Oleh:
Kenia Azzahrah
Nim. E1111181038
Kondisi masa lalu ketika Perang Korea, Perang Dingin dan pasca serangan 11
September telah mengakibatkan Korea Utara selalu merasa semakin terancam oleh agresi
dan invasi negara lain, khususnya AS (Syahrin 2018, 135). Pandangan sistem
internasional yang anarki semakin mengaktualisasikan peforma pertahanan Korea
Utara sebagai tanggapan atas keterlibatan negara besar yang selalu memerkan
kekuatannya melalui Tindakan genjatan senjata. Pencapaian rational choice Korea
Utara secara faktual berorientasi pada basis militer sebagai dukungan atas konsep
keamanan nasional. Hal tersebut juga menyangkut masalah-masalah yang dianggap
Korea Utara sebagai pencegahan invansi negara-negara besar.
Identifikasi Masalah
Bersumber pada latar belakang yang telah diuraikan penulis, terdapat beberapa
masalah yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Meningkatnya kapabilitas program senjata basis nuklir oleh Korea Utara akan
menimbulkan ketidakseimbangan keamanan kawasan Asia Timur.
2. Ditemukan berbagai reaksi negara-negara kawasan dan negara adidaya seperti
AS dalam menanggapi kekuatan Korea Utara layaknya meningkatkan
keamanan nasional atau mengadakan pertemuan formal dalam rangka
menemukan solusi untuk mengurangi ketegangan antar negara.
Rumusan Masalah
Mendengar kata Korea Utara, semua orang sepakat dan menyatakan bahwa
senjata nuklir adalah objek yang melekat untuk menggambarkan negara tersebut.
Prilaku pemimpin Korea Utara dan pengaruh kapabiltas persenjataannya selalu
menjadi fokus kajian keamanan. Korea Utara mungkin telah menghasilkan bahan fisil
yang cukup untuk secara hipotetis membuat 30 hingga 60 senjata nuklir (Kristensen
dan Norris 2018, 48). Kekuatan yang secara tradisional dipahami sebagai sumber daya
atau kapabilitas, telah digunakan sebagai indikator kekuatan aktor, dan akibatnya,
kapasitas untuk mempengaruhi atau bahkan mengontrol hasil (Guzzini 2004, 537).
Kapabilitas merujuk pada istilah kemampuan yang dalam bahasan ini menjelaskan
senjata nuklir sebagai tiang yang membangun kekuatan Korea Utara di dunia.
. Korea Utara dengan tegas akan memimpin militer egosentrik di kawasan Asia
Timur. Hal tersebut secara tak langsung dapat membahayakan atau menciptakan krisis
diantara negara-negara tetangganya dan rantai aliasni mereka. Ada dua keraguan yang
menggambarkan konsep krisis nation-state yang dapat ditelaah dalam hubungan antar
negara di Asia Timur. Pertama, keraguan tentang niat mereka yang pada waktu tertentu
mengarahkan kekuasaan negara: skeptisisme. Kedua, keraguan tentang keefektifan
negara dalam kaitannya dengan niat yang diungkapkannya: terutama sebagai alat untuk
memberikan keamanan kepada rakyatnya. (Dunn 1994, 9).
Para realis terfokus pada hubungan geopolitik antar negara, dengan alasan
bahwa kurangnya otoritas politik yang menyeluruh dalam sistem internasional akan
menciptakan kondisi anarki. Negara tetap menjadi agen utama dalam politik
internasional, dan mereka hampir selalu bertindak untuk kepentingan pribadi (Bell
2012, 2). Konsep kekuasaan memiliki tugas yang menuntut dalam teori realis. Hal ini
penting untuk teori aksi realis: apakah untuk anarki internasional atau untuk alasan sifat
manusia, aktor internasional terikat untuk mencari kekuasaan, bahkan untuk
memaksimalkan posisi kekuasaan mereka (Guzzini 2004, 537). Tanpa kekuatan
militer, Korea Utara menjadi negara rentan ekspansi dan hal itu menjadi pijakan bagi
pemimpin Korea Utara untuk memberi pengaruh kuat dengan kapabilitas senjata.
Sekuritisasi Korea Utara dalam sektor militer yaitu keamanan nasional sebagai
objek rujukan (objek yang terancam) yang mengarah pada kekacauan integritas
wilayah negara, dan ancaman sangat ditentukan dalam istilah militer eksternal
(Williams 2003, 513). Keyakinan para pemangku kepentingan Korea Utara secara
progresif membuktikan bahwa yang dianggap lemah juga dapat melindungi wilayah
negaranya dan bahkan dapat membangun opini publik akan keseriusannya
mengembangkan senjata pemusnah massal.
Teori Konstruktivisme
Teori Neorealisme
Korea Utara selama ini menghadapi sanksi ekonomi dari Amerika Serikat
terasing dari dinamika politik internasional dan mengalami kesulitan untuk berintegrasi
dengan komunitas internasional Di internal negara Korea Utara dengan sistem komunis
yang dipimpin oleh Presiden Kim Jong Il yang menurut penilaian negara negara Barat
merupakan simbol diktator militer (Yustiningrum 2016, 26). Bagi neorealis,
penggunaan kekuatan militer menjadi relevan ketika ketidakstabilan global terhadap
kesejahteraan dan perdamaian tidak tercapai dan begitupun masih banyak ditemukan
serangan atau invasi militer dengan latar belakang kepentingan nasional suatu negara
dengan alsan yang tidak transparan sehingga memberikan argument bahwa hal itu akan
terus terjadi dan malah akan meingkat.
Terdapat banyak hal yang dapat mempengaruhi keinginan Korea Utara untuk
menarik sikap yang secara fundamental mengandung ketegasan secara penekanan
terhadap hard power. Dalam jurnal berjudul “Peran Nuklir Korea Utara sebagai
Instrumen Diplomasi Politik Internasional” yang ditulis oleh Andi Purwono dan
Ahmad Saifuddin Zuhri menegaskan bahwa kiat-kiat pengembangan nuklir untuk
menyokong kekuataan negara secara tidak langsung berdampak pada tujuan diplomasi.
Adapun pernyataan mengenai hal-hal yang mendorong atau alasan peningkatan
industri nuklir di Korea Utara yang dijelaskan dalam jurnal tersebut. Alasan rezim
survive, alasan ekonomi, dan alasan keamanan merupakan latar belakang dari aktivitas
diplomasi Korea Utara. Dengan demikian, Korea Utara merasa dipermudah dengan
tanggapan internasional yang selalu waspada sehingga Korea Utara dapat
mengendalikan ketegangan tersebut untuk mencapai kepentingan nasionalnya.
Kekacauan di kawasan Asia Timur merupakan ancaman lama yang tak dapat
dengan mudah memudar. Keterlibatan Jepang pada Perang Dunia II dan Perang
Semenanjung Korea mungkin masih membekas sehingga pemangku kepentingan
kawasan tersebut masih terpaku pada pengalaman lama. Dalam jurnal dengan judul
“Uji Coba Nuklir Korea Utara: Ancaman bagi Kawasan?” oleh Rizki Roza
menerangkan jika Korea Utara menjadi tantangan baru kawasan Asia Timur akibat uji
coba nuklir yang menimbulkan ketakutan antar negara tetangga terhadap kebocoran
nuklir dan radiasinya. Dalam jurnalnya, penulis juga membandingkan uji coba nuklir
diatara dua pemimpin Korea Utara yakni Kim Jong Il dan Kim Jong Un dengan hasil
bahwa pemimpin Korea Utara saat ini terlihat ambisi pada kekuatan senjata nuklir.
Selain itu adapula respon internasional kawasan Asia Timur dan Indonesia yang
mengecam dan menahan diri dalam merespon Korea Utara dalam bahasan utama
penulis.
Daftar Pustaka