1
Jhon J. Mearsheimer, International Relations Theories: Dicipline and Diversity, Oxford
University Press, 2013, hal. 78.
2
Tim Dunne dan Brian C. Schmidt, The Globalization of World Politics an Introduction to
International Relations, Oxford University Press, 2014, hal. 104.
3
Lisa M. Martin, “Neoliberalisme” dalam International Relations Theory, Oxford University
Press, 2007, hal.110.
4
Robert Jackson dan George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2005, hal. 307.
gagasan para actor yang kemudian menjadi produk dari berbagai interaksi
dari aktor-aktor tersebut dalam ranah empirik.
Neo-fungsionalisme adalah teori yang menjelaskan bahwa integrasi
merupakan proses yang sangat konfliktual dan sporadis yang sangat alot
dalam suatu regional, serta menghubungkan banyak pihak baik aktor
negara maupun non-negara. Titik tekan pada teori neo-fungsionalisme ini
yaitu mengenai peran aktor yang berasal dari non-negara dalam konstelasi
politik adalah suatu hal yang utama, tetapi tidak melupakan negara yang
menjadi anggota organisasi regional tersebut karena negara juga memiliki
peran penting dalam proses tersebut.5
7
Regionalisme di Asia Tenggara dalam http://pshafira-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-
103342-MBP%20Asia%20Tenggara-Regionalisme%20di%20Asia%20Tenggara.html diakses
pada 29 April 2021 pukul 11.03.
8
Louise Fawcett, Exploring Regional Domains: A Comparative History of Regionalism, in Global
Politics of Regionalism: Theory and Prantice, London, Pluto Press, 2005, hlm. 30.
9
Hettne, Björn & Fredrik Söderbaum, The New Regionalism Approach, Jurnal Politeia, 1998, Vol.
17, No. 3.
Semangat integrasi dari suatu organisasi regional dapat memberi
pengaruh psikologis dalam terwujudnya integrasi regionalisme. 10 Rasa
semangat untuk mewujudkan integrasi regionalisme ini bisa dilihat
melalui jumlah organisasi regional yang ada pada kawasan tersebut.
Jika aktor dalam kerjasama regional tersebut tidak memiliki semangat
integrasi yang tinggi, maka kemungkinan yang dapat terjadi adalah
timbulnya konflik yang bisa memicu terjadinya perang. Berbanding
terbalik dengan tujuan Integrasi yang mana agar dapat menekan
kemungkinan terjadinya perang untuk mencapai perdamaian dunia.
Contohnya, pada tahun 1989 di Eropa sedikitnya ada tujuh belas
organisasi internasional yang melibatkan 23 negara, sementara di Asia
Tenggara dalam rentang waktu yang sama yaitu pada tahun 1967
hanya ada empat organisasi, yaitu SEATO, ASA, MAPHLINDO dan
ASEAN. Di mana pada saat itu pembentukan SEATO pun hanya
untuk mendukung kepentingan Amerika dalam mencegah pengaruh
komunisme Uni Soviet di Asia Tenggara. Kuantitas dari organisasi
internasional yang ada di Eropa ini berbanding lurus dengan semangat
integrasi regionalisme, karena sasaran dari didirikannya Uni Eropa
tidak lain adalah untuk menghindari perang dan mengukuhkan
perkembangan demokrsi.
Daya kohesifitas yang lemah dalam kerjasama regional.
Kohesifitas atau keterikatan terhadap institusi merupakan hal
yang penting untuk mewujudkan integrase regionalism, sehingga jika
suatu institusi atau organisasi internasional tidak bisa membuat
anggotanya merasa terikat maka dapat menghambat proses intregrasi
regionalism. Kohesifitas membuat para actor yang terlibat semakin
solid terhadap organisasi regional.11
10
Mochta Mas’oed, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisa dan Teorisasi, Pusat antar
Universitas, Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1989, hal. 175.
11
Faktor-Faktor Pendorong Integrasi Regional, dalam https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id
diakses pada 29 April 2021 pukul 09.42.
Lemahnya daya kohesifitas dalam kerjasama regional ini
contohnya terjadi di ASEAN, kesepakatan-kesepakatan ASEAN
masih bersifat asosiasi sehingga tidak memiliki keterikatan yang kuat.
Berbanding terbalik dengan Uni Eropa yang memiliki kebiasaan
mengikat anggotanya melalui perjanjian yang kuat seperti Traktat
Roma, Maastricht, Amsterdam dan Niece.
Tidak adanya pelibatan masyarakat yang lebih luas dalam proses
kerjasama regional.
Rendahnya partisipasi masyarakat terhadap kerjasama regional
mengakibatkan adanya gap yang tinggi antara masyarakat dengan
pelaku kerjasama yang hanya berasal dari kalangan pejabat. Hal ini
mengurangi keefektifan dalam hubungan kerjasama karena hanya
berlangsung pada level pemerintah.12
Misalnya di ASEAN yang belum mampu mengikis kesenjangan
ekonomi di antara anggotanya. Contoh nyatanya adalah yang terjadi
antara Singapura yang termasuk ke dalam negara kaya dengan Laos
yang masih disebut sebagai negara miskin. Sedangkan yang terjadi di
Uni Eropa adalah kesenjangan ekonominya tidak terlalu signifikan.
Kerjasama organisasi yang tidak dibentuk dalam suatu institusi yang
baku.
Tidak adanya institusi yang baku sebagai pemegang otoritas
dapat menghambat dalam proses perumusan kebijakan dan
implementasinya. Institusi yang berfungsi sebagai pemegang otoritas
lebih mungkin untuk dapat mengendalikan keadaan baik dalam bidang
ekonomi, sosial, politik maupun keamanan.13
Contohnya adalah yang dilakukan oleh ASEAN masih pada
tahap kerjasama antarnegara yang bersifat horizontal, sehingga belum
ada institusi sebagai pemegang otoritas yang bisa merumuskan suatu
kebijakan dan mengisntruksikannya secara hierarkis. Lain halnya
12
Ibid.
13
Ibid.
dengan Uni Eropa yang telah memiliki struktur supranasional
sehingga memungkinkan untuk berkembang lebih cepat dan mampu
meredam konflik. Dengan adanya pemegang otoritas ini, Uni Eropa
mampu melakukan sosialisasi kebijakan secara massif dan dapat
diterima dengan baik oleh warga Eropa di tingkat regional baik secara
formal maupun informal.