Anda di halaman 1dari 2

Memasukkan dalam kerangka kultural setempat, memulai proses pedagogig oleh pihak berwenang di level

domestik, terlibat dalam system mulai pengambil keputusan hingga masyarakat.


Untuk contoh dapat diambil kasus NATO. Tujuan awal NATO adalah pakta pertahanan yang berbasis pada
keamanan kolektif yang ditunjukan untuk menghadang penyebaran ideologi komunis oleh Unit Soviet. Sebagai
bentuk kontra terhadap ideologi komunis, NATO berusaha menyebarkan norma-norma kepada seluruh Negara
anggotanya dimana norma tersebut pada akhirnya mempengaruhi mekanisme organisasi. Bagi Gheicu (2005)
factor kekuatan intersubjekfitas yang diberikan oleh NETO menunjukan dirinya sebagai agen autoratif yang
menyediakan interpretasi terhadap dunia, termasuk didalamnya definisi perilaku-perilaku Negara. Pada
implementasinya NATO memang menyebarkan norma-norma yang mana norma tersebut menunjukan tranparasi
pada Negara-negara komunis. NATO juga menunjukan sistematik sosialisasi actor politik dan kekuatan militer
menjadi nilai-nilai demokrasi liberal gaya barat. Dengan kata lain, NATO mempengaruhi politik domestik Negara
(Gheciu2005).
Pendekatan konstruktivis pada organisasi internasional berbicara mengenai hubungan antara Negara dan
organisasi internasional dibentuk oleh proses interaksi diantara keduanya. Negara beriaksi atas keputusan-
keputusan yang dihasilkan oleh organisasi internasional, Negara bias memperkuat power dan otoritas organisasi
WTO beragumentasi mengenai kasus mereka yang dibahas didalam mekanisme penyelesaian masalah yang ada
di WTO, Negara melegitimasi prosesnya dan memperkuat WTO.
Kaum konstruktivis, seperti teoritisi kritis dan kaum posmodernis, berpendapat bahwa tidak ada kenyataan sosial
objektif dalam melihat fenomena. Pemikiran kuncinya atau asumsinya adalah bahwa dunia sosial, termasuk
hubungan internasional merupakan suatu konstruksi manusia. Dunia sosial bukanlah sesuatu yang given,
melainkan dunia sosial merupakan wilayah intersubjective atau dengan kata lain dunia sosial sangat berarti bagi
masyarakat yang membuatnya dan hidup didalamnya, dan yang memahaminya (Jackson dan Sorensen, 2009:
307). Oleh sebab itu secara eksplisit asumsi konstruktivis melihat tatanan dunia sebagai ‘intersubjektifitas’, tidak
ada nilai-nilai yang konkret, pasti, atau secara objektif mampu menjelaskan tatanan dunia. Pandangan
konstruktivis kemudian menggunakan asumsi mereka tersebut dalam melihat organisasi internasional. Pengaruh
yang diberikan oleh organisasi internasional terhadao negara anggota negara didalamnya dilihat oleh
konstruktivis sebagai penyebaran ide-ide yang mana hal tersebut dimaknai dan mampu merubah sikap dan
perilaku negara.

Organisasi internasional dilihat oleh kaum konstruktivis sebagai sebuah wadah dalam menyebarkan norma atau
nilai yang sama untuk dijadikan sebagai basis kerjasama. Walaupun adanya kesamaan norma dalam organisasi
yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku negara, akan tetapi tidak selamanya norma-norma tersebut
dapat mengkonstruksi fenomena secara pasti. Unsur intersubjektifitas yang dihadirkan oleh kaum konstruktivis
ternyata pada implementasinya di organisasi terlalu banyak mengandung unsur ‘subjektif’, karena tidak
selamanya interpretasi hegemon suatu organisasi internasional dalam melihat fenomena hubungan internasional
menghendaki kebenaran yang absolut sehingga mengarah pada ambiguitas. Ruggie (1998: 33) menambahkan
bahwa fokus konstruktivisme yakni kesadaran manusia dalam menginterpretasi sesuatu. Membangun interpretasi
terhadap fakta internasional dianggap sama idealnya dengan unsur material, dengan kata lain konstruktivis
memandang ide mengandung unsur normatif seperti halnya dimensi instrumental.

Anda mungkin juga menyukai