20, yaitu adanya ketika
adanya dua tokoh ahli semiotika atau pencetus semiotika dalam hal ini disebut
founding father semiotik berasal dari dua benua yang berbeda, yaitu Ferdinand de
Saussure (Swiss, Eropa) dan Charles Sanders Peirce (Amerika Serikat, Amerika).
Arus wacana semiotik yang mereka introdusir hampir bersamaan, sekalipun
menyadarkan prinsip semiotik pada landasan yang berbeda hingga melahirkan
konsep pemikiran berbeda juga. Karena dalam ilmu yang mereka tekuni sangatlah
berbeda, Peirce seorang pakar bidang linguistik dan logika, sedangkan Saussure
seorang pakar linguistik modern, oleh sebab itu adanya perbedaan mendasar
dalam penerapan konsep – konsep semiotik sampai sekarang ini. Peirce dalam
Rusmana memaknai semiotik sebagai studi tentang tanda dan segala yang
berhubungan dengannya; cara berfungsinya (sintaksis semiotik), hubungan
dengan tanda – tanda lain (semantik semiotik), serta pengirim dan penerimanya
oleh mereka yang menggunakannya (pragmatik semiotik).

Tokoh semiotik termuka yang tidak bersentuhan dengan strukturalisme,


salah satu yang harus disebut terlebih dahulu ialah Peirce. Meskipun ia hidup
sezaman dengan de Saussure, ia tidak pernah berhubungan dan mengenal de
Saussure. Peirce mempunyai kemiripan dengan pemikiran de Saussure, terutama
tentang arti penting kelahiran pandangan atau teori baru yang memfokuskan
perhatiannya pada upaya menganalisis dan menafsirkan tanda.

Tokoh yang bernama lengkap Charles Sanders Peirce ini lahir pada tahun
1839 dan meninggal pada tahun 1914. Ia belajar di Harvard University pada tahun
1854. Karier intelektualnya berawal sebagai ahli matematika dan fisikawan ketika
bergabung dengan Coast Survey (1891). Ia juga pernah menjadi dosen di

48
Universitas John Hopkins antara tahun 1879 – 1884. Akan tetapi ia tidak pernah
mendapat jabatan akademis karena sikapnya yang keras dan emosional.

Bagi Peirce dalam (Rusmana, 2014) mempunyai prinsip mendasar sifat


tanda adalah sifat representatif dan sifat interpretatif. Sifat respresentatif tanda
berarti tanda merupakan sesuatu yang mewaklii sesuatu yang lain (something that
represent something else), sedangkan sifat interpretatif artinya tanda tersebut
memberikan peluang bagi interpretasi bergantung pada pemakai dan penerimanya.
Peirce dalam Rusmana juga memandang tanda bukan sebagai struktur, melainkan
bagian dari proses pemahaman (signifikasi komunikasi). Tanda merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda.
Ia menyebutkan representamen , sedangkan sesuatu yang ditunjuk atau diacunnya
disebut objek. Tanda yang diartikan sebagai “sesuatu yang mewakili sesuatu yang
lain” bagi seseorang berarti menjadikan tanda bukan sebagai entitas otonom.
Seperti yang diketahui bahwa analisis semiotika merupakan metode yang dapat
digunakan untuk menganalisis teks didalam hubungannya dengan berbagai bentuk
lambang dan gambar.

49
Tabel 3.2 Tabel (R-O-I)

Manusia memerepsi dasar (ground) tanda


Tahap 1 (disebut juga respentamen), misalnya melihat (R)
asap dari jauh.
Ia mengaitkan dasar (ground) dengan
pengalaman, misalnya asap dikaitkan dengan
Tahap 2 (O)
kebakaran dirunjuk oleh asap atau dasar (asap)
merunjuk pada objek (kebakaran)
Kemudian ia menafsirkan kebakaran itu terjadi (I)
Tahap 3 di pertokoan yang dikenalnya. Proses ini
disebut dengan interpretant.
Tabel 3.2 Menjelaskan mengenai tabel analisis Representamen, Object, dan
Interpretant
Sumber: (Rusmana, 2014 p. 108)
Ketiganya (R-O-I) menjadikan semiotik sebagai sesuatu yang tidak
terbatas. Selama gagasan penafsir dapat dipahami oleh penafsir lain, posisi
penafsir pun penting sebagai agen yang mengaitkan tanda dengan objeknya.
Pemahaman terhadap struktur semiotik menjadi hal mendasar yang tidak dapat
diabaikan oleh seorang penafsir.

Menurut (Vera, 2014) Charles Sanders Peirce dikenal dengan model


triadic dan konsep trikonominya yang terdiri atas:

1. Respresentamen; bentuk yang diterima oleh tanda atau berfungsi


sebagai tanda (Saussure menamakannya signifer). Respresentamen
kadanng diistilahkan juga menjadi sign.
2. Interpretant; bukan penafsir tanda, tetapi lebih merujuk pada
makna dari tanda.
3. Object; sesuatu yang menunjuk pada tanda. Sesuatu yang diwakili
oleh representamen yang berkaitan dengan acuan. Object dapat

50
berupa representasi mental (ada dalam pikiran), dapat juga berupa
sesuatu yang nyata di luar tanda (Peirce, 1931 & Silverman, 1983,
dalam Chandler).

Berdasarkan konsep tersebut maka dapat dikatakan bahwa makna sebuah


tanda dapat berlaku secara probadi, sosial atau bergantung pada konteks tertentu.
Perlu dicatat bahwa tanda tidak dapat mengungkapkan sesuatu, tanda hanya
berfungsi menunjukan, sang penafsirlah yang memaknai berdasarkan pengalaman
masing – masing (Vera, 2014).

Model triadik dari Peirce sering disebut juga sebagai “triangle meaning
semiotics” atau dikenal dengan teori segitiga makna, yang dijelaskan secara
sederhana: “tanda adalah sesuatu yang berkaitan pada seseorang untuk sesuatu
dalam beberapa hal atau kapasitas (Vera, 2014). Tanda juga menunjuk pada
setara, atau suatu tanda yang lebih berkembang, tanda yang diciptakannya
dinamakan interpretant dari tanda pertama. Tanda itu menunjukan sesuatu, yakni
objeknya” (Fiske,2007:63)

Gambar 3.2 Model Triadik Semiotika Charles Sanders Peirce

Gambar 3.2 Segitiga Semiotika Charles Sanders Peirce


Sumber: (Vera, 2014, p. 22)

51
Model segitiga Peirce memperlihatkan masing – masing titik dihubungkan
oleh garis dengan dua arah, yang artinya setiap istilah (term) dapat dipahami
hanya dalam hubungan satu dengan yang lainnya. Peirce menggunakan istilah
yang berbeda untuk menjelaskan fungsi tanda, yang baginya adalah proses
konseptual, terus berlangsung dan tak terbatas (yang disebutnya “semiosis tak
terbatas,“ rantai makna-keputusan oleh tanda – tanda baru menafsirkan tanda
sebelumnya atau seperangkat tanda – tanda) (Vera, 2014).

Dalam model Peirce sendiri, makna dihasilkan melalui rantai dari tanda –
tanda (menjadi interpretants), yang berhubungkan dengan model dialoglisme
Mikhail Bakhtin, dimana setiap ekspresi budaya selalu merupakan respons atau
jawaban terhadap ekspresi sebelumnya, dan yang menghasilkan respons lebih
lanjut dengan menjadi addressible kepada orang lain (Martin Irvine, 1998 – 2010)

 Representament / sign (tanda).

 Object (sesuatu yang dirujuk).

 Interpretant (“hasil” hubungan representamen dengan objek).

Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda (sign) adalah kata. Sesuatu syarat
yang dapat disebut respresentamen (tanda) jika memenuhi 2 seperti berikut (Vera,
2014).

1. Bisa dipersepsi, baik dengan panca-indera maupun dengan


pikiran/perasaan
2. Berfungsi sebagai tanda (mewakili sesuatu yang lain) (Vera, 2014).

Objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda, bisa beupa materi yang
tertangkap panca-indera, bisa juga bersifat mental atau imajiner. Apabila ketiga
elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna
tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut (Vera, 2014).

52
Sebenarnya titik sentral dari teori semiotika Charles Sanders Peirce adalah
sebuah trikonomi yang terdiri atas 3 tingkat dan 9 sub-tipe tanda.

Tabel 3.3 Tiga Trikonomi Charles Sanders Peirce

1 2 3
Representament (R1) Qualisign Sinsign Legisign

Object (O2) Icon Index Symbol

Interpretant (I3) Rhema Dicisign Argument


Tabel 3.3 Menjelaskan mengenai tabel trikonomi semiotika Charles Sanders
Peirce
Sumber: (Vera, 2014, p. 23)

Sebagaimana disebutkan bahwa Peirce memandang bahwa bahasa sangat


berkaitan dengan realitas karena semiosis merupakan konfigurasi metode
memaknai realitas secara bertahap (Rusmana, 2014). Dalam rangka memaknai
realitas, subjek memahaminya berdasarkan keberlakuan tanda. Keberlakuan tanda
bersifat trikotomis, yaitu:

 Firstness: Tingkat pemahaman subjek dan eksistensi tanda – tanda


masih potensial, penuh probabilitas dan perasaan. Tahap ini dapat
disebut sebagai tahap pencerapan potensi.

 Secondness: Tingkat pemahaman dan eksistensi tanda sudah


berhadapan atau konfrotasi dengan realitas ketika subjek
memahami eksistensi realitas. Pada tahap ini disebut sebagai
pencerapan aktualitas.

 Thirdness: Tingkat pemahaman dan eksistensi tanda ketika sudah


terformulasasikan aturan atau hukum yang berlaku umum untuk

53
mengonstitusi pemahaman subjek terhadap realitas. Tahap terakhir
ini dapat disebut sebagai abstaksi

Selanjutnya, dalam mengkaji objek, Peirce melihat segala sesuatu dari tiga jalur
logika, yaitu sebagai berikut (Rusmana, 2014).

1. Hubungan Representament (R) dengan jenis Representament:

a. qualisign (dari quality sign): representament yang bertalian


dengan kualitas atau warna;

b. sinsign (dari singular sign): representament yang berkaitan


dengan fakta real;

c. legisgn (dari legitatif sign; lex = hukum): representament


yang bertalian dengan kaidah atau aturan.

2. Hubungan Object (O) dengan jenis Representament (R;


Dasar/Ground):

a. Icon. Hubungan representament (R) dan Object (O) yang


memiliki keserupaan (semilitude atau resemblance) atau
“tiruan tak serupa” dengan bentuk objek (terlihat pada
gambar atau lukisan). Peirce juga membagi icon dalam tiga
bentuk, yaitu icon image, icon diagram, dan icon metafora.

b. Indeks. Hubungan representament (R) dan Object (O) yang


terjadi karena keterkaitan atau hubungan kausal antara
dasar dan objeknya.

c. Symbol atau tanda sebenarnya. Hubungan representament


(R) dan Object (O) yang terbentuk karena adanya konvensi.
Dalam tradisi Semiotik Peirce, keberadaan ikon dan indeks
ditentukan oleh hubungan referen – referennya, sementara

54
simbol ditentukan oleh posisinya di dalam sistem yang
arbitrer dan konvensional. (Rusmana:2014)

3. Hubungan Interpretant (I) dengan jenis Representament (R):

a. Rhame or seme: Representament yang masih memiliki


berbagai kemungkinan (probabilitas) yang diinterpretasi
oleh interpreter;

b. Dicent or dicisign: Representament yang sudah dapat


dijadikan fakta real dan memiliki makna tertentu;

c. Argument: Representament yang sudah dihubungkan


dengan kaidah atau preposisi tertentu.

Tabel 3.4 Trikotomi Semiotika Charles Sanders Peirce

Trikotomi (Kategori) Relasi ke


Representament Relasi ke Objek
Interpretan

Fistnes (Kualitas) Qualisign Icon Rhema

Secondness (Fakta real) Sinsign Index Dicent

Thirdness
Legisign Symbol Argument
(Kaidah/aturan)

55
Tabel 3.5 Metode Analisis Data

Instrument

No Data Penelitian
Represetamen Object Interpretant

Makna yang
terkandung
Data yang dipilih secara Penanda yang didalam
Object yang
purpose sampling dan akan diperlihatkan sebuah scene
akan menjadi
1 berdasarkan dengan data scene atau adegan atau adegan
acuan
– data yang sesuai fokus – adegan yang yang dalam hal
penanda
penelitian telah dipilih ini berkaitan
dengan fokus
penelitian.
Deskripsi atas
Deskripsi sifat dari
Data yang dipilih secara Deskripsi atas
atas sifat dari hubungan
purpose sampling dan sifat dari
hubungan antara
2 berdasarkan dengan data hubungan antara
antara Object Interpretant
– data yang sesuai fokus Representamen
dengan dengan
penelitian dengan Object.
Interpretant. Representamen
.

56
Object Interpretant
Representamen
dengan dengan
dengan Object
Data yang dipilih secara Interpretant Representamen
memilki
purpose sampling dan memiliki t memiliki
Trikonomi yang
3 berdasarkan dengan data Trikonomi Trikonomi
terdiri dari
– data yang sesuai fokus yang terdiri yang terdiri
Qualisign,
penelitian dari : Icon, dari : Rhema,
Sinsign, dan
Index, dan Dicisign, dan
Legisign.
Symbol. Argument
Tanda – tanda apa saja yang berada dalam penelitian
Kesimpulan

Tabel 3.5 Menjelaskan bagaimana cara atau menganalisis data dalam Semiotika
Charles Sanders Peirce
Sumber: Dokumen Peneliti

3.6 Metode Pengujian Data

Mulai dari proses pengumpulan data hingga sampai kepada analisis data
diperlukan data analisis yang akurat. Oleh karena itu diperlukan adanya pengujian
data atau validasi data. Oleh karena itu peneliti mennggunakan salah satu metode
pengujian data, yaitu menggunakan metode deskripsi kaya dan padat (rich and thick
description). Rich and thick description (Creswell:2016) mendefinisikan bahwa
deskripsi ini setidaknya harus berhasil menggambarkan ranah (setting) penelitian
dan membahas salah satu elemen dari pengalaman – pengalaman partisipan. Ketika
para peneliti menyajikan deskripsi yang detail mengenai setting misalnya, atau
menyajikan banyak perspektif mengenai tema, hasilnya bisa lebih realistis dan
kaya. Dalam prosedur ini tentu saja akan menambah validitasi hasil penelitian. Oleh
karena itu peneliti akan mendeskripsikan scene per scene dengan sangat detail.
Setelah di deskripsikan barulah peneliti akan menganalisis menggunakan semiotika
Charles Sanders Peirce sampai mendapatkan hasil yang realistis. Tentunya scene

57
per scene tersebut sesuai dengan fokus penelitan yang ingin peneliti lakukan, yaitu
maskulinitas.

Untuk dapat mengetahui bagaimana penerapan semiotika Charles Sanders


Peirce, peneliti akan mencoba memberikan contoh penjabaran tersebut:

Tabel 3.6 Contoh Penjabaran Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce

Sign

Gambar 3.3 Menggambarkan scene 43 dari film


The Godfather.
Sumber: Dokumen Peneliti
Scene tersebut ketika Michael bertemu dengan
Ayahnya, Don Corleone di kebun Keluarga
Corleone, dan Don mengatakan bahwa Barzini
akan menyerang duluan, bahwa jika Barzini
mengadakan pertemuan, Michael akan dibunuh
duluan. Michael yang menatap Ayahnya dengan
dingin dan percaya bahwa keselamatan ia akan
Object baik – baik saja. Don Corleone juga mengatakan
kepada Michael, tentang keluarga Michael
apakah bahagia. Michael berkata dengan senang,
bekata sangat senang, Don Corleone berkata itu
sangat bagus. Don Corleone akan lebih berhati –
hati lagi, ia juga berpesan bahwa “Wanita dan
anak – anak bisa ceroboh, tetapi laki – laki
jangan.” Dan menanyakan pula tentang cucunya,

58
ia melihat cucunya makin lama makin mirip
dengan Michael, Michael sangat senang ketika
Don menanyakan anaknya. Don Corleone pun
juga senang karena Michael bercerita bahwa
anaknya dalam usia tiga tahun sudah bisa
membaca buku komik dan lebih pintar dari
Michael. Dan menyuruh Michael semua urusan
keluarga. Awalnya, Don ingin menguruskan
kepada Fredo, namun Fredo yang begitu lemah
tidak jadi dalam pengurusan Keluarga. Dan Don
awalnya juga harusnya Michael tidak
menguruskan Keluarga Corleone, ia bekerja
sepanjang hidupnya, dan tidak minta maaf karena
mengurus Keluarga Corleone, dan ia menolak
jika salah satu orang keluargnya menjadi orang
bodoh, yang bisa di atur – atur dari orang lain.
Don Corleone tidak menyesal. Ia menyarankan
bahwa Keluarga Corleone bisa menjadi orang
yang sukses, namun tidak ada waktu lagi.
Michael yang percaya tentang bisa dilakukannya,
lalu Don Corleone mencium anak kesayangan ia
dengan kasih sayang kepada orang tua kepada
anaknya, dan ia berpesan siapa yang
memberitahu soal pertemuan Michael dengan
Barzini, orang itu pengkhianat Keluarga
Corleone.
Dalam scene tersebut jelas terlihat object
Interpretant mempunyai unsur dari konsep maskulinitas, yaitu
new man as nurturer, yang berarti seorang laki –

59
laki memiliki kelembutan seperti seorang bapak.
Dalam hal ini merupakan dari rheme. Namun dari
segi object bersifat indeks, dikarenakan seorang
bapak jika sayang kepada anaknya ketika
berbakti kepada orang tuanya. Dalam
representament kategori dalam scene tersebut
dimasukan ke dalam qualisign dan legisign.
Dalam kategori qualisign menjelaskan bahwa
Don Vito Corleone mencium Michael Corleone
anaknya, ketika ia menjelaskan bahwa ia dan
keluarganya sudah bahagia, bahkan Don Vito
Corleone sangat sayang kepada Michael
Corleone ketimbang kakaknya yaitu Fredo
Corleone. Namun dalam segi legisign, seorang
orang tua yang sudah sayang anaknya sudah pasti
orang tua mencium anak kesayangannya.
Tabel 3.6 Menjelaskan Mengenai Contoh Analisa Semiotika Charles Sanders Peirce.
Diambil dari dokumen peneliti.

3.7 Keterbatasan Penelitian

Dalam hal ini peneliti memiliki ketetbatasan terkait dengan apa yang
peneliti lakukan. Adanya keterbatasan tersebut yakni peneliti seharusnya bisa
lebih dalam mengkaji materi tentang penelitian ini yang lebih baik. Misalnya
peneliti bisa mengkaji lebih dalam dengan menggunakan kajian analisis semiotika
lainnya seperti contohnya analisis semiotika lainnya.

60
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Subjek Penelitian

4.1.1 Profil Film The Godfather

Film The Godfather merupakan film berdasarkan dari buku novel karya
Mario Puzo ( 1920 – 1999) tahun 1969, novel tersebut terjual sebanyak 21 juta
copy lebih di seluruh dunia. Karena novel tersebut menjadi best seller, Mario
Puzo dan Francis Ford Coppola bekerja sama untuk mengadaptasi novel tersebut
ke layar lebar (film). Puzo dan Coppola akhirnya mendapatkan Piala Oscar untuk
kategori Skenario Adaptasi Terbaik pada tahun 1973 di ajang Academy Awards
ke 45. Sedangkan The Godfather Part I dan The Godfather Part II sendiri terpilih
sebagai film terbaik pada tahun 1972 untuk film The Godfather Part I sedangkan
The Godfather Part II menjadi film terbaik pada tahun 1974. Oleh karena itu
Peneliti hanya ingin meneliti dari film The Godfather yang dirilis pada tahun
1972. Film ini pertama kali tayang di Loew’s State Theatre (sekarang merupakan
sudah dialihfungsikan menjadi Gedung Bertlesmann), Times Square, New York
pada 15 Maret 1972, dan pada tanggal 24 Maret 1972 film ini resmi dirilis untuk
negara Amerika Serikat dan Kanada.

Film ini sangat fenomenal pada tahun 1972 dan mendapatkan kritikan
positif dari pengamat film. Bahkan dalam Rotten Tomatoes memberikan nilai
99% dan fresh. Metacritic juga memberi nilai sempurna untuk film ini yaitu nilai
100 dari 15 reviewer, bahkan dalam situs IMDb (Internet Movie Database), film
tersebut menduduki urutan kedua dari Top 250 Rated Movies sesudah film “The
Shawshank Redemption” karya sutradara Frank Darabont dengan nilai 9,2 poin
dari 10 poin dengan penilaian dari 1,8 juta rating, sedangkan “The Godfather”

61
karya sutradara Francis Ford Coppola sendiri meraih nilai yang sama yaitu 9,2
poin dari 10 poin dari 1,2 juta rating. Urutan kedtiga di duduki oleh sequel dan
prequel film “The Godfathe” yaitu “The Godfather Part II” dengan nilai 9,0 poin
dari 10 poin dari 882.575 rating. Kritikus film Roger Ebert (1942 – 2013) yang
terkenal akan kritikan “pedasnya” terhadap dunia perfilman memberikan nilai 4
bintang dari 4 bintang dan memberikan predikat film The Godfather sebagai
“Great Movie Best of the Year” (Film Terbaik Tahun Ini) pada tahun 1972.

The Godfather merupakan film dengan genre drama, crime film. Hal ini
disebabkan film The Godfather menceritakan kehidupan keluarga Mafia bernama
Corleone yang dipimpin oleh Don Vito (Andolini) Corleone dari kota Corleone,
Pulau Sisilia di kota New York pada era 1940an sampai 1950an. Film ini menjadi
bahan acuan dalam film bergenre Gangster di dunia perfilman khususnya dalam
Hollywood.

Bahkan dalam American Film Institute memasukan film ini dalam AFI’s
100 Years...100 Movie Quotes memasukan dalam urutan kedua dari 100 film
dalam movie quotes terbaik yaitu, “I’m gonna make him an offer he can’t
refused.” Atau dalam Bahasa Indonesia berdasarkan diterjemahkan oleh B. Sendra
Tanuwijaja yang mengatakan, “Akan kuberi ia penawaran yang tidak bisa
ditolaknya.” (Puzo, 2017)

62
Gambar 4.1 Poster film The Godfather

Gambar 4.1 Poster Film The Godfather


Sumber: IMDB.com

Tabel 4.1 Para Pemain Film The Godfather


Pemain Pemeran
Marlon Brando Don Vito Corleone
Al Pacino Michael “Mike” Corleone
James Caan Santino “Sonny” Corleone
Richard S. Castellano Peter “Fat Pete” Clemenza
Robert Duvall Thomas “Tom” Hagen
Sterling Hayden Captain McCluskey
John Marley Jack Woltz
Richard Conte Don Emilio Barzini
Al Lettieri Virgil “The Turk” Sollozo
Diane Keaton Katherine “Kay” Adams
Abe Vigoda Salvatore “Sal” Tessio
Talia Shire Constanzia “Connie”
Corleone
Gianni Russo Carlo Rizzi
John Cazale Frederico “Fredo” Corleone

63
Rudy Bond Carmine Cuneo
Al Martino Johnny Fontane
Morgana King Carmela Corleone
Lenny Montana Luca Brasi
John Martino Paulie Gatto
Salvatore Corsitto Amerigo Bonasera
Richard Bright Albert “Al” Neri
Alex Rocco Moe Greene
Tony Giorgio Bruno Tattaglia
Vito Scotti Nazorine the Baker
Tere Livarno Theresa Hagen
Victor Rendina Don Philip Tattaglia
Jeannie Linero Lucy Mancini
Julie Gregg Sandra Corleone
Ardell Sherdian Signora Clemenza
Simonetta Stefanelli Apollonia Corleone (nee
Vitelli)
Angelo Infanti Fabrizio
Corrado Gaipa Don Tommasino
Franco Citti Calò
Saro Urzi Signor Vitelli

Tabel 4.1 Cast dari film The Godfather


Sumber: IMDB.com

Sebuah film sebagus apapun dan sesukses apapun tidak luput dari tangan –
tangan dingin para crew dan pihak – pihak yang terlibat dalam penggarapan film.
Begitu juga dengan film The Godfather yang sukses berkat orang – orang yang
terlibat didalamnya. Dan inilah orang – orang yang menjadikan film The
Godfather sukses meraih beberapa penghargaan khususnya memenangkan
Skenario Adaptasi Terbaik dalam ajang Academy Awards ke 44 tahun 1973.

Tabel 4.2 Tim Produksi Film The Godfather


Jabatan Nama
Sutradara Francis Ford Coppola
Penulis Naskah Francis Ford Coppola dan
Mario Puzo

Berdasarkan novel dari


Mario Puzo

64
Produser Albert S. Ruddy

Gray Fredrickson

Robert Evans (uncredited)


Musik Nino Rota
Sinematografi Gordon Willis
Film Editing Williams Reynolds

Peter Zinner
Bahasa Inggris

Italia

Latin
Distribusi Paramount Pictures
Tanggal rilis 15 Maret 1972 (Loew’s
State Theater)

24 Maret 1972 (Amerika


Serikat dan Kanada)
Durasi 177 menit ( 2 jam 57 menit)
Tabel 4. 2 Crew Film The Godfather

4.1.2 Karakter Utama dan Karakteristik dalam Film The Godfather

A. Karakter Utama dalam Film The Godfather.

Dalam film The Godfather karakter yang ditampilkan sangat banyak,


namun pusat dalam film tersebut hanya beberapa karakter yaitu Don “The
Godfather” Vito Corleone (Marlon Brando), Santino “Sonny” Corleone (James
Caan), Thomas “Tom” Hagen (Robert Duvall), Frederico “Fredo” Corleone (John
Cazale), Johnny Fontane (Al Martino) dan Michael “Mike” Corleone (Al Pacino).

Dalam film ini karakter Don Vito Corleone (Marlon Brando) adalah
kepala Keluarga Corleone yang berasal dari negara Italia khususnya dari kota
Corleone, Pulau Sisilia, Italia. Lalu Santino “Sonny” Corleone (James Caan)
merupakan Italia-Amerika yang merupakan anak laki – laki tertua dari Keluarga

65
Corleone. Lalu Thomas “Tom” Hagen (Robert Duvall) merupakan consigliere
keluarga atau disebut juga “Tangan Kanan” boss, seorang dari Irlandia-Amerika
dan merupakan juga anak angkat dari Don Vito Corleone. Lalu Frederico “Fredo”
Corleone seorang Italia-Amerika dan merupakan anak laki – laki kedua dari
Keluarga Corleone. Lalu Johnny Fontane (Al Martino) seorang aktor dan juga
merupakan godson dari Don Vito Corleone. Dan yang terakhir Michael “Mike”
Corleone seorang Italia-Amerika anak laki – laki terakhir Keluarga Corleone.

B. Karakteristik dalam Film The Godfather dan Para Pemerannya.

a) Marlon Brando sebagai Don Vito Corleone.

Karakter Don Vito Corleone dikenal sangat setia kepada teman dan sekutunya,
tapi akan menyalakannya jika dikhianati. Dia juga seorang kepala Keluarga
Corleone, ayah dan suami yang sangat mencintai dan peduli kepada keluarganya,
pria tua asal dari negara Italia yang memiliki suara serak, serta memiliki rambut
dengan uban dengan banyak. Pemeran Don Vito Corleone ialah aktor senior
Hollywood bernama Marlon Brando. Marlon Brando lahir pada tanggal 3 April
1924 dan meninggal dunia pada tanggal 1 Juli 2004 di Westwood, California.
Sebelum membintangi dalam film The Godfather, Marlon Brando sudah
memainkan dan mendapatkan Piala Oscar kategori Best Actor for Leading Role
pada ajang Academy Awards ke 27 pada tahun 1955 dalam film “On the
Waterfront” karya sutradara Elia Kazan, saat itu umur Brando 31 tahun.

Pada seketika itu juga Marlon Brando mendapatkan project film dalam
Hollywood begitu besar hingga tahun 1972 Francis Ford Coppola menginkan
Marlon Brando memerankan seorang mafia berasal dari Italia yang bernama Don
Vito Corleone (sebelumnya Laurence Olivier menjadi kandidat untuk
memerankan tokoh ini, namun menolaknya). Marlon Brando di makeup khusus
untuk menjadi “tua” padahal tahun itu ia masih berumur hampir 50 tahun tepatnya
47 tahun. Terakhir Marlon Brando berakting dalam mengisi suara sebagai Don

66
Vito Corleone dalam video game yang berjudul dari film tersebut yaitu: The
Godfather: The Game.

b) James Caan sebagai Santino “Sonny” Corleone.

Tokoh Santino “Sonny” Corleone sangat berbeda dengan Ayahnya Don Vito
Corleone sifatnya yang bergitu kasar, mudah pemarah, “selayaknya” pemimpin
Keluarga dia merupakan orang yang ditakuti oleh teman – temannya, tetapi hanya
satu kelemahan dari Sonny Corleone ini mempunyai kekasih gelap yang bernama
Lucy Mancini (Jeannie Linero) meskipun Sonny Corleone memiliki istri yang
bernama Sandra Corleone (Julie Gregg). Orangnya mempunyai rambut dengan
ciri khas yaitu ikal, tinggi, dan berotot. Disikap yang sangat kasar kepada semua
orang, Sonny Corleone mencintai keluarganya dan menunjukkannya dengan sikap
protektif terhadap adik laki-lakinya Michael dan bahkan memukuli suami kasar
dari adik perempuan satu - satunya dari Keluarga Corleone yaitu Constazia
“Connie” Corleone (Talia Shire) dan suaminya yang bernama Carlo Rizzi (Gianni
Russo).

Serta Teman baiknya Tom Hagen, hal ini terbukti dalam film ketika Michael
Corleone dipukul oleh Kapten Polisi McCluskey (Sterling Hayden), Sonny dan
Tom Hagen merancang sebuah rencana untuk membalas dendam kepada adiknya,
hal ini dilakukan Sonny mengatur untuk membunuh Kapten McCluskey dan
Virgil “Si Turki” Sollozo (Al Lettieri). Sonny Corleone diperankan oleh James
Caan. James Caan lahir pada 26 Maret 1940 di Bronx, New York. Sebelum
memerankan Sonny Corleone, James Caan sudah memainkan sebanyak 11 film.
James Caan ketika memerankan Sonny Corleone berumur 32 tahun.

c) Robert Duvall sebagai Thomas “Tom” Hagen.

Thomas “Tom” Hagen merupakan anak angkat dari Keluarga Corleone dan
satu – satunya tokoh yang bukan berasal dari keturunan Italia, Tom Hagen berasal

67
dari keturunan dari Irlandia, Don Vito Corleone mengangkat Tom Hagen ketika
kedua orang tuanya meninggal, orangnya jangkung, rambut tipis, berbicara sopan,
dan Tom Hagen merupakan satu – satunya “Keluarga” Corleone yang masuk ke
perguruan tinggi dan mendapatkan gelar hukum sehingga Tom Hagen merupakan
pengacara pribadi Keluarga Corleone dan menjabat consigliere Don Vito
Corleone. Meski diadopsi oleh Corleones, dia mencintai mereka masing-masing
dan sangat sedih saat Sonny terbunuh, karena keduanya adalah teman baik. Tom
memang memiliki temperamen tapi tidak pernah benar-benar menunjukkannya
saat ia seharusnya bersikap tenang dalam situasi berbahaya. Tom adalah yang
paling cerdas dari Keluarga Corleone karena ia harus menjadi seorang consigliere,
tapi tidak pernah benar-benar seorang pejuang untuk memulai.

Robert Duvall lahir pada 5 Januari 1931 di San Diego, California. Robert
Duvall juga pernah masuk ke Angkatan Darat Amerika Serikat dari tahun 1953 –
1954 dengan pangkat terakhir Tantama Satu (Private First Class). Robert Duvall
berkolaborasi dengan Francis Ford Coppola pertama kali dalam film THX-1138
yaitu film fiksi ilmiah (sci-fi) karya sutradara George Lucas yang kelak membuat
film sci-fi yang terkenal yaitu Star Wars Saga, dan Robert Duvall berperan
sebagai THX-1138. Film yang drama yang menyajikan dalam segi cerita dalam
fiksi ilmiah. Dan tahun 1972 Francis Ford Coppola mengajak Robert Duvall
memainkan sebagai consigliere dalam film The Godfather, dan tahun itu juga
masuk dalam Nominasi Oscar dalam Kategori Aktor Pendukung Terbaik (Best
Supporting Actor) bersama lawan pemainnya Al Pacino dan James Caan. Robert
Duvall memerankan Tom Hagen pada umur 41 tahun.

d) John Cazale sebagai Frederico “Fredo” Corleone.

Frederico “Fredo” Corleone merupakan anak laki – laki kedua dari Keluarga
Corleone, ciri – cirinya selayaknya orang Italia, Fredo Corleone memiliki muka
mirip dengan Ayahnya Don Vito Corleone, tetapi digambarkan sebagai anak

68
orang Italia yang berdoa kepada orang-orang kudus, Fredo adalah saudara
Corleone yang paling lemah, yang hampir tidak menunjukkan keahlian dengan
pistol, walaupun secara fisik di masa mudanya dia memiliki reputasi yang cukup
tinggi. Dia juga dikenal memiliki sikap mudah tertipu dan membuat keputusan
bisnis yang buruk, ternyata dalam urusan rahasia dengan Johnny Ola, mengira dia
membantu keluarga tersebut. Seperti Keluarga Corleone, Fredo marah dan akan
menyerang siapa pun yang menghina dia atau keluarganya, yaitu istrinya. Namun,
karena Michael telah berkomentar mengenai kelemahan Fredo, dia membiarkan
Moe Greene menamparnya di depan umum dan bahkan membela yang terakhir
atas tindakan tersebut atas biaya sendiri, yang membuat Michael sangat kesal.

Fredo Corleone diperankan oleh John Cazale aktor dari Amerika Serikat dan
ia mempunyai keturunan Italia-Amerika. Cazale lahir pada tanggal 12 Agustus
1935 lalu meninggal dunia disebabkan kanker paru – paru pada tanggal 13 Maret
1978 di New York, Amerika Serikat. Sebelum kematiannya ia sempat berpacaran
dengan aktris peraih Oscar yaitu Maryl Streep. Dalam dunia perfilman Cazale
hanya bermain peran setidaknya hanya 6 film, dan film yang membawa ia menjadi
besar ialah ketika memerankan sebagai Fredo Corleone dalam film The Godfather
karya sutradara Francis Ford Coppola. Terakhir Cazale bermain film dengan
berjudul “The Deer Hunter” karya Michael Cimino. Untuk mengenang Cazale,
Francis Ford Coppola membuat sebuah rekaman arsip (archival footage) dalam
film The Godfather Part III tahun 1990. Cazale memerankan Fredo Corleone
ketika ia berumur 37 tahun.

e) Al Martino sebagai Johnny Fontane.

Johnny Fontane merupakan aktor Hollywood yang berasal dari Little Italy,
New York. Don Vito Corleone merupakan Godfather Johnny. Diceritakan bahwa
awal karir Johnny harus membayar 10.000 USD kepada Les Halley seorang
pemimpin band dari Les Halley Orchesta jika ingin membebaskan Johnny dari

69
kontrak hubungan kerja tersebut, tetapi ditolak oleh Les Halley. Besoknya Don
Vito Corleone mengajak Luca Brasi (Lenny Montana), untuk menegosiasikan
melepaskan kontrak tersebut, namun hanya seiring satu menit, negosiasi selesai
dan disepakati sebesar 1.000 USD, hal ini terjadi karena Luca Brasi menodongkan
pistol ke kepala Les Halley (Puzo, 2017).

Sebagai pria impulsif, Johnny sangat mencintai keluarganya namun


membiarkan dirinya terpisah dari mereka karena matanya yang mengembara. Dia
berusaha menjaga hubungan baik dengan semua orang yang dia hadapi dan
menjadi mudah tersinggung dengan orang – orang yang jelas tidak menyukainya,
seperti Tom Hagen. Johnny Fontane diperankan oleh Al Martino seorang
penyanyi sekaligus aktor. Al Martino atau dengan nama aslinya Jasper Cini lahir
pada tanggal 7 Oktober 1927 dan meninggal dunia pada tanggal 13 Oktober 2009
pada umur 82 tahun di Springfield, Pennsylvania. Al Martino hanya bermain film
dua kali dari sepanjang karir sebagai aktor yaitu dalam film The Godfather tahun
1972 dan The Godfather Part III tahun 1990. Al Martino ketika memainkan
karakter sebagai Johnny Fontane dalam film The Godfather berumur 45 tahun.

f) Al Pacino sebagai Michael “Mike” Corleone.

Michael “Mike” Corleone anak laki – laki terakhir dari Keluarga Corleone.
Dalam film The Godfather, Michael Corleone merupakan protagonis dari film
tersebut. Michael yang pada awalnya merupakan marinir Angkatan Laut Amerika
Serikat tidak tertarik dengan bisnis Ayahnya, Don Vito Corleone. Dalam film
tersebut karakteristik Michael Corleone ialah, layaknya seorang warga keturunan
Italia-Amerika, Michael mempunyai sifat yang sama dengan Ayahnya dalam hal
kecerdasan, kepribadian, serta kelicikan Don Vito Corleone. Michael mempunyai
sikap gentleman disemua Keluarga Corleone, Michael mmepunyai rambut dengan
belah kiri ciri khas orang tahun 1940an yang dimana pada saat itu laki – laki
terlihat maskulinitas dan rambutnya jika dilihat kelihatan berminyak, lalu ketika

70
menggunakan seragam marinir, Michael terkesan orangnya rapi, dan Michael
sangat sayang kepada kekasihnya Kay Adams (Diane Keaton).

Dalam film tersebut Michael berbagi sharing kepada Kay, dengan


menceritakan asal usul keluarga besar dia. Sebagai anak laki – laki terakhir,
Michael sangat disayangi oleh Sonny dan Tom Hagen. Karakteristik Michael
adalah orang terkuat di Keluarga Corleone, meski awalnya dia tidak mau
berurusan dengan bisnis keluarga, tapi ia cepat-cepat menarik diri setelah
percobaan pembunuhan terhadap Ayahnya. Ketika Michael mengajukan diri untuk
membunuh Sollozzo, semua orang, terutama Sonny Corleone kakaknya, terkejut.
Sementara Michael berpengalaman menangani senjata sejak ia masuk ke Marinir,
Clemenza mengajarkan kepadanya bagaimana menggunakan pistol dan
membuangnya. Lalu Michael merasa nyawanya terancam, Michael Corleone
mengasingkan diri ke Pulau Sisilia, dan disana ia menikah dengan Apollonia
Vitelli (Simonetta Stefanelli) gadis dari keturunan Yunani-Sisilia.

Michael “Mike” Corleone diperankan oleh Al Pacino. Al Pacino lahir pada


tanggal 25 April 1940 di Manhattan, New York. Al Pacino sebelum berperan
sebagai Michel Corleone sudah membintangi dua film yaitu “Me, Natalie” karya
sutradara Fred Coe dan “The Panic in Needle Park” karya sutradara Jerry
Schatzberg. Al Pacino merupakan aktor Italia-Amerika, tepatnya keluarga besar
Al Pacino berasal dari desa Corleone tempat Don Vito Corleone berasal. Al
Pacino, James Caan, dan Diane Keaton dalam pembuatan film The Godfather
hanya dibayar saat itu 35.000 USD dan pada saat itu banyak job yang memanggil
Al Pacino untuk menjadikan aktor dengan terbaik dimasanya. Al Pacino
memerankan Michael Corleone ketika umur 32 tahun. Dan dalam proses syuting
Al Pacino berpacaran dengan Diane Keaton lawan mainnya sebagai kekasih
Michael Corleone, Kay Adams.

71
4.1.3 Sinopsis Film The Godfather

Pada hari pernikahan putrinya, Connie Corleone dengan pria bernama


Carlo Rizzi. Don Vito Corleone selaku The Godfather Kepala Keluarga Corleone
tidak bisa menolak apapun permintaan atau kunjungan tamu. Salah satu tamu
bernama Amerigo Bonaserra yang meminta Vito untuk mengadili para pria tidak
bertanggung jawab yang melecehkan dan menganiyaya anaknya. Dilain waktu
pun Anak laki laki Vito, Michael Corleone yang merupakan Angkatan Laut
datang membawa kekasihnya Kay Adams. Beberapa waktu setelah itu datang
godson Vito yang seorang artis terkenal bernama Johnny Fontane, dia meminta
Vito untuk melindungi perannya di film impiannya. Beberapa waktu setelah
pernikahan, consiglieri, pengacara terkenal sekaligus anak angkat Vito, Tom
Hagen pergi ke Los Angeles unuk melindungi peran Johnny Fontane dari kepala
studio yang kasar, Jack Woltz. Jack Woltz tidak merespon dan malah mengusir
Tom. Namun keesokan harinya Woltz terbangun dengan melihat kuda
kesayangannya terpenggal ditempat tidurnya,menganggap bahwa Tom tidak main
main, Jack pun menyetujui peran Johnny Fontane.

Beberapa waktu sebelum natal 1945, Don Vito Corleone menerima


tawaran dari Virgil “Si Turki” Sollozo yang seorang bandar narkoba dari Keluarga
Tattaglia. Namun tawaran itu ditolak karena itu berhubungan dengan hal narkotika
yang dapat merusak koneksi politik Don Vito Corleone. Menganggap bahwa
Sollozo tidak akan berhenti sampai tawarannya diterima, Don Vito Corleone
mengirim serdadu kepercayaannya Luca Brasi untuk menjadi mata mata di
keluarga Tattaglia. Namun sebelum Luca berhasil masuk, Luca Brasi terbunuh
oleh Sollozzo dan Bruno Tattaglia. Diwaktu yang berbeda anak buah Sollozo
berhasil menembak Vito hingga cedera serius namun tidak tewas. Selama Vito
dirawat, anak pertama Vito, Sonny pun memimpin. Di bawah pimpinan Sonny,
Keluarga Corleone semakin dekat dengan ambang kehancuran. Ditengah
perseteruan antara Sonny dengan Tom. Michael pun mempunyai ide untuk

72
membunuh Sollozo dan pengawalnya yang merupakan kapten kepolisian yang
bernama Marc McCluskey disebuah pertemuan. Dan rencananyapun berhasil.

Mengacu perang dengan keluarga Mafia New York yang lain serta
Kepolisian, Sonny pun mulai merencanakan strategi. Diwaktu yang bersamaan
Vito pulang dari perawatannya di rumah sakit. Sebagai bentuk perlindungan dari
perang, anak ke 2 Vito, Fredo pergi ke Las Vegas, Nevada sedangkan Michael
pergi ke Sisilia, Italia.Namun suatu hari Carlo mencampakkan dan menyelingkuhi
istrinya Connie, hingga Sonny selaku seorang kakak, bertemu dan memukuli
Carlo, Sonny berjanji bahwa jika Carlo mencampakkan Connie lagi, Sonny akan
membunuh Carlo. Namun Carlo mencampakkan Connie lagi. Namun di dalam
perjalanan untuk bertemu & membunuh Carlo, Sonny terbunuh ditembaki dijalan
tol. Di Sisilia, Italia Michael menikahi Apollonia Vitelli namun harus berpisah
setelah Apollonia terbunuh dalam sebuah ledakan mobil. Setelah kematian Sonny,
Vito pun kembali memimpin Keluarga Corleone dan menyadari bahwa Keluarga
Tattaglia telah dikontrol oleh Don keluarga Barzini, Emilio Barzini. Merasa
keamanannya telah terjamin dengan Ayahnya yang sudah kembali berkuasa,
Michael kembali ke New York dan menikahi Kay Adams.

Beberapa tahun kemudian, Michael pun mulai menjadi Don


menggantikan Ayahnya yang ingin mengakhiri kariernya. Michael pun ingin
mengambil bisnis raja Judi Las Vegas, Moe Greene sekaligus menjemput Fredo.
Namun Moe Greene menolak dan mengusir Michael, sedangkan diwaktu yang
sama Michael menyadari bahwa Fredo telah menjadi budak Moe Greene.
Beberapa waktu kemudian Vito pun meninggal karena serangan jantung fatal
ketika bermain bernama anak Michael, Anthony dan Michael pun menjadi Don
yang baru bagi Keluarga Corleone karena kakak Michael, Fredo yang seharusnya
menjadi Don terlalu lemah untuk menanggung beban dan tanggung jawab seorang
Don.Untuk memperluas bisnis keluarga, Michael pun menyuruh caporegime
(capo) keluarga Corleone, Peter Clemenza,Pengawal pribadinya Al Neri serta

73
serdadu lain untuk membunuh Don dan anggota penting Mafia lain serta Moe
Greene disaat dirinya hadir dipembaptisan keponakannya, hal itu dilakukan agar
tidak ada yang mengira bahwa Michael adalah dalangnya. Setelah itu Michael pun
membunuh Carlo yang dikiranya adalah dalang dalam pembunuhan Sonny.
Michael pun akhirnya menjadi Godfather setelah para caporegime mencium
tangannya dan mengatakan Don Corleone.

4.1.4 Profil Sutradara Francis Ford Coppola

Gambar 4.2 Francis Ford Coppola

Gambar 4.2 Sutradara Film The Godfather, Francis Ford Coppola


Sumber: https://www.nyfa.edu/student-resources/francis-ford-coppola/

Francis Ford Coppola lahir pada tanggal 7 April 1939 di kawasan Detroit,
Amerika Serikat. Coppola sendiri tumbuh besar di New York. Ayahnya, Carmine
Coppola adalah seorang composer dan penulis musik di kawasan Broadway yang
juga telah mendapatkan piala Oscar.

Coppola memulai karirnya di dunia perfilman, dengan mengikuti kuliah


perfilman di UCLA dan Hofstra University. Di sana dia menekuni program
pembuat film (fiilm making). Pada tahun 1963, Coppola memproduksi film

74
pertamanya yang dia beri judul “Dementia 13”, sebuah film bergenre horor yang
dibuatnya selama 10 Hari. Dalam pembuatan film ini, Coppola dibantu oleh
sutradara film kelas B, Roger Corman. Corman mengizinkan Coppola untuk
menggunakan set, peralatan dan para kru yang digunakan untuk film The Young
Racers (1963).

Pada tahun 1966, Coppola memproduksi film keduanya, “You’re a Big


Boy Now”. Film ini sendiri berhasil masuk nominasi Oscar untuk kategori Best
Actress film dan mewakili Amerika di Festival Film Cannes. Suatu prestasi yang
sangat hebat mengingat Coppola yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa
dan belum memiliki banyak pengalaman di dunia film.

Pada tahun 1969, Coppola mendirikan perusahaan produksinya sendiri


yang bernama American Zoetrope dan mulai memproduksi banyak film seperti
“Rain People”, “THX -1138” dan “American Grafitti” yang disutradarai oleh
George Lucas. Dia turut menulis naskah untuk “Patton” (1970), yang
memenangkan Academy Award for Best Writing (Skenario Asli). Ketenaran
arahannya meningkat seiring dengan dirilisnya “The Godfather” (1972), sebuah
film yang merevolusi pembuatan film dalam genre gangster, mendapatkan pujian
dari kritikus dan publik. Ini memenangkan tiga Academy Awards, termasuk yang
kedua, untuk Academy Award for Best Writing (Adapted Screenplay), dan
berperan penting dalam memperkuat posisinya sebagai sutradara film Amerika
terkemuka.

Coppola mengikutinya dengan sekuel yang sangat sukses, “The Godfather


Part II” (1974), yang menjadi sekuel pertama yang memenangkan Academy
Award for Best Picture. Film ini sangat dipuji dan memenangkannya tiga
Academy Awards - untuk Skenario Terbaik yang Diadaptasi, Sutradara Terbaik
dan Gambaran Terbaik. Percakapan, yang disutradarai Coppola, diproduksi dan
ditulis, dirilis pada tahun yang sama, memenangkan Palme d'Or di Cannes Film

75
Festival 1974. Dia selanjutnya mengarahkan “Apocalypse Now” (1979); terkenal
karena produksinya yang terlalu panjang dan meluas, namun mendapat pengakuan
kritis atas penggambaran Perang Vietnam yang jelas dan menakjubkan,
memenangkan Palme d'Or di Cannes Film Festival 1979. Sampai hari ini,
Coppola adalah satu dari delapan pembuat film yang memenangkan dua
penghargaan Palme d'Or. Dia dan Michael Haneke adalah dua pembuat film yang
memenangkan keduanya pada dekade yang sama.

Coppola menghabiskan seluruh uangnya sewaktu menyutradarakan film


“Apocalypse Now” (1979), total bujet yang di perlukan untuk menyelesaikannya
mencapai 31 Juta Dollar. Namun ini semua terbayar ketika film yang dibuat ini,
menuai begitu banyak sukses baik kualitas dan finansial. Menurut beberapa
kritikus, film “Apocalypse Now” merupakan titik puncak karya Coppola di mana
film ini mengekspresikan visualisasi kegilaan dan eksperimental perang terbaik
sepanjang sejarah perfilman.

“Apocalypse Now” memenangkan 2 piala Oscar untuk Best Sound dan


Best Cinematography serta memenangkan Palme d’Or di Cannes Film Festival.
Hingga ini sutradara berjanggut tebal ini sudah menyutradarai 33 lebih judul film,
karyanya yang paling baru adalah “TETRO” (2009) film dengan format hitam
putih yang kali ini menjauh dari sisi Holywood. Film ini menceritakan kemelut
keluarga Eropa di Amerika Selatan.

Pada bulan Februari 2011 lalu, tepat pada acara penganugerahan Piala
Oscar 2011, Coppola secara resmi menerima penghargaan Irving G. Thalberg
Memorial dari The Academy of Motion Picture Arts and Sciences, Sebuah bentuk
penghargaan kepada Produser film atas konsistensi dalam membuat film – film
yang bermutu.

76
Penghargaan yang telah tercapai oleh Francis Ford Coppola

a. Samuel Goldwyn Award, kategori Penulisan Naskah Terbaik (1965)

b. Golden Sheel untuk “The Rain People” (1969)

c. Academy Award, kategori Penulisan Naskah Terbaik, film Patton (1970)

d. Academy Award, kategori Sutradara dan Penulisan Naskah Terbaik, film


“The Godfather” (1972)

e. Academy Awards, kategori Sutradara Terbaik, film “The Godfather Part


II” (1974)

f. Golden Lion Honorary Award, Venice Film Festival (1992)

g. Lifetime Achievement Award (1998)

h. A Special 50th Anniversary Award, San Sebastian International Film


Festival (2002)

i. Gala Tribute, Film Society of Lincoln Center (2002)

j. Lifetime Achievement Award, Denver Film Festival (2003)

k. Honorary Award, Antalya Golden Orange Film Festival (2007)

l. Irving G. Thalberg Memorial Award (2010)

m. Menjadi Konsul Kehormatan untuk Central American Nation of Belize di


San Fransisco.

77
4.1.5 Profil Penulis Buku Novel The Godfather Mario Puzo

Gambar 4.3 Mario Puzo

Gambar 4.3 Penulis Buku Novel The Godfather, Mario Puzo


Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Mario_Puzo

Mario Gianluigi Puzo atau Mario Puzo atau Mario Cleri (nama pena) lahir
tanggal 15 Oktober 1920 di Hell’s Kitchen, New York, Amerika Serikat. Setelah
bertugas di Jerman selama Perang Dunia II, ia kuliah di New School for Social
Research di New York dan Coumbia University. Karena ingin berkembang
setelah menulis untuk majakah – majalah pria, ia memutuskan menulis novel
pertamanya “The Dark ArenaI”, yang terbit pada tahun 1955. Buku novel tersebut
berdasarkan dari pengalamannya selama ia sedang bertugas selama Perang Dunia
II. Lalu buku keduanya yang berjudul “The Fortunate Pilgrim”, terbit pada tahun
1964, buku tersebut merupakan semacam autobiografi yang mengenai tentang
imigran Italia. Kedua buku ini, meskipun mendapatkan dipuji dengan kritikus
buku, Mario Puzo menganggap bahwa buku keduanya sebagai karya terbaiknya,
ia berpendapat bahwa buku tersebut gagal dalam pasaran.

Karena marah, ia lalu menulis novel kelimanya (dua novel sebelumnya


berjudul “The Runaway Summer of Davie Shaw” diterbitkan pada tahun 1966
novel tersebut untuk anak – anak dan “Six Graves to Munich” diterbitkan tahun
1967 dengan menggunakan nama pena Mario Cleri) yang masih becerita tentang

78
keluarga imigran Italia: Keluarga Corleone dari Sisilia. Ia memberinya judul “The
Godfather”, terbit tahun 1969. Walaupun ia tidak ada sangkut pautnya dengan
Mafia (setidaknya begitulah yang ia [Mario Puzo] dikatakannya), novel itu sangat
sukses dan menjadi Best Seller versi New York Times. Menurut Puzo, ia ketika
menulis The Godfather berdasarkan riset di perpustakaan saja. “Mana saya punya
waktu untuk terlibat Mafia?” katanya ketika sesi wawancara dengan Associated
Press tahun 1996. “Saya miskin sebelum The Godfather sukses. Kalau saya ikut
Mafia, saya pasti punya cukup uang sehingga tidak perlu menjadi menulis.”

The Godfather terjual sebanyak dua puluh satu juta copy lebih di seluruh
dunia. Ia kemudian menulis dua sekuelnya dan dengan bantuan dari sutradara
Francis Ford Coppola, dan mengadaptasi serial ini ke layar perak. Oleh karena itu
Mario Puzo dan Francis Ford Coppola memperoleh Oscar untuk kategori Best
Writing, Screenplay Based on Material from Another Medium atau sekarang
bernama Academy Awards for Best Adapted Screenplay (Skenario Adaptasi
Terbaik) tahun 1973. Sedangkan film The Godfather dan The Godfather Part II,
menjadi Best Picture (Film Terbaik) tahun 1972 dan 1974.

Mario Puzo juga menulis beberapa skenario lain, termasuk dalam film
superhero, “Superman: The Movie” pada tahun 1978 (dalam film ini ia kembali
bekolaborasi bersama Marlon Brando) dan sekuelnya “Superman II” pada tahun
1980, “The Cotton Club” pada tahun 1984 (berkolaborasi dengan Francis Ford
Coppola), “The Sicilian” tahun 1987 (berdasarkan novel yang berjudul yang sama,
“The Sicilian” yang diterbitkan pada tahun 1984), dan “Christopher Columbus:
The Discovery” (kolaborasi ketiga Marlon Brando setelah film “Superman: The
Movie”). Pada tahun 1997, novel Mario Puzo yang berjudul “The Last Don”
dijadikan miniseri televisi dibintangi oleh Danny Aiello sebagai Don Domenico
Clericuzio. Pada tahun yang sama, novelnya “The Fortunate Pilgirm” kembali
dicetak ulang.

79
Tiga tahun terakhir sebelum kematiannya, Mario Puzo menulis novel
dengan berjudul ”Omertà”. Ada satu novel yang belum selesai dalam
penulisannya dengan berjudul “The Family” dan novel tersebut diselesaikan oleh
istrinya Carol Gino. Pada tanggal 2 Juli 1999, Mario Puzo meninggal dunia di
rumahnya, West Bay Shore, Long Island, New York. Ia meninggalkan istrinya
Carol Gino, lima anak dan beberapa cucu saat itu ia berumur 78 tahun.

4.1.6 Profil Rumah Produksi (production house)

Gambar 4.4 Paramount Pictures

Gambar 4.4 Paramount Pictures Logo


Sumber: https://www.paramount.com/100-years-paramount/paramount-story

Sejarah Paramount Pictures

Tahun 2012 menandai tonggak sejarah yang luar biasa untuk Paramount
Pictures - tahun ke 100 Paramount di bisnis pertunjukan. Meskipun pencapaian
luar biasa ini membuat Paramount salah satu perusahaan gambar tertua di
Amerika, tidak ada tanda-tanda melambat, dan Paramount dan filmnya lebih kuat
dari sebelumnya. Dari epik visioner hingga kisah cinta yang menyayat hati hingga
franchise blockbuster, semua diciptakan oleh para talenta dan pembuat film
terbaik dalam bisnis ini, Paramount telah menetapkan standar di bioskop selama
satu abad dan terus memberikan hiburan terbaik kepada khalayak di seluruh
dunia.

80
Adolph Zukor, Jesse L. Lasky dan Cecil B. DeMille dikreditkan sebagai
ayah pendiri utama Paramount. Zukor visioner meletakkan dasar bagi perusahaan
tersebut dengan mengakuisisi hak distribusi A.S. pada film Prancis yang diam-
diam, Queen Elizabeth, sebuah fitur reel empat terobosan dalam waktu dua
gulungan adalah norma. Keberhasilannya yang luar biasa mendorong Zukor's
Famous Players Film Company ke tempat yang sangat tinggi, dan dalam
prosesnya, mengubah bisnis hiburan selamanya. Terinspirasi oleh kesuksesan
Zukor, Jesse L. Lasky segera bekerja sama dengan sutradara Cecil B. DeMille
untuk membuat versi film dari drama panggung sukses “The Squaw Man”. Ini
adalah film berdurasi panjang pertama yang dibuat di Hollywood, dan menandai
debut Jesse L. Lasky Feature Play Company. Zukor dan Lasky menggabungkan
usaha mereka pada tahun 1916 dengan formasi pemain Terkenal mereka-Lasky
Corporation. Zukor menjabat sebagai Presiden, Lasky sebagai Wakil Presiden
yang bertanggung jawab atas produksi, DeMille sebagai Direktur Jenderal, dan
saudara ipar Lasky, Samuel Goldfish (yang kemudian dikenal sebagai Samuel
Goldwyn dan segera pergi untuk mengejar usaha sendiri) sebagai Ketua papan.
Beberapa bulan kemudian, setelah merger lain dengan pertukaran distribusi film
yang baru lahir yang disebut Paramount Pictures, entitas yang dihasilkan menjadi
Paramount Famous Lasky Corporation. Dengan simbol puncaknya yang terjal dan
tertutup salju dari pegunungan Wasatch, Paramount Famous Lasky Corporation
menjadi perusahaan distribusi film pertama yang sukses secara nasional, merilis
dua sampai tiga gambar baru dalam seminggu dari tahun 1916 sampai 1921. Ini
menjadi perusahaan yang terintegrasi sepenuhnya. mengendalikan setiap aspek
pembuatan film - produksi, distribusi, dan pameran - sampai akhirnya Mahkamah
Agung memutuskan bahwa ini merupakan monopoli bagi studio gambar gerak
untuk juga memiliki rantai teater.

Depresi Besar terbukti gegabah dan sementara Lasky dipaksa keluar dari
perusahaan, Zukor bertahan sampai tahun 1936 saat digantikan oleh Presiden
Barney Balaban. Zukor meraih gelar Ketua Dewan Paramount Pictures yang baru

81
bernama, dan meskipun sebagian besar merupakan posisi token, dia tetap aktif di
perusahaan sampai dia pensiun pada tahun 1959.

Masa pertengahan abad pertengahan yang berkembang ditandai dengan


rilis karya-karya hebat dari sutradara seperti Billy Wilder, Alfred Hitchcock dan
John Huston. Selain sebagai televisi muncul sebagai ancaman potensial,
Paramount membawa bisnis film ke tempat yang baru, meluncurkan landmark
seperti George Stevens “A Place in the Sun” pada tahun 1951 dan Cecil B.
DeMille's “The Ten Commandments” (versi kedua dibuat di Paramount) pada
tahun 1956. Pada tahun 1960an, Paramount sekali lagi menghadapi masa-masa
sulit. Charles Bluhdorn, yang membeli Paramount pada tahun 1966, melihat bos
studio yang beralih ke studio Robert Evans untuk melakukan perputaran. Roman
Polanski membuat film dengan judul “Rosemary's Baby”. Polhem pada tahun
1968, namun prestasinya yang terbesar adalah pencahayaan hijau sebuah drama
sederhana yang berdasarkan pada buku terlaris. Film tersebut berjudul “Love
Story”, dan kesuksesannya dari mulut ke mulut dan sentimenitas yang tidak biasa
memberi studio itu kerumunan-pleaser yang sangat dibutuhkannya. Film yang
dibintangi Ryan O'Neal dan Ali MacGraw, meraup lebih dari $ 100 juta di seluruh
dunia (menghancurkan semua catatan box office sebelumnya untuk studio) dan
menerima tujuh nominasi Oscar. Setelah titik balik ini, studio akan terus
menghasilkan beberapa film paling sukses dan ikonik dalam sejarah sinematik.
Klasik 'New Hollywood' ini meliputi “The Godfather”, “The Godfather Part II”,
“Harold and Maude”, “The Conversation” dan “Chinatown”. Ditopang oleh
kemenangan ini, sisa tahun 70-an dan 80-an adalah perjalanan yang mantap untuk
studio. Tahun 1986 sangat terkenal karena Paramount meraih 22 persen pangsa
pendapatan box office domestik, dua kali dari pesaing terdekatnya, dan membual
lima dari 10 film terlaris teratas tahun ini, termasuk “Top Gun” and “Crocodile
Dundee”.

82
Tahun 90an menyambut produser Sherry Lansing sebagai Chairman pada
tahun 1992, posisi yang akan dia pegang selama 14 tahun. Dan, pada tahun 1994,
perusahaan induk Paramount, Paramount Communications, bergabung dengan
Viacom Inc. di bawah kepemimpinan Ketua Eksekutif Dewan dan Pendiri,
Sumner Redstone. Dekade ini diselingi oleh perilisan “Titanic” pada bulan
Desember 1997, yang memerintah selama lebih dari satu dekade sebagai atraksi
Box Office Hollywood.

Dalam beberapa tahun terakhir, Paramount telah memperkuat tempatnya


sebagai pemimpin global dalam konten hiburan dan telah merayakan kesuksesan
yang belum pernah terjadi sebelumnya di bawah kepemimpinan Chairman dan
CEO Brad Gray, yang tiba pada tahun 2005. Dalam sebuah bisnis yang menuntut
keunggulan, Gray telah memberikan blockbuster, dunia hiburan pemenang
Academy Award® dengan bakat paling berbakat dan paling dihormati hari ini.
Selama masa jabatan Gray, Paramount telah merilis delapan dari 10 film terlaris
teratas sepanjang masa, termasuk franchise “Transformers” and “Paranormal
Activity”, “Indiana Jones dan Kingdom of the Crystal Skull”, dan J.J. Abrams
'Star Trek” melakukan reboot. Pada tahun 2010, studio ini mengumpulkan
nominasi Academy Award yang paling banyak di studio manapun, berkat
kesuksesan kritis dan komersial “True Grit” dan “The Fighter”. Film bernilai
penghargaan telah berkembang biak di era Brad Grey, dengan rilis seperti “No
Country for Old Men”, “There Will Be Blood”, “An Inconvenient Truth”, “Up in
the Air” dan “Babel”. Memasuki pada tahun 2011, Paramount merilis sebuah
industri rekaman enam film berturut-turut yang menghasilkan pendapatan lebih
dari $ 100 juta dolar di box office domestik, dengan “Rango”, “Thor”, “Kung Fu
Panda”, “Super 8”, “Transformers: Dark of the Moon”, dan “Captain America:
The First Avengers”. Tahun ke-100 Paramount Picture smemang merupakan
tonggak sejarah yang luar biasa. Rilis yang akan datang mencakup kelanjutan dari
franchise “Paranormal Activity 4”, “Fun Size”, Denzel Washington dalam Robert
Zemeckis “Flight”, Tom Cruise yaitu “Jack Reacher”, “Cirque du Soleil: Worlds

83
Away”,“Not Fade Away”, dan “The Guilt Trip”. Film dari Paramount Pictures
yang akan datang tahun 2018 ialah “God Particle”, “Annihilation”,“Death
Wish”,”Action Point”,”Mission Impossible: 6”, dan masih banyak lagi yang akan
di rilis oleh Paramount Pictures.

4.2 Penyajian Data

Klasifikasi film terdiri dari lima yaitu komedi, drama, horror, musikal, dan
laga. Film The Godfather termasuk dalam klasifikasi drama. Tepatnya bergenre
crime film atau film kejahatan, hal ini disebabkan berfokus dalam kehidupan
kejahatan, khususnya Mafia atau Gangster.

Di Indonesia banyak sikap dominan laki – laki ketimbang dari kaum


perempuan, bahkan dalam sebagian besar kepala keluarga dikepalai oleh kaum
laki – laki, atau disebut juga patrilineal, namun dari segi gender laki – laki
Indonesia memiliki hal yang dominan dari segi pekerjaan dan laki – laki di
Indonesia memikirkan lebih logika, meskipun ada sebagian dari laki – laki di
Indonesia memikirkan kekeluargaan. Di Indonesia khususnya di kota – kota besar
seperti di Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota besar lainnya banyak orang yang
ingin berbisnis, pergi ke kantor baik dari instansi pemerintah maupun swasta, laki
– laki dominan mengenakan setelan jas dan baju rapi untuk melakukan pekerjaan
tersebut. Namun, laki – laki tidak bekerja dalam kantor saja, laki – laki bisa juga
bekerja dalam melakukan premanisme yang dengan kata lain melakukan
kejahatan dengan melakukan pemerasan dari kelompok lain, hal ini pada di
Jakarta banyak sekali penggaguran di Jakarta, biasanya preman tersebut dominan
laki – laki, biasanya preman tersebut memeras dengan kata – kata kasar dan ini
merupakan unsur dari maskulinitas. Dalam kota Jakarta jika ada pembangunan
bangunan baru sudah pasti ada tenaga kerja yang membantu pembuatan
pembangunan tersebut, atau disebut juga kuli bangunan. Kuli bangunan biasanya
memiliiki otot yang besar untuk mengangkat pondasinya, hal ini merupakan ciri
dari maskulinitas.

84
Film yang memenangkan Academy Awards dalam Kategori Skenario
Terbaik pada tahun 1972 ini menceritakan kehidupan keluarga Mafia yang berada
di kota New York, Amerika Serikat. Film yang mengajarkan kepada kita tentang
kekeluargaan dalam lingkungan Keluarga Mafia. Film ini tidak hanya
memberikan pesan tentang kekeluargaan didalamnya, namun banyak mengandung
unsur pesan dalam segi maskulinitas di dalamnya. Hal ini mengajarkan dalam film
yang bergenre drama ini, laki – laki atau pria memiliki dominan didalamnya. Film
ini diceritakan pada kejadian 1940an sampai 1950an yang pada saat itu
merupakan sejarah kegelapan dalam kehidupan di Amerika Serikat, dan
merupakan juga Golden Age (Era Emas) mafia terjun ke Amerka Serikat, dan
muncul nama – nama besar mafia yang ditakuti oleh penduduk Amerika Serikat,
salah satunya Alphonse Gabriel “Scarface” Capone (Al Capone). Bisa dibilang
alur ceritanya adalah maju. Karena mengisahkan di tahun 1940an sampai 1950an,
padahal film ini diproduksi tahun 1972. Film ini berlatar tahun 1940an sampai
1950an tepatnya di kota New York. Tempat yang dipakai dalam pembuatan film
tersebut ini adalah Kota New York, Los Angeles, dan Pulau Sisilia, Italia.

Dengan fashion yang dikenakan seluruh karakter baik dari karakter utama
hingga figuran, sangat cocok dengan latar belakang kota New York tahun 1940an
hingga 1950an, bahkan kendaraan yang digunakan sebagai properti film tersebut
digunakan dalam era 1940an hingga 1950an. Adegan yang sangat menarik adalah
ketika Don Vito Corleone, memberikan kepada Johnny Fontane dengan
mengatakan, “I’m gonna make him an offer he can’t refused.” Dan adegan dimana
Michael Corleone menjadi Godfather anaknya dari adik perempuannya Connie
Corleone, dan disana ia “menyangkal” dengan cara anak buahnya membunuh
semua Keluarga yang menjadi rival Keluarga Corleone. Sebenarnya film ini
berfokus kepada Michael Corleone saja, yang berceritakan mulai dari ia tidak
tertarik dengan bisnis keluarganya hingga ia menjadi Don pengganti Ayahnya
yang sudah meninggal bahkan pensiun. Karakter lainnya hanya membantu tokoh
utama, meskipun sering ditampilkan.

85
Dalam film ini banyak sekali unsur maskulinitas didalamnya. Salah satu
Sonny Corleone mengenakan kaos oblong untuk memperlihatkan ototnya yang
kekar, adanya sikap penindasan perempuan terhadap laki – laki, dimana
perempuan di film tersebut merupakan kaum yang ‘lemah’ dan kaum perempuan
merupakan sebagai ‘alat nafsu’ seoramg laki – laki. Film ini dibawah naungan
badan usaha yang dikerjakan oleh Alfran Production dan didistribusikan oleh
Paramount Pictures dengan modal untuk pembuatan film tersebut sekitar 6 hingga
7 juta Dollar Amerika Serikat, dan sukses menjadi Box Office selama 10 kali di
tahun 1972 dengan meraup keuntungan 133 juta Dollar Amerika Serikat.

4.3 Pembahasan

Dari data yang diperoleh, Peneliti berusaha untuk menjelaskan temuan –


temuan dari hasil penelitian. Temuan – temuan ini terkait dari rumusan masalah
maskulinitas dalam film The Godfather dengan menggunakan analisis semiotika
komunikasi Charles Sanders Peirce.

4.3.1 Analisis Data Scene 5 Film The Godfather

Gambar 4.5 Menunjukan Maskulinitas Menyukai Keserakahan dan Don Corleone


Melihat Sonny dengan Galak

Gambar 4.5 Menggambarkan scene 5 Film The Godfather


Sumber: Dokumen peneliti

86
Pada scene kelima ini bercerita, saat ini Virgil “The Turk” Sollozo
diundang ke kantor perusahaan Don Vito Corleone “Geco Pura Olive Oil
Company”. Disini Sollozo meminta Don Corleone untuk teman yang berkuasa
dan uang sebesar satu juta dollar. Dan saat itu juga Don Corleone bertanya untuk
keuntungan Keluarga Corleone, Sollozo memberikan sebesar 30%. Don Corleone
juga memancing tentang Keluarga Tattaglia berapa banyak keuntungannya,
Sollozo menjawab dengan cara perkataan bahwa ia adalah tanggungannya.
Sollozo datang dengan rasa kehormatan dia kepada Don Corleone. Namun Don
Corleone menolaknya dengan cara halus, bahwa bisnis ini merupakan bisnis yang
sangat berbahaya. Sollozo menjawab bahwa ini bisnis yang tidak berbahaya, dan
Tattaglia akan menjaminkannya, saat itu Santino langsung berambisi dengan
serakahnya dengan menyelak perkataan Sollozo kepada Don Corleone dengan
berkata “Ah, kau akan mengatakan kepada kami bahwa Tattaglia menjamin
investasi kami?” Seketika itu juga Don Corleone merasa kesal, jengkel terhadap
Sonny anaknya, dianggap tidak sopan.

Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut

 Representamen mengacu kepada legisign dan qualisign.


 Object mengacu kepada indeks dan symbol.
 Interpretant mengacu dalam rhema dan argument.

Kesimpulan dari analisis berdasarkan trikotomi diatas hal ini dikarenakan


resprestamen, Don Vito Corleone menolak bisnis narkotika, karena dari tanda
tersebut Peneliti melihat bahwa jika seorang yang menolak raut wajahnya sudah
pasti cenderung menaiki alis ke atas, namun dari segi tidak suka mengelak ketika
berhadapan dengan anaknya dengan ekpresi kesal serta galak, segi qualisign
adanya hal yang terancam dari Don Vito kepada Sonny, anaknya dengan raut
tidak menyukai anaknya dalam hal keserakahan, dan tidak suka ketika diselak
perkataanya. Dalam konteks object, dalam pembahasan scene tersebut yang

87
memungkinkan masuk dalam kategori indeks dan symbol. Hal ini dikarenakan
dalam film tersebut jika ada suatu scene yang unsur ketidaksukaan dari
maskulinitas yaitu menyelak orang ketika berbicara dan bersikap serakah kepada
hal material. Dalam memalingkan muka dengan raut muka galak kepada Sonny,
Don Vito Corleone, penanda tersebut merupakan bersifat dari symbol.

Dalam intrerpretant penanda ini terdapat indikasi maskulinitas bersifat rhema


dan argument. Karena Don Vito Corleone menyambut Virgil Sollozzo dengan
mengenakan baju formal, dan bersifat argument. Hal ini disebabkan Don Vito
Corleone tidak menyukai orang yang bersifat serakah, sehingga memarahi dia
dengan raut wajah yang kesal.Penanda ini terdapat dalam kategori ciri
maskulinitas yang sifatnya rhema dimana Don Vito Corleone mengenakan baju
formal yaitu jas beserta kelengkapannya untuk menyambut Sollozzo. Dari
penanda argument, jika ada seorang tidak menyukai jika perkataannya diselak,
sehingga orang itu sudah pasti kesal.

4.3.2 Analisis Data Scene 6 Film The Godfather

Gambar 4.6 Don Corleone Memarahkan Sonny Corleone

Gambar 4.6 Menggambarkan scene 6 Film The Godfather


Sumber: Dokumen Peneliti

Scene ini berkelanjutan dari scene sebelumnya. Don yang merasa kesal
terhadap Sonny langsung memaggil dia dengan nada kesal dan dari raut wajahnya

88
merasa geram, dan dingin terhadap Sonny anaknya. Ada perkataan dari Don
Corleone kepada Sonny, “Ada apa masalah denganmu? Aku pikir otak kau akan
'lembek’ terhadap gadis itu. Jangan pernah memberitahu siapa pun di luar
keluarga apa yang kau pikirkan lagi.”

Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut

 Representamen mengacu kepada qualisign,


 Object mengacu kepada indeks dan symbol.
 Interpretant mengacu dalam rhema dan argument.

Kesimpulan dari analisis trikotomi diatas ialah dikarenakan Don Vito


Corleone menolak bisnis narkotika, karena dari tanda tersebut Peneliti melihat
bahwa jika seorang yang menolak raut wajahnya sudah pasti cenderung menaiki
alis ke atas, namun dari segi tidak suka mengelak ketika berhadapan dengan
anaknya dengan ekpresi kesal serta galak, segi qualisign adanya hal yang
terancam dari Don Vito kepada Sonny, anaknya dengan raut tidak menyukai
anaknya dalam hal keserakahan, dan tidak suka ketika diselak perkataanya. Juga
diperlihatkan adanya larangan Don Vito untuk mengikuti ikut campur kepada
Keluarga lain, dan sikap bahayanya ketika ia menjeleki Sonny dengan
menggunakan kekasih gelapnya. Dalam konteks object terdapat suatu scene yang
merasa kecewa terhadap Sonny, yang sudah merasakan keserakahan dalam
kekusaan dan mendapatkan jaminan. Dalam menatap muka dengan raut muka
galak kepada Sonny, Don Vito Corleone, penanda tersebut merupakan bersifat
dari symbol.

Dalam interpretant penanda ini terdapat dalam kategori ciri maskulinitas yang
sifatnya rhema dimana Don Vito Corleone mengenakan baju formal yaitu jas
beserta kelengkapannya untuk menatap galak kepada Sonny. Dari penanda
argument, jika ada seorang tidak menyukai jika perkataannya diselak, sehingga

89
orang itu sudah pasti kesal, apalagi jika seseorang tersebut serakah, dan tidak
mementingkan dirinya sendiri.

4.3.3 Analisis Data Scene 17 Film The Godfather

Gambar 4.7 Michael Corleone Sedang Merawat Don Corleone di Rumah Sakit
Ketika Don Corleone Terluka, Pemukulan Michael Corleone oleh Captain
McCluskey

Gambar 4.7 Menggambarkan scene 17 Film The Godfather


Sumber: Dokumen Peneliti

Scene ini, dimana Michael sudah tiba ke rumah sakit, tempat Don Vito
Corleone dirawat akibat kasus percobaan pembunuhan. Sesampai disana, Michael
merasa jengkel dikarenakan tidak ada orang yang menjaga ayahnya. Ia bertanya
kepada perawat rumah sakit, dan katanya bahwa anak buahnya diusir oleh polisi,
dengan alasan untuk ketenangan rumah sakit. Merasa tidak suka dengan kelakuan
polisi tersebut, ia telepon ke kakaknya, Sonny menjelaskan bahwa tidak ada orang
yang menjaga Don Corleone, sesudah itu ia hendak membawa Ayahnya ke tempat
lain, karena jika tidak dipindahkan, ia beramsumsi ayahnya akan dibunuh. Oleh

90
karena itu ia meminta perawat tersebut untuk membantu ia. Sesudah pindah ke
tempat aman, ia melihat dengan waspada dan tatapan dingin. Lalu ia bertemu
dengan Enzo si Tukang Roti, dan ia menyuruh keluar rumah sakit untuk
menunggu ia. Sebelum meninggalkan rumah sakit, ia kembali ke ruang kosong
tempat pindahan Don Corleone dirawat, ia melihat Ayahnya begitu saling
mengasihi, Don Corleone pun tersenyum melihat anak kesayangan ia. Michael
berjanji akan menjaga ayahnya dan membawa ke tempat aman agar Don Corleone
tidak dibunuh. Sesudah itu ia keluar rumah sakit dan ia ditunggu oleh Enzo. Ia
menyuruh Enzo, memasukan tangannya ke mantel yang dikenakan oleh Enzo
sendiri dan Michael juga melakukan dengan sama. Michael melakukannya untuk
beralasan kalau ia memiliki pistol. Dan beberapa saat kemudian, orang suruhan
Sollozo ingin datang ke rumah sakit yang bertujuan untuk membunuh Don
Corleone tidak jadi datang, karena Michael menjaga pintu rumah sakit bersama
Ezio. Seketika itu muncul polisi yang dipimpin oleh seorang polisi korup bernama
Captain McCluskey. Seketika juga, Michael langsung dibawa untuk hadapan
dengan McCluskey, dan Michael mengatakan bahwa ia tahu McCluskey di suap
oleh Sollozzo dengan begitu besar. Mendengar Michael mengatakan itu,
McCluskey menyuruh anak buahnya menggenggam tangan Michael, awalnya
detektif menyuruh agar tidak melakukan kekerasan terhadap Michael, dikarenakan
Michael seorang pahlawan perang, namun tidak mendegarkannya. Michael
langsung kena pukulan keras dari McCluskey sehingga ia menderita cukup parah
dan menimbulkan patah rahang, serta giginya pada retak. Lalu Tom Hagen
muncul, ia menceritakan bahwa ia adalah pengacara Keluarga Corleone, dan di
scene tampak anak buah dari Keluarga Corleone langsung masuk ke rumah sakit
untuk menjaga Don Corleone. McCluskey yang tidak suka, langsung
meninggalkan lokasi tersebut dengan marah – marah. Meskipun audio tidak
muncul, Peneliti bisa melihat arah perkataan McCluskey ketika ia pergi,
kemunngkinan McCluskey berkata, “Dasar anak jalang !!” jika diartikan ke
bahasa Inggris, “Son a bitch !!”

91
Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut

 Representamen mengacu kepada qualisign.


 Object hanya mengacu kepada symbol.
 Interpretant mengacu dalam rhema.

Dalam representament terdapat kategori qualisign dan sinsign dengan


mengetahui dari raut wajahnya Don Corleone tersenyum ketika melihat anak
kesayangannya Michael, di tambah ketika Michael mengetahui McCluskey disuap
oleh Sollozzo, Michael hanya melihat dengan dingin. Dalam object terlihat dapat
mengetahui adanya bekas pukulan yang begitu keras dan mendapatkan bekas
pukulan tersebut.

Dalam interpretant terdapat dalam kategori ciri maskulinitas yang sifatnya


rhema karena Don Vito Corleone merasa senang terhadap Michael, karena salah
satu kategori maskulinitas ialah adanya sifat kebapakan. Michael mendapatkan
pukulan keras dari McCluskey sehingga peneliti mengetahuinya ketika hasil
pukulannya terlihat jelas di pipinya.

92
4.3.4 Analisis Data Scene 23 Film The Godfather

Gambar 4.8 Michael Corleone Dengan Raut Wajah Dingin Mendengarkan


Sollozzo Berbicara, Michael Corleone Menembaki McCluskey di Kepalanya.

Gambar 4.8 Menggambarkan scene 23 Film The Godfather


Sumber: Dokumen Peneliti

Dengan tatapan dingin, Michael kembali ketempat meja makan yang


sudah ditunggukan oleh Sollozzo dan McCluskey. Dan dengan tatapan dingin
Michael menghiraukan perkataan Sollozzo, ia sekarang berfokus untuk
membunuh Sollozzo dan McCluskey dengan timing yang tepat. Terdengar suara
kereta berhenti, Michael langsung berdiri dengan tatapan mata melotot, ia
langsung menembakki Sollozzo dengan suasana dingin dan geram tepat di
kepalanya hingga tewas, dan ia juga menembakki McCluskey ke arah lehernya
sehingga McCluskey merasakan pendarahan yang cukup hebat, dan ia tidak puas
begitu saja ia juga menembakki kepala McCluskey hingga tewas. Seseudah
mengetahui bahwa mereka tewas, Michael membuang senjata dan meninggalkan

93
“Louis Restaurant”, seketika itu juga Michael tidak kembali lagi ke New York,
dikarenakan ia mengasingkan diri ke Pulau Sisilia.

Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut

 Representamen mengacu kepada qualisign dan sinsign,


 Object mengacu kepada indeks dan icon.
 Interpretant mengacu dalam rhema.

Dari non verbal menjelaskan bahwa, Michael dengan wajah dingin


mendengarkan perkataan Sollozzo dan merupakan kategori dari sinsign dan
sedangkan dalam qualisign Michael menunjukan akan bahwa Michael hanya
mendengarkan dengan istilah masuk kanan keluar kiri. Dalam konteks indeks,
senjata api yang digunakan Michael mengeluarkan asap dari pistol tersebut, dan
mengenai kepala Sollozzo sehingga mengeluarkan darah dari dahinya. Dalam
icon, Michael menembakinya dengan suasana dingin, sehingga dapat dilihat jika
Michael berambisius untuk membunuh mereka. Penanda ini terdapat dalam
kategori ciri maskulinitas yang sifatnya rhema dimana Michael Corleone
mengenakan baju formal yaitu jas dan ia mendengarkan Sollozzo berbicara
dengan menatapnya dingin, hal tersebut dilihat dengan cara penglihatannya yang
begitu tajam dan tanpa eksperesi ketika ia menembakan ke hadapan mereka.

94
4.3.5 Analisis Data Scene 29 Film The Godfather

Gambar 4.9 Sonny Corleone Kesal Kepada Adik Iparnya, Carlo. Di sebabkan
Carlo Sudah Melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga oleh Connie Corleone.

Gambar 4.9 Menggambarkan scene 29 Film The Godfather


Sumber: Dokumen Peneliti

Scene selanjutnya merupakan ketika Sonny yang naik darah langsung


menemukan Carlo adik iparnya dan melemparkan sebuah batangan kayu ke arah
Carlo. Carlo pun berlari menghindari Sonny, dan Sonny pun mengejar dia hingga
adanya pemukulan terhadap Carlo dari Sonny, Sonny yang begitu kesal terhadap
Carlo langsung menghantam dengan pukulan sehingga membuat Carlo tidak

95
bergutik, bahkan Carlo ditendangi layaknya seekor binatang. Carlo yang sempat
menghindari pemukulan Sonny tidak bisa berkutik kembali, dan akhir pemukulan
diselesaikan, Sonny meninggalkan Carlo dengan keadaan sekarat. Sonny juga
berpesan dengan kata – kata yang bersifat mengancam, yaitu “Jika kau memukul
Connie lagi, aku bunuh kau.”

Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut

 Representamen mengacu kepada qualisign,


 Object mengacu kepada indeks.
 Interpretant mengacu dalam rhema.

Hal ini dikarenakan object yang diperlihatkan adanya kesakitan dalam


pemukulan Carlo dari Sonny dan dari segi qualisign adanya hal yang terancam
dari Sonny ke Carlo untuk memukuli adik iparnya sendiri. Hal ini dikarenakan
dalam film tersebut jika ada suatu scene yang unsur kekerasan dari maskulinitas
yaitu pemukulan serta adanya kata – kata yang sifatnya mengancam untuk
membunuh. (indeks). Penanda ini terdapat dalam kategori ciri maskulinitas yang
sifatnya rhema dimana Sonny yang begitu kesal dan naik darah terhadap Carlo
tidak memberi ampun kepada adik iparnya sendiri Dari verbal diketahui bahwa
Sonny sudah mengancam dengan kata – kata, “Kalau kau ganggu adikku lagi, aku
bunuh kau.”

96
4.3.6 Analisis Data Scene 32 Film The Godfather

Gambar 4.10 Carlo Melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga oleh Istrinya,
Connie Corleone.

Gambar 4.10 Menggambarkan scene 32 Film The Godfather


Sumber: Dokumen Peneliti

Scene selanjutnya berada di tempat kediaman Connie, sewaktu ketika ada


telepon berdering dan Connie mengangkatnya, ketika Connie mendengar bahwa
itu merupakan kekasih gelapnya Carlo yaitu seorang perempuan sundal. Ia
menyuruh makan bersama Connie, namun menolaknya dengan alasan tidak lapar.
Sebelumnya Carlo menyuruh Connie menyiapkan makanan, Connie yang merasa
dipermainkan langsung membuang makanan yang sudah ingin disiapkan, dan
Carlo memanaskan dengan kata – kata provokasi, seluruh ruangan menjadi
berantakan, dan Carlo menyuruh Connie untuk membersihkannya, namun Connie
menolaknya, dan Carlo melepas ikat pinggangnya untuk mencambuk Connie. Dan
seketika itu juga Carlo langsung mencambuk Connie berkali – kali. Pada saat itu
Connie sedang mengandung anaknya. Dari verbal peneliti mendengar kata,

97
“Sialan”, mengejek dengan provokasi seperti, “Kau Kurus, anak manja, bersihkan
itu !” dengan mengeluarkan ikat pinggang

Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut

 Repesentamen mengacu kepada qualisign sinsign dan legisign,


 Object mengacu kepada indeks dan symbol.
 Interpretant mengacu dalam rhema dan argument.

Dalam representament kategori qualisign, Carlo yang begitu kajam


mengatakan kata – kata kasar kepada Connie, dan membuat Connie tersinggung
bahkan sedih, lalu dari segi sinsign terdapat ketika Connie menyuruh Carlo
dengan baik – baik, namun Carlo menolaknya dengan kata – kata yang keras
kepada Connie. Dari segi legisign, seorang suami tidak boleh melakukan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebaiknya suami harus menjadi imam yang
kuat, tetapi dari segi maskulinitas, kebanyakan pria itu dapat melakukan
kekerasan. Lalu dalam lingkup object dalam kategori indeks, akibat dari telepon
misterius tersebut mengakibatkan Carlo menjadi kasar kembali, oleh karena itulah
Carlo melakukan kekerasan terhadap Connie. Dari segi symbol, Connie yang
marah kepada Carlo membuang peralatan pecah belah, sehingga terdengar seperti
ada kaca yang pecah, bahkan tempat minum pun pecah ke lantai.

Penanda ini terdapat dalam kategori ciri maskulinitas yang sifatnya rhema
dimana Carlo yang naik darah, langsung memarahkan kepada Connie dengan
ringan tangan dan menggunakan kata – kata yang menyuruh membereskannya,
namun Connie menolaknya, membuat Carlo lepas kendali dan mempecuti Connie
dengan ikat pinggangnya. Dalam argument rumah merupakan tempat tinggal yang
aman, berubah menjadi tempat kekerasan yang merupakan ciri dari maskulinitas.

98
4.3.7 Analisis Data Scene 33 Film The Godfather

Gambar 4.11 Sonny Corleone Sedang Naik Darah.

Gambar 4.11 Menggambarkan scene 33 Film The Godfather


Sumber: Dokumen Peneliti

Scene selanjutnya, ketika Mama Corleone menerima telepon dari Connie,


tetapi ia tidak bisa mendengar perkataanya. Lalu Mama Corleone menyuruh
Sonny untuk menjelaskan perkataan Connie. Sonny berpesan agar tunggu di sana
(kediaman Connie). Dengan nada kesal, Sonny langsung menuju ke tempat
tersebut. Tom Hagen sempat menolaknya, namun Sonny yang mempunyai sifat
darah tinggian, menghiraukan Tom Hagen. Ia pergi menggunakan mobil dan Tom
Hagen menyuruh anak buah Keluarga Corleone untuk mengejar Sonny. Sonny
melewati jalan tol, sewaktu ketika membayar tol, ia dengan kesal mengklakson
mobil didepannya karena sudah membuat berbahaya ia. Sewaktu kembaliannya
tiba, tiba – tiba petugas tol menjatuhkan uang kembaliannya dan seketika itu juga
pintu di tol tertutup rapat. Dan dari samping sisi tol ia melihat sebuah gerombolan
Mafia dari Keluarga lain menodongkan Tommy gun dan menembaki tubuh Sonny

99
hingga berlumuran darah, Sonny yang sempat menghindar langsung keluar
mobilnya dan ia tidak bisa lagi menghindarkan dari kepungan musuh
Keluarganya, dan saat itu Sonny tewas ditembak oleh musuh Keluarga Corleone.

Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut

 Representamen mengacu kepada qualisign dan sinsign,


 Object mengacu kepada indeks dan symbol.
 Interpretant mengacu dalam rhema dan dicsign.

Hal ini dikarenakan dalam representamen mengacu qualisign, Sonny yang


geram ketika mendengarkan perkataan Connie yang sudah dipukul oleh Carlo
menjadi panas. Namun jika sinsign terdapat di jalan tol yang berisikan “Pay
Here”. Dalam indeks tanda yang tampak ialah senjata api dari rival Keluarga
Corleone, yang berisikan dengan peluru tajam dan mengeluarkan asap ketika
peluru tersebut sudah dimuntahkan dari senapan tersebut. Dari symbol terdapat
palang yang memberitahu kalau scene tersebut berada di jalan Tol Penanda ini
terdapat dalam kategori ciri maskulinitas yang sifatnya rhema dimana Sonny
ketika sesudah menutup telepon, merasakan matanya melotot sikap kekesalan
terhadap Carlo adik iparnya, dari segi dicisign ada rambu lalu lintas yang
betuliskan “STOP PAY HERE”.

Dalam scene pula terdapat perkataan Lalu dalam perkataan selanjutnya


sesudah menutup telepon, ia langsung naik darah dan berkata, “Dasar anak jadah
(sundal).” Bahkan bukan di rumah saja Sonny marah – marah. Sonny juga marah
di jalan tol ketika mobil yang dikendarainya ditutup oleh musuh Keluarga
Corleone, dan tetap mengatakan, “Dasar anak jadah.” Hal ini berarti bahwa
maskulintas, bukan memamerkan otot saja, maskulinitas bisa mengatakan kata –
kata kasar.

100
4.3.8 Analisis Data Scene 46 Film The Godfather

Gambar 4.12 Michael Corleone Sedang Mendengarkan Pastor Ketika Sedang


Membaptis Anaknya Connie Corleone, Willie Cicci Menembaki Don Cuneo.

Gambar 4.12 Menggambarkan scene 46 Film The Godfather


Sumber: Dokumen Peneliti

Scene selanjutnya ialah dalam acara pembaptisan anaknya Connie. Acara


pembaptisan dengan menggunakan adat Katolik. Michael yang bertatapan dengan
dingin mendengarkan pembicaraan pastor. Di lain tempat, para anak buah Keluarg
Corleone bersiap – siap untuk melakukan pembantaian semua rival Keluarga
Corleone bahkan Moe Greene. Di scene semua rival Keluarga Corloene dibunuh
denga brutal, Don Barzini dibunuh oleh Al Neri, Don Cuneo dibunuh oleh Willie
Cicci, Don Tattaglia dibunuh oleh Rocco Lampone beserta hitman, Don Straci
dibunuh oleh Peter Clemenza, dan terakhir Moe Greene dibunuh oleh hitman
suruhan Michael Corleone. Ending scene tersebut berfokus kepada raut wajah
Michael Corleone yang dingin. Peneliti hanya menjelaskan kepada Michael
Corleone dan Willie Cicci yang membunuh Don Cuneo yang begitu sadis dan
bertatapan dengan dingin.

Dibawah ini merupakan analisis berdasarkan trikotomi dari scene tersebut

 Representamen mengacu kepada qualisign.


 Object mengacu kepada indeks dan icon.

101
 Interpretant mengacu dalam rhema.

Pada scene ini representamen mengacu sebagai qualisign. Scene dimana


ketika Michael yang menjadi godftaher anaknya dari Connie dan Carlo berkata
halus dalam pengucapan janji baptis tersebut dengan tenang, dan jika melihat
Willie Cicci membunuh Don Cuneo dengan dingin. Dalam object peneliti
mengacu dakan kategori icon, hal ini peneliti mengetahui tempat perbaptisan
anaknya Connie yaitu di dalam gereja, namun ketika Willie Cicci membunuh Don
Cuneo berada di hotel tepatnya bernama Regis Hotel selama empat kali tembakan.
Dan kategori indeks, kelihatan jelas kaca – kaca bekas tembakan dari Willie Cicci
yang berasal dari pistol ia. Dan ia menatapnya dengan raut muka yang sangat
dingin.

Lalu dalam segi interpretant terdapat dalam kategori ciri maskulinitas yang
sifatnya rhema dimana Michael dan Willie Cicci saling memiliki raut wajah yang
begitu dingin. Michael yang sedang menjadi godfather anaknya Connie
mendengarkan perkataan pastor dengan dingin, namun Willie Cicci menggunakan
raut wajah dingin ketika ia membunuh Don Cuneo.

102
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan Peneliti, maka Peneliti memberikan


kesimpulan yakni tentang bagaimana maskulinitas yang terjadi dalam film The
Godfather, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Film The Godfather secara keseluruhan atau secara dominan kerap


memperhatikan banyaknya adegan – adegan yang mengandung
maskulinitas didalamnya. Hampir dari setiap scene The Godfather di
isi dengan adegan – adegan konsep maskulinitas seperti, menggunakan
pakaian lengkap untuk memperhatikan identitas laki – laki tersebut.
2. Konsep maskulinitas yang ada didalam The Godfather juga
digambarkan melalui badan macho, kebapakan, suka berkelahi dengan
tangan kosong, melakukan kekerasan terhadap kaun yang lemah
(seperti perempuan), berwajah dingin, “tuli” (tidak mendengar
perkataan orang), menembak dengan raut wajah dingin, berkata kasar,
sayang kepada keluarganya jika ada salah satu keluarganya sedang
menghadapi kesusahan, bersikap garang atau galak, tidak menyukai
orang jika orang tersebut serakah laki – laki cenderung mengahabisi
dengan mata melotot melihat target tersebut.. Selain itu dari segi teknik
kamera atau pengambilan gambar memfokuskan kepada laki – laki.
3. Pemilihan pemain seperti Marlon Brando, James Cann, Al Pacino,
Robert Duvall yang memilki sikap gentleman, menambah kesan bahwa
film tersebut merupakan film dengan genre drama khususnya gangster
karena banyak mengadung maskulinitas yang telah menjelaskannya
dalam kehidupan keluarga Mafia.

103
4. Dari sisi kebudayaan film The Godfather ini menjelaskan tentang
kehidupan Mafia di New York, era tahun 1940an hingga tahun 1950an.
Seperti dalam kehidupan Mafia era tersebut, dimana Mafia mempunyai
peran penting dalam kekuasaan, namun jika ingin mempertahankan
kekuasaan, banyak cara Mafia untuk melakukan kekerasan, bahkan
berunjung dalam kematian dimana – mana, seperti pembunuhan,
perampokan, bisnis ilegal seperti perjudian, prostitusi ilegal, bahkan di
film The Godfather sendiri terdapat penawaran bisnis narkotika.
Namun jika salah satu bisnis ditolak, maka akibatnya adanya terdapat
saingan di keluarga Mafia tersebut.
5. Film The Godfather dibuat adanya unsur maskulinitas didalamnya
dikarenakan dalam film The Godfather ini behasil menembus kritikan
positif oleh para kritikus film, bahkan film tersebut menjadi film
dengan genre gangster terbaik sepanjang dunia perfilman.

104
5.2 Saran

Berdasarkan hasil dari penelitian mengenai maskulinitas dalam film The


Godfather ini, maka peneliti ingin memberikan saran sebagai berikut:

1 Akademis
Untuk saran akademis terdapat menjelaskan bahwa film yang terkait
dengan maskulinitas dalam menggunakan analisis semiotika harus
diperbanyak lagi. Tentunya dengan analisis semiotika menurut beberapa
ahli dan tentunya nanti akan dapat mengungkap bahwa maskulinitas tidak
hanya dari perfilman saja, melainkan dapat berupa dari periklanan,
maupun di program – program lainnya.
2 Praktisi
 Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan maupun refrensi
bagaimana seharusnya film sebagai media massa dapat
memberikan pesan mengenai suatu fenomena sosial.
 Untuk saran kepada praktisi menjelaskan kepada khususnya para
pelaku industri perfilman, film ini dapat menjadi inspirasi para
sineas film lainnya untuk lebih memperhatikan konsep, merancang
dan mengonstruksi sebuah film dan harus mengetahui maskulinitas
tersebut dalam konteks Amerika Serikat pada tahun 1940an hingga
1950an.

105
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2006). Metodelogi Penelitian. Yogyakarta: Bina Aksara.

Beaver, F. E. (2006). Dictionary of Film Terms: The Aesthetic Companion to Film


Art. New York: Peter Lang Pubishing Inc.

Beynon, J. (2002). Masculinites and Culture. Buckingham: Open University


Press.

Bordwell, D., Thompson, K., & Smith, J. (2017). Film Art: An Introduction 11th
Edition. New York: McGraw-Hill Education.

Creswell, J. W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih di Antara


Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Creswell, J. W. (2016). Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif,


Kuantitatif, dan Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Demartoro, A. (2010). Konsep Maskulinitas Dari Jaman ke Jaman dan Citranya


dalam Media.

Hamidi. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press.

Kaelan. (2009). Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta:


Paradigma.

Kiesling, S. F. (2005). Homosocial Desire in Men's Talk: Balancing and


Recreating Cultural Discourses of Masculinity. United Kingdom:
Language in Society.

Mcquail, D. (2011). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Penerbit Salemba


Humanika.

Muhaimin, A. (2015, Agustus 14). KONTROVERSI PESAN DAKWAH DALAM


FILM NOAH : ANALISIS SEMIOTIK MODEL CHARLES SANDER
PEIRCE. Diambil kembali dari UIN Sunan Ampel Surabaya:
http://digilib.uinsby.ac.id/2782/

Patton, M. Q. (2002). Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rd Edition.


Thousand Oaks, California: Sage Publication, Inc.

106
Pictures, P. (2012, Januari 1). THE PARAMOUNT STORY. Diambil kembali dari
Paramount Pictures Website: https://www.paramount.com/100-years-
paramount/paramount-story

Puzo, M. (2017). The Godfather (Sang Godfather) (Vol. I). Jakarta, DKI Jakarta,
Indonesia: PT. Gramedia Pustaka Utama. Dipetik November 18, 2017

Rusmana, D. (2014). Filsafat Semiotika: Paradigma, Teori, dan Metode


Interpretasi Tanda dari Semiotika Struktural Hingga Dekonstruksi
Praktis. Bandung: Peenerbit Pustaka Setia.

Rutherford, J. (2014). Male Order: Menguak Maskulinitas. Yogyakarta: Jalasutra.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D.


Bandung: CV. Alfabeta.

Vera, N. (2014). Semiotika dalam Riset Komunikasi. Bogor, Jawa Barat: Penerbit
Ghalia Indonesia.

Wikipedia. (2017, Desember 11). Wikipedia. Diambil kembali dari Wikipedia


bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas:
https://id.wikipedia.org/wiki/Film_sebagai_Media_Komunikasi_Massa

107

Anda mungkin juga menyukai