Anda di halaman 1dari 20

PAPER Pengaruh Kepentingan Nasional Indonesia terhadap Kegagalan Defence Cooperation Agreement IndonesiaSingapura

Disusun untuk menggantikan Ujian Akhir Semester Politik Luar Negeri dan Diplomasi Republik Indonesia

Pembimbing : Prof. Dr. Jahja Muhaimin

Penyusun: Dimas Valdy Heryana Putra (11/320211/SP/24950)

FAKULTAS SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS GADJAH MADA 2012

In crucial situations, however, the ultimate concern of states is not for power, but for security Kenneth N. Waltz, 1989

DAFTAR ISI

BAB I : Pendahuluan
A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Hipotesis ...................................................................... ................................................................

hal
4 6 6 6

................................................................................. ......................................................................

D. Landasan Teori

BAB II : Pembahasan
A. Latar Belakang DCA Indonesia-Singapura ........................... B. Kepentingan Nasional Indonesia ....................................... 8 9 10 11 12 14

C. Kepentingan Nasional Singapura .......................................... D. Kontroversi DCA Indonesia-Singapura E. Ancaman Keamanan Nasional Indonesia ............................... ............................

F. Dorongan Internal Indonesia ..................................................

BAB III : Penutup


A. Kesimpulan ............................................................................ 17

LAMPIRAN
A. Peta Perjanjian DCA Indonesia-Singapura ........................... B. Daftar Pustaka ...................................................................... 18 19

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fenomena globalisasi, regionalisme, dan nasionalisme membawa implikasi kontradiktif terhadap adanya konsep batas antar negara. Di satu sisi, merebaknya etno-nasionalisme dan atau berbagai bentuk politik identitas lainnya serta keinginan untuk mempertahankan penguasaan sumberdaya memperteguh pentingnya tapal batas bagi berdirinya sebuah negara. Di lain pihak, globalisasi dan regionalisme cenderung meluluhkan batas-batas fisik. Sementara itu, banyak temuan baru pada bidang teknologi persenjataan dan informasi seakan-akan mampu untuk menghapus jarak secara fisik. Perang antarnegara (inserstate conflicts), khususnya sejak perang dingin diawal dasawarsa 1990an, semakin bersifat territorial. Pertikaian yang mungkin terjadi dalam kehidupan antar negara karena masalah-masalah transnasional selama ini juga berlangsung dalam suasana non-teritorial.1 Masih menjadikan sebuah tanda tanya besar bagaimana perubahan geopolitik itu mempengaruhi sistem dan strategi pertahanan suatu negara. Bagi Indonesia, persoalan jauh lebih kompleks mengingat keharusan untuk lebih dahulu merumuskan identitasnya sebagai sebuah kesatuan geopolitik. Di tengah berbagai pertanyaan seperti itu, sulit disangkal jika isu-isu yang berkaitan dengan tapal batas 2 , baik dalam pengertian fisik maupun maya, selalu dijadikan pertimbangan pokok.

Luke, W. Timothy., Post-modern Geopolitics in the 21st century, CUSA Occasional Paper No. 2 (November 2003); Dalby, Simon., The Critique and Contemporary Geopolitics Tarbiatt Modaress University (Mei 2005); dan Thuathail, Gearoid O., Understanding Critical Geopolitics: Geopolitics and Risk Security, The Journal of Strategic Studies vol. 22, no 2/3 (September 1999) hal. 107-124 2 Anggoro, Kusnanto. Kedaulatan, Teritorialitas, dan Keamanan Pasca Westphalia, dalam Global 6 (2) Mei 2004: Hal. 161-177

Ahli geopolitik Theodore Ratzel sejak awal menyatakan bahwa perbatasan merupakan barometer bagi keselamatan suatu negara maupun dalam hubungannya dengan negara lain. 3 Dalam isu tapal batas tersebut terletak berbagai persoalan tentang, misalnya, identitas, sumberdaya, dan kedaulatan. Dan tentu saja, kemungkinan silang selisih antar entitas politik karena faktor-faktor itu. Karena itu tidak mengherankan jika pemikiran pemikiran geostrategi klasik pada umumnya sampai pada kesimpulan tentang perlunya kekuatan militer untuk mengamankan, melindungi, atau bahkan memperluas jangkauan tapal batas. Sengketa masalah geopolitik yang merambah dan yang akhirnya memaksa dua negara untuk membatalkan sebuah perjanjian atas dasar keamanan sering pula didapati. Perbedaan pandangan atas suatu masalah dan keberpihakan kepada kepentingan masing-masing pihak tak pelak menjadi masalah yang sering dihadapi dalam hubungan antarnegara. Indonesia tak serta merta lepas dari masalah ataupun kontroversi terhadap perjanjian pertahanan dan keamanannya. Hal ini dapat dilihat dari perjanjian kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement DCA) Indonesia dengan Singapura pada bulan April tahun 2007 silam. Dalam salah satu pasal, perjanjian yang dituding dapat menguntungkan Indonesia karena termasuk perjanjian ekstradisi koruptor ini, didapati adanya pembiaran pelanggaran batas kedaulatan negara dengan diperbolehkannya angkatan bersenjata Singapura untuk melakukan aktivitas pelatihan militer di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tak pelak kontroversi ini mengundang banyak kecaman dari berbagai pihak internal pemerintah Indonesia.4 Dengan berbagai macam bentuk tekanan, akhirnya, pihak Indonesia menunda peratifikasian perjanjian kerjasama pertahanan antar kedua negara itu sampai sekarang.

Haushofer, Karl. Why Geopolitic?, dalam Gearoid Thuathail, Simon Dalby dan Paul Routledge (eds), The Geoplotics Reader (London: Routledge, 1998) Hal. 33-35
4

Kumar Jha, Pankaj. Singapore-Indonesia Extradition Treaty and Defence Cooperation Institute of Peace and Conflict Studies. Mei 2007.

B. Rumusan Masalah - Bagaimana pengaruh kepentingan nasional Indonesia terhadap gagalnya realisasi DCA? C. Hipotesis - DCA Indonesia-Singapura sulit untuk direalisasikan karena adanya alasan rasional, yaitu: 1. Isu kedaulatan negara yang mengancam keamanan negara. 2. Dorongan internal Indonesia yang menginginkan pengkajian ulang DCA.

D. Landasan Konseptual 1. Kepentingan Nasional (National Interest) Menurut Kenneth N. Waltz, semua negara pasti bergerak dengan kepentingan nasional: masing-masing negara menetapkan cara yang dipikirnya terbaik menjalankan kepentingannya. Sedangkan dalam pandangan Morgenthau, bahwa kepentingan nasional dipercaya merupakan sebuah pemikiran moral yang harus dipenuhi dan dipertahankan oleh para pemimpin negara. 5 Menurut kaum realis klasik, kepentingan nasional merupakan petunjuk dasar kebijakan luar negeri yang perlu diupayakan dalam persaingan antar negara. 2. Keamanan Nasional (National Security) Sebagian negara mungkin bersahabat, tidak mengancam, dan mencintai perdamaian. Tetapi, sebagian kecil negara mungkin bermusuhan dan agresif, dan tidak ada pemerintahan dunia yang mencegah mereka. Hal itu menimbulkan
5

Baylis, John., Smith, Steve., & Owens, Patricia. (2011) The Globalization of World Politics. (United States:

Oxford University Press) hal. 570

masalah lama dan mendasar pada sistem negara, yaitu keamanan nasional. Untuk menghadapi masalah ini, sebagian besar negara memiliki kekuatan angkatan bersenjatanya masing-masing. Kekuatan militer dianggap sebagai suatu kebutuhan sehingga negara-negara dapat hidup berdampingan dan berhadapan antara satu dengan yang lainnya tanpa merasa terintimidasi. Selama Perang Dingin, definisi pertama tampak lebih menonjol. Keamanan nasional, misalnya, dilihat sebagai kondisi terlindunginya negara secara fisik dari ancaman eksternal.6 Jika definisi keamanan nasional diletakkan secara normatif, seperti definisi Frederick Hartman yang melihat keamanan sebagai the sum total of the vital national interests of the state maka kepentingan nasional itu pun didefinisikan sebagai sesuatu yang membuat negara bersedia dan siap untuk berperang. 7 Keamanan juga sering dipahami sebagai upaya negara untuk mencegah perang, terutama melalui strategi pembangunan kekuatan militer yang memberikan kemampuan penangkal (deterrent). 8 Dengan kata lain, definisi keamanan kerap dilandasi oleh asumsi dengan supremasi kekuatan militer sebagai sarana untuk melindungi negara dari ancaman militer dari luar. Dalam perang dingin, konsep keamanan nasional dan kekuatan militer diidentikkan dengan peperangan. Tetapi, dalam dunia modern (pasca perang dingin) kekuatan militer juga digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan power atas negara lain dengan menunjukkan kekuatan militernya. Dan untuk menjamin agar tidak ada negara-negara berkekuatan besar yang berhasil mencapai posisi hegemoni atas dominasi keseluruhan, berdasarkan intimidasi, paksaan, adalah penting bagi suatu negara untuk membangun dan memelihara keseimbangan kekuatan militer.

Azar, Edward E. & Moon, Chun-In, Rethinking Third World National Security dalam Edward E. Azar dan Chung-In Moon, National Security in the Third World: The Management of Internal and External Threats (Hants, England: Edward Elgar Publishing Limited, 1988), hal. 3. 7 Hartman, Frederick H., The Relations of Nations (New York, 1967), hal. 14. 8 Buzan, Barry. People, States, and Fear: The National Security Problem in the Third World , dalam Azar dan Moon, National Security, hal. 15.

BAB II PEMBAHASAN

Latar Belakang DCA Indonesia-Singapura Lahirnya ide tentang DCA antar dua negara ini pertama kali dicetuskan dalam pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Bali pada tanggal 3-4 Oktober 2005. DCA dilontarkan sebagai bentuk keinginan keras Singapura untuk mendapatkan fasilitas Military Training Area (MTA) dari Indonesia, setelah dibekukan pada tahun 2003. Pada tahun 2000, Republik Indonesia (RI) dan Singapura sepakat untuk memperkuat kerjasama pertahanan kedua negara melalui MTA, terutama bagi kerjasama udara dan laut. Namun, Indonesia menghentikan MTA tahun 2003, dikarenakan oleh tindakan Singapura yang cenderung banyak melakukan pelanggaran di wilayah RI dan dalam setiap latihan bersama, Singapura kerap mengikutsertakan pihak ketiga seperti Amerika Serikat (AS) dan

Australia. Sebelumnya, Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Dephan Mayjen TNI Dadi Susanto mengatakan, selain perbedaan pandang soal MTA, RI dan Siangapura juga belum menemukan titik temu mengenai jangka waktu pelaksanaan DCA, pelibatan pihak ketiga, dan aspek yuridis jika salah satu pihak melakukan pelanggaran hukum saat latihan bersama dilakukan. "Indonesia menginginkan jangka waktu yang diberlakukan adalah lima tahun, sedangkan Singapura 25 tahun, selain daripada itu, Singapura ingin agar pihak ketiga juga dapat terlibat dalam pelatihan dan jika personilnya melakukan pelanggaran, harus diadili di Singapura. Dalam tiga hal ini, Indonesia belum sepakat. (Antara, 19/9/2003)

Pembahasan mengenai DCA lalu dilakukan dalam pertemuan putaran ke-4 di Singapura pada tanggal 16-17 Januari 2005. Tentang kemungkinan Indonesia akan memberikan MTA kembali pada Singapura, Menteri Pertananan dan Keamanan, Juwono Soedarsono mengatakan bahwa masih akan dibuka pembicaraan dengan pihak Departemen Luar Negeri dan Mabes TNI. Lalu pada bulan April tahun 2007 sebuah pertemuan dilakukan oleh kedua negara untuk yang terakhir kali di Bali untuk menyepakati DCA oleh kedua belah pihak. Kepentingan Nasional Indonesia Dengan disepakatinya DCA dengan Singapura, Indonesia jelas memiliki tujuan atau kepentingan khusus dalam pelaksanaannya. Dalam salah satu pasalnya, disepakati bahwa akan diadakan latihan bersama militer sekali dalam dua tahun. 9 Hasil yang diharapkan melalui latihan tersebut adalah peningkatan dukungan sistem komunikasi dan logistik ke daerah operasi, serta peningkatan penguasaan Fighter/Strike Operation, Tactical Transport Operation, and Helicopter Operation. Kerjasama militer Angkatan Udara yang bernama Latihan Elang Indopura, terjalin sejak 19 Juni 1980, dan pemimpin militer kedua negara mengakui latihan itu penting,
10

untuk meningkatkan kemampuan personil militernya dalam

melaksanakan operasi terkoordinasi. Sehingga, dengan adanya latihan ini, angkatan militer kedua belah negara dapat mempelajari dan menerapkan sistem komunikasi yang terintegrasi. Hal ini diupayakan sebagai antisipasi atas miskomunikasi dalam penanganan konflik. Selain itu, pengamanan wilayah diharapkan akan lebih efektif dengan kerjasama kedua belah pihak. Transfer teknologi juga menjadikan hal ini menjadi penting bagi Indonesia. Memiliki alat perang yang seimbang dengan teknologi yang sepadan didapatkan dengan adanya transfer teknologi dengan Singapura yang memiliki alat perang yang sangatlah

Cipto, Bambang. Hubungan Internasional di Asia Tenggara:Teropong Terhadap Dinamika, Peluang, dan Masa DepanJuli 2006. hal. 137 10 http://beritasore.com/2007/05/04/perjanjian-pertahanan-indonesia-singapura-siapa-diuntungkan/ diakses 20 Desember 2011

modern dan canggih.11 Tak hanya perihal militer, Indonesia memiliki kepentingan lain dalam upaya diplomatik sehingga harmonisasi negara dalam satu regional dapat dicapai. Selain hal itu, kesepakatan kedua negara atas diadakannya DCA bersamaan dengan adanya perundingan untuk ratifikasi perjanjian Ekstradisi yang sangat menguntungkan pihak Indonesia dan sudah lama diusahakan Indonesia. Perjanjian ini merupakan alasan utama dibalik diterimanya DCA Singapura. Perjanjian ini melingkupi dikembalikannya para terdakwa dalam hal ini koruptor yang memiliki masalah di Indonesia. Sudah lebih dari 30 tahun Indonesia merindukan perjanjian ekstradisi dengan Singapura, karena cukup banyak koruptor Indonesia yang menjadikan negara pulau ini sebagai safe-heaven. Tentu saja kemauan Singapura menandatangani perjanjian ekstradisi ini disambut dengan sukacita oleh Indonesia. Bahkan para diplomat kita menilai sebagai suatu prestasi besar setelah menunggu sekitar tiga dekade belakangan ini. Kepentingan Nasional Singapura Untuk memperkuat posisinya yang lemah secara fisik, Singapura diharuskan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Kepentingan nasional yang utama bagi Singapura adalah menjamin keamanan dan integritas negara dengan mengadakan pengembangan ekonomi demi kesejahteraan negara.12 Dalam pemenuhannya, Singapura bersahabat dengan Amerika Serikat dalam perihal ekonomi dan keamanan. Selain daripada itu, Singapura tetap menjadikan hubungan diplomatik dengan tetangganya menjadi lebih penting, khususnya dengan Indonesia dan Malaysia.
13

Oleh

karena

itu,

Singapura

juga

11

Singapore: Recruitment and Training of Personnel Country Studies Series by Federal Research Division of the Library of Congress dan Cipto, Bambang. Hubungan Internasional di Asia Tenggara:Teropong Terhadap Dinamika, Peluang, dan Masa DepanJuli 2006. hal. 137 12 Ul Haq, Obaid. Singapores Search for Security: A Selective Analysis dalam buku Leadership and Security in Southeast Asia: Institutional Aspect Regional Strategic Studies Programme Institute of Southeast Asian Studies. 1991. Hal. 122 13 Cipto, Bambang. Hubungan Internasional di Asia Tenggara:Teropong Terhadap Dinamika, Peluang, dan Masa DepanJuli 2006. hal. 137

10

mengembangkan latihan militer bersama dengan kedua negara tersebut serta menyelenggarakan pertemuan rutin antar pejabat masing-masing negara. Sangat wajar kalau Singapura dengan wilayah pulau kecil itu memiliki berbagai keterbatasan. Diantara keterbatasan itu adalah kebutuhan bagi Angkatan Bersenjata mereka. Bagaimana Singapura dapat melakukan latihan menembak menggunakan peluru kendali dengan wilayah yang sangat sempit itu dan bagaimana dengan latihan bagi angkatan udara mereka? Sangat tidak mungkin melakukan penembakan peluru kendali tanpa sampai memasuki wilayah Indonesia karena kedekatan jaraknya. Demikian juga dengan latihan udara, sangat tidak mungkin pesawat-pesawat tempur Singapura mengudara tanpa memasuki wilayah udara Indonesia. Padahal, persenjataan-persenjataan yang digunakan Singapura termasuk paling canggih. 14 Singapura tidak memiliki wilayah ideal untuk latihan tentara angkatan darat. Satu-satunya cara adalah dengan menoleh ke Indonesia yang sangat luas dan sangat ideal bentuk geografisnya. Singapura sudah lama mengincar wilayah Indonesia sebagai daerah untuk latihan militernya. 15 Dan cara yang paling logis bagi Singapura adalah dengan membuat perjanjian pelatihan militer dengan Indonesia. Dengan adanya perjanjian DCA ini, mulai dari urusan dagang sampai ke perihal diplomasi diusahakan oleh pemerintah Singapura sebagai pintu masuk untuk peratifikasian daerah pelatihan militer. Dalam hal ini, Singapura memiliki kesempatan baik untuk mendapatkan area pelatihan dengan pintu masuk melalui perjanjian Ekstradisi. Kontroversi DCA Indonesia-Singapura Dalam kesepakatan DCA ini, Indonesia terkesan berada pada pihak yang menggebu-gebu menginginkan kerjasama tersebut. Dari sejarahnya, Indonesia telah mengadakan upaya-upaya untuk mengadakan perjanjian tersebut selama
14

Singapore: Recruitment and Training of Personnel Country Studies Series by Federal Research Division of the Library of Congress dan Cipto, Bambang. Hubungan Internasional di Asia Tenggara:Teropong Terhadap Dinamika, Peluang, dan Masa DepanJuli 2006. hal. 137 15 Cipto, Bambang. Hubungan Internasional di Asia Tenggara:Teropong Terhadap Dinamika, Peluang, dan Masa DepanJuli 2006. hal. 137 dan Ganesan, hal. 597.

11

kurang lebih tiga puluh tahun. Sedangkan di sisi Singapura, kepentingan utama dalam kerjasama ini adalah pemenuhan kebutuhan area latihan militer yang sangat sempit jika dilakukan di wilayah Singapura. Dalam kacamata sederhana, penandatanganan perjanjian ekstradisi dan kemudian bertukar dengan tempat latihan militer bagi Singapura di wilayah Indonesia merupakan sebuah rongrongan terhadap integritas teritorial. Sehingga pada sudut pandang ini, hasil dari perjanjian DCA tidak berimbang dan lebih banyak merugikan Indonesia. Pada Pasal 3 (b) DCA menyebutkan, Angkatan Udara Singapura diijinkan untuk melakukan test flight, pengecekan teknis, dan latihan terbang di daerah Alpha-1 serta diijinkan untuk melakukan latihan militer di daerah Alpha-2. 16 Sebaliknya, militer Indonesia dalam perjanjian itu tidak diperbolehkan berlatih di wilayah Singapura. Pasal tersebut juga menyebutkan, Angkatan Laut Singapura dengan dukungan Angkatan Udara Singapura dapat melaksanakan latihan menembak peluru kendali sampai dengan empat kali latihan dalam setahun di Area Bravo. Dengan pasal ini Singapura sangat leluasa untuk melakukan manuver militer di wilayah Indonesia, seperti melakukan tes kelaikan terbang, pengecekan teknis dan latihan terbang, menembak dengan peluru. Sedangkan dalam Pasal 3 (c) menyatakan personel dan perlengkapan angkatan bersenjata dari negara lain yang melaksanakan latihan bersama Angkatan Bersenjata Singapura di wilayah udara dan perairan Indonesia akan diberlakukan sama seperti perlakuan pada personil dan perlengkapan Angkatan Bersenjata Singapura.17 Dalam naskah perjanjian tidak disebutkan negara-negara yang bisa diajak berlatih bersama. Artinya, DCA membuka peluang bagi negaranegara sekutu Singapura untuk melakukan latihan militer di wilayah Indonesia.

Ancaman Keamanan Nasional Indonesia Keinginan Singapura untuk menggunakan wilayah laut Indonesia sebagai latihannya, yang wilayahnya memanjang mulai Provinsi Kepulauan Riau, mulai dari Bintan, Karimun, Selat Karimata, Pulau Natuna menuju perairan Cina Selatan,
16
17

Newsletter Studi Kasus: Gagalnya DCA Singapura-Indonesia, Edisi III. Juni 2008. Hal. 7 Ibid,. Hal. 8

12

sangat potensial mengganggu kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah tersebut merupakan titik penting di Corong Barat Nusantara yang memiliki nilai srategis dalam skala global, baik ekonomi maupun militer. Apabila perjanjian itu jadi dilaksanakan, secara otomatis Singapura akan mendapatkan hak kontrol atas titik penting di Corong Barat. Poin ini dirasa sangat tidak adil bagi Indonesia karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan Indonesia. Penggunaan wilayah tersebut dapat memungkinkan Singapura untuk mengetahui kekuatan pertahanan Indonesia. Apabila perjanjian DCA tersebut tetap dilaksanakan, secara otomatis melanggar prinsip kedaulatan Negara (state sovereignty principle). Umumnya, perjanjian merupakan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Namun, dalam hal ini perjanjian tersebut hanya menguntungkan pemerintah Singapura. Dengan DCA kita secara de facto dan de jure memberikan ruang lebar bagi Singapura untuk mengeksplorasi wilayah kedaulatan kita untuk suatu kerjasama bilateral atau multilateral dengan negara lain, bukan hanya dengan Indonesia. Selain daripada kontroversi masalah tapal batas atau teritorial, baik dalam pengertian fisik, maupun maya, selalu menjadi pertimbangan pokok pengambilan suatu kebijakan. Dan juga, dalam konteks national security, tidak bisa begitu saja menyingkirkan konsep human security dalam usulan bentuk pertimbangan umum. 18 Keamanan warga negara yang tinggal pada suatu negara juga harus dilindungi sesuai haknya masing-masing. Dalam hal ini, perjanjian DCA mengancam keamanan warga negara Indonesia. Dalam satu kasus, transportasi udara Batam-Natuna terganggu oleh perjanjian militer antara Indonesia dengan Singapura yang membolehkan Singapura menggunakan perairan Kepulauan Riau sebagai daerah latihan perang. Sehingga, pesawat domestik diharuskan untuk memutar arah, karena tidak bisa melewati kawasan itu. 19 Akibatnya, dengan
18

Bandoro, Bantarto. (2005) Perspektif Baru Keamanan Nasional. (Jakarta: Centre for Strategic and

International Studies) hal. 63.


19

Wawancara kepada Pimpinan Kelompok Teknisi Pemanduan Lalu Lintas Udara Bandara Hang Nadim, Indah Irwansyah oleh Antaranews. (30 Maret 2009)

13

adanya pemutaran jalur terbang, maka jarak tempuh pesawat menjadi dua kali lipat semestinya. Biaya bahan bakar pun menjadi dua kali lipat. Dan apabila pesawat asing memaksa untuk melewati daerah atau kawasan itu, maka tentara Singapura mengancam akan menembak pesawat tersebut. Pemerintah Indonesia terkesan terburu-buru dan tidak memperhitungkan faktor resiko ketika alat-alat perang (rudal) Singapura ditembakkan atau ketika peluru-peluru ditembakkan oleh para tentara Singapura dapat mengancam keamanan penduduk Indonesia. Dan bagaimana ketika rudal yang dilancarkan mengarah ke sasaran yang salah. Mestinya resiko ini diperhitungkan sebagaimana juga jika kelak terjadi musibah. Bukan main akses yang berhasil didapat oleh Singapura terhadap wilayah kedaulatan Indonesia. Sangat mencengangkan bagaimana mungkin Singapura dapat memanfaatkan wilayah Indonesia seluas-luasnya demi kepentingan militer mereka. Tidak jelas apakah Singapura memberikan kompensasi sejumlah dana setiap kali latihan yang mereka lakukan. Memang setiap kerugian akan dilakukan penggantian oleh Singapura, misalnya kerugian bagi nelayan yang gagal melaut akibat latihan atau hal-hal lain yang merugikan penduduk. Tetapi jika hanya ini yang didapat Indonesia alangkah kecilnya keuntungan itu.

Dorongan Internal Indonesia Perjanjian ekstradisi dan kerjasama pertahanan, DCA antara Indonesia dengan Singapura telah menimbulkan silang sengketa. Disatu pihak, Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono tetap menghendaki agar kedua perjanjian tersebut dapat ditindak lanjuti. Karena itu, proses negosiasi pembuatan perjanjian pelaksanaan yang lebih menguntungkan Indonesia perlu diupayakan. Di pihak lain, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pakar hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikamahanto Juwana dan pakar politik, menolak melangsungkan kedua perjanjian tersebut. Mereka memandang proses pembuatan perjanjian tersebut bukan saja tidak adil, praktek penandatangan perjanjian ekstradisi oleh Perdana Menteri Singapura ada unsur penekanan. Kesediaan Presiden Indonesia menanda tangani DCA merupakan syarat

14

pemerintah Singapura membubuhkan tanda tangan untuk perjanjian ekstradisi. Mereka juga memandang kedua perjanjian tersebut tidak menguntungkan Indonesia.20 Suara sumbang ini juga hadir dari pihak DPR, seorang anggota Komisi I DPR RI, Hajriyanto Yasin Thohari. Dalam rapat dengar pendapat Kementrian Pertahanan dengan Komisi I DPR di Senayan. Hajriyanto menentang peratifikasian DCA dengan mengajukan argumen negasi. "Menurut saya, karena DCA jelas sangat merugikan RI, dan Singapura jelas-jelas menolak ajakan negosiasi untuk membuat perbaikan DCA dan aturan pelaksanaannya juga karena telah secara sepihak meratifikasi DCA maka pemerintah kita harus segera mengumumkan pembatalan DCA. Apalagi yang kita tunggu? Nothing!" (Antara, September 2007) Dan dalam perkembangan terakhir, kesepakatan DCA yang telah ditandatangani di Bali dengan Presiden SBY tersebut gagal diratifikasi karena adanya persoalan politik berupa penolakan dari DPR21. Penolakan perjanjian ini yang dirasa tidak menguntungkan Indonesia merupakan alasan yang cukup kuat. Bukti dilapangan bahwa area Bravo di wilayah dekat pulau Natuna disebut sebagai wilayah laut yang kaya sumber daya alamnya akan terganggu. Kerugian lain adalah pelatihan militer bersama antar pihak Indonesia dengan Singapura menimbulkan kerusakan lingkungan baik hayati dan nabati.22 Tiga provinsi yang berbatasan langsung dengan Singapura, yaitu Riau, Kepulauan Riau dan Sumatera Selatan menolak daerahnya dijadikan arena latihan perang Singapura. Alasannya sama, yaitu akan merugikan masyarakat dan daerah, terutama tiga daerah latihan itu, yaitu Siabu, Kampar Riau, Natuna Kepri dan Baturaja Sumsel.23 Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Ogan Komering Ulu (OKU) Sumsel, Bato Nazar mengatakan dalam rapat paripurna memutuskan menolak pelaksanaan DCA dan mendesak DPR RI untuk tidak meratifikasi DCA
20 21

Opini Kompas, 19 Juli 2007. Hal 6. http://bataviase.co.id/node/340668, diakses tanggal 3 Januari 2012 22 Kedaulatan Rakyat 19 Juli 2007, hal. 26.
23

http:// www.riaupos.com, 1 juli 2007. Diakses 4 Januari 2012

15

karena DCA tidak menguntungkan bagi Indonesia dan rakyat kami terganggu, yang dikatakannya dalam dengar pendapat antara DPRD OKU dengan Komisi I DPR RI.24 Juwono menjelaskan, dalam perundingan-perundingan awal tentang DCA, pemerintah saat itu sepakat dengan prinsip Singapura akan mendapatkan daerah latihan yang ditentukan bersama. Dengan syarat Singapura harus sepakat tentang Extradition Treaty (ET). Pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi kalaupun disetujui, belum tentu ET akan mulus dalam pelaksanaannya. Sebab, Singapura hidup dari pengelolaan uang panas dari Afrika, Amerika Latin, Hong Kong, Cina dan Indonesia. Ada lebih dari 18 ribu orang Indonesia yang menyimpan aset senilai lebih dari 87 miliar dolar Singapura di Singapura. Uang itu sebagian besar milik warga Tionghoa, sebagian pejabat dan pengusaha Indonesia ditaruh di Singapura. Saya tidak bilang semuanya ilegal, tapi yang kami minta adalah buron dan uang atau aset yang dilarikan sejak tahun 1997 itu. Singapura harus mengakui menampung uang panas itu. Itu yang mereka sampai sekarang belum mau sepakat. (Detiknews, Juli 2007) Mantan Kasad, Tyasno Sudarto meminta agar DPR menolak ratifikasi DCA karena berdampak menggadaikan kedaulatan Negara. ..Saya bukannya tidak mau Negara kita bekerjasama dengan Singapura, tapi kerjasama itu harus salingmenguntungkan dan tidak melanggar kedaulatan masing-masing Negara... Karena DPR adalah benteng terakhir untuk menolak DCA 25 , maka dewan hendaknya berlaku jernih mempelajari perjanjian tersebut. DCA bertentangan dengan prinsip politik luar negeri RI yang bebas aktif, karena DCA menjurus kearah Pakta Pertahanan dan Singapura mendapatkan kebebesan besar, termasuk
24 25

Detik.com, 17 Juli 2007. Diakses 4 Januari 2012. Dalam sistem perundang-undangan UUD 1945 dalam Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara pasal 11, ayat (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, (2) Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan dan pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, (3) ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undangundang. Dalam undang-undang no. 3 Tahun 2003 tentang Undang-undang Pertahanan Negara Bab IV Pengawasan pada pasal 24 ayat (1) Dewan Perwakilan Rakyat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan umum pertahanan negara yang salah satu kebijakan tersebut membuat perjanjian pertahanan dengan negara lain. Dalam pembuatan perjanjian pertapertahanan dengan negara lain harus seijin dan diratifikasioleh DPR RI, bila belum ada ijin maka perjanjian tersebut belum bisa dilaksanakan.

16

melakukan manuver penembakan, melakukan latihan, atau melibatkan pihak ketiga dalam latihan militer. Dalam hal ini, banyak sekali tekanan dari internal negara yang berpendapat bahwa DCA Singapura-Indonesia merupakan perjanjian yang perlu dikaji ulang. Hal ini dikarenakan oleh diketemukannya poin-poin perjanjian yang lebih menguntungkan pihak Singapura kebebasan berlatih dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Maka tidak pelak, penundaan ratifikasi perjanjian ini dirasa logis oleh DPR RI dengan alasan supaya tidak menciderai kepentingan nasional Indonesia demi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB III
17

KESIMPULAN

Perjanjian DCA Indonesia-Singapura sulit diratifikasi dikarenakan oleh adanya tekanan internal dari DPR RI, DPRD, POLRI serta pihak akademisi yang tidak menyetujui poin-poin isi perjanjian kerjasama pertahanan yang dirasa terlalu menguntungkan pihak Singapura. Dengan banyaknya pertimbangan dari pihak internal negara, hal ini mengharuskan untuk diadakannya penundaan atas ratifikasi perjanjian DCA. Poin argumen yang masih dalam perdebatan melingkupi 2 pasal, yaitu pasal 3(b) dan 3(c). Pada pasal 3(b), dinyatakan bahwa Angkatan Udara Singapura berhak untuk melakukan test flight, pengecekan teknis, dan latihan terbang di daerah Alpha-1 serta diijinkan untuk melakukan latihan militer di daerah Alpha-2. Dan dalam pelaksanaannya, Angkatan Udara Indonesia maupun penerbangan domestik dilarang melewati kawasan pelatihan yang notabene merupakan daerah strategis Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan dalam pasal 3(c), menyatakan bahwa personel dan perlengkapan angkatan bersenjata dari negara lain yang melaksanakan latihan bersama Angkatan Bersenjata Singapura di wilayah udara dan perairan Indonesia akan diberlakukan sama seperti perlakuan pada personil dan perlengkapan Angkatan Bersenjata Singapura. Hal-hal tersebut dirasa sangat menciderai kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keuntungan yang pada awalnya diharapkan melalui perjanjian ekstradisi dapat diraup oleh pemerintah Indonesia berujung kepada ketidakseimbangan profit. Pengorbanan wilayah kedaulatan Indonesia dirasa tidak setimbang dengan keuntungan Indonesia yang hanya mendapatkan transfer teknologi dan perjanjian Ekstradisi yang tak kunjung menjadikan konklusi. Sehingga, masalah keamanan kedaulatan negara menjadi salah satu alasan kuat selain tekanan internal dibalik gagalnya ratifikasi DCA Indonesia-Singapura.

18

LAMPIRAN

Peta Perjanjian DCA Indonesia-Singapura

19

DAFTAR PUSTAKA

Bandoro, Bantarto. (2005) Perspektif Baru Keamanan Nasional. (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies) Baylis, John., Smith, Steve., & Owens, Patricia. (2011) The Globalization of World Politics. (United States: Oxford University Press) Chee, Stephen. (1991) Leadership and Security in Southeast Asia. (Singapore: Regional Strategic Studies Programme Institute of Southeast Studies) Cipto, Bambang. (2006) Hubungan Interrnasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika, Realita, dan Masa Depan . (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) Collins, Alan. (2000) The Security Dilemmas of Southeast Asia. (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies) Jackson, Robert & Sorensen, Georg. (1999) Pengantar Studi Hubungan Internasional. (Jakarta: Pustaka Pelajar) Kegley Jr, Charles W., (2008) World Politics : Trend and Transformation 11th edition (Boston: Thomson Wadsworth) Masoed, Mohtar. (1994) Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. (Jakarta: LP3ES) Morgenthau, Hans J., (1962) Politics Among Nations (New York: Alfred A. Knoff) West, Robert & Deger, Saadet. (1987) Defence, Security, and Development. (London: Frances Printer Publishers)

20

Anda mungkin juga menyukai