Anda di halaman 1dari 3

Nohan Rembulan Wahyu Wandira_072011233044_Individual Paper Week 10_STKS Class B

Strategi Insurjensi

Sebelumnya dipelajari mengenai strategi konfrontasi yang digunakan pada tahap akhir ketika pencegahan,
paksaan, dan penahanan tidak membuahkan hasil. Selanjutnya terdapat strategi insurjensi, ia bukanlah
perang konvensional atau terorisme tetapi memiliki kesamaan dalam penggunaan kekuatan untuk mencapai
tujuan politik dengan perbedaan krusial berupa ruang lingkup serta skala kekerasan (Kiras, 2007). Dalam
insurjensi, musuh bersifat asimetris, lebih lemah, dan hampir selalu berupa kelompok sub-negara mencoba
untuk membawa perubahan politik dengan mengelola serta memerangi lebih efektif alih – alih berbasis
negara melalui penggunaan kebijaksanaan gerilya (Kiras, 2007). Terorisme tidak menuntut perubahan
pemerintahan, sedangkan insurjensi merupakan pergerakan populasi dalam jumlah tertentu di suatu negara
yang menuntut perubahan pemerintahan menggunakan kekuatan kekerasan. Keduanya dipengaruhi oleh
beberapa hal yaitu waktu, ruang, dukungan, dan legitimasi. Insurjen individu sangat berbeda dalam hal
karakter (aspek sosial, budaya, ekonomi) dan jenis (revolusioner, partisan, gerilya, pembebasan, atau perang
saudara) tetapi menginginkan hasil dengan memperoleh kekuasaan dan kontrol politik dengan syarat sukses
berupa dukungan fisik serta moral eksternal terhadap tujuannya (Kiras, 2007).

Merari (1993) mengklasifikasikan kekerasan politik menjadi negara lawan negara, negara lawan rakyat,
rakyat lawan negara, dan rakyat lawan rakyat. Strategi insurjensi beserta dengan terorisme, gerilya, kudeta,
dan revolusi leninis lahir ketika rakyat melawan negara dengan rakyat sebagai inisiator yang biasanya
disebabkan karena rasa ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang ada. Kekerasan warga negara terhadap
negara dapat terorganisir atau spontan...dalam bentuknya yang terorganisir, kekerasan warga termasuk
dalam kategori insurjensi yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintah (Merari, 1993). Insurjensi juga
lahir saat rakyat melawan rakyat yang biasanya terjadi dalam bentuk terorisme main hakim sendiri dan etnis,
dapat disebabkan karena permasalahan non politik atau ditujukan untuk pergerakan sosial serta politik.
Beberapa di antaranya terkait dengan persaingan ras atau etnis, ideologi sosial sayap kanan atau kiri, dan isu
idiosinkratik seperti aborsi, pelestarian lingkungan atau hak-hak binatang (Merari, 1993). Kasus khusus
main hakim sendiri kadang-kadang dikaitkan dengan upaya tidak sah untuk mengendalikan kejahatan, tetapi
kadang-kadang - sebagai asal istilah yang dimaksudkan – dikaitkan dengan aktivitas kekerasan terhadap
etnis atau politik minoritas (Merari, 1993).

Opsi pertama strategi insurjensi yakni Coup d’etat atau kudeta dengan level insurjensi tertinggi, ia
melibatkan angka individu rendah dan memiliki ancaman yang tinggi terhadap suatu rezim pemerintahan.
Kudeta adalah serangan mendadak dan kuat dalam politik dan merupakan perebutan kekuasaan oleh
individu atau sekelompok kecil yang mengendalikan posisi penting dalam mesin negara (Merari, 1993).
Revolusi merupakan pergantian aspek tertentu (ekonomi, sistem, politik, dan lain sebagainya) secara radikal
dan dapat atau tidak menggunakan kekerasan. Sedangkan, revolusi leninis merupakan strategi yang memiliki
periode kekerasan yang singkat, periode kerja dasar panjang dan sulit, dan perebutan kekuasaan yang
sebenarnya dipahami sebagai episode bencana yang mungkin melibatkan kekerasan luar biasa (Merari,
Nohan Rembulan Wahyu Wandira_072011233044_Individual Paper Week 10_STKS Class B
1993). Selanjutnya adalah perang gerilya dengan formasi kecil dan bersifat lebih fleksibel dengan taktik hit
and run dengan fokus teritorial tertentu serta dapat dijadikan sebagai tambahan peperangan utama atau
bentuk utama peperangan itu sendiri. Perang gerilya adalah server waktu yang hebat dari strategi militer,
dianalogikan sebagai kotoran dan pasir hisap saat mesin militer macet, ia merupakan jenis perang yang
paling murah (Katzenbach, 1995).

Opsi berikutnya yakni perlawanan tanpa kekerasan yang berada di luar cakupan artikel tentang kekerasan
politik, ia mencakup demonstrasi, pemogokan buruh, mogok makan, penolakan untuk membayar pajak, dan
variasi lain dari menantang pihak berwenang tanpa pertumpahan darah (Merari, 1993). Opsi terakhir adalah
terorisme yang bertujuan untuk mendapatkan simpati serta reaksi, menimbulkan ketakutan, dan memancing
respon dari lingkungan domestik maupun internasional. Ada beberapa perdebatan mengenai apakah
terorisme adalah taktik dalam strategi pemberontakan yang lebih luas atau apakah kelompok dapat
melakukan strategi terorisme (O'Neill, 1990 dalam Kiras, 2007). Strategi insurgensi diformulasikan dengan
memperhatikan empat elemen, waktu merupakan elemen pertama yang penting bagi pelaku untuk menyusun
rencana dan pelaksanaannya. Mao mengatur waktu dalam tulisannya menjadi tiga fase yang saling terkait:
pertahanan strategis, kebuntuan, dan serangan strategis (Kiras, 2007). Fase pertama fokus kepada pertahanan
dan menghindari kontak dengan musuh sembari menguatkan sumber daya, fase kedua yaitu mulai
melakukan kontak fisik. Di Fase terakhir, kekuatan populer dan utama melakukan pertempuran manuver
dengan kekuatan luar biasa untuk menghancurkan pasukan musuh (Kiras, 2007).

Elemen berikutnya yakni ruang yang dimanfaatkan oleh pemberontak untuk mundur jika mereka terpojok
atau menggunakannya untuk bertarung jika mereka memiliki peluang besar untuk menang. Eksploitasi
medan berat yang membatasi manuver pasukan pemerintah adalah cara ampuh di mana teroris atau
pemberontak bersenjata ringan dan bergerak mengimbangi kelemahan relatif mereka dalam teknologi,
organisasi, dan mati rasa (Kiras, 2007). Elemen ketiga yakni dukungan yang bisa didapatkan dari simpatisan
domestik dan internasional, dukungan dapat berbentuk makanan, intelijen, senjata, dsb merupakan
kompensasi dari segala sumber yang dimiliki musuhnya seperti negara. Clausewitz menyarankan bahwa
dukungan, dalam bentuk opini publik, adalah salah satu pusat gravitasi dalam pemberontakan rakyat
(Clausewitz, 1993 dalam Kiras, 2007). Elemen terakhir berkaitan dengan elemen sebelumnya yakni
legitimasi yang ditunjukkan dalam bentuk dukungan dari pihak lain. Mereka sering berusaha untuk
melegitimasi penggunaan kekerasan dan menerjemahkannya ke dalam dukungan yang berarti untuk tujuan
mereka dengan menunjukkan superioritas moral atas mereka yang mewakili negara, menggantikan fungsi
negara di tingkat lokal, dan menyebarkan pesan persuasif (Kiras, 2007).

Dengan demikian, strategi insurgensi adalah strategi yang digunakan oleh pemberontak untuk mencoba
untuk membawa perubahan politik karena ketidakpuasan oleh individu atau kelompok dalam suatu negara.
Terdapat dua hal yang melahirkan insurjensi, pertama yakni rakyat sebagai inisiator melawan negara secara
terorganisir untuk menggulingkan rezim pemerintahan. Kedua yakni rakyat melawan rakyat yang terwujud
Nohan Rembulan Wahyu Wandira_072011233044_Individual Paper Week 10_STKS Class B
dalam main hakim sendiri dan masalah etnis, hal ini biasanya disebabkan karena masalah politik, non –
politik, dan pergerakan sosial. Opsi strategi insurgensi dibagi menjadi lima, yang terkuat adalah kudeta yan
merupakan serangan mendadak dan kuat dalam politik untuk merebut kekuasaan negara oleh individu atau
sekelompok kecil orang. Selanjutnya yakni revolusi leninis dengan periode kekerasan yang singkat, periode
kerja dasar panjang dan sulit, dan perebutan kekuasaan, serta perang gerilya yang merupakan bagian kecil
dari peperangan konvensional dengan sifat yang lebih fleksibel dan fokus teritorial lebih kecil. Opsi keempat
yakni perlawanan tanpa kekerasan dan terorisme yang memiliki agenda tertentu serta bertujuan untuk
menimbulkan respon dan ketakutan dari lingkup domestik dan internasional. Formula pembentukan strategi
insurjensi memperhatikan empat elemen yang saling berhubungan dengan satu sama lain yakni waktu
dengan ruang, serta ruang dengan legitimasi.

Referensi :

Katzenbach, E. L. G. Z. Hanrahan. 1955. “The Revolutionary Strategy of Mao Tse-Tung” , Political Science
Quarterly, pp. 321-340

Kiras, James D. 2007. “Irregular Warfare Terrorism and Insurgency”, dalam John Baylis et. al. (ed.),
Strategy in the Contemporary World. Oxford : Oxford Oxford University Press, pp. 163-191

Merari, Ariel. 1993. “Terrorism as a Strategy of Insurgency”, Terrorism and Political Violence, Vol 4. No.
5. pp. 213-251

Anda mungkin juga menyukai