Anda di halaman 1dari 6

Soal Wajib

 Neo-realisme muncul sebagai kritik atas asumsi dasar realisme yang


menganggap sifat dasar manusia sebagai penjekasan atas berbagai
perebutan kekuasaan dalam hubungan internasional.1 Neo-realisme
memandang bahwa ciri khas politik internasional adalah adanya upaya
untuk mencari dan berkompetisi memperebutkan kekuasaan.2 Neo-
realisme melihat kondisi sistemik dan structural yang mendorong perilaku
negara tersebut, menjelaskan kondisi sistem internasional dari sebuah
struktur dominan dengan menunjukkan dinamika relasi antarkomponen
dalam sistem yang masing-masing berupaya untuk selamat dalam
kompetisi internasional bercirikan pola distribusi kekuasaan khas.
 Neo-liberalisme adalah salah satu teori dalam hubungan internasional
kawasan di mana yang menitikberatkan pada konsep rasionalitas dan
perikatan atau contracting.3 Neo-liberalisme memanfaatkan peluang
kerjasama melalui fasilitas institusi internasional dalam kondisi-kondisi
tertentu, sehingga dapat berkembang dengan dasar pertimbangan
kepentingan yang saling menguntungkan.
 Konstruktivisme memiliki keyakinan bahwa dunia sosial bukan sesuatu
yang hukum-hukumnya dapat ditemukan melalui penelitian ilmiah dan
dijelaskan melalui teori ilmiah, melainkan merupakan wilayah
intersubjektif.4 Konstruktivisme mengkaji hubungan internasional secara
lebih kompleks dibandingkan dengan teori-teori lainnya, dengan
komponen yang terdiri dari pengetahuan bersama, sumber daya material
dan praktik. Dimensi yang menjadi titik pandang pandang dalam
konstruktivisme lebih beragam yaitu yang bersifat konstruktif terhadap

1
Jhon J. Mearsheimer, International Relations Theories: Dicipline and Diversity, Oxford
University Press, 2013, hal. 78.
2
Tim Dunne dan Brian C. Schmidt, The Globalization of World Politics an Introduction to
International Relations, Oxford University Press, 2014, hal. 104.
3
Lisa M. Martin, “Neoliberalisme” dalam International Relations Theory, Oxford University
Press, 2007, hal.110.
4
Robert Jackson dan George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2005, hal. 307.
gagasan para actor yang kemudian menjadi produk dari berbagai interaksi
dari aktor-aktor tersebut dalam ranah empirik.
 Neo-fungsionalisme adalah teori yang menjelaskan bahwa integrasi
merupakan proses yang sangat konfliktual dan sporadis yang sangat alot
dalam suatu regional, serta menghubungkan banyak pihak baik aktor
negara maupun non-negara. Titik tekan pada teori neo-fungsionalisme ini
yaitu mengenai peran aktor yang berasal dari non-negara dalam konstelasi
politik adalah suatu hal yang utama, tetapi tidak melupakan negara yang
menjadi anggota organisasi regional tersebut karena negara juga memiliki
peran penting dalam proses tersebut.5

Contoh penerapan Teori Konstruktivisme

Teori konstruktivisme mamandang dilema keadaan yang terjadi pada kasus


terorisme di Amerika misalnya bukanlah pola yang diinduksikan dari fakta
empirik, tetapi merupakan gagasan yang dikonstruksi dari interaksi para aktor
yang terlibat. Amerika mengidentitaskan diri sebagai polisi dunia yang
kemudian menempatkan posisi Amerika menjadi lawan dari para teroris. Hal
ini lalu mempengaruhi tindakan unilateral yaitu dengan melakukan invasi
terhadap Afghanistan yang dituding sebagai lumbung teroris. Di belahan dunia
lain, muncul Indonesia dengan wujud negara yang ikut melawan teroris
dengan membentuk Densus 88, maka secara tidak langsung membuat
Indonesia berada pada tempat yang sama dengan Amerika. 6 Hubungan
internasional yang terjalin antara Amerika dan Indonesia tersebut dalam
kacamata konstruktivisme merupakan sebuah realita sebagai share of ideas
dari para aktor dalam ranah empiris. Kompleksitas dalam teori
konstruktivisme membuktikan bahwa hubungan internasional terwujud
melalui tindakan yang dipilih oleh para aktor dipengaruhi oleh gagasan yang
mereka bangun sendiri untuk mencapai suatu kepentingan yang diinginkan.
5
Teori Neo-fungsionalisme dalam Organisasi Internasional dalam http://seniberpikir.com/teori-
neo-fungsionalisme-dalam-organisasi-internasional diakses pada 29 April 2021 pukul 12.13.
6
Konstruktivisme dalam Studi Hubungan Internasional: Gagasan dan Posisi Teoritik, dalam
https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/SPEKTRUM/article/view/485 diakses pada 29
April 2021 pukul 13.22.
Soal Pilihan

1. Regionalisme lama atau regionalisme klasik adalah regionalisme yang


berkembang sekitar tahun 1960-an yang memandang regionalisme dari segi
keterkaitan geografis, yang bersifat highpolitics di mana kerjasama yang
terjadi terbentuk karena wilayah yang saling berdekatan dan mereka yang
terlibat atau aktor dalam regionalisme tersebut didominasi oleh negara.7
Regionalisme baru adalah regionalisme yang berkembang pada awal tahun
1990-an terjadi setelah adanya perang dingin, bersifat low politics di mana
kerjasama lebih dominan dalam aspek ekonomi dan budaya yang dilakukan
tidak hanya oleh aktor negara tetapi dengan non-negara.8
Ada empat fator yang mendominasi penyebab munculnya regionalisme baru,
yaitu sebagai berikut.9
 Munculnya pembagian kekuasaan global yang baru yang kemudian
memicu transformasi struktural dalam sistem global.
 Perubahan ekonomi yang ditandai dengan adanya restrukturisasi
ekonomi-politik global menjadi tiga blok utama yang terdiri dari Uni
Eropa, NAFTA dan Asia Pasifik.
 Penurunan relatif hegemoni Amerika dan erosi sistem negara
Wesphalian.
 Berakhirnya paham dunia ketiga di mana semua negara berkembang
memberikan sikap reseptif pada gagasan neo-liberalisme.
2. Faktor penghambat integrasi regionalisme
 Minimnya semangat integrasi organisasi regional yang dapat memicu
terjadinya konflik internasional.

7
Regionalisme di Asia Tenggara dalam http://pshafira-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-
103342-MBP%20Asia%20Tenggara-Regionalisme%20di%20Asia%20Tenggara.html diakses
pada 29 April 2021 pukul 11.03.
8
Louise Fawcett, Exploring Regional Domains: A Comparative History of Regionalism, in Global
Politics of Regionalism: Theory and Prantice, London, Pluto Press, 2005, hlm. 30.
9
Hettne, Björn & Fredrik Söderbaum, The New Regionalism Approach, Jurnal Politeia, 1998, Vol.
17, No. 3.
Semangat integrasi dari suatu organisasi regional dapat memberi
pengaruh psikologis dalam terwujudnya integrasi regionalisme. 10 Rasa
semangat untuk mewujudkan integrasi regionalisme ini bisa dilihat
melalui jumlah organisasi regional yang ada pada kawasan tersebut.
Jika aktor dalam kerjasama regional tersebut tidak memiliki semangat
integrasi yang tinggi, maka kemungkinan yang dapat terjadi adalah
timbulnya konflik yang bisa memicu terjadinya perang. Berbanding
terbalik dengan tujuan Integrasi yang mana agar dapat menekan
kemungkinan terjadinya perang untuk mencapai perdamaian dunia.
Contohnya, pada tahun 1989 di Eropa sedikitnya ada tujuh belas
organisasi internasional yang melibatkan 23 negara, sementara di Asia
Tenggara dalam rentang waktu yang sama yaitu pada tahun 1967
hanya ada empat organisasi, yaitu SEATO, ASA, MAPHLINDO dan
ASEAN. Di mana pada saat itu pembentukan SEATO pun hanya
untuk mendukung kepentingan Amerika dalam mencegah pengaruh
komunisme Uni Soviet di Asia Tenggara. Kuantitas dari organisasi
internasional yang ada di Eropa ini berbanding lurus dengan semangat
integrasi regionalisme, karena sasaran dari didirikannya Uni Eropa
tidak lain adalah untuk menghindari perang dan mengukuhkan
perkembangan demokrsi.
 Daya kohesifitas yang lemah dalam kerjasama regional.
Kohesifitas atau keterikatan terhadap institusi merupakan hal
yang penting untuk mewujudkan integrase regionalism, sehingga jika
suatu institusi atau organisasi internasional tidak bisa membuat
anggotanya merasa terikat maka dapat menghambat proses intregrasi
regionalism. Kohesifitas membuat para actor yang terlibat semakin
solid terhadap organisasi regional.11

10
Mochta Mas’oed, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisa dan Teorisasi, Pusat antar
Universitas, Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1989, hal. 175.
11
Faktor-Faktor Pendorong Integrasi Regional, dalam https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id
diakses pada 29 April 2021 pukul 09.42.
Lemahnya daya kohesifitas dalam kerjasama regional ini
contohnya terjadi di ASEAN, kesepakatan-kesepakatan ASEAN
masih bersifat asosiasi sehingga tidak memiliki keterikatan yang kuat.
Berbanding terbalik dengan Uni Eropa yang memiliki kebiasaan
mengikat anggotanya melalui perjanjian yang kuat seperti Traktat
Roma, Maastricht, Amsterdam dan Niece.
 Tidak adanya pelibatan masyarakat yang lebih luas dalam proses
kerjasama regional.
Rendahnya partisipasi masyarakat terhadap kerjasama regional
mengakibatkan adanya gap yang tinggi antara masyarakat dengan
pelaku kerjasama yang hanya berasal dari kalangan pejabat. Hal ini
mengurangi keefektifan dalam hubungan kerjasama karena hanya
berlangsung pada level pemerintah.12
Misalnya di ASEAN yang belum mampu mengikis kesenjangan
ekonomi di antara anggotanya. Contoh nyatanya adalah yang terjadi
antara Singapura yang termasuk ke dalam negara kaya dengan Laos
yang masih disebut sebagai negara miskin. Sedangkan yang terjadi di
Uni Eropa adalah kesenjangan ekonominya tidak terlalu signifikan.
 Kerjasama organisasi yang tidak dibentuk dalam suatu institusi yang
baku.
Tidak adanya institusi yang baku sebagai pemegang otoritas
dapat menghambat dalam proses perumusan kebijakan dan
implementasinya. Institusi yang berfungsi sebagai pemegang otoritas
lebih mungkin untuk dapat mengendalikan keadaan baik dalam bidang
ekonomi, sosial, politik maupun keamanan.13
Contohnya adalah yang dilakukan oleh ASEAN masih pada
tahap kerjasama antarnegara yang bersifat horizontal, sehingga belum
ada institusi sebagai pemegang otoritas yang bisa merumuskan suatu
kebijakan dan mengisntruksikannya secara hierarkis. Lain halnya

12
Ibid.
13
Ibid.
dengan Uni Eropa yang telah memiliki struktur supranasional
sehingga memungkinkan untuk berkembang lebih cepat dan mampu
meredam konflik. Dengan adanya pemegang otoritas ini, Uni Eropa
mampu melakukan sosialisasi kebijakan secara massif dan dapat
diterima dengan baik oleh warga Eropa di tingkat regional baik secara
formal maupun informal.

Anda mungkin juga menyukai