Anda di halaman 1dari 11

Analisis Aspek Traditional Security dalam Perselisihan Hubungan

Amerika Serikat dan Korea Utara

Dosen Pengampu:
Dr. Akim, S.IP., M.Si.
Windy Dermawan, S.IP., M.Si.

Disusun oleh:
M. Nazil Alfayed Prabu Negara (170210180046)
Raden Arief Meivio Bahari (170210180082)
Yeremia Theofilo Alexandro Budi (170210180096)
Yang Yuan Febrianis (170210180128)
Ghefira Dinda Nurrahman (170210180132)

Program Studi Hubungan Internasional


Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Padjajaran
Jatinangor
2020
Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan terhadap kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmatnya kami dapat mengerjakan makalah ini. Atas kesempatan kali ini kami
dengan segala keterbatasan pengetahuan membuat makalah ini sebagai tugas dalam
mata kuliah Manajemen dan Resolusi Konflik di program studi Hubungan Internasional,
Universitas Padjadjaran.

Terima kasih terhadap dosen pengampu dan teman-teman yang telah ikut berkontribusi
dalam proses pengerjaan makalah ini sehingga makalah ini dapat disusun dengan baik.

Kami berharap makalah ini dapat menambah wawasan para pembaca terkhususnya
mengenai isu konflik dan hubungan antara Amerika Serikat dan Korea Utara. Kendati
demikian, kami paham bahwa makalah ini belum sempurna dan kami terbuka terhadap
segala bentuk kritik dan saran agar kedepannya kami dapat membuat makalah yang
lebih baik.
Abstrak
Seiring perkembangan waktu dan teknologi, nuklir kini menjadi sebuah keberadaan
yang membahayakan dan mengancam berbagai pihak. Kepemilikan senjata pemusnah
massal ini di tangan Korea Utara ibarat bom waktu yang bisa meledak kapan saja,
apalagi ditambah adanya tekanan dan hubungan yang tidak baik dengan Amerika
Serikat. Kepemilikan nuklir oleh mereka berdua kini menjadi sebuah deteren yang
mencegah eskalasi konflik lebih lanjut. Namun sejauh mana deteren ini dapat berguna
untuk mencegah konflik nuklir diantara keduanya tidak dapat dipastikan, terutama
dengan adanya perselisihan pada beberapa tahun terakhir ini. Artikel ini akan membahas
dan mempelajari lebih lanjut mengenai dinamika dari hubungan dan sejarah antara
Amerika Serikat dan Korea Utara serta menganalisis perselisihan mereka dalam
beberapa tahun terakhir ini. Adapun metode riset yang digunakan ialah metode kualitatif
yaitu content analysis, dimana pada metode ini penulis melakukan studi analitis
terhadap berbagai bahan bacaan, laporan, ataupun konten lainnya yang dapat
memberikan wawasan serta pemahaman mendalam terhadap apa yang dibahas. Melalui
hasil penelitian ini, ditemukan berbagai faktor yang menyebabkan perselisihan ini
terjadi dimana salah satu faktor utamanya ialah terdapat perbedaan ideologi dan
kepentingan yang kedua aktor ini pahami, tidak hanya itu, eskalasi konflik dan
perselisihan yang terjadi beberapa akhir tahun ini disebabkan interaksi antara pemimpin
negara terkait yang memperkeruh keadaan.
Kata kunci : Amerika Serikat, Korea Utara, Nuklir, Deteren

Abstract
Due to the improvement of technology over the past decades, nuclear has become a
dangerous and threatening existence. The possession of WMD in the hands of North
Korea is similar to a ticking time bomb that may explode at any time, especially due to
their relations and pressure from United States. The nuclear ownership by both of them
has become a deterrent that prevents further escalation of conflict between the two of
them. However, it is not ascertainable on how much further such deterrent be useful to
prevent nuclear conflict of both parties. This article will be discussing and learn more
about the dynamics of their relations and history as well as analyzing their disputes in
recent years. The research method that is used in this article is a content analysis of the
qualitative method, where in this method the authors conduct analytical studies of
various reading materials, reports, or other content that can provide insight and in-depth
understanding of what is discussed. Through the results of this study, we’ve found that
there are many factors that caused this dispute to occur, such as differences in ideology
and interests between the two actors, also the escalating dispute that happened in recent
years is due to the interaction between the leaders of the said countries which makes the
situation worse.
Keyword : United States, North Korea, Nuclear, Deterrent
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Kedua negara tersebut yaitu Amerika Serikat dan Korea Utara sudah
melakukan perjanjian Non Proliferasi Nuklir yang biasa disebut dengan
(NPT). Perjanjan ini di tandatangani pada 1 Juli 1968. Meskipun perjanjian ini
sudah dilaukan namun tidak menyelesaikan perjanjian perlindungan dengan
Badan Energi Aton Internasional (IAEA). Perselisihan antara kedua negara ini
masih berlanjut hingga saat ini. Pada tahun 2013 konflik tersebut muncul
kembali. Hal ini dapat dilihat dari adanya peluncuran roket yang dilakukan
Korea Utara dan pergerakan militer Korea Utara. Oleh sebab itu konflik yang
terjadi antara Amerika Serikat dan Korea Utara akan terjadi lagi dengan
adanya tanda bahwa Korea Utara sedang mengembangkan senjata nuklir.
Pada tahun 2017 tanggal 2 Januari, Presiden AS Donald Trump berkata
tidak akan pernah mengizinkan Korea Utara mengembangkan nuklir yang bisa
mencapai wilayah Amerika Serikat. Namun pada Korea Utara berhasil
melakukan uji coba rudal balistik yang memiliki jangkauan sangat jauh dan
bisa sampai ke Amerika Serikat. Hingga pada akhirnya tanggal 8 Agustus
2017 Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam akan memerangi
Korea Utara. Pada pertemauan antara Trump dan Kim Jong Un pada tahun
2018 di Singapura terdapat suatu perjanjian yang dimana Korea Utara dalam
rangka denuklirisasi dapat diselesaikan dan sebaliknya, Amerika Serikat
membuat suatu jaminan keamanan kepada Korea Utara dalam denuklirisasi.
Akan tetapi hal ini masih belum menemui titik tengahnya. Pada tahun 2019
terjadi pertemuan kedua antara kedua pemimpin negara tersebut di Vietnam
yang dikarenakan. Bahkan hingga saat ini tahun 2020 adanya ancaman dari
Korea Utara mengenai rudal nuklir Juche Bird yan diperkirakan akan
dilepaskan di tahun ini. Mteri Luar Negeri Amerika Serikt mengatakan bahwa
ia beraharap Korea Utara akan mengambil kepuusan yang berbeda yaitu
dengan malekukan perdamaian dari pada melakukan perang. AS
mempringatkan Korea Utara menegnai Konsekuensinya jika meluncurkan
nuklir ini. Ancaman yang diberikan oleh Kora Utara dikarenakan Kim Jong
Un merasa sanksi yang diberikan kepada negaranya msih belum dilonggarkan
meskipun sudah melakukan KTT sebanyak tiga kali. (Daniel, 2018)
Konflik tersebut dalam pandangan perspektif realis yaitu sesuai dengan
dua hal utama yang dalam perspektif ini yaitu power dan state security. Hal ini
beerarti bahwa power akan menjadi pengaruh besar untuk kedua negara ini.
sealin itupengembangan senjata nuklir adalah suatu bentuk dari menjaga
sistem keamanan negara atau dapat juga dikatakan untuk melindungi
negaranya dari serangandan ancaman negara lain. Korea Utara mengatakan
bahwa dengan cara anarki akan membuat negaranya akan terlndungi. Dan hal
tersebut mejadi salah satu contoh dalam sudut pandang realisme. (Emily,
2013)
Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan diatas, tulisan ini ingin
memaparkan bagaimana hubungan Amerika serikat dengan Korea Utara dari
tahun sebelumnya sampai dengan masa pimpinan Donald Trump dan Kim
Jong Un. Secara lebih dalam tulisan ini akan menuliskan penigkatan tensi
Korea Utara dan Amerika Serikat mengenai senjata Nuklir serta peranan
kedua pemimpin negara dalam masalah ini. Maka dari itu dalam konteks ini
akan sangat menarik untuk membahas konflik kedua negara tersebut dalam
intensitas untuk saling mengambangkan senjata nuklirdan apakah kedua
negara ini akan berujung ke perdamaian dan memiliki hubungan baik untuk
melakukan kerjasama internasional.

2. Rumusan Masalah
a. Konflik apa saja yang terjadi antara Amerika Serikat dan Korea Utara?
b. Faktor-faktor apa saja menjadi penyebab meningkatnya intensitas konflik
nuklir antara Korea Utara dan Amerika Serikat?
c. Bagaimana peranan Donald Trump dan Kim Jong Un dalam
permasalahan ini

3. Tujuan Pembahasan
a. Untuk mengetahui konflik apa saja yang terjadi antara Amerika Serikat
dan Korea Utara
b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
meningkatnya tensi konflik nuklir Amerika Serikat dan Korea Utara
c. Untuk memahami peranan individu, yaitu presiden atau pemimpin
negara, dalam pengambilan keputusan suatu kebijakan yang terdapat
dalam masalah ini

Kerangka Analisis
Hubungan antara teori keamanan tradisional dengan topik makalah penelitian ini
dapat dilihat dari pola interaksi yang dibangun diantara Amerika dan Korea Utara
sebagai subjek. Dalam hal ini, baik Amerika maupun Korea Utara keduanya sama-sama
membenarkan bahwa alasan terbesar mereka menggunakan senjata nuklir adalah karena
mereka ingin memberikan kesan terhadap satu sama lain bahwa sejatinya mereka adalah
negara yang kuat dan cukup “kaya” untuk mampu mengembangkan senjata nuklir. Di
sisi lain, konflik Amerika dan Korea Utara juga dianggap menjadi konflik yang relevan
dengan teori ini, sebab asumsi dasar mengatakan bahwa konflik ini mungkin saja akan
menimbulkan dampak yang sangat besar, dengan kasus terburuknya adalah perang
senjata diantara keduanya, selayaknya apa yang terjadi di masa lalu. Untuk itu, peneliti
merasa bahwa teori ini adalah teori yang relevan dan mampu memberikan penjelasan
atas konflik yang terjadi diantara Amerika dan Korea Utara.
Pada dasarnya, asumsi dasar pertama yang disepakati ketika kita membahas
mengenai teori realisme adalah konsep mengenai negara sebagai subjek utama dalam
hubungan internasional. Dalam hal ini, teori realisme tetap mengakui keberadaan
subjek-subjek lainnya, namun sifatnya terbatas, dan tidak memiliki baik kapasistas
maupun kapabilitas yang sama ataupun diatas negara itu sendiri. Asumsi kedua, negara
merupakan aktor kesatuan yang memiliki suara sama (unitary actor). Maksudnya
adalah, kepentingan nasional terutama dalam masa-masa perang terdahulu, mendorong
negara untuk bertindak dan mengambil keputusan dalam satu suara. Asumsi ketiga
adalah, para pembuat keputusan dan pemangku kepentingan (pemerintah) dianggap
sebagai aktor yang rasional, dimana setiap keputusan yang diambil diasumsikan
mengarah kepada kepentingan nasional. Dalam hal ini, secara tidak langsung, setiap
keputusan yang dibuat dan terbukti melemahkan kekuatan negara, serta tidak relevan
dengan kepentingan nasional dianggap merupakan sebuah keputusan yang tidak
rasional. Realisme mengharuskan para pemimpin negara untuk selalu bersiap-siaga
dalam mempertahankan kepentingan nasionalnya dalam berhubungan dengan negara
lain di komunitas internasional. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa dunia dan
segala subjek yang ada di dalamnya merupakan lingkungan yang sangat kompetitif, dan
satu-satunya cara untuk mempertahankan eksistensi negara di kancah internasional
adalah dengan mengedepankan aspek kepentingan nasional (Baylis & Smith, 2020).
Tapi, untuk lebih memahami permasalahan yang rumit ini, perlu kita pahami
juga bahwa dalam perkembangan masalah ini, dapat terlihat bagaimana peranan
individu menjadi salah satu faktor utama yang memicu peningkatan tensi antar kedua
negara tersebut. Trump dan Jong Un yang dianggap sebagai pemimpin negara memiliki
pengaruh yang cukup besar terhadap pengaruh dan pengambilan keputusan yang ada.
Dampak individu dalam pengambilan keputusan dan tindakan suatu negara ini didasari
oleh proses kognitif, karakteristik, kepercayaan yang dianut, serta asumsi bahwa
individu adalah aktor yang mengambil keputusan sebagai sebuah organ sistem suatu
negara. Sehingga pada akhirnya negara dianggap merupakan entitas yang didorong
akibat interaksi dan kepentingan kumulatif para pemangku jabatan di negara terkait.
Melalui peranan individu, model teori idiosinkrasi membantu menjelaskan
perilaku para individu dalam proses pengambilan keputusan suatu kebijakan. Model
idiosinkrasi individu adalah model yang menjelaskan mengenai sifat, proses pemikiran,
dan ideologi yang dianut individu dimana keseluruhan hal ini merupakan hal yang unik
dimilikinya.
Dalam hubungannya antara teori realisme dengan kasus konflik Amerika dan
Korea Utara, peneliti mengaitkan kedua aspek dalam penjabaran perspektif realisme
dimana negara akan selalu mengedepankan kepentingan nasionalnya. Baik Amerika
maupun Korea Utara, keduanya sama-sama memiliki pendirian bahwa dengan
menjalankan praktik hubungan internasional, konflik dan penggunaan senjata sangat
mungkin untuk terjadi. Untuk itu, mengedepankan kepentingan nasional, yang mana
dalam hal ini adalah keamanan negara, dianggap perlu untuk diprioritaskan. Hal ini
kemudian terlihat dari langkah-langkah defensive yang coba dilakukan baik oleh
Amerika maupun Korea Utara, seperti misalnya memperbanyak pasukan militernya
(tentara), saling menunjukan kemampuan alutsista dan teknologi keamanan masing-
masing negara, bahkan yang saat ini sedang menjadi isu yang disorot oleh mata
internasional adalah penggunaan senjata nuklir yang mungkin saja dapat memicu perang
dunia selanjutnya (Jackson & Sørensen, 2013).

Metode Riset
Dalam proses penyusunan makalah ini, peneliti sejatinya menggunakan metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sebagaimana yang telah diketahui adalah
bentuk penelitian yang merujuk pada penggunaan desain atau model penelitian yang
melibatkan indra visual, verbal, olfactory, dan indera perasa lainnya yang dijelaskan
dalam bentuk narasi deskriptif, seperti pengamatan di lapangan (observasi), recordings,
atau pencatatan dokumentasi lainnya, baik dalam bentuk video, gambar, maupun tulisan
lainnya yang dibukukan (Creswell, 2014). Selain itu, metode kualitatif juga merupakan
metode penelitian yang merumuskan data penelitian yang tidak diperoleh melalui
perhitungan secara statistik atau cara-cara yang dilakukan secara kuantifikasi. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan studi literatur berdasarkan tulisan-tulisan berupa
buku, jurnal ataupun artikel yang berkaitan dengan isu atau topik yang dibahas,
sehingga diperoleh pemahaman dasar mengenai isu yang terkait (Wahidmurni, 2017).
Kegiatan penelitian yang dilakukan ditujukan untuk mengeksplorasi
pengetahuan peneliti secara lebih lanjut mengenai fokus atau topik penelitian yang
diangkat yakni mengenai “Analisis Traditional Security Aspects dalam hubungan
Amerika dan Korea Utara”. Dalam hal ini, peneliti kemudian menjabarkan pemahaman
tersebut dalam bentuk tinjauan-tinjauan dasar yang sebagian besar diambil dari berbagai
dokumentasi literatur serta dikembangkan lebih lanjut melalui pemahaman dan
argumentasi yang disampaikan oleh peneliti sendiri. Penelitian kualitatif diharapkan
pada akhirnya akan memberikan pemahaman dasar yang substansial atas fokus topik
yang diambil, baik bagi peneliti sendiri, bagi para pembaca, ataupun bagi peneliti
selanjutnya yang hendak mengembangkan dan mengelaborasi lebih jauh mengenai
fokus penelitian yang sama di kemudian hari.

Pembahasan
Korea Utara merupakan salah satu negara yang dikenal sebagai negara yang
tertutup, Korea Utara ialah negara yang memiliki pendirian sebagai negara Juche atau
“percaya dan bergantung terhadap kekuatan sediri”. (Bastian, 2015). Pengakuan
sebagai negara yang memiliki pendirian dan tidak bergantung pada negara lain
membuat negara tersebut menjadi perhatian masyarakat dunia. Korea Utara merupakan
sebuah negara yang disebut dengan Republik Demokratik Rakyat Korea Utara, yang ibu
kotanya adalah Pyongyang (Bastian, 2015). Korea Utara memiliki dua sekutu yaitu
Rusia dan China. Sedangkan sekutu pihak Korea Selatan adalah Amerika Serikat,
dengan adanya kondisi dan hal tersebut maka membuat tensi kedua negara tersebut
(Korea Utara dan Korea Selatan) tidak kunjung reda. Terdapat berbagai isu yang
dimiliki Korea Utara, namun isu yang paling menimbulkan banyak perhatian adalah
kepemilikan nuklir Korea Utara.
Nuklir yang dimiliki Korea Utara merupakan nuklir yang dapat mengancam
berbagai negara, terutama bagi Amerika Serikat yang selama ini memiliki konflik
dengannya. Korea Utara mengatakan bahwa nuklir yang dimiliki negaranya dapat
menjangkau hingga ke kota Washington Kapabilitas militer dari Korea Utara hingga
saat ini belum bisa diukur dengan tepat, sehingga Amerika Serikat tidak dapat
melakukan tindakan gegabah yang dapat merugikannya. Korea Utara saat ini dipimpin
oleh pemimpin muda, yaitu Kim Jong Un yang dikenal sebagai pribadi yang otoriter,
dan sebagai diktator muda. Pada 26 Maret 2013 Korea Utara mengarahkan roket dan
juga Meriam yang diarahkan ke Guam, dimana tempat tersebut adalah pangkalan militer
Amerika Serikat. Korea Utara melakukan ancaman dan menyerang Korea Selatan dan
Amerika Serikat (Kim, 2011).
Perselisihan Korea Utara dan Amerika Serikat berlanjut kepada tahap
perseturuan yang pada saat itu presidennya adalah Kim Jong Un dan Donald Trump
presiden Amerika Serikat Donald Trump, menetapkan bahwa ia tidak mengizinkan
pihak Korea Utara untuk mengembangkan nuklir yang sekiranya dapat mencapai
Amerika Serikat. Pada akhirnya Korea Utara melakukan pengembangan nuklir dan pada
akhirnya mencapai wilayah Amerika Serikat dan Kim Jong Un menyatakam bahwa
seluruh kawasan Amerika Serikat berada dalam sebuah jangkauan, yaitu ICBM
(Intercontinental Ballistic Missile) Korea Utara. Korea Utara menyimpulkan bahwa
Amerika Serikat merupakan akar dari berbagai permasalahan yang ada karena pihak
Amerika Serikat tidak ingin untuk menghentikan sebuah kebijakan permusuhan dengan
Korea Utara.
Korea Utara, negara yang telah berada dalam isolasi yang hampir bersifat
menyeluruh sejak berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953, sudah menjadi
representasi dari sisa-sisa negara yang menganut sistem total-otoritarianisme dan
kediktatoran dalam era modern ini (Zadravec, 2017). Walaupun Korea Utara terkenal
dengan pendriannya sebagai negara suaka bagi tenaga kerja, pada kenyataannya
mayoritas dari populasi Korea Utara hidup dibawah ketakutan, opresi, dan kemiskinan.
Bentuk-bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM) ditambah dengan
kehadirannya sebagai kemunculannya sebagai salah satu kekuatan nuklir dunia telah
menjadikan Korea Utara sebagai topik pembicaraan pada sidang-sidang atau pertemuan-
pertemuan internasional. Pendekatan anti-Western yang dianut oleh pemerintah Korea
Utara ditambah dengan kebijakan-kebijakan agresif yang hampir tidak mengenal rasa
takut, membuat tensi diantara Korea Utara dan tetangganya Korea Selatan nyaris selalu
tinggi. Status sekutu yang dimiliki oleh Amerika Serikat dan Korea Selatan praktis
menjadikan hubungan antara Amerika Serikat dan Korea Utara menegang selama lebih
dari 60 tahun kebelakang.
Beberapa tahun terakhir, tensi antara kedua negara ini tidak kunjung turun,
meskipun pada tahun 2018 di Singapura dan 2019 di Vietnam Presiden Amerika Serikat
Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un telah bertemu untuk
mendiskusikan dan menandatangani joint statement mengenai keamanan, stabilitas, dan
persahabatan kedua negara yang diharapkan dapat bertahan lama. Salah satu poin
penting dan terkenal dari permusuhan kedua negara adalah klaim Presiden George W.
Bush dalam State of the Union Address pada Januari 2002, yang menyebut Korea Utara
(beserta Iran, Irak, dan “sekutu sesama terorisnya”) sebagai “axis of evil”
(eMediaMillWorks, 2002).
Bila diperhatikan, sebenarnya ada dua isu utama yang menjadi fokus Amerika
Serikat mengenai Korea Utara. Pertama, Amerika Serikat ingin mengakhiri ancaman
nuklir Korea Utara terhadap dunia internasional. Kedua, Amerika Serikat ingin
mengakhiri ancaman Korea Utara terhadap Korea Selatan. Korea Utara telah bertahun-
tahun mengembangkan dan melakukan uji coba senjata nuklirnya, yang secara langsung
maupun tidak langsung mengancam wilayah Semenanjung Korea dan sekitarnya,
termasuk didalamnya dua sekutu Amerika Serikat yaitu Korea Selatan dan Jepang.
Seiring berjalannya waktu, Korea Utara telah berhasil mengembangkan teknologi rudal
balistiknya. Hasilnya, Korea Utara kini mempunyai senjata nuklir dan rudal balistik
yang bersifat interkontinental dan berpotensi untuk menyerang Amerika Serikat.
Ancaman yang secara berkala ditampilkan oleh Korea Utara terhadap Amerika
Serikat yang pada saat bersamaan terus-terusan menjaga Korea Selatan seringkali
membuat warga internasional mengajukan pertanyaan yang sama: Apakah Perang
Korea sesungguhnya masih berlanjut, dan hanya dihentikan sesaat dengan gencatan
senjata? Selain senjata nuklir yang siap diluncurkan kapan saja, Korea Utara sudah
menyiapkan kekuatan militer konvensional beserta senjata kimiawi dan biologis di
perbatasannya dengan Korea Selatan, yang dapat menghancurkan Seoul dalam beberapa
jam saja apabila Perang Korea berlanjut (Cordesman, 2018). Perang di Semenanjung
Korea dapat berujung pada kematian jutaan manusia, dengan kemungkinan termasuk
didalamnya terdapat ratusan atau ribuan warga Amerika (McInnis, Feickert, Manyin, &
Hildreth, 2017). Demi menghentikan ancaman inilah Amerika Serikat menginginkan
negosiasi denuklirisasi Korea Utara.
Di tahun 2018, terjadi pertemuan presiden Amerika Serikat Donald Trump,
dengan presiden Korea Utara Kim Jong Un di Singapura yang dianggap sebagai
pertemuan yang akan membawa perdamaian dunia yang menjadi lebih baik. Dan pada
akhirnya kedua belah pihak melakukan tandatangan dengan adanya perjanjian
“komprehensif”. Dengan adanya perjanjian komprehensif tersebut, Korea Utara
memiliki komitmen bahwa akan adanya penyelsaian mengenai denuklirisasi di Korea,
dan Amerika Serikat akhirnya memberikan sebuah jaminan adanya keamanan terhadap
Korea Utara. Kedua belah pihak melakukan bentuk usaha perdamaian terutama di
Semenanjung Korea, yang sehingga dapat membangun hubunan antar Amerika Serikat
dengan Korea Utara yang sebelumnya belum pernah terjadi. Pada akhir Febuari tahun
2019, terjadi pertemuan kedua yang membicarakan mengenai denuklirisasi yang belum
selsai terbahas. Dan pertemuan tersebut menghasilkan jalan buntu, namun kedua belah
pihak tetap berusaha dalam menyelsaikan masalah tersebut.
Pertemuan kedua Kim Jong Un dan Donald Trump di Hanoi pada 2019 dinilai
tidak menghasilkan kesepakatan dan menimbulkan kekecewaan bagi berbagai pihak,
yang man Amerika Serikat tidak bersedia untuk melakukan jaminan keamanan terhadap
Korea Utara. Pada akhirnya membuat Kim untuk melakukan kunjungan ke Rusia,
sebagai salah satu dewan keamanan PBB yang memiliki hubungan baik dengan Korea
Utara selain China, dengan tujuan untuk melakukan kunjungan dengan tujuan untuk
memastikan kemanan bagi Korea Utara. Jaminan keamanan tersebut dapat dilakukan
ketika adanya pencabutan sanksi PBB Amerika Serikat terhadap Korea Utara. Dan
begitupun bagi pihak Amerika Serikat, sanksi harus tetap berlaku ketika Korea Utara
melakukan denuklirisasi.
Pandangan dari kasus Amerika Serikat dengan Korea Utara dilihat dalam
pandangan perspektid liberalism, dikarenakan adanya penanan singkat yang secara garis
besar terdapat perubahan yang cukup signifikan dengan hubungan kedua belah pihak,
sebelumnya kedua Negara tersebut bersifat konfliktual, dan hingga pada saat ini kedua
belah pihak dinilai lebih kooperati. Tindakan yang dilakukan oleh presiden Korea Utara,
Kim Jong Un dinilai sesuai dengan pemikiran Locke yang mengatakan bahwa sebuah
pemerintahan memiliki sebuah kewajiban dalam melindungi rakyatnya (Hutapea, 2019).
Amerika Serikat sebagai Negara liberal, merupakan Negara yang mengutamakan bentuk
kerjasama sebagai salah satu bentuk interaksinya. Korea Utara yang dinilai sebagai
komunis, yang ingin menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat yang menunjukkan
bahwa pada dasarnya manusia memiliki moral yang baik. Langkah yang diambil oleh
Kim Jong Un membuktikan bahwa adanya kemajuan untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih baik. Sikap Kim Jong Un dalam penuntutan pengurangan sanksinya terhadap
Amerika Serikat tidak dapat dinilai salah, karena hal tersebut diperkuat dengan adanya
pernyataan bahwa manusia akan bertindak serasional mungkin untuk mencapai
kepentinggannya. Korea Utara berusaha agar dapat mendapatkan keuntungan dengan
maksimal dari perjanjian ini, karena pada dasarnaya Korea Utara mengurangi bentuk
ancaman nuklir terhadap Amerika Serikat. Sejak tahun 1994 Korea Utara mendapatkan
pengurangan sanksidari Washington karena adanya penundaan uji coba nuklir. Dapat
dinilai ahwa Korea Utara memiliki bentuk organisasi yang mekanisme dalam
berkomunikasi dengam baik (Weber, 2013).

Daftar Pustaka

ANTUNES, S., & CAMISãO, I. (2018). Introducing Realism in International Relations Theory. E-
International Relations, 1-3.

Attinà, F. (2016). Traditional Security Issues . In F. Attinà, Traditional Security Issues. China, the
European Union, and the International Politics of Global Governance (pp. 175-193).

Bastian, R. (2015). Tumbal-Tumbal sang Diktator Korea Utara. Indonesia: Palapa.

Baylis, J., & Smith, S. (2020). The Globalization of World Politics (Eight Edition). USA: Oxford
University Press.

Brome, W. (2017). Tensions Betwen The USA and North Korea- The PosibilityOf a Nuclear War.
1-13.

Cordesman, A. H. (2018). The Other Side of the North Korean Threat: Looking Beyond its
Nuclear Weapons and ICBMs. Center for Strategic International Studies.
Creswell, J. W. (2014). Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches Fourth Edition. Thousand Oaks, California 91320: SAGE Publications, Inc.

Daniel, W. (2018, November). The U.S, North Korea, and Nuclear Diplomacy. Retrieved
November 2015, from NCNK: https://www.ncnk.org/resources/briefing-papers/all-
briefing-papers/history-u.s.-dprk-relations

eMediaMillWorks. (2002). Text of President Bush's 2002 State of the Union Address.
Washington: The Washington Post.

Emily, T. (2013). Realism : The Domination of Security Studies. 1-7.

Glori, W. (2017). 70 Tahun Sejarah Amerika Serikat dan Korea Utara. Retrieved from
https://internasional.kompas.com/read/2017/09/04/09450941/70-tahun-sejarah-
panas-as-korut-dan-kini-berlanjut?page=all [Diakses pada tanggal 2 Juni 2019].

Gunther Hanns, M. O. (2018). Facets of The North Korea Conflict. Berlin: German Institute for
International and Security Affairs.

Hutapea, R. U. (2019, 6 7). Korut menebutkan bahwa Amerika Sereikat akar penyebab semua
masalah. Retrieved from : https://news.detik.com/internasional/d-3506913/korut-
sebut-as-akar-penyebab-semua-masalah

Jackson, R., & Sørensen, G. (2013). Introduction to International Relations : Theories and
Approaches . Oxford: Oxford University Press.

Kim, H. (2011). Kisah dari Korea UTARA. Elex Media Komputindo.

McInnis, K. J., Feickert, A., Manyin, M. E., & Hildreth, S. A. (2017). The North Korean Nuclear
Challenge: Military Options and Issues for Congress. Congressional Research Service.

Roehing, T. (2016). North korea, Nuclear eapons, and The Stability Instability Paradox. Korean
Journal of Defennse Analysis, 181-198.

Wahidmurni, D. (2017). PEMAPARAN METODE PENELITIAN KUALITATIF.

Weber, C. (2013). International Relations Theory: A Critical Introduction . England: Routledge.

Zadravec, M. (2017). Deterrence Theory and the North Korean State. Victoria: University of
Victoria.

Anda mungkin juga menyukai