Anda di halaman 1dari 5

Konstruksi Identitas dan Kepentingan Negara oleh NATO: Studi Kasus Pendekatan

Konstruktivis terhadap Organisasi Internasional

Kelompok 9
An Nisa Nabila Pranowo 071611233085
Wahyuni Kunsayekti 071711233012
Aisyah Ananda 071711233026
Maretha Sheila L. 071711233041
Janening Tyas Pamelia 071711233054
Mochammad Aryo Rasil Syarafi 071711233067
Moch. Arfani Ikhsan 071711233080
Rizka Faradiba P. 071711233097
Savero Seisa Mubin 071711233111

Konstruktivisme merupakan pendekatan yang memandang bahwa dunia internasional memiliki kondisi
sosial yang dinamis, ketergantungan yang intensif antarnegara, dan dominasi oleh budaya-budaya tertentu.
Pendekatan ini menekankan pada hubungan timbal balik antarmanusia dan pengetahuan mengenai
lingkungan sekitarnya (Wendt 1995). Menurut konstruktivisme, sistem atau dunia internasional yang ada
pada saat ini merupakan hasil bentukan atau konstruksi dari manusia. Pendekatan ini hadir sebagai dobrakan
terhadap pendekatan-pendekatan sebelumnya, yang menganggap bahwa keadaan sistem internasional terjadi
dengan sendirinya tanpa faktor-faktor pembentuk tertentu (Wendt 1995). Konstruktivisme dapat diartikan
sebagai pendekatan analisis institusi formal yang mengamati proses penyaluran aspirasi, landasan
kepentingan, dan alur kerja suatu organisasi internasional dalam perumusan kebijakannya.

Fokus analisis konstruktivisme terletak pada struktur formal, jenis, sistem birokrasi, dan kekuatan dari
sebuah organisasi internasional. Pendekatan ini dapat digunakan untuk mengamati suatu organisasi
internasional melalui perjanjian-perjanjian awal atau charter yang dimiliki oleh organisasi tersebut. Selain
itu, pendekatan ini juga memandang penting pemahaman mengenai struktur birokrasi dari organisasi
internasional tersebut, karena struktur tersebut memengaruhi manuver atau perilaku yang dilakukan oleh
negara atau aktor-aktor lain dalam suatu organisasi internasional. Konstruktivisme juga beranggapan bahwa
kepentingan dan perilaku dari suatu aktor dalam organisasi internasional dapat dipahami dengan melihat
struktur nilai-nilai sosial yang ada dalam organisasi tersebut (Finnermore 1993). Nilai-nilai tersebut
memengaruhi persepsi aktor-aktor terhadap kepentingan-kepentingan yang mereka miliki dan, dengan
demikian, menentukan perilaku mereka. Konstruktivisme juga menjelaskan bahwa identitas, kepentingan,
dan proses pembentukan struktural dari suatu organisasi adalah faktor-faktor yang memberi dampak pada
organisasi tersebut dan dunia internasional pada umumnya (Finnermore 1993).
Konstruktivisme memandang keberhasilan sebuah organisasi internasional dapat diukur dari seberapa jauh
negara-negara yang tergabung dalam organisasi tersebut dapat mengikuti serta berlaku sesuai dengan
konstruksi nilai dan norma yang berlaku. Dengan kriteria tersebut, salah satu organisasi internasional yang
dapat dikatakan cukup sukses berdasarkan pandangan konstruktivisme adalah North Atlantic Treaty
Organization atau NATO (Gheciu 2015). NATO merupakan sebuah organisasi internasional yang bergerak
di bidang keamanan dan didirikan ada tahun 1949. Organisasi ini dibentuk sebagai pakta pertahanan
berbasis collective security yang mana saat itu ditujukan untuk menghadang penyebaran ideologi komunis
oleh Uni Soviet. Pada awalnya, organisasi ini didirikan sebagai wujud konkret dari containment policy yang
dicetuskan oleh Amerika Serikat sebagai upaya perlawanan terhadap penyebaran paham komunisme yang
didorong oleh Uni Soviet.

Figur 1. Negara-negara anggota NATO dan tahun bergabung ke dalam NATO (Soldatos 2017).

NATO berusaha menyebarkan norma-norma kepada seluruh negara anggotanya. Norma-norma tersebut
pada akhirnya memengaruhi mekanisme organisasi. Hal ini sejalan dengan NATO yang kontra terhadap
ideologi komunis. Organisasi ini merupakan organisasi yang mampu menyebarkan norma liberal-demokrasi
serta mengkonstruksi perilaku negara anggota didalamnya jika dipandang melalui konstruktivisme. Hal ini
berhubungan dengan adanya keinginan negara-negara penganut demokrasi untuk mempengaruhi struktur
negara lain. Checkel dalam Gheciu (2005) menyebut perilaku semacam ini sebagai socializing. Perilaku ini
merupakan proses untuk menginduksi aktor ke dalam norma tertentu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman
konstruktivis mengenai adanya proses konstruksi pada negara-negara yang dipengaruhi oleh faktor eksternal,
salah satunya organisasi internasional.

Peristiwa yang mendorong pembentukan NATO adalah pembentukan Pakta Warsawa oleh Uni Soviet dan
aliansi-aliansinya yang berhaluan komunis (Gheciu 2015). Meskipun dibentuk sebagai organisasi tandingan,
NATO berupaya menjadi pakta pertahanan yang secara aktif menyeragamkan norma dan ide terhadap
seluruh negara anggotanya. Dalam prosesnya organisasi ini berusaha untuk mengkonstruksi pandangan yang
komprehensif terhadap dunia sehingga negara-negara anggotanya dapat berperilaku dan bertindak secara
kolektif. NATO secara konkret mengusung nilai-nilai demokratis Barat yang melekat dengan negara-negara
anggotanya (Gheciu 2015). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan saling memengaruhi antara nilai-
nilai dan identitas yang dipegang oleh negara-negara anggota NATO, dan nilai-nilai yang diusung NATO
sebagai sebuah organisasi.

Konstruktivisme memandang adanya peran-peran tertentu yang menjadi kelebihan dari organisasi
internasional. Organisasi internasional dianggap mampu memodifikasi kepentingan negara melalui
serangkaian norma yang ditetapkannya. Selain itu, norma-norma yang dimiliki organisasi internasional juga
mendorong promosi demokrasi dan penggunaan strategi manajemen konflik yang damai. Kaum
konstruktivis beranggapan bahwa kerja sama merupakan suatu jalan dalam pencapaian kepentingan nasional
masing-masing negara. Kerja sama tersebut dapat difasilitasi oleh organisasi internasional melalui proses
internasionalisasi dan institusionalisasi untuk mengatur kepentingan masing-masing negara anggota.
Kelebihan lain dari organisasi internasional adalah adanya prinsip membership conditionality dan socialized
based efforts, yang mengharuskan negara-negara anggota—atau negara-negara yang ingin bergabung
sebagai anggota organisasi internasional tersebut—untuk mematuhi norma-norma yang ditetapkan (Kelley
2004). Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan antarsubjek antara organisasi internasional dan negara-
negara anggota yang terganung di dalamnya. Hubungan tersebut juga dapat dilihat pada NATO.

Menurut Gheciu (2005) faktor intersubjektivitas yang ditunjukkan oleh NATO membuktikan peran
organisasi tersebut sebagai agen otoritatif yang menyediakan interpretasi terhadap dunia, termasuk definisi
dari setiap perilaku negara. Sederhananya, organisasi internasional merupakan upaya negara-negara yang
memiliki norma yang sama untuk menyebarkan dogma yang mereka pegang. Karena kesamaan norma dan
tujuan, negara kemudian membentuk hubungan multilateral melalui organisasi internasional. Selain itu,
kemenangan Amerika dan sekutunya dalam Perang Dunia II juga menjelaskan konstruksi yang
menyebabkan munculnya banyak organisasi internasional (Gheciu 2005).

Amerika sebagai negara liberal-demokratik yang memiliki posisi dominan dalam NATO mampu
menyebarkan pemikirannya tentang pentingnya kerja sama antarnegara. Dalam implementasinya, NATO
menyebarkan norma yang menuntut transparansi di negara-negara komunis. NATO juga menunjukkan
sosialisasi sistematis para aktor politik dan pasukan militer ke dalam nilai-nilai demokrasi liberal gaya Barat.
NATO juga berusaha membentuk opini publik dari negara-negara anggotanya, terutama negara-negara
Eropa. Ini dimaksudkan untuk membangun nilai-nilai demokrasi pada lingkup domestik. Dengan kata lain,
NATO yang memengaruhi proses sosialisasi di dunia internasional juga memengaruhi politik domestik
negara-negara anggotanya (Gheciu 2005).

Dari pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa NATO menunjukkan peran organisasi
internasional menurut pendekatan konstruktivis, yaitu pembentukan dan sosialisasi norma maupun nilai
yang dianut negara-negara anggotanya. NATO mengkonstruksi pandangan negara-negara anggotanya
terhadap identitas dan kepentingan yang dimilikinya. Sebagai contoh, NATO telah menyatukan negara-
negara yang memiliki latar belakang historis berbeda—seperti Jerman, Perancis, dan Polandia—dengan
identitas sebagai negara-negara Barat yang menganut nilai-nilai demokrasi liberal. Dengan identitas tersebut,
negara-negara anggota NATO mampu bekerja sama dan melakukan koordinasi dalam bidang keamanan,
yang sejatinya memerlukan tingkat saling percaya yang tinggi. Selain memengaruhi negara-negara
anggotanya, NATO juga telah berhasil memengaruhi negara-negara bekas komunis untuk bergabung. Hal ini
membuktikan argumen kaum konstruktivis bahwa norma, nilai, dan identitas memiliki kemampuan untuk
memengaruhi perilaku negara, dan organisasi internasional memiliki kemampuan untuk menyelaraskan
ketiga hal tersebut.
Referensi

Finnemore, Martha, 1993. “International Organizations as Teachers of Norms: The United Nations
Educational, Scientific, and Cultural Organization and Science Policy”, International Organization,
Vol. 47, No. 4, pp. 565-97.

Gheciu, Alexandra, 2005. “Security Institutions as Agents of Socialization? NATO and the ‘New Europe’”,
International Organizations, Vol. 59, No. 4, pp. 973-1012.

Kelley, Judith, 2004. “International Actors on the Domestic Scene: Membership Conditionality and
Socialization by International Institutions”, International Organization, Vol. 58, No. 3, pp. 425-57.

Soldatos, Spyros, 2017. Russian Reaction to Perceived Threats in Its Near Abroad in the 21st Century. Tesis
Magister. Nicosia: University of Nicosia.

Wendt, Alexander, 1995. “Constructing International Politics”, International Security, Vol. 20, No. 1, pp.
71-81.

Anda mungkin juga menyukai