Anda di halaman 1dari 17

OUTLINE PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

KAPABILITAS PROGRAM NUKLIR KOREA UTARA DAN


TANGGAPAN INTERNASIONAL TERHADAP KRISIS
KEAMANAN KAWASAN ASIA TIMUR

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional


Kajian Politik Global

Oleh:
Kenia Azzahrah
Nim. E1111181038

PRODI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2020
Latar Belakang

Transformasi globalisasi pada sasaran keuntungan hubungan ekonomi tidak


dapat menyurutkan sentimen permasalahan lama mengenai perang yang memberi
imbas buruk terhadap keyakinan suatu negara tentang dunia damai. Pada tahun-tahun
awal perang dingin, ketika konsep keamanan nasional pertama kali muncul, masalah
keamanan bagi barat adalah bagaimana menanggapi tantangan spektrum luas dari Uni
Soviet. tantangan ini bukan hanya militer, tetapi juga ideologis, sosial dan ekonomi
(Buzan 1997, 6). Salah satu indikasi bukti hasil dari perperangan negara besar antara
Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet terjadi dalam fenomena historis Korean War.
Semenanjung Korea membelah diri menjadi dua negara berdaulat dimana Korea
Selatan mendukung AS dan Korea Utara yang meyakini Uni Soviet. Menyadari jumlah
korban meningkat, AS merencanakan genjatan militer pada wilayah yurisdiksi Korea
Utara.

Upaya perlindungan diakui merupakan langkah strategis dalam misi


penyelamatan nilai-nilai nasional. Persenjataan nuklir menjadi perhatian dunia tak kala
hal tersebut dapat dengan mudah menghancurkan daratan dengan waktu singkat.
Kompetisi pengembangan nuklir semakin meluas dan mengundang pemangku
kepentingan untuk membangun perihal serupa demi melindungi warga negaranya serta
kepentingan nasionalnya. Fenomena tersebut mendorong negara meraih eksistensi
dengan citra disegani atau ditakuti. Untuk itu, Korea Utara membangun visi kemanan
nasional bersamaan dengan kekuatan nuklir yang diakui berbahaya. Korea Utara
tampak menagetkan penggunaan senjatanya kepada AS berama sekutu Asia Timurnya
yakni Korea Sekatan dan Jepang.

Asia Timur cukup diguncangkan atas pernyataan Korea Utara terkait


penggunaan tangga eskalasi dua tahap, yang mengatakan bahwa jika tampaknya AS
atau Korea Selatan bersiap untuk menyerang Pyongyang, Korea Utara akan terlebih
dahulu melancarkan serangan untuk memenggal kepala pemimpin Korea Selatan, dan
akan menargetkan Pangkalan AS di Asia dan daratan AS “operasi serangan kedua” jika
AS tidak kemudian mundur (Wertz, McGrath dan LaFoy 2018, 9). Keamanan kawasan
Asia Timur selalu dihadapkan pada ketegangan yang didorong oleh eskalasi konflik.
Persaingan ekonomi antara AS-Tiongkok dan dukungan Jepang-Korea Selatan
terhadap AS untuk serta merancang kebijakan terhadap militer Korea Utara.

Kondisi masa lalu ketika Perang Korea, Perang Dingin dan pasca serangan 11
September telah mengakibatkan Korea Utara selalu merasa semakin terancam oleh agresi
dan invasi negara lain, khususnya AS (Syahrin 2018, 135). Pandangan sistem
internasional yang anarki semakin mengaktualisasikan peforma pertahanan Korea
Utara sebagai tanggapan atas keterlibatan negara besar yang selalu memerkan
kekuatannya melalui Tindakan genjatan senjata. Pencapaian rational choice Korea
Utara secara faktual berorientasi pada basis militer sebagai dukungan atas konsep
keamanan nasional. Hal tersebut juga menyangkut masalah-masalah yang dianggap
Korea Utara sebagai pencegahan invansi negara-negara besar.

Menanggapi program pengembangan nuklir Korea Selatan, negara kawasan


memanifestasikan kekhawatiran dan kecemasannya melalui berbagai prospek
pertahanan. Beberapa analisis juga menyatakan keprihatinan atas kemungkinan
proliferasi (atau penggunaan) senjata nuklir Korea Utara yang timbul dari
ketidakstabilan internal atau skenario keruntuhan (Wertz, McGrath dan LaFoy 2018,
8). Beberapa tanggapan internasional berupa negara Korea Selatan dan Jepang yang
mulai mengembangkan persenjataan nuklir untuk tujuan perlindungan dari ancaman
Korea Utara. Upaya kawasan dapat digambarkan dengan aliansi layaknya Korea
Selatan dan Jepang yang berada di samping AS. Peningkatan anggran militer oleh
Tiongkok juga merupakan contoh dari adanya delima keamanan kawasan hingga
bahkan Tiongkok terus berupaya memajukan sektor militernya.

Kemampuan pesenjataan Korea Utara memang telah diakui sebagai salah


satu yang berbahaya sehingga dunia internasional perlu mencatat agenda program
pengembangan senjata nuklir dan memikirkan untuk menjalani hubungan dengan
Korea Utara. Setidaknya, Korea Utara telah mengembangkan tiga jenis rudal balistik
yang tampaknya memiliki jangkauan antar benua yang salah satunya adalah
Hwasong-13. Rudal tersebut pertama kali ditampilkan selama parade pada tahun
2012. Pada saat itu, beberapa analis swasta menganggap rudal itu sebagai tiruan,
tetapi pejabat yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada The New York
Times bahwa rudal itu telah dirancang dengan jangkauan yang membuatnya mampu.
menyerang Korea Selatan, Jepang, dan sebagian Asia Tenggara. (Kristensen dan
Norris 2018, 43). Sebelumnya, Korea Utara juga memiliki persiapan senjata jarak
pendek seperti Nodong yang merupakan peledak nuklir. Kemugkinan Korea Utara
telah menghasilkan sekitar 30 hingga 60 senjata nuklir lainnya.

Jika dilihat dari pola pertahanan Korea Utara dan konsistensinya


mengembangkan persenjataan dengan energi nuklir, tampaknya Korea Utara
meyakini konsep self help dimana negara tersebut teguh akan proyeksi tatanan sistem
internasional yang anarki hanya akan berakhir dengan kekacauan sehingga
menyisihkan negara kuat yang dapat bertahan. Hal tersebut mengarah pada teori
realisme dalam studi hubungan internasional. Thomas Hobbes sebagai pemikir
klasik realisme mengidentifikasikan realisme sebagaimana perilaku manusia saling
berinteraksi dalam situasi yang anarki sehingga bebas untuk melakukan
kehendaknya masing-masing dan dalam situasi anarki, manusia cenderung
digerakkan oleh motif untuk berkompetisi, saling intrik, dan semangat untuk
mengungguli pihak lain (Hadiwinata 2017, 104). Korea Utara merasa ternacam
dengan penempatan 27 ribu tentara AS di Korea Selatan, ditambah 47 ribu tentara
AS lainnya di Jepang. Korea Utara tidak akan melupakan bagaimana China pada
dekade 1950-an mengalami tiga kali ancaman serangan nuklir dari AS (Purwono dan
Zuhri 2010, 7).

Krisis keamanan pernah terjadi untuk mendorong pertahanan nasional


Korea Utara ketika rudal balistik jarak menengah ke perairan Jepang di kawasan Pasifik.
Rudal ini dilaporkan bisa mencapai jarak 3.700 kilometer yang membuat wilayah
pangkalan militer Amerika Serikat di Guam berada dalam jangkauan senjata Korea
Utara. Ancaman senjata nuklir Korea Utara di Semenanjung Korea juga dirasakan oleh
Korea Selatan. Terlebih, ketika Korea Utara menembakkan beberapa artileri ke wilayah
Korea Selatan pada 20 Agustus 2015 (Syahrin 2018,121). Korea Utara membangun
citranya sebagai negara yang ditakuti hingga sebutan itu setidaknya memberi negara
lain jeda waktu untuk melakukan serangan kepadanya dan memikirkan tentang
konsekuensi kehancuran setelahnya.

Meski banyak diskusi menyangkut pada ketegasan Korea Utara dalam


mempengaruhi keamanan kawasan Asia Timur, namun terdapat tanggapan serius
melalui pertemuan antar pemangku kepentingan. Kim Jong-Un sebagai pemimpin
Korea Utara tampak lebih terbuka dalam membangun dialog dengan Presiden Moon
dari Korea Selatan, dan sebagai hasilnya kedua Korea sepakat menandatangani
“Deklarasi Pyongyang September 2018” (“Pyongyang Joint Declaration of
September 2018”) dan kesepakatan militer komprehensif. Pertemuan Pyongyang
menyepakati pertukaran dan kerja sama di berbagai bidang dalam kerangka
rekonsiliasi (Hidriyah 2018, 8). Pada bulan Juni 2018, Presiden Donald Trump dan
pemimpin Kim Jong Un bertemu di Singapura untuk membicarakan denuklirisasi
secara penuh yang akan dilakukan oleh Korea Utara. Pertemuan ini tentunya
memberikan harapan tentang menguatnya kesepakatan denuklirisasi yang dilakukan
oleh Korea Utara (Permata 2019, 105).

Kemerosotan idealisme direpresentasikan dari tingginya perselisihan yang


melahirkan konflik berkepanjangan dan banyaknya campur tangan yang
meningkatkan efek perluasan dampak konflik. Bertumpu pada keamanan nasional,
kapabilitas program nuklir Korea Utara semakin terasa Ketika berbagai pendekatan
perdamaian tidak dapat menghentikan semangat kewaspadaan Korea Utara namun
dapat menghambat ancaman negara nuklir tersebut. Tanggapan internasional yang
sangat terasa adalah dari Korea Selatan sebagai rival dalam perang Korea pada awal
1950 dan AS sebagai negara sahabat Korea Selatan atau aliansinya. Sangat penting
untuk mengukur interaksi internasional terhadap suatu negara yang bangkit dengan
sektor unggulan karena daripada itu terdapat suatu kejelasan mengenai reaksi mereka
dalam membentuk kebijakan perlindungan dan memulai kegiatan bilateral atau
program khusus dengan tujuan meminimalisir bahaya yang berkelanjutan.

Identifikasi Masalah

Bersumber pada latar belakang yang telah diuraikan penulis, terdapat beberapa
masalah yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Meningkatnya kapabilitas program senjata basis nuklir oleh Korea Utara akan
menimbulkan ketidakseimbangan keamanan kawasan Asia Timur.
2. Ditemukan berbagai reaksi negara-negara kawasan dan negara adidaya seperti
AS dalam menanggapi kekuatan Korea Utara layaknya meningkatkan
keamanan nasional atau mengadakan pertemuan formal dalam rangka
menemukan solusi untuk mengurangi ketegangan antar negara.

Rumusan Masalah

Dari kasus Kapabilitas Program Nuklir Korea Utara dan Tanggapan


Internasional Terhadap Krisis Keamanan Kawasan Asia Timur yang telah dipaparkan
sebelumnya, terdapat beberapa pertanyaan yang akan menjadi panduan jalannya proses
penelitian, anatara lain:

1. Bagaimana kemajuan program pengembangan senjata nuklir sebagai


pendukung tercipyanya kapabilitas keamanan nasional di Korea Utara?
2. Apakah terdapat prospek yang membangun keamanan kawasan Asia Timur
serta tanggapan internasional dalam menindaklanjuti pengembangan program
nuklir Korea Utara?
Tinjauan Literatur

Mendengar kata Korea Utara, semua orang sepakat dan menyatakan bahwa
senjata nuklir adalah objek yang melekat untuk menggambarkan negara tersebut.
Prilaku pemimpin Korea Utara dan pengaruh kapabiltas persenjataannya selalu
menjadi fokus kajian keamanan. Korea Utara mungkin telah menghasilkan bahan fisil
yang cukup untuk secara hipotetis membuat 30 hingga 60 senjata nuklir (Kristensen
dan Norris 2018, 48). Kekuatan yang secara tradisional dipahami sebagai sumber daya
atau kapabilitas, telah digunakan sebagai indikator kekuatan aktor, dan akibatnya,
kapasitas untuk mempengaruhi atau bahkan mengontrol hasil (Guzzini 2004, 537).
Kapabilitas merujuk pada istilah kemampuan yang dalam bahasan ini menjelaskan
senjata nuklir sebagai tiang yang membangun kekuatan Korea Utara di dunia.

. Korea Utara dengan tegas akan memimpin militer egosentrik di kawasan Asia
Timur. Hal tersebut secara tak langsung dapat membahayakan atau menciptakan krisis
diantara negara-negara tetangganya dan rantai aliasni mereka. Ada dua keraguan yang
menggambarkan konsep krisis nation-state yang dapat ditelaah dalam hubungan antar
negara di Asia Timur. Pertama, keraguan tentang niat mereka yang pada waktu tertentu
mengarahkan kekuasaan negara: skeptisisme. Kedua, keraguan tentang keefektifan
negara dalam kaitannya dengan niat yang diungkapkannya: terutama sebagai alat untuk
memberikan keamanan kepada rakyatnya. (Dunn 1994, 9).

Kondisi anarki akan memberikan konsekuensi berupa persaingan dengan


landasan perang masa lalu dan alasan pertahanan. Dalam kasus nuklir Korea Utara, AS
dan sekutunya memberi tanggapan untuk memberikan serangan dan berupaya
melakukan denuklirisasi. Banyak negara menganggap Korea Utara mampu
mengembangkan proyek industri dan bisnis yang bernilai bagi komunitas internasional
terhadap senjatanya (Moon 2020, 18). Meski hal tersebut dapat menghasilkan
keuntungan ekonomi dan membuka kerjasama yang baik, Korea Utara tetap bersikap
statis.
Terori dan Konsep
Teori Realisme
Hubungan anatar Korea Utara dan negara-negara kawasan Asia Timur cukup
terbilang tertup dan minim kerjasama. Paling tidak Korea Utara masih bisa
berkomunikasi atau berinteraksi dengan tetangga seideologinya yakni China. Dalam
menjalani hubungan politik luar negeri, Korea Utara menampilkan sikap curiga akan
ancaman dari luar wilayah yurisdiksinya. Sikap tersebut menjadi dasar ketegasan akan
keaman nasional dan menilai apa saja yang dapat diraih untuk memenihi kepentingan
nasional. Realisme menjadi reflektivitas karakteristik aktor negara yang memimpin
Korea Utara dari segala kebijakan dan program nuklir yang dibangun.

Para realis terfokus pada hubungan geopolitik antar negara, dengan alasan
bahwa kurangnya otoritas politik yang menyeluruh dalam sistem internasional akan
menciptakan kondisi anarki. Negara tetap menjadi agen utama dalam politik
internasional, dan mereka hampir selalu bertindak untuk kepentingan pribadi (Bell
2012, 2). Konsep kekuasaan memiliki tugas yang menuntut dalam teori realis. Hal ini
penting untuk teori aksi realis: apakah untuk anarki internasional atau untuk alasan sifat
manusia, aktor internasional terikat untuk mencari kekuasaan, bahkan untuk
memaksimalkan posisi kekuasaan mereka (Guzzini 2004, 537). Tanpa kekuatan
militer, Korea Utara menjadi negara rentan ekspansi dan hal itu menjadi pijakan bagi
pemimpin Korea Utara untuk memberi pengaruh kuat dengan kapabilitas senjata.

Pemikiran Morgenthau, Walter Benjamin dan Hannah Arendt, didorong oleh


kekhawatiran bahwa mengakui sentralitas kekuasaan dalam politik berisiko
menghasilkan situasi di mana kapasitas untuk menggunakan segala bentuk kekuasaan
khususnya kekerasan fisik adalah penentu terakhir otoritas dan legitimasi (Williams
2004, 634). Kekuatan Korea Utara memberi pengaruh pada negara kawasan untuk
meningkatkan anggaran militer. Korea Selatan dan Jepang berupaya menangkal
ancaman Korea Utara dengan menjalin aliansi keamanan dengan Amerika Serikat
(Syahrin 2018,125).
Teori Sekurutisasi

Dengan menyatakan bahwa objek rujukan tertentu terancam keberadaannya,


pelaku sekuritisasi mengklaim hak atas tindakan luar biasa untuk memastikan
kelangsungan objek rujukan. Isu tersebut kemudian dipindahkan dari ranah politik
normal ke ranah politik darurat, di mana ia dapat ditangani dengan cepat dan tanpa
aturan dan regulasi normal (demokratis) dalam pembuatan kebijakan (Taureck 2006,
54). Geopolitik Korea Utara seperti berada pada tatanan yang bertubrukan dimana
Korea Selatan dan Jepang berada diantaranya. AS yang ditakuti selalu mencari musuh
militer telah menekan Korea Utara untuk mendorong pencapaian harapannya untuk
melindungi wilayah negaranya dari campur tangan AS.

Sekuritisasi Korea Utara dalam sektor militer yaitu keamanan nasional sebagai
objek rujukan (objek yang terancam) yang mengarah pada kekacauan integritas
wilayah negara, dan ancaman sangat ditentukan dalam istilah militer eksternal
(Williams 2003, 513). Keyakinan para pemangku kepentingan Korea Utara secara
progresif membuktikan bahwa yang dianggap lemah juga dapat melindungi wilayah
negaranya dan bahkan dapat membangun opini publik akan keseriusannya
mengembangkan senjata pemusnah massal.

Bagi Mazhab Kopenhagen yang mendasari teori sekuritisasi, masalah


keamanan adalah respon terhadap ancaman melalui bahasa. Ini adalah bahasa yang
memposisikan aktor atau isu tertentu sebagai ancaman eksistensial bagi komunitas
politik tertentu, sehingga memungkinkan kinerja sekuritisasi (McDonald 2008, 568).
Teori ini mengandung dua unsur yang akan dihubungkan langsung dengan kapabilitas
kekuatan nuklir Korea Utara. Pertama adalah securitizing actor atau pelaku keamanan
yang tertuju pada Kim Jong Un sebagai pemimpin Korea Utara. Kedua adalah speech
act mengarah pada tindakan securitizing actor yang dapat berupa kebijakan, peraturan
atau regulasi, keputusan, dan tindakan lainnya dengan mengarah pada peningkatan
program nuklir.
Teori Mazhab Inggris

Sistem internasional dianggap sebagai hasil dari hubungan strategis antar


negara. Meski diakui pentingnya konsep masyarakat dunia, para ahli hubungan
internasional masih memandang negara sebagai yang paling fundamental. Mazhab
Inggris pada dasarnya eklektik dengan menggabungkan banyak teori atau paradigma
dalam disiplin ilmu hubungan internasional. Tiga tradisi utama dalam realisme,
rasionalisme, dan revolusioner, Pendekatan negara-sentris untuk hubungan
internasional, penekanan pada sifat anarkis politik internasional, definisi ketat sistem
negara, dan, yang paling penting, konsep baru masyarakat internasional berakar pada
tiga tradisi. (Devlen, James and Özdamar 2005, 194).

Mazhab Inggris muncul untuk melengkapi jawaban mengapa negara-negara


yang pada hakikatnya ego sentrik (selfish) tidak saling menyerang yang dapat
menciptakan peperangan massal (war of all against all), apakah dimungkinkan adanya
kerja sama dalam suatu kondisi anarkis (cooperation under anarchy)?, dan bagainmana
membuat anggota komunitas internasional untuk tidak saling menyerang dalarn situasi
anarkis? (Hadiwinata 2017, 125). Sikap Korea Utara yang sulit dijelaskan jika hanya
berpangku pada kepentingan negara dan survive juga dapat dijabarkan dari prespektif
realis. Pertanyaan Mazhab Inggris dirasa tepat menggambarkan kondisi dan prilaku
Korea Utara yang ego dan berpegang teguh dengan nilainya. Korea Utara juga tidak
memulai perperangan dengan siapapun dengan kapabilitas senjata nuklir yang telah
tercipta dan Korea Utara juga telah mempertimbangkan prospek-prospek kerjasama
layaknya denuklirisasi.

Teori Konstruktivisme

Banyak konstruktivis yang secara eksplisit menerima bahwa kekuasaan penting


dalam hubungan internasional. Wendt (1999: 13-14), misalnya, mencatat bahwa sejauh
realisme adalah tentang kekuasaan, dia juga seorang realis. Dia dan ahli teori
konstruktivis lainnya sering berpisah dengan realis karena keyakinan bahwa, pada
intinya, teori realis melihat politik memiliki ''material daripada dasar sosial'' (Barkin
2003, 329). Dalam kasus pengembangan persenjataan nuklir Korea Utara, setidaknya
terdapat upaya internasional dalam membangun pemikiran Korea Utara untuk
melakukan denuklirisasi. Namun, upaya yang semula berhasil tak juga berkepanjangan
karena disebabkan oleh Korea Utara yang mempersepsikan Amerika Serikat, Cina, dan
Korea Selatan sebagai rival karena perbedaan identitas yang dimiliki antar negara
tersebut dengan Korea Utara (Permata 2019, 114). Perbedaan nilai, norma, hingga
aturan politik telah menyudutkan Korea Utara dan sekaligus membangkitkannya untuk
mengambil tindakan yang dapat mengatur pola interaksi internasional kepadanya.

Konstruktivisme realis akan melihat bagaimana struktur kekuasaan


mempengaruhi pola perubahan normatif dalam hubungan internasional dan,
sebaliknya, bagaimana seperangkat norma tertentu mempengaruhi struktur kekuasaan
(Barkin 2003, 337). Para konstruktivis, sebagaimana disebutkan di atas, menganggap
bahwa dunia material dibentuk dan dibentuk oleh dunia sosial. Kekuatan militer negara
dan distribusi kekuatan militer antar negara tidak secara otomatis membentuk struktur
sosial internasional tertentu. Bahkan tanpa pemerintahan pusat yang memiliki otoritas
atas semua negara di dunia, sistem internasional selalu menjadi “sistem keamanan
kompetitif (Nugroho 2008, 91).

Teori Neorealisme

Menurut Grieco, neorealisme memerlukan lima proposisi. Dia mendefinisikan


tiga yang terakhir sebagai "Ketiga, anarki internasional adalah kekuatan prinsip yang
membentuk motif dan tindakan negara. Keempat, negara dalam anarki disibukkan
dengan kekuasaan dan keamanan, cenderung ke arah konflik dan persaingan, dan
sering gagal untuk bekerja sama bahkan dalam menghadapi kepentingan bersama
Akhirnya, lembaga-lembaga internasional mempengaruhi prospek kerjasama hanya
secara marginal (Powell 1994, 330) Harapan neorealisme tentang sistem anarkis di
mana penggunaan kekuatan merupakan masalah potensial yang serius adalah
benar, argumen yang mendasari ekspektasi ini tidak dapat dialihkan ke sistem di mana
penggunaan kekuatan di antara unit tidak menjadi masalah.

Titik tumpu neorealisme sebenarnya terletak balance of power dalam merespon


sitem internasional yang anarki serta unit analisa lainnya yang mulai berantakan dalam
menjalankan hubungan antar negara. Keberadaan militer yang selalu ditingkatkan
memungkinkan untuk beberapa negara dalam menjawab kekhawatiran dan keraguan
akan soft power yang diasumsikan dapat bertahan dan menggantikan kekuatan nasional
dengan kapabilitas militer. Korea Utara pada dasarnya melakukan pengembanagan
program nuklir sebagai strateginya untuk bertahan dari masa depan dunia yang tidak
dapat diprediksi.

Korea Utara selama ini menghadapi sanksi ekonomi dari Amerika Serikat
terasing dari dinamika politik internasional dan mengalami kesulitan untuk berintegrasi
dengan komunitas internasional Di internal negara Korea Utara dengan sistem komunis
yang dipimpin oleh Presiden Kim Jong Il yang menurut penilaian negara negara Barat
merupakan simbol diktator militer (Yustiningrum 2016, 26). Bagi neorealis,
penggunaan kekuatan militer menjadi relevan ketika ketidakstabilan global terhadap
kesejahteraan dan perdamaian tidak tercapai dan begitupun masih banyak ditemukan
serangan atau invasi militer dengan latar belakang kepentingan nasional suatu negara
dengan alsan yang tidak transparan sehingga memberikan argument bahwa hal itu akan
terus terjadi dan malah akan meingkat.

Sistem internasional memiliki dua dimensi: struktur dan proses. Penggunaan


istilah "struktur" dalam pengertian neorealis untuk merujuk pada distribusi kemampuan
di antara unit-unit. "Proses" mengacu pada cara unit-unit tersebut berhubungan satu
sama lain (Nye 1988, 249). Jika analoginya adalah tindakan Korea Utara dalam
pemanfaatan hard power, maka kapabilitas senjata nuklirnya merupakan struktur
sedangkan regulasi atau kebijakannya yang memberi impilkasi pada prespektif dunia
adalah sebuah proses yang akan terus berjalan.
Konsep Rational Choice

Konsep Rational Choice mengaskan prinsip kepuasan yang diharapkan


menyatakan bahwa para aktor mencoba untuk memaksimalkan pemanfaat sumber daya
negara yang diharapkan dengan membobotkan kepuasan dari setiap kemungkinan hasil
dari suatu tindakan dengan kemungkinan pencapaian yang ada. Menjumlahkan semua
kemungkinan hasil untuk setiap strategi, dan memilih strategi itu dengan utilitas
tertinggi yang diharapkan (Levy 1997, 88). Sebagai contoh, Uji coba terhadap misil
balistik ini dilakukan Korea Utara sebanyak dua kali pada tahun 2017. Pada September
2017, Korea Utara melakukan uji coba bom hidrogen yang dapat ditempelkan pada
hulu ledak rudal balistik tersebut, akibatnya terjadi gempa dengan kekuatan 6.3 SR
(Permata 2019, 105). Dari fenomena tersebut, terdapat suatu pola dimana aktor negara
Korea Utara memilih langkah dan strategi pada dasar kepuasaan dan pilihan untuk
menjadikan wilayahnya bebas serangan karena negara ini sendiri telah menargetkan
kekuatan senjata nuklir sebagai basis dari visi politiknya.

Rasionalitas instrumental hanya peduli ketika orang bertindak sesuai dengan


motivasi mereka, terlepas dari apa motivasi itu (Quackenbush 2004, 94). Korea Utara
sempat mendapat tekanan masyarakat internasional. Tekanan tersebut berhasil
memaksa Korea Utara pada 1985 untuk menyetujui Traktat Non-Proliferasi Nuklir
(Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons/NPT) (Roza 2016, 5). Meski
demikian, Korea Utara malah beralih untuk gencar melakukan perkembangan program
nuklir dan alhasil hal tersebut tak dapat terelakkan dan kembali membuat dunia
internasional tak dapat melakukan serangan kepada Korea Selatan. Pencapaian itu juga
tidak terlepas dari motivasi pemangku kepentingan Korea Utara yang merasa
diuntungkan dan dengan keberadaan senjata nuklir juga telah melindungi Korea Utara
dari segala ancaman yang dapat datang kapan saja. Namun, integrasi kawasan Asia
Timur menjadi sangat diragukan ketikan antara negara kawsan terus merasa terancam
antara satu sama lain, sama halnya dengan Korea Utara dan Korea Selatan.
Konsep Keamanan Nasional

Kebijakan keamanan nasional mencakup keputusan dan tindakan yang


dianggap penting untuk melindungi nilai inti domestik dari ancaman eksternal. Artikel
Wolfers, 'Security Studies’ telah muncul sebagai sub-bidang yang diakui dalam
hubungan internasional. Kecenderungan beberapa sarjana studi keamanan untuk
mendefinisikan istilah ancaman, penggunaan, dan kendali kekuatan militer dapat
menyebabkan kebingungan mengenai cara yang dapat digunakan untuk memproteksi
negara (Baldwin 1997, 16). Meski demikian, konsep kemanan nasioal kembali menjadi
landasan terciptanya negara yang mampu bertahan di dunia yang rentan konflik.

Konsep keamanan nosional Korea Utara sangat bergantung pada persenjataan


nuklir sederhana agar dapat mencegah serangan nuklir AS. Persenjataan independen
yang membentuk postur ini juga untuk mengurangi ketergantungan keamanan
Pyongyang pada Beijing, sehingga dapat pula melindungi otonomi politik. Kontrol
politik yang tegas yang diperlukan oleh strategi juga membantu menghindari berbagai
risiko politik (Lee dan Alexandrova 2019, 19). Program nuklir berkembang, jarak
tempuh senjata nuklir diperluas, saatnya dunia hanya bisa membujuk tanpa menyerang.

Pendekatan keamanan nasional mengakui bahwa kekuasaan memainkan peran


kunci dalam perilaku negara dan berfungsinya sistem internasional. Para pendukung
pendekatan itu percaya bahwa kekuatan suatu negara bergantung pada stabilitas politik,
kohesi sosial, dan produktivitas ekonominya serta jumlah pasukan, tank, pesawat,
kapal, rudal, dan hulu ledak nuklirnya (Leffler 1990, 144). Empat tahun pemerintahan
Kim Jong Un, sudah terdapat dua puluh lima uji coba rudal kendali. Korea Utara juga
telah berhasil melakukan uji coba nuklir bawah tanah dan hasil uji coba tersebut
menunjukkan perangkat nuklir Korea Utara memiliki kekuatan eksplosif yang lebih
besar (Syahrin 2018, 120). Uji coba nuklir selama era kepemimpinan Kim Jong Un
bahkan lebih sering dibandingkan di era Kim Jong Il yang membuktikan bahwa Korea
Utara semakin serius untuk menjalankan visi kekuatan militernya.
Penelitian Terdahulu

Terdapat banyak hal yang dapat mempengaruhi keinginan Korea Utara untuk
menarik sikap yang secara fundamental mengandung ketegasan secara penekanan
terhadap hard power. Dalam jurnal berjudul “Peran Nuklir Korea Utara sebagai
Instrumen Diplomasi Politik Internasional” yang ditulis oleh Andi Purwono dan
Ahmad Saifuddin Zuhri menegaskan bahwa kiat-kiat pengembangan nuklir untuk
menyokong kekuataan negara secara tidak langsung berdampak pada tujuan diplomasi.
Adapun pernyataan mengenai hal-hal yang mendorong atau alasan peningkatan
industri nuklir di Korea Utara yang dijelaskan dalam jurnal tersebut. Alasan rezim
survive, alasan ekonomi, dan alasan keamanan merupakan latar belakang dari aktivitas
diplomasi Korea Utara. Dengan demikian, Korea Utara merasa dipermudah dengan
tanggapan internasional yang selalu waspada sehingga Korea Utara dapat
mengendalikan ketegangan tersebut untuk mencapai kepentingan nasionalnya.

Kekacauan di kawasan Asia Timur merupakan ancaman lama yang tak dapat
dengan mudah memudar. Keterlibatan Jepang pada Perang Dunia II dan Perang
Semenanjung Korea mungkin masih membekas sehingga pemangku kepentingan
kawasan tersebut masih terpaku pada pengalaman lama. Dalam jurnal dengan judul
“Uji Coba Nuklir Korea Utara: Ancaman bagi Kawasan?” oleh Rizki Roza
menerangkan jika Korea Utara menjadi tantangan baru kawasan Asia Timur akibat uji
coba nuklir yang menimbulkan ketakutan antar negara tetangga terhadap kebocoran
nuklir dan radiasinya. Dalam jurnalnya, penulis juga membandingkan uji coba nuklir
diatara dua pemimpin Korea Utara yakni Kim Jong Il dan Kim Jong Un dengan hasil
bahwa pemimpin Korea Utara saat ini terlihat ambisi pada kekuatan senjata nuklir.
Selain itu adapula respon internasional kawasan Asia Timur dan Indonesia yang
mengecam dan menahan diri dalam merespon Korea Utara dalam bahasan utama
penulis.
Daftar Pustaka

Baldwin, David.A. 1997. The Concept of Security. Review of International Studies,


23(1), pp.5-26.
Barkin, J.Samuel. 2003. Realist constructivism. International Studies Review, 5(3),
pp.325-342.
Bell, Duncan. 2017. Political realism and international relations. Philosophy
Compass, 12(2), pp.1-12.
Buzan, B., 1997. Rethinking security after the Cold War. Cooperation and
conflict, 32(1), pp.5-28.
Devlen, Balkan., James, Patrick. and Özdamar, Özgur. 2005. The English School,
international relations, and progress. International Studies Review, 7(2),
pp.171-197.
Dunn, John. 1994. Introduction: Crisis of the nation state?. Political Studies, pp.3-15.
Guzzini, Stefano. 2004. The enduring dilemmas of realism in international
relations. European Journal of International Relations, 10(4), 533-568.
Hadiwinata, Bob Sugeng. 2017. Studi dan Teori Hubungan Internasional: Arus
Utama, Alternatif, dan Reflektivis. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Hidriyah, Sita. 2018. Upaya Perdamaian di Semenanjung Korea. Info Singkat,
10(19), pp.7-12.
Kristensen, Hans M. dan Robert S. Norris. 2018. North Korea Capabilities 2018.
Routledge: Bulletin of the Atomic Scientists, 74(1), pp.41-51.
Lee, Dong Sun. dan Alexandrova, Iordanka. 2019. North Korean nuclear strategy:
envisioning assured retaliation. International Relations of the Asia-Pacific,
pp.1-30
Leffler, Melvyn. P. 1990. National security. The Journal of American History, 77(1),
pp.143-152.
Levy, Jack.S., 1997. Prospect theory, rational choice, and international
relations. International studies quarterly, 41(1), pp.87-112.
McDonald, M. (2008). Securitization and the Construction of Security. European
journal of international relations, 14(4), 563-587.
Moon, William. 2020. Initiating a cooperative denuclearization effort with North
Korea, The Nonproliferation Review. Pp.1-22
Nugroho, Ganjar. 2008. Constructivism and international relations theories. Global
and Strategies, 2(1), pp.85-98.
Nye Jr, J.S., 1988. Neorealism and neoliberalism. World Politics, 40(2), pp.235-251.
Permata, Inda Mustika. 2019. Analisis Konstruktivisme: Perilaku Korea Utara terhadap
Denuklirisasi. Andalas Journal of International Studies, 7(2), pp.104-116.
Purwono, Andi dan Ahmad Saifuddin Zuhri. 2010. Peran Nuklir Korea Utara Sebagai
Instrumen Diplomasi Politik Internasional. Spektrum: Jurnal Ilmu Politik
Hubungan Internasional, 7(2), pp.1-18.
Powell, Robert. 1994. Anarchy in international relations theory: the neorealist-
neoliberal debate. International organization, 48(2), pp.313-344.
Quackenbush, S., 2004. The rationality of rational choice theory. International
Interactions, 30(2), pp.87-107.
Syahrin, M. Najeri Al. 2018. Logika Dilema Keamanan Asia Timur dan Rasionalitas
Pengembangan Senjata Nuklir Korea Utara. Intermestic: Journal of
International Studies, 2(2), pp.116-138.
Taureck, R., 2006. Securitization theory and securitization studies. Journal of
International relations and Development, 9(1), pp.53-61.
Wertz, Daniel. Matthew McGrath dan Scott LaFoy. 2018. North Koreas’s Nuclear
Weapons Programs. The National Committe on North Korea, pp.1-16
Williams, Michael. C. 2003. Words, images, enemies: Securitization and international
politics. International studies quarterly, 47(4), 511-531.
Williams, Michael. C. 2004. Why ideas matter in international relations: Hans
Morgenthau, classical realism, and the moral construction of power
politics. International organization foundation, 58(4), pp.633-665.
Yustiningrum, E., 2016. Masalah Senjata Nuklir dan Masa Depan Perdamaian
Dunia. Jurnal Penelitian Politik, 4(1), pp.19-32.

Anda mungkin juga menyukai