Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

Mekanisme Keuangan Syariah

Dipresentasikan kepada kelas MBS 5A dalam mata kuliah Manajemen


Keuangan Syariah

Dosen Pembimbing :

ANDIS FEBRIAN

Di Susun Oleh :

Asriani : 3718010

Rozi Rahayu Putri : 3718031

Ridha Yasrul : 3718032

PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARI’AH (MBS-5A)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (FEBI)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI

2020 M / 1441 H
Kata Pengantar

Keunggulan sisrem ekonomi syariah tidak hanya di akui oleh para tokoh di
Negara- Negara muslim. Ketahanan sistem ekonomi syariah terhadap hantaman
krisis keuangan global telah menbuka mata para ahli ekonomi dunia , banyak dari
mereka yang lalu melakukan kajian mendalam terhadap perekonomian yang
berlandaskan prinsip- prinsip syariah.

Pasalnya keuangan syariah tidak menggunakan instrument derivative seperti


halnya keuangan konvensional. Meski keuangan syariah juga memiliki resiko, namun
syariah jauh dari ketidak pastian atau gharar. Jika terkena resiko, maka keuangan
syariah akan berbagi resiko tersebut.

Manajemen keuangan syariah sangatlah berpengaruh bagi masyarakat karena


dengan produk- produk syariah masyarakat merasa lebih aman dan nyaman karena
manajemen keuangan syariah menyentuh pada sektor riil. Didalam manajemen
keuangan syariah ini ada yang dinamakan mekanisme keuangan syariah yang akan
kita bahas dalam makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk

itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca untuk kesempurnaan

tugas atau makalah kedepannya.

Bukittinggi, 22 November 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................................... i


DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar belakang ............................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 2
A. Mekanisme Keuangan Berbasis Bagi Hasil .................................................................. 2
B. Mekanisme Keuangan Syariah Berbasis Jual Beli ........................................................ 7
C. Mekanisme keuangan syariah berbasis sewa menyewa .............................................. 11
D. Mekanisme keuangan syariah berbasis titipan dan utang ........................................... 17
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 22
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 22
B. Saran ........................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Keunggulan sistem ekonomi syariah tidak hanya di akui oleh para tokoh di
Negara- Negara muslim. Ketahanan sistem ekonomi syariah terhadap hantaman
krisis keuangan global telah menbuka mata para ahli ekonomi dunia , banyak dari
mereka yang lalu melakukan kajian mendalam terhadap perekonomian yang
berlandaskan prinsip- prinsip syariah.

Pasalnya keuangan syariah tidak menggunakan instrument derivative seperti


halnya keuangan konvensional. Meski keuangan syariah juga memiliki resiko, namun
syariah jauh dari ketidak pastian atau gharar. Jika terkena resiko, maka keuangan
syariah akan berbagi resiko tersebut.

Manajemen keuangan syariah sangatlah berpengaruh bagi masyarakat karena


dengan produk- produk syariah masyarakat merasa lebih aman dan nyaman karena
manajemen keuangan syariah menyentuh pada sektor riil. Dimana didalamnya
terdapat juga mekanisme dalam keuangan syariah.

B. Rumusan Masalah

Bedasarakan tujuan pembahasan makalah di atas, maka dapat diterangkan


beberapa rumusan masalah yang dapat di angkat antara lain :
1. Bagaimana mekanisme keuangan syariah pada bagi hasil?
2. Bagaimana mekanisme keuangan syariah pada jual beli?
3. Bagaimana mekanisme keuangan syariah pada sewa menyewa?
4. Bagaimana mekanisme keuangan syariah pada titipan dan utang?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui mekanisme keuangan syariah pada bagi hasil
2. Untuk mengetahui mekanisme keuangan syariah pada jual beli
3. Untuk mengetahui mekanisme keuangan syariah pada sewa menyewa
4. Untuk mengetahui mekanisme keuangan syariah pada titpan dan utang

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mekanisme Keuangan Berbasis Bagi Hasil

Prinsip bagi hasil merupakan implementasi dari prinsip keadilan, persamaan,


dalam transaksi ekonomi syari’ah dan perbankan syari’ah. Sistem bagi hasil dimana
dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama dalam melakukan kegiatan usaha. Di
dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang
akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Sistem bagi hasil dalam perbankan
syariah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kepada masyarakat, dan di dalam
aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan
terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi
hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus
terjadi dengan adanya kerelaan di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Melainkan atas dasar ridha di antara kedua belah pihak dengan apa yang telah mereka
sepakati daalm rencana kegiatan usaha yang akan dijalani. 1

Mekanisme perhitungan bagi hasil yang di terapkan di dalam perbankan syari’ah


terdiri dari dua sistem yaitu:

1. Profit sharing

Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi


keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara
istilah profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada
hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan
syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana
hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari
pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan. Sistem

1
Suhermaan, Prinsip Penetapan Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah Sebuah Pendekatan
Al-Maqasidu Al-Syariah. Jurnal Hukum dan Peranata Sosial Islam, hal. 297.

2
profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari
perjanjian kerjasama antara pemodal (investor) dan pengelola modal
(enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di
antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika
mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan
di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan
ditanggung bersama sesuai porsi masing masing.

2. Revenue Sharing

Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua
kata yaitu, revenue yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing
adalah bentuk kata kerja dari share yang berarti bagi atau bagian.
Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan.
Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang
diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan
jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales
revenue). Dalam perbankan syariah Revenue sharing adalah perhitungan
bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima
sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk
memperoleh pendapatan tersebut.

Secara umum prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat


dilakukan dalam empat akad utama yaitu, Mudharabah, Musyarakah,
Muzara’ah, dan Musaqoh. Muzara’ah dan Musaqoh digunakan untuk
pembiayaan pertanian untuk beberapa bank Islam. Namun pada
penerapan prinsip yang digunakan dalam bentuk kontrak kerjasama atau
mekanisme keuangan syariah berbasis bagi hasil dalam perbankan syariah
secara umum dapat dilakukan yaitu dalam bentuk akad Mudharabah dan
Musyarakah.2

2
Suherman, Ibid hlm. 298.

3
a. Mudharabah

Mudharabah adalah akad kerjasama suatu usaha antara dua


orang atau lebih dimana salah satu pihak sebagai penyedia modal
(shahibul mal) kepada pihak lain yang bertindak sebagai pengelola
dana (mudharib) yang mempunyai keahlian atau keterampilan
untuk mengelola suatu usaha yang produktif dan halal dengan
membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang yang
dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian di tanggung
sepenuhnya oleh penyedia dana kecuali jika pihak pengelola
melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi
perjanjian.3 Menurut jumhur ulama rukun mudharabah yaitu:
shahibul mal (pemilik modal/dana), mudharib (pengelola), mal
(modal), keuntungan, usaha yang dijalankan dan akad perjanjian. 4

Adapun bentuk mudharabah yang dilakukan dalam


perbankan syari’ah dari penghimpunan dan penyaluran
adalah:
1. Tabungan Mudharabah
Merupakan simpanan pihak ketiga yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa
kali sesuai perjanjian.
2. Deposito Mudharabah
Merupakan investasi melalui simpanan pihak
ketiga (perseorangan atau badan hukum) yang
penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka
waktu tertentu (jatuh tempo), dengan mendapat imbalan
bagi hasil.
3. Investai Mudharabah Antar Bank (IMA).
3
Mardani, Hukum Bisnis Syariah, (Jakarta:Prenada Media Group ,2014), cet.1.hml.138.
4
Rozalinda, Fiqih Ekonomi Syariah Prinsip dan Implemntasinya Pada Sektor Keuangan
Syari’ah, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2016), cet.1.hml.208-209.

4
Merupakan sarana kegiatan investasi jangka
pendek dalam rupiah antar peserta pasar uang antar
Bank Syariah berdasarkan prinsip mudharabah di mana
keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah pihak
(pembeli dan penjual sertifikat IMA) berdasarkan
nisbah yang telah disepakati sebelumnya.5
b. Musyarakah
Musyarakah asal dari kata syirkah yang berarti berarti
pecampuran dan persekutuan. Menurut fiqih musyarakah
adalah bentuk kerjasama antara dua orang tau lebih yang
berserikat dalam hal modan dan keuntungan. Dengan kata lain
musyarakah adalah akad kerja sama antara dua orang atau lebih
untuk suatu usaha tertentu dimana masing- masing pihak
memberikan kontribusi daan dengan kesepakatan dan risiko
akan di tanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. 6

Secara garis besar syirkah terbagi menjadi dua


macam yaitu: syirkah amlak dan syirkah uqud’
1. Syirkah amlak (syirkah milik)
Syirkah amlak adalah persekutuan dua orang atau lebih
untuk memiliki harta bersama tanpa melalui akad syirkah
tapi melalui pemberian hadiah, hibah warisan dan lain
sebagainya.
2. Syirkah uqud
Syirkah uqud adalah persekutuan antara dua orang atau
lebih untuk mengikat diri dalam perserikatan dalam modal
dan keuntungan. Syirkah uqud terbagi menjadi 6 macam
yaitu:
5
Suherman, Op.cit hml. 299.
6
Udin Saripudin, Aplikasi Akad Syirkah Dalam Lembaga Keuangan Syariah Jurnal. Al
Amwal: Vol. 1, No. 1, Agustus 2018.hml.26

5
a. Syirkah Al-amwal,
Merupakan persekutuan antara dua pihak
pemodal atau lebih dalam usaha tertentu dengan
mengumpulkan modal bersama dan membagi
keuntungan dan resiko kerugian berdasarkan
kesepakatan.
b. Syirkah Al-A’mal atau Syirkah Abdan
Merupakan persekutuan dua pihak pekerja atau
lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Hasil
atau upah dari pekerjaan tersebut dibagi sesuai
dengan kesepakatan mereka.
c. Syirkah Al-Wujuh
Merupakan persekutuan antara dua pihak
pengusaha untuk melakukan kerjasama dimana
masing-masing pihak sama sekali tidak
menyertakan modal. Mereka menjalankan usahanya
berdasarkan kepercayaan pihak ketiga.
d. Syirkah Al-Inan
Merupakan sebuah persekutuan dimana posisi
dan komposisi pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya adalah tidak sama baik dalam hal modal,
pekerjaan, maupun dalam hal keuntungan dan
resiko kerugian.
e. Syirkah Al-Mufawadhah
Merupakan sebuah persekutuan dimana posisi
dan komposisi pihakpihak yang terlibat didalamnya
adalah sama, baik dalam hal modal, pekerjaan,
maupun dalam hal keuntungan dan resiko kerugian.
f. Syirkah Al-Mudharabah

6
Merupakan persekutuan antara pihak pemilik
modal dengan pihak yang ahli dalam berdagang
atau pengusaha, dimana pihak pemodal
menyediakan seluruh modal kerja. Dengan kata lain
perserikatan antara modal pada satu pihak, dan
pekerjaan pada pihak lain. Keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan, sedangkan kerugian
7
ditanggung oleh pihak pemodal.

B. Mekanisme Keuangan Syariah Berbasis Jual Beli

Jual beli adalah proses pemindahan hak milik/barang /harta kepada


pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Secara syariah
jual beli adaah transaksi menukar uang dangan barang berdasarkan suka sama
suka menurut cara yang ditentukan dalam syari’at Islam. Adapun rukuan jual
beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’yaitu: dua orang
yang berakad, objek akad (barang dan harga), ijab dan qabul
(perjanjian/persetujuan).8

Pada penerapan prinsip yang digunakan dalam bentuk kontrak


kerjasama atau mekanisme keuangan syariah berbasis jual beli dalam
perbankan syariah secara umum dapat dilakukan yaitu dalam bentuk akad,
Murabahah, Istisna’ dan Salam.

1. Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli atas barang dengan modal pokok
ditambah keuntungan dimana penjual menyebutkan dengan jelas barang
yang di perjual belikan termasuk harga pembelian barang kepada pembeli
kemudian ia mensyaratkan atas laba/keungtungan dalam jumlah tertentu.

7
Udin Saripudin, Ibid hml.32.
8
Racmat Syafe’I, Fiqh Muamalah,(Bandung:Pustaka Setia,2006) cet.3.hml.92.

7
Dalam perbankan syariah murabahah adalah akad jual beli barang
sebesar harga pokok barangditambahkan dengan margin keuntungan yang
disepakati. Berdasarkanakad jual beli tersebut bank membeli barang yang
dipesan oleh dan menjualnya kepada nasabah. Harga jual bank adalah
harga beli dari supplier ditambahkan keuntungan yang disepakati. Bank
harus memberitahukan secara jujur harga pokok barang kepada nasabah
berikut biaya yangdiperlukan. Adapun rukun murabahah yaitu: penjual,
pembeli, objekjual beli, harga ,dan ijab qabul.

Dalam konsep di perbankan syariah maupun di Lembaga


Keuangan
Syariah (BMT), jual beli murabahah dapat dibedakan menjadi 2, yaitu
:
a. . Murabahah tanpa pesanan
Murabahah tanpa pesanan adalah jenis jual beli murabahah
yang dilakukan dengan tidak melihat adanya nasabah yang
memesan (mengajukan pembiayaan) atau tidak, sehingga
penyediaan barang dilakukan oleh bank atau BMT sendiri dan
dilakukan tidak terkait dengan jual beli murabahah sendiri. Dengan
kata lain, dalam murabahah tanpa pesanan, bank syariah atau BMT
menyediakan barang atau persediaan barang yang akan
diperjualbelikan dilakukan tanpa memperhatikan ada nasabah yang
membeli atau tidak, sehingga proses pengadaan barang dilakukan
sebelum transaksi / akad jual beli murabahah dilakukan.
b. Murabahah berdasarkan pesanan
Murabahah berdasarkan pesanan adalah jual beli murabahah
yang dilakukan setelah ada pesanan dari pemesan atau nasabah
yang mengajukan pembiayaan murabahah. Jadi dalam murabahah
berdasarkan pesanan, bank syariah atau BMT melakukan
pengadaan barang dan melakukan transaksi jual beli setelah ada

8
nasabah yang memesan untuk dibelikan barang atau asset sesuai
dengan apa yang diinginkan nasabah tersebut.

Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah

a. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas


riba. Barang yang diperjual belikan tidak diharamkan oleh syariah
Islam. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian
barang yang telah disepakati kualifikasinya.
b. Bank membeli barang yang diperlukan nasabahnya atas nama bak
sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
c. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara berutang.
d. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah
(pemesanan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungan.
Dalam kaitan ini bank harus memberitahukan secara jujur harga
pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukannya.
e. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut
pada jangka waktu tertentu yang di sepakati.
f. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad
tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus
dengannasabah berupa pemikatan jaminan dan atau asuransi.
g. Jika bank hendak memperwakilkan dengan nasabah untuk
membeli barang dari pihak ketiga (akad wakalah), akad jual beli
murabahahharus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi
milik bank.9
2. Istisna’
Istishna’ adalah akad yang berasal dari bahasa Arab artinya buatanJenis
jual beli ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Istishna’ adalah akad

9
http://eprints.walisongo.ac.id/3101/3/62311005_Bab2.pdf.hml.25-26.

9
jual barang pesanan diantara dua belah pihak dengan spesifikasi dan
pembayaran tertentu. Barang yang dipesan belum diproduksi atau tidak
tersedia di pasaran. Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan
cicilan tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Pelaksanaannya ada
dua bentuk :
a. Pertama, produsen dipilih oleh pihak Bank Syariah
1. Nasabah memesan barang yang diinginkannya kepada Bank
Syariah dengan
kriteria tertentu
2. Bank Syariah segera memesan barang kepada pembuat atau
produsen sesuai
Pesanan
3. Bank Syariah menjual barang kepada nasabah yang memesan
barang sesuai dengan kesepakatan.
4. Sesudah barang pesanan selesai,barang diserahkan oleh produsen
atas perintah
Bank Syariah.
b. Kedua, Produsen dipilih sendiri oleh nasabah
1. Negosiasai antara nasabah dan produsen tentang pesanan barang
2. Nasabah memesan barang kepada Bank Syariah sebagai penjual,
atau Bank Syariah mewakilkan kepada nasabah untuk memesan
barang kepada produsen.
3. Bank Syariah menjual barang kepada nasabah sebagai pembeli
4. Bank Syariah memesan dan membeli barang kepada produsen sesuai
dengan
pesanan pembeli atau nasabah.
3. Salam
Kata as-salam disebut juga dengan as-salaf. Maknanya, adalah
menjual sesuatu dengan sifat-sifat tertentu, masih dalam tanggung jawab
pihak penjual tetapi pembayaran segera atau tunai. Dalam jual beli salam,

10
spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati olehpembeli dan penjual
di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama
jangka waktu akad. Dalam hal Bank bertindak sebagai pembeli, Bank
Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah untuk menghindari risiko
yang merugikan Bank. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya
secara umum yang meliputi: jenis, spesikasi teknis, kualitas dan
kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah
disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang
dikirimkan salah atau cacat, maka penjual harus bertanggung jawab atas
kelalaiannya.10

C. Mekanisme keuangan syariah berbasis sewa menyewa


1. Pengertian al-Ijarah
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al’iwadhu atau berarti
ganti. Dalam Bahasa Arab, al-ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang.
Secara terminologi, ada beberapa defenisi al-ijarah yang dikemukakan
oleh para ulama fiqh.
Pertama, ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “transaksi
terhadap suatu manfaat dengan imbalan.
Kedua, ulama syafi’iyah mendefinisikannya dengan “transaksi
terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan boleh
dimanfaatkan dengan imbalan tertentu”
Ketiga, ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan:
“pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan
suatu imbalan”.
Pada dasarnya keempat pendapat ulama di atas memiiliki pandangan
yang sama terhadap pengertian al-ijarah.

10
Siti Mujiatun, Jual Beli Dalam Perspektif Islam : Salam Dan Istisna’ Jurnal Riset
Akuntansi Dan Bisnis, Vol 13, No 2 .2013. hlm.206-212.

11
Sedangkan menurut Sutan Remy al Ijarah adalah akad pemindahan
hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu
sendiri.
Definisi mengenai prinsip ijarah juga telah diatur dalam hukum positif
Indonesia yakni dalam Pasal 1 ayat 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/46/PBI/2005 yang mengartikan prinsip al-ijarah sebagai “transaksi sewa-
menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu usaha jasa
dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa.”
Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000,
ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa
dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad
ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna
saja dari yang menyewakan kepada penyewa.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dikatakan bahwa al-ijarah
adalah pemindahan hak guna atau manfaat terhadap suatu barang atau jasa
dari sesorang kepada orang lain dalam kurun waktu tertentu sesuai
kesepakatan11

2. Landasan Syariah
a. Al-Qur’an Dalil tentang kebolehan transaksi al-ijarah dapat
dipahami dari nash al-Qur’an di antaranya QS. Ath-Thalaq: 6

     

6. kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah


kepada mereka upahnya,.

11
Rosita Tehuayo, Sewa Menyewa (Ijarah) Dalam Sistem Perbankan Syariah. Jurmal Tahkim
Vol. Xiv, No. 1, Juni 2018, Hal. 86-88

12
Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “berikanlah
kepada mereka upahnya, ungkapan tersebut menunjukan adanya jasa yang
diberikan sehingga berkewajiban membayar upah (fee) secara patut. Dalam
hal ini termasuk di dalamnya jasa penyewaan atau leasing. Upah dalam ayat
ini disebutkan dalam bentuk umum, mencakup semua jenis sewa-menyewa
(ijarah).
b. Al-Hadis
Kebolehan melakukan transaksi ijarah didasarkan juga kepada hadis, di
antaranya hadis yang diriwayatkan dari ibnu Aisyah ra. bahwa:
‫واستأجر النبً صلى هللا علٍھ و سلم وأبو بكر رجال من بنً الذٌل ثم من بنً عبذ بن عبذي ھادٌا خرتا‬
‫الخرت الماھر بالھذٌة‬
Artinya: ‘Nabi saw bersama Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan yang
mahir dari Bani al-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin ‘Adi.’ (HR Bukhari)

Hadis ini menunjukkan bahwa sewa-menyewa atau ijarah hukumnya


boleh. Hal itu dipahami dari hadis fi’liyah Nabi saw yang menyewa dan
memberikan upahnya kepada penunjuk jalan yang memandu perjalanan beliau
bersama Abu Bakar ra. Sebab Nabi Muhammad saw merupakan suri teladan
yang baik untuk diikuti.12

3. Al-Ijarah dalam Perbankan Syariah


a. Perbedaan al-Ijarah dengan Bunga
Dipandang dari hukum Islam, tampaknya pembayaran sewa tidaklah
bertentangan dengan etika ekonomi Islam, karena adanya perbedaan besar
antara sewa dan bunga. Tetapi sepintas lalu baik sewa maupun bunga
kelihatannya adalah satu dan sama, karena konon sewa atas tanah, atau harta
benda, sedangkan bunga atas modal, yang mempunyai potensi untuk dialihkan
menjadi harta benda atau kekayaan apa saja. Demikianlah dikemukakan

12
Ibid, hal. 88

13
bahwa hak “pemilikan tanah tidaklah mengandaikan adanya hak tidak terbatas
untuk menyewakan tanah itu sebagaimana juga hak memiliki uang tidak
mengandung arti hak untuk memungut riba.” Walupun sepintas lalu ada
kesamaan, tetapi dalam beberapa segi, pada kedua hal itu, transaksi dan
keuntungan sangat berbeda.
Pertama, sewa adalah hasil inisiatif usaha dan efisiensi. Ia dihasilkan
sesudah suatu proses menciptakan nilai yang pasti. Karena pemilik harta
benda atau kekayaan tetap terlibat dan berkepentingan dengan seluruh
pemakaian si pemakai. Tidak demikian halnya dengan bunga, karena yang
meminjamkan tidak berkepentingan lagi dengan penggunaan pinjaman,
setelah pinjaman diperoleh dan bunganya terjamin.
Kedua, mengenai sewa usaha produktif sangat diperlukan dalam
proses menciptakan nilai, karena upaya ekonomik dilakukan pemilik modal
dengan merubahnya menjadi milik atau kekayaan. Demikian maka unsur
kewira-usahaan tetap jelas dan aktif dalam memproduksi barang dan jasa.
Sedangkan bunga mungkin memperlambat proses menciptakan nilai. Karena
yang meminjamkan tetap tidak berkepentingan dengan penggunaan pinjaman
itu, maka unsur wirausaha hilang sama sekali.
Ketiga, dalam hal sewa, pemilik modal sendiri menentukan pola,
ukuran dan manfaat produk. Karena itu terbatas pada penggunaannya yang
pasti dan bertujuan. Sedangkan dalam hal bunga pemilik yang sebenarnya
tampaknya tidak berkepentingan dengan penggunaan ekonomik dari modal,
karena itu besar kemungkinan modal dapat disalahgunakan.
Keempat, karena dalam masalah sewa banyak unsur kerugiannya,
maka penggunaan modal oleh sipemilik untuk mendapatkan sewa tidak
menciptakan timbulnya kelas bermalas-malasan dalam masyarakat sedangkan
unsur kerugian tidak terdapat sama sekali dalam soal bunga yang dapat
membuat si kaya menjadi lebih kaya dan si miskin menjadi lebih miskin.15
Dengan demikian dalam sewa-menyewa tidak terdapat unsur eksploitasi
sebagaimana terjadi dalam bunga. Karena itu dalam sewa menyewa dimensi

14
insaninya lebih dominan dibandingkan dengan dimensi ilahinya.16 Sebab
sewa menyewa sebagai bagian dari fiqh muamalah berkaitan erat dengan
kepentingan manusia.

b. Jenis-Jenis al-Ijarah Dalam Perbankan Syariah


1. Ijarah Mutlaqah
Ijarah mutlaqah atau leasing, adalah proses sewa menyewa yang biasa
kita temui dalam kegiatan perekonomian sehari-hari. Ijarah berarti lease
contract dan juga hire contract. Dalam konteks perbankan Islam, ijarah adalah
suatu lease contract dimana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan
peralatan (equipment), sebuah bangunan atau barang-barang, seperti mesin-
mesin, pesawat terbang, dan lain-lain, kepada salah satu nasabahnya
berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti
sebelumnya (fixed charge).
Dengan demikian, perjanjian ijarah atau leasing tidak lain adalah
kegiatan leasing yang dikenal dalam sitem keuangan yang tradisonal. Dalam
transaksi ijarah, bank menyewakan suatu aset yang sebelumnya telah dibeli
oleh bank kepada nasabahnya untuk jangka waktu tertentu dengan jumlah
sewa yang telah disetujui dimuka.

Para ahli hukum muslim membagi lagi ijarah mutlaqah menjadi dua bentuk:
1. Menyewa untuk suatu jangka waktu tertentu.
2. Menyewa untuk suatu proyek/usaha tertentu.

Bentuk yang pertama banyak diterapkan dalam sewa-menyewa


barang/aset sedang yang terakhir dipakai untuk menyewa pekerja/tenaga ahli
untuk usaha-usaha tertentu. Dalam pelaksanaannya, bank dapat membeli
barang dari pemasok barang dengan pemberian fasilitas bai’salam kepada
pemasok barang.

15
Pada perjanjian ijarah, seperti halnya pada leasing yang diberikan oleh
lembaga pembiayaan tradisonal, pada akhir perjanjian ijarah barang yang
disewa itu kembali kepada pihak yang menyewakan barang, yaitu bank. Pada
perjanjian ijarah sepanjang masa perjanjian ijarah tersebut kepemilikan atas
barang tetap berada pada bank. Setelah barang kembali pada akhir masa
ijarah, bank dapat menyewakan kembali kepada pihak lain yang berminat atau
menjual barang itu dengan memperoleh harga atas penjualan barang bekas
(second hand) tersebut.

2. Al-Ijarah al-Muntahia bit-Tamlik


Transaksi yang disebut dengan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik
(IMBT) adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih
tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si
penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan
ijarah biasa. Ijarah yang juga disebut ijarah wa iqtina ini merupakan konsep
hire purchase, yang oleh lembaga-lembaga keuangan Islam disebut lease-
purchase financing. Ijarah wa iqtina adalah suatu gabungan dari kegiatan
leasing atas barang-barang bergerak (movable) dan barang- barng tidak
bergerak (immovable) dengan memberikan kepada penyewa (lessee) suatu
pilihan atau opsi (option) untuk akhirnya membeli barang yang disewa.
Berbeda dengan ijarah, pada akhir masa perjanjian kepemilikan atas barang
tersebut dapat beralih kepada penyewa (nasabah bank) apabila nasabah bank
yang bersangkutan menggunakan hak opsinya untuk membeli barang itu.
Namun, apabila nasabah bank tidak menggunakan hak opsinya, kepemilikan
barang itu tetap berada ditangan bank.
Ijarah muntahia bit-tamlik ini dulunya tidak dikenal oleh ilmuwan-
ilmuwan muslim tradisonal, sekalipun sebenarnya tidak terdapat hal yang
melanggar hukum (unlawful) pada penggabungan dua konsep yang
melembaga itu, yaitu lease dan option, asalkan riba dihindari dan asalkan riba
bukan merupakan tujuan dari para pihak yang membuat perjanjian itu.

16
Praktek sewa-menyewa dalam transaksi umum masyarakat tidak
disertai dengan pemindahan hak milik. Apabila disertai dengan pemindahan
hak milik maka transaksinya disebut perjanjian sewa – beli. Terhadap
perjanjian sewa – beli (leasing) umumnya pemberian jasa pembiayaan
diberikan oleh lembaga keuangan non – bank /finance . Pada praktek
perbankan syariah, akad sewa-menyewa disebut Ijarah. Akad sewa-menyewa
(ijarah ) pada perbankan syariah pada perkembangannya dapat disertai dengan
pemindahan hak milik yang disebut sebagai Ijarah Muntahiyyah bit-Tamlik
(IMBT). Walaupun seperti terlihat mirip dengan Leasing pada praktek
pembiayaan konvensional, tetapi pada perbankan syariah terdapat pembedaan,
yaitu jika obyek leasing hanya berlaku pada manfaat barang saja, sedangkan
pada Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik obyeknya bisa berupa barang maupun
jasa/ tenaga kerja.

D. Mekanisme keuangan syariah berbasis titipan dan utang

Utang atau Wadiah dapat diartikan sebagai titipan dari satu pihak ke pihak lain,
baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja
si penyimpan menghendakinya. Tujuan dari perjanjian tersebut adalah untuk menjaga
keselamatan barang itu dari kehilangan, kemusnahan, kecurian, dan sebagainya.
Sebagai penerima titipan, tidak ada kewajiban bagi bank untuk memberikan imbalan
dan bank syariah dapat mengenakan biaya penitipan barang tersebut.

1. Pengertian Wadiah

Secara Etimologi al-Wadiah berarti titipan murni (amanah).Wadiah bermakna


amanah. Wadiah dikatakan bermakna amanah karena Allah menyebut wadiah dengan
kata amanah dibeberapa ayat Al-Quran, sedangkan secara terminologi ada beberapa
pendapat dari para ulama, di antaranya:

a. Hanafiah: al-wadi’ah adalah suatu amanah yang ditinggalkan untuk


dipeliharakan kepada orang lain

17
b. Malikiah: al-wadi’ah adalah suatu harta yang diwakilkan kepada orang
lain untuk dipeliharakan
c. Syafi’iah: al-wadi’ah adalah sesuatu harta benda yang disimpan
ditempat orang lain untuk dipeliharakan
d. Hanabilah: suatu harta yang diserahkan kepada seseorang untuk
memeliharanya tanpa adanya ganti rugi
e. Ulama Fiqh Kontemporer: al-Wadi’ah adalah titipan murni dari satu
pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus
dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.13

Sebaliknya penerima titipan, khususnya yang menggunakan akad yad ad


dhaman merasa mendapat manfaat atas sesuatu yang dititipi, maka bank dapat
memberikan bonus kepada penitip dari hasil pemanfaatannya dengan syarat:

1. Bonus merupakan kebijakan (hak prerogatif) dari bank sebagai penerima


titipan.
2. Bonus tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlah yang diberikan, baik
dalam prosentase maupun nominal tidak ditetapkan dimuka.

Berdasarkan Fatwa DSN tentang tabungan wadi’ah baik giro wadi’ah dan
tabungan, wadi’ah sifatnya adalah titipan yang bisa diambil kapan saja oleh penitip
tanpa ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian bonus yang
bersifat suka rela.

Dilihat dari segi sifat Akad wadi’ah, para ulama fiqih sepakat menyatakan
bahwa akad wadi’ah mengikat bagi kedua belah pihak yang melakukan akad. Apabila
seseorang dititipi barang/dana oleh orang lain dan akadnya ini memenuhi rukun dan
syarat wadi’ah, maka pihak yang dititipi bertanggung jawab untuk memelihara
barang/dana titipan, namun demikian apakah tanggung jawab memelihara barang atau

13
Fika Reflina dan Hesi Eka Puteri, “Penghimpunan Dana Nasabah Dengan Akad Wadi’ah
Dan Penerapannya Pada Perbankan Syariah”. Jurnal tahkim, Vol. Xiv, No. 1, Juni 2018, Hal. 93-94

18
dana itu bersifat amanah atau bersifat ganti rugi (ad dhaman)? Dalam kaitan dengan
ini, para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa status wadi’ah ditangan orang yang
dititipi bersifat amanah (titipan murni tanpa ganti rugi), tetapi dikembangkan dalam
bentuk yad addhamanah (dengan resiko ganti rugi) oleh perbankan syariah dan
mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik bank. Disamping itu,
atas kehendak perbankan syariah, tanpa adanya persetujuan sebelumnya dengan
pemilik barang/dana dapat memberikan semacam bonus kepada nasabah wadi’ah.

2. Wadi’ah dalam praktek Perbankan syariah

Wadi’ah merupakan simpanan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain
yang bukan pemiliknya untuk tujua keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari
pihak yang mempunyai uang/barang titipan tesebut, dan yang dititipi menjadi
penjamin pengembalian barang titipan. Dalam akad hendakya dijelaskan tujuan
wadi’ah, cara penyimpanan lamanya waktu penitipan biaya yang dibebankan pada
pemilik barang dan hal-hal lain yang dianggap penting. Dapat dikaji lebih dalam
tentang wadi’ah yang diterapkan dalam syariah dengan yang diterapkan pada
perbankan syariah agar kita memahami berbagai hal yang membedakan Wadi'ah
Syariah (WS) dengan Wadi’ah Perbankan (WB).

WS: Penerima titipan (wadi’ah), tidak dibenarkan untuk menggunakan uang


yang disimpankan kepadanya, kecuali atas seizin pemilik uang. Bila ia
menggunakannya maka ia telah berkhianat, dan bila terjadi kehilangan ia
berkewajiban menanggungnya. WB: Penerima wadi’ah (pihak Bank syariah)
sepenuhnya dibenarkan untuk menggunakan uang titipannya, baik dengan
dibelanjakan atau diutangkan kembali kepada orang lain. WS: Kerusakan yang tidak
disengaja, atau tanpa ada kelalaian dari penerima titipan, tidak menjadi bertanggung
jawab penerima titipan untuk menggantinya.WB: Bila uang atau barang rusak atau
hilang, setelah akad wadi’ah, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab (bank),
walau semuanya terjadi tanpa kesengajaan.WS: Pemilik uang tidak mendapatkan
imbalan atau bonus apapun. WB: Pemilik uang (nasabah) mendapatkan bonus, yang
diistilahkan 'bagi hasil' WS: Bila penerima wadi’ah memungut upah dari pemilik

19
uang atau barang, otomatis akadnya berubah menjadi akad sewa-menyewa atau
jualbeli jasa penitipan.

Dan tentu konsekwensi hukumnya turut berubah. WB: Bank dibenarkan


memungut upah (uang administrasi) atas dana nasabahnya. WS: Kepemilikan barang
tidak pernah berpindah tangan menjadi milik penyimpan. Dan wewenang penerima
wadi’ah terbatas. WB: Dana nasabah yang disetorkan ke bank, secara otomatis
menjadi milik bank, karenanya mutlak berwenang mutlak untuk mengelolanya.

Mencermati perbedaan di atas, dapat diketahui dengan jelas bahwa wadi’ah


yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam kitab-kitab
fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan
hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai
proyeknya. Sebagaimana nasabah terbebas dari segala resiko yang terjadi pada
dananya. Karena alasan ini, banyak dari ulama kontemporer yang mengkritisi
penamaannya dengan wadi’ah. Dan sebagai gantinya mereka mengusulkan untuk
menggunakan istilah lain, semisal al-hisab al-jari [arab: ‫ [ الجاري الحساب‬atau yang
secara bahasa bermakna account.

Kesimpulannya, apa yang diterapkan oleh perbankan syariah sejatinya ialah


akad hutang piutang yang kemudian disebut dengan wadiah. Bila demikian tidak
diragukan keuntungan yang diperoleh nasabah darinya adalah bunga alias riba,
berdasarkan kaidah fiqih yang telah disepakati oleh ulama:

Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan


menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah dan
dain (hutang-piutang) . Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan
pada akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad
hutang piutang dan bukan wadi’ah. Dan dengan segala konsekwensinya, berbagai

20
hukum utang piutang berlaku pada praktek wadi’ah yang diterapkan oleh perbankan
syari’ah di negri kita.14

14
Ibid, hal 95-97

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Prinsip bagi hasil merupakan implementasi dari prinsip keadilan, persamaan,


dalam transaksi ekonomi syari’ah dan perbankan syari’ah. Sistem bagi hasil dimana
dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama dalam melakukan kegiatan usaha. Di
dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang
akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih.

Jual beli adalah proses pemindahan hak milik/barang /harta kepada pihak lain
dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Secara syariah jual beli adaah
transaksi menukar uang dangan barang berdasarkan suka sama suka menurut cara
yang ditentukan dalam syari’at Islam. Adapun rukuan jual beli yang harus dipenuhi
agar jual belinya sah menurut syara’yaitu: dua orang yang berakad, objek akad
(barang dan harga), ijab dan qabul (perjanjian/persetujuan)

Al-ijarah adalah akad pemindahan kepemilikan atas suatu barang atau jasa
dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.

Wadi’ah merupakan simpanan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain
yang bukan pemiliknya untuk tujua keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari
pihak yang mempunyai uang/barang titipan tesebut, dan yang dititipi menjadi
penjamin pengembalian barang titipan. Dalam akad hendakya dijelaskan tujuan
wadi’ah, cara penyimpanan lamanya waktu penitipan biaya yang dibebankan pada
pemilik barang dan hal-hal lain yang dianggap penting.

B. Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber - sumber yang lebih banyak yang tentu yang dapat di pertanggung jawabkan.

22
DAFTAR PUSTAKA
Suhermaan. Prinsip Penetapan Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah Sebuah
Pendekatan Al-Maqasidu Al-Syariah, Jurnal Hukum dan Peranata Sosial Islam

Mardani. 2014. Hukum Bisnis Syariah, Jakarta: Prenada Media Group

Rozalinda, Fiqih Ekonomi Syariah Prinsip dan Implemntasinya Pada Sektor


Keuangan Syari’ah, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2016), cet.1

Saripudin, Udin. 2018. Aplikasi Akad Syirkah Dalam Lembaga Keuangan Syariah.
Jurnal. Al Amwal: Vol. 1, No. 1

Syafe’I, Racmat. 2006. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia

http://eprints.walisongo.ac.id/3101/3/62311005_Bab2.pdf.hml.25-26.

Mujiatun, Siti. 2013. Jual Beli Dalam Perspektif Islam, Salam Dan Istisna’. Jurnal
Riset Akuntansi Dan Bisnis, Vol 13, No 2.

Tehuayo, Rosita. 2018. Sewa Menyewa (Ijarah) Dalam Sistem Perbankan Syariah.
Jurmal Tahkim Vol. Xiv, No. 1

Reflina, Fika dan Hesi Eka Puteri. 2018. Penghimpunan Dana Nasabah Dengan
Akad Wadi’ah Dan Penerapannya Pada Perbankan Syariah. Jurnal Tahkim,
Vol. XIV, No. 1

23

Anda mungkin juga menyukai