Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Neo-Institutionalism (Historical Institutionalism Theory)

Neo-Institutionalism Theory berangkat dari Institutionalism yang dimana tindakan manusia


lebih ditentukan oleh institusi yang melingkupinya. Perkembangan mulai dari institusionalis
pertama, seperti Meyer dan Rowan pada tahun 1977, kemudian disusul DiMaggio dan Powel
yang pada tahun 1983 telah mengkombinasikan agensi dan perubahan dengan keaslian,
stabilitas, dan isomorfisme (Vargas-Hernández, 2008). Institutionalism menganggap bahwa
perubahan dari suatu kelembagaan lebih utama daripada melawan struktur ekonomi politik
global, yang di mana transformasi tersebut terjadi dengan adanya penguatan dalam regulasi,
program hingga strategi dari implementasi untuk mengatasi masalah publik (Putra dan Anwar
Sanusi, 2019). Pada tahun 1996 penjelasan Greenwood dan Hinings mengenai perubahan Old
Institutionalism yang lebih menekankan pengaruh, koalisi dan nilai nilai dari persaingan
sentral, bersama dengan kekuatan dan struktur informal sedangkan Neo-Institutionalism lebih
menekankan keaslian, partisipas dari bidang organisasi dan sentralitas klasifikasi, rutinitas,
skrip dan garis besar (Vargas-Hernández, 2008)

Intitusionalism melihat bahwa proses pembentukan dari sebuah institusi dapat


dipandang dari segi historis seperti yang dijelaskan oleh Hegel dan dipandnag dari aspek
rasional yang dikemukakan oleh Hobbes dan Locke. Menurut Gemeinschaft, teori ini negara
merupakan hasil dari sebuah proses institusionalisasi dari komunitas moral, kemudian menurut
Gesselschaft dari proses tersebut menjadi masyarakat yang terstruktur dan berkembangg
menjadi sebuah negara. Bagi institutionalism, institusionalisasi membutuhkan legitimasi agar
dapat fokus pada lembaga formal (Putra, dkk, 2019)

Neo-Institutionalism memiliki kesamaan perspektif dengan Institutionalism bahwa


institusi merupakan pusat dari fenomena sosial politik. Teori tersebut membahas mengenai
institusi dari sisi formal dan informal secara bersamaan. Fokus dari teori ini adalah melihat
faktor pendorong dan penghambat dalam perubahan kelembagaan, serta interaksi yang terjadi
antar institusi (Putra, dkk, 2019). Neo-Intstutionalism menganjurkan sebuah negara yang kuat
tetapi fungsinya terbatas. Fungsi tersebut hanya menjamin pasar, fungsinya dijalankan tanpa
menghalangi pekerjaan, dan melindungi warisan dari orang lain. Proses dalam suatu

6
kelembagaan terdapat dinamika dan selalu berkembang, namun dapat memberikan stabilitas
tertentu pada bidang organisasi. Proses tersebut mencapai hasil melalui kesepakatan yang
dinegosiasikan dengan perbedaan interpretasi dan secara sosial. Neo-Institutionalism
menjelaskan bahwa para aktor secara sadar memilih merevisi lebih banyak institusi daripada
menjawabnya. Dasar dari Neo-Instutionalism dilihat dari prinsip yang di mana tindakan
manusia itu sendiri dihasilkan oleh tindakan individu yang sedang berinteraksi di dalam
struktur, sehingga interaksi tersebut dapat mencerminkan suatu institusi. Neo-institutionalism
mengusahakan penataan ruang publik di bawah institusi untuk meniadakan kesetaraan
ekonomi, sosial, dan politik yang semu. Pada dasarnya model dari Neo-Institutionalism sendiri
ditentukan oleh keselarasan organisasi dengan lingkungannya dan organisasi harus dapat
mencukupi tekanan eksternal yang ada di sekitarnya tersebut (Vargas-Hernández, 2008).

Institusi memiliki pengaruh kuat terhadap tindakan dan pilihan negara, sehinga dapat
mengatur perilaku para aktor. Menurut neo-institutionalist, akibat dari adanya institusi adalah
perilaku individu hingga masyarakat. Jika proses institusionalisasi menyebabkan konflik yang
tidak terkontrol dan tidak terprediksi maka kebijakan yang dibentuk oleh institusi diangap
gagal (Putra, dkk, 2019). Neo-Institutionalism memiliki empat pendekatan, yaitu Rational
Choice Institutionalism, Sociological Institutionalism, Historical Institutionalism, dan
Discursive Institutionalism.

2.1.1 Rational Choice Institutionalism


Pandangan dari Rational Choice Institutionalism melihat bahwa institusi merupakan
kumpulan aturan yang mengatur perilaku individu dalam organisasi dan individu tidak
mempunyai kekuatan untuk merubahnya. Selain itu, institusi merupakan ekuilibirium dalam
melakukan sesuatu. Akibat hal tersebut maka terdapat tiga bentuk mengenai pandangan
Rational Choice Institutionalism terhadap peran institusi, terkhusus dalam proses kebijakan
publik. Tiga bentuk tersebut adalah principal-agent, game-theory, dan rulebased models
(Peters, 2012). Bentuk yang pertama, yaitu principal-agent, melihat hubungan antara
pemimpin (principal) dan pengikut (agent), yang di mana menjadi hasil dari proses terlembaga
yang melibatkan pola hubungan antara pemimpin dan pengikut di setiap organisasi. Jika dilihat
dari sudut pandang negara, posisi sebagai pemimpin adalah parlemen, sedangkan posisi agent
sendiri merupakan birokrasi atau adminsitrasi publik di organisasi tersebut (Putra, dkk, 2019).
Lalu bentuk kedua, yaitu game-theory yang tidak memandang keberagaman aktor dalam
ordinasi dan subordinasi, semua aktor adalah setara dan memiliki kepentingan yang sama,
interaksi para aktornya berlangsung dalam proses yang panjang dan menemukan keseimbangan

7
kerjasama timbal balik di antara mereka yang diakibatkan terbentuknya pola hubungan yang
dipakai untuk mencapai kepentingan masing-masing aktor (Putra, dkk, 2019). Kemudian
bentuk yang ketiga, yaitu rule-based lebih tertarik terhadap institusi daripada aktor lainnya,
antara aturan dan institusi dibentuk untuk mencapai keseimbangan dan stabilitas, seperti
ungkapan Elinor Ostrom yang di mana aturan institusi dapat membantu mengendalikan
perilaku para aktor yang menyimpang (Putra, dkk, 2019). Poin penting dari Rational Choice
Institutionalism adalah peran intitusi yaitu mengendalikan perilaku agen dan meminimalisir
uncertainity dan transaction cost. Menurut Rational Choice Institutionalism, institusi
menyediakan peluang bagi aktor dan tindakan mereka diprediksi selama institusi tidak ada
perubahan yang fundamental (Putra, dkk, 2019).
2.1.2 Sociological Institutionalism
Sociological Institutionalism merupakan suatu teori yang melihat institusi dari sudut
pandang sosiologis, yang di mana telah terjadi perubahan sosial yang telah terjadi di dalam
masyarakat. Weberian, lebih menempatkan intitusi sebagai penyebab terjadinya perubahan
sosial daripada sebagai akibat (Putra, dkk, 2019). Sociological Institutionalism melihat bahwa
institusi dapat mempertahankan keberadaanya melalui dua proses, yaitu pembelajaran sosial
daan mobilisasi sosial (Checkel, 2001). Proses yang pertama lebih bersifat diskursif dan
konstruktivis, yang di mana dalam proses tersebut sebuah nilai tertentu mulai diperkenalkan
dan ditanamkan pada setiap individu. Lalu pada tahap kedua norma dan identitas kultural
disebarkan secara meluas di masyarakat.
Penyebarluasan institusi dalam Sociological Institutionalism memerlukan peran dari
komunikasi dan proses diskursif. Proses diskursif akan membentuk standar dan ekspektasi
tertentu dalam melihat fenomena di sekitarnnya. Sociological Institutionalism memiliki sifat
top-down, di mana institusi berubah bentuk menjadi cognitive scripts yang dapat memberi
tekanan pada para aktor agar dapat berjalan sesuai dengan wacana dan norma yang ada.
Pemerintah dan aktor di luarnya dalam Sociological Institutionalism tidak dapat melanggar
moral dan norma, sebab para aktor masih memerlukan pengakuan dari identitas kultural
sebagai bagian dari masyarakat. Sociological Institutionalism melihat bahwa peran institusi
menjadi sebab terjadinya perubahan sosial. Pengaplikasian teori ini melihat bahwa organisasi
merupakan fakta sosiologis daripada manajerial sehinga prinsip sosiologi dapat digunakan
untuk menganalisis pola interaksi dalam organisasi (Putra, dkk, 2019).
2.1.3 Historical Institutionalism
Historical Institutionalism merupakan pendekatan yang menanggapi teori kelompok
politik dan fungsionalism structural, di mana pada tahun 1960-an dan 1970-an kedua teori

8
tersebut menonjol dalam ilmu politik (Steinmo et al., 1992). Pendekatan ini merupakan
perpaduan antara pendekatan politik dengan fungsionalism structural. Historical
Institutionalism membangun tradisi lama dalam ilmu politik yang menganggap penting
institusi politik formal dan mereka mengembangkan konsep bagaimana keberadaan mereka
yang penting secara luas. Tahun 1970-an, teori fungsionalisme struktural dan teori konflik
kelompok mempunyai varian pluralis, neo-Marxis, dan perdebatan tentang memainkan peran
berpengaruh besar dalam perkembangan Historical Institutionalism (Blackburn, 1972).
Historical Institutionalist terpengaruh oleh cara pandang fungsionalis struktural terhadap
pemerintahan yang dianggap sebagai sistem dari beberapa bagian yang saling berkorelasi, hal
tersebut dapat dilihat melalui ciri-ciri sosial, psikologis atau budaya dari individu sebagai kadar
yang membantu beroperasinya sistem tersebut. Tetapi, Historical Institutionalist melihat
organisasi internasional dari pemerintahan atau ekonomi politik selaku faktor utama yang
membentuk perilaku kolektif dan memiliki hasil yang berbeda. (Hall, and Rosemary C. R,
1996).
Teori ini mengeksplorasi institusi sosial dan politik, modal dan tenaga kerja yang
membentuk interaksi sehingga menghasilkan lintasan nasional biasanya menekankan dampak
dari lembaga politik nasional yang yang membentuk relasi antara legislator, kepentingan
terorganisir, pemilih, dan peradilan. Definisi institusi dari pandangan Historical
Institutionalism adalah prosedur formal maupun informal, rutinitas, norma, dan konvensi telah
tertancap pada struktur organisasi politik atau ekonomi politik (Thelen and Sven Steinmo et
al., 1992). Persepsi Historical Institutionalism cenderung melihat hubungan antara institusi dan
perilaku individu dalam istilah yang relatif luas; menekankan ketidakseimbangan dalam
kekuasaan terkait operasi dan pengembangan institusi; cenderung memiliki pandangan dalam
pengembangan kelembagaan yang menekankan ketergantungan jalur dan konsekuensi yang
tidak diinginkan; melakukan unifikasi analisis kelembagaan dengan kontribusi yang dapat
diberikan oleh faktor-faktor lainnya (seperti gagasan terhadap hasil politik) (Hall, and
Rosemary C. R, 1996).
Pendekatan kalkulus milik Neo-Institutionalism ini berfokus pada aspek-aspek perilaku
manusia yang instrumental. Pada pendekatan kalkulus, institusi mempengaruhi perilaku aktor
satu dan aktor lain dalam memberikan tingkat kepastian, atau dengan kata lain intitusi dapat
mempengaruhi tindakan individu dengan mengubah harapan mereka terhadap apa yang
dilakukan oleh orang lain sebagai bentuk respon. Hal tersebut tidak dapat menyangkal bahwa
perilaku manusia adalah rasional atau bertujuan, perilaku mereka dapat menjadi tolak ukur
individu dalam beralih ke rutinitas yang lebih mapan untuk mencapai tujuan mereka. Selain itu

9
individu sangat terikat oleh dunia institusi di mana tidak hanya institusi yang memberikan
informasi berguna dengan strategis, individu juga mempengaruhi identitas, citra diri dan
preferensi para aktor (March and Johan P. Olsen, 1989). Gaya pendekatan Historical
Institutionalism yaitu pendekatan kalkulus yang menjelaskan bahwa institusi mampu bertahan
akibat dari mereka dalam mewujudkan sesuatu melalui individu yang mematuhi rutinitas yang
mapan(15), sedangkan pendekatan budaya menjelaskan kegigihan institusi dengan mencatat
kesepakatan yang berkaitan dengan institusi sosial (Graftstein, 1992).
Historical Institutionalism lebih memperhatikan hubungan antara institusi dan ide
(Hall, dkk, 1996). Penjelasan dari Immergut, terdapat perbedaan lintas-nasional dalam
memperbaiki perawatan kesehatan dengan mengarah pada kesediaan kelompok dokter untuk
bekerjasama dengan pendukung reformasi kesehatan (Immergut, 1992). Historical
Institutionalism menjelaskan bagaimana cara mereka dalam mengatur respon negara terhadap
suatu tantangan baru. Mereka menggunakan penekanan pada kebijakan masa lalu untuk
mengontrol kebijakan berikutnya dengan mendorong masyarakat untuk mengembangkan
kepentingan kebijakan (Pierson, 1994). Poin penting dari Historical Institutionalism adalah
intitusi memiliki peran yang dinamis atau berubah-ubah antar waktu; kebijakan publiknya
merupakan realita historis melihat timing, ordering, inter-temporal; teori ini diaplikasikan pada
tata ruang dan urban planning (Putra, dkk, 2019).
2.1.4 Discursive Institutonalism
Pendekatan keempat adalah Dicursive Institutionalism, yang di mana pendekatan ini
mengarahkan perhatian para peneliti dan analisis kebijakan publik terhadap posisi ide dan
wacana yang penting dalam situasi institusi tertentu. Konsep discourse ini dapat diartikan
sebagai bentuk pemikiran dan juga proses pemikiran tersebut menyebar luas. Schmidt
menjelaskan, bahwa discourse dibagi menjadi dua fungsi pada dimensi ide, yaitu kognitif dan
normatif. Fungsinya secara kognitif dapat memunculkan sebuah gagasan kebijakan publik
tertentu, sedangkan fungsi secara normatif memberikan legitimasi atas konstruksi ide
kebijakan yang telah dibangun. Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi kognitif pada discourse
merupakan dari bentuk pemikirannya, sedankan fungsi normatif menjadi proses pemikiran
tersebut dilakukan (Schmidt, 2002).

Peran institusi dalam pendekatan Discursive Institutionalism ini bersifat dinamis,


fleksibilitas, dan terbuka untuk dipertanyakan atau diperdebatkan. Proses kebijakan publik
dalam pendekatan ini perlu memahami policy discourse. Pendekatan ini diaplikasikan untuk

10
melihat bagaimana mengkonstruksi ide dan mendimensikan kepada publik, dan melihat
fenomenologi, grounded theory, etnografi, dll (Putra, dkk, 2019).

2.2 Development Concept (Konsep Pembangunan)

Ilmu sosial membagi konsep pembangunan menjadi dua paradigma besar, yaitu
modernisasi dan ketergantungam (Digdowiseiso, 2019). Menurut Larrain (1994), paradigma
modernisasi mencakup tentang makro terhadap pertumbuhan ekonomi dan perubahan social
dan mikro terhadap nilai-nilai individu yang berguna untuk menunjang proses perubahan.
Kemudian paradigma ketergantungan mencakup underdevelopment, dependent development,
dan world system theory. Sedangkan menurut Tikson (2005), development dibagi ke dalam tiga
klasifikasi, yaitu modernisasi, keterbelakangan dan ketergantungan. Ketiga klasifikasi tersebut
membentuk kemunculan berbagai versi pengertian pembangunan. Pembangunan nasional
menurut Tikson (2005), diartikan sebagai perubahan ekonomi, sosial, dan budaya melalui
kebijakan dan strategi dengan secara sengaja dan menuju ke arah yang diinginkan. Bagian
terpenting dari pembangunan adalah adanya progress, perumbuhan, dan diversifikasi
(Digdowiseso, 2019). Pada inti dari pembangunan diartikan sebagai ‘suatu upaya terkoordinasi
untuk menciptakan alternatif ang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk
memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi’ (Nugroho dan Rochmin Dahuri,
2004).

Pengertian pembangunan dapat diartikan berbeda-beda, mulai dari individu dengan


individu lain hingga negara satu dengan negara lain. Akan tetapi, secara umum di dalam
pembangunan terdapat suatu kesepakatan yang menjadi proses untuk melakukan perubahan
(Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005). Menurut Alexander (1994), pembangunan
(development) merupakan proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti
politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, Pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan
budaya (Digdowiseso, 2019). Kemudian Portes (1976) mendefinisikan pembangunan sebagai
perubahan ekonomi, sosial, dan budaya. Menurutnya, pembangunan adalah proses dari
transformasi yang telah direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan
masyarakat (Digdowiseso, 2019).

Menurut Michael P. Todaro (1992), pembangunan adalah aspek suatu proses yang
berdimensi jamak yang melibatkan perubahan-perubahan besar dari segi (Hadiwijaya, 2020):

11
1. Struktur sosial;
2. Sikap masyarakat dan Lembaga-lembaga nasional;
3. Percepatan pertumbuhan ekonomi;
4. Pengurangan ketidakmerataan;
5. Pemberantasan kemiskinan absolut;
Pembangunan meliputi unsur materi yang ingin dihasilkan dan unsur manusia yang
menjadi pengambil inisiatif atau manusia pembangunan. Pembangunan merupakan proses
transformasi yang memperhatikan keberlanjutan (continuity) dan perubahan (change).
Pembangunan ditujukan pada pembangunan manusia, yang di mana manusia tersebut dibangun
menjadi manusia yang kreatif dengan rasa bahagia, aman, dan bebas dari rasa takut. Perspektif
dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam kerangka production centered
development terbatas pada permasalahan pendidikan, peningkatan keterampilan, kesehatan,
link and match, dan lain-lain (Hadiwijaya, 2020).
Dokumen Agenda 21 Indonesia berisikan penjabaran lebih lanjut dari Konferensi
Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi) di Rio de Janeiro, Brasil tahun 1992. Agenda 21 Indonesia,
membahas mengenai strategi nasional yang terbagi menjadi empat area, yaitu pelayanan
masyarakat (Pelayanan Publik), pengelolaan limbah, pengelolaan sumber daya lahan, dan
pengolaan sumber daya alam. Pelayanan masyarakat atau pelayanan publik menjadi agenda
dalam perwujudan prinsip sosial-ekonomi pembangunan berkelanjutan. Angenda pelayanan
masyarakat ini berfokus pada pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup pada segi
sosial-ekonomi di Indonesia. Terdapat enam subsistem agenda di pelayanan masyarakat
(Mitchell, B. Setiawan, dan Dwita Hadi Rahmi, 2003)
a. Pengentasan kemiskinan;
b. Perubahan pola pada produksi dan konsumsi;
c. Dinamika kependudukan;
d. Pengelolaan dan peningkatan kesehatan;
e. Pengembangan perumahan dan permukiman; dan
f. Sistem perdagangan global, instrument ekonomi, serta neraca ekonomi dan lingkungan
terpadu.

2.3 Aktor Institusi

Robert O Keohane menjelaskan, bahwa institusi internasional merupakan suatu


perangkat peraturan pemerintah yang meliputi jaringan-jaringan peraturan, norma-norma dan

12
cara-cara yang mengatur serta mengawasi dampaknya (Keohane, 1989: 3-4). Norma yang
disebutkan dilihat dari konteks nilai-nilai yang mengandung fakta terpercaya, penyebab dan
kejujuran. Sedangkan nilai-nilai yang dimaksud pada penjelasan norma adalah perilaku pada
umumnya yang telah terbentuk akibat dari adanya kewajiban dan keharusan. Sehingga dari
penjelasan Keohane sendiri Institusi Internasional merupakan alat dari pemerintahan yang
membantu mereka untuk menerapkan peraturan-peraturan, norma, dan lainnya pada
masyarakat. Sedangkan menurut penjelasan dari Stephen D. Krasner, rezim internasional
adalah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan
baik bersifat eksplisit maupun implisit yang berkaitan dengan ekspektasi atau pengharapan
aktor-aktor dan memuat kepentingan aktor itu sendiri dalam hubungan Internasional (Krasner,
1982). Terlihat dari penjelasan Krasner peran institusi atau rezim internasional maupun
nasional sangat penting dalam politik internasional maupun nasional, dimana fungsinya untuk
menciptakan kerja sama di antara negara-negara internasional atau kota-kota pada tingkat
nasional.

Selain penjelasan yang dinyatakan oleh Robert O. Keohane, beliau juga menyatakan
bagaiman peran dari institusi. Berikut beberapa peran yang dimiliki oleh institusi (Keohane,
1989):

a) Menyediakan aliran informasi dan kesempatan bernegosiasi.


b) Meningkatkan kemampuan pemerintah memonitor kekuatan lain dan
mengimplementasikan komitmennya sendiri oleh karena itu kemampuannya membuat
komitmen yang dapat dipercaya berada di urutan pertama.
c) Memperkuat harapan (level ekspektasi) yang muncul tentang kesolidan dari
kesepakatan internasional.
Institusi dapat melakukan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai kenyamanan
dan jaminan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka. Kekuatan dan kualitas dari
lembaga/institusi negara dapat menjadikan pembangunan di daerah yang berkelanjutan dan
mandiri. Kerangka dari kelembagaan dalam pembangunan berkelanjutan (Hadiwijaya, 2020):
a. Looking inward: melihat kompleksitas dalam kelembagaan tersebut;
b. Looking outward: melihat hubungan antara kelembagaan dengan lingkungannya;
c. Institutionals strategy: dengan menggunakan di acara, yaitu pertama dengan bertindak
dan belajar, lalu kedua dengan berfokus pada permasalahan internal dan eksternal.
Akibat dari pembangunan kelembagaan dapat menimbulkan adanya partisipasi
stakeholders, keberhasilan program yang dijalankan, terjadinya kompleksitas tidak bisa

13
dihindari, dan kemerosotan hukum (Brinkerhoff dan Goldsmith, 1992). Menurut Spencer
(1989), kelembagaan akan berhasil ditentukan oleh adanya komunikasi formal dan informal,
kerjasama tim, kemampuan anggota, rasa memiliki terhadap organisasi, dan kepemimpinan
yang baik berfungsi sebagai fasilitator (Hadiwijaya, 2020).

2.4 Smart Healthy

Smart healthy merupakan salah satu indikator dari kota cerdas dan sedang melakukan
pembagunan berkelanjutan. Smart healthy sendiri pada dasarnya diadakan untuk mencapai
kesehatan dan kesejahteraan yang baik bagi masyarakat pada suatu kota tersebut. Sehingga
agar tercapai smart city juga diperlukan smart healthy sebagai salah satu indikatornya. Smart
city merupakan suatu konsep yang selalu identik dengan teknologi dan manusianya yang
cerdas. A smart city offers technological solutions to tell what is happening in the city, how the
city is evolving, and how to enable a better quality of life (Musa, 2017). Terlihat dari penjelasan
Musa tentang smart city, kota yang bisa disebut sebagai smart city adalah kota yang mampu
memberikan solusi teknologi untuk kejadian-kejadian di kota, kemudian bagaimana
mengembangkan suatu kota, dan bagaimana caranya untuk meningkatkan kualitas hidup yang
baik pada kota tersebut. Kemudian globalisasi juga turut mempengaruhi smart city, yang dapat
dilihat dari peningkatan pertukaran barang dan jasa, masyarakat, informasi, ide, budaya, sistem
politik, pembangunan dan penyejahteraan ekonomi, ide-ide, dan lain sebagainya yang intensif,
sehingga hal tersebut menyebabkan integrasi lintas batas antar negara dalam bidang
perekonomian, aktivitas sosial budaya, dan lain sebagainya (Bertucci dan Alberti, 2001).
Globalisasi sendiri sudah ada sejak dahulu, yang di mana globalisasi dapat terjadi akibat adanya
pertukaran mulai dari sisi perekonomian, pembangunan, hingga sosial budaya. Sehingga
globalisasi sangat berpengaruh terhadap pembangunan kota dengan dibantu oleh kebijakan
smart city oleh pemerintahan.

Kemudian smart city juga dapat didefiniskan sebagai kota yang mampu menggunakan
SDM, modal sosial, dan infrastruktur telekomunikasi modern untuk mewujudkan pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan dan kualitas kehidupan yang tinggi, dengan manajemen sumber daya
yang bijaksana melalui pemerintahan berbasis partisipasi masyarakat (Caragliu, A., dkk dalam
Schaffers, 2010). Sehingga smart city secara sederhananya dikatakan bahwa kota yang cerdas
itu adalah kota yang mampu menggunakan SDM yang dimiliki dengan baik dan seimbang
dengan modal sosialnya yang nantinya suatu kota tersebut sudah mulai menggunakan teknologi

14
semacam alat komunikasi demi melakukan peningkatan kesejahteraan masyarakat
berkelanjutan yang tidak hanya dari sektor ekonomi dan memiliki kualitas hidup yang tinggi.

Gambar 2.4.1: Boyd Cohen’s Smart City Wheel (2012)

(Sumber: http://www.fastcoexist.com/1680538/what-exactly-is-asmart-city)

Griffinger dkk (2007) membagi smart city menjadi 6 dimensi, yaitu:

(1) Smart economy;


(2) Smart mobility;
(3) Smart environment;
(4) Smart people;
(5) Smart living; dan
(6) Smart governance

Smart living merupakan salah satu komponen smart city yang di mana berfokus pada
kualitas hidup yang baik untuk masyarakat global. Menurut Boyd Cohen (2012), di dalam
bagian smart city terdapat 6 komponen terkhusus smart living yang di dalamnya juga
menyangkut aspek kualitas kesehatan. Kualitas hidup tersebut bersifat dinamis, dalam artian
selalu berusaha memperbaiki dirinya sendiri (Hasibuan & Sulaiman, 2019). Seperti halnya
kehidupan harus mengalami perbaikan diri dan terjadi pembangunan berkelanjutan yang dapat
mewadahi kualitas hidup untuk lebih baik lagi. Sehingga di saat adanya pandemi virus corona
masyarakat global mengupayakan untuk memperbaiki kualitas hidup mereka terutama
kesehatan masing-masing pribadi.

Smart living sendiri memiliki beberapa komponen pelaku yang saling berkaitan atau
terhubung. Keluarga dan tetangga (People), caregiver dan dokter (Private) serta pengambil

15
kebijakan di lingkungan pemerintahan (Public) untuk membentuk Partnership (4P) dengan
tujuan holistik menciptakan lingkungan kesehatan yang cerdas dapat menjaga keamanan warga
negara, sehat dan bahagia dengan teknologi informasi yang canggih (IoT & AI World Summit
Eurasia, 2019). Maka dari itu, sangat penting untuk semua aktor bermain dalam mengatasi
permasalahan kesehatan selama pandemi. Sehingga pembangunan smart city tidak hanya
dilakukan oleh satu aktor saja dalam meningkatkan kualitas hidup, tetapi semua aktor harus
ikut berperan dalam pembangunan.

Smart Healthy City merupakan konsep dalam mewujudkan sistem kesehatan dengan
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sehingga dapat terintegrasi secara
online dan juga bisa berjalan secara efektif dan efisien (Juliansyah; dkk, 2020). Saat ini
perkotaan yang cerdas semakin memperbaiki segala aspek yang menjadi komponen smart city
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Teknologi informasi dan komunikasi
menjadi alat penunjang untuk mendapatkan fasilitas kesehatan dengan efektif dan efisien.
Seperti halnya pada pandemi COVID-19 yang di mana masyarakat membutuhkan fasilitas
pelayanan kesehatan yang cepat dan efektif. Selama masih belum ditemukan vaksin dan masih
kemungkinan besar protokol kesehatan maka penggunaan CCTV thermal serta aplikasi absen
berbasis app (smartphone) atau touchless (kartu RFID) akan banyak digunakan dulu
(Fankychristian, 2020). Sehingga smart healthy sendiri dapat diartikan kesehatan masyarakat
yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendapatkan fasilitas
kesehatan yang baik dengan efektif dan efisien.

A key benefit of leveraging Smart Health technology is the ability to collect a wide
range of relevant data passively, minimizing invasiveness and burden—an important
consideration for people coping with the stressors of advanced illness (Lebaron, 2019). Adanya
manfaat dari penggunaan teknologi dari smart healthy sendiri adalah bagaimana data-data
dapat dikumpulkan dengan mudah dan mempermudah masyarakat untuk menghadapi penyakit
yang mereka miliki. Maka dari itu, di masa pandemi penggunaan teknologi smart healthy
sangat bermanfaat untuk menghadapi virus corona yang saat ini penyebarannya makin luas dan
masyarakat mendapatkan datanya dengan mudah agar masyarakat dapat waspada terhadap
penularan virus corona.

Menurut Roseland (1997), konsep dasar dan prinsip-prinsip pembangunan kota yang
berkelanjutan harus dilakukan secara komprehensif dan holistik. Hal ini dilakukan agar dapat
memahami lingkungan kota sebagai kesatuan yang menyeluruh, dinamik dan kompleks antara

16
fisik lingkungan secara alami, buatan, atau dengan manusia. Kota yang berkelanjutan juga pada
dasarnya memiliki komunitas yang adil, sehat, dan produktif dengan didukung oleh lingkungan
yang kondusif. Kemudian untuk tercapainya suatu pembangunan kota yang berkelanjutan,
terdapat lima syarat khusus, yaitu (Haryadi dan Setiawan, 2002):

1. Pemerataan dalam distribusi keuntungan dan pertumbuhan ekonomi;


2. Akses terhadap kebutuhan dasar manusia;
3. Keadilan sosial dan hak-hak kemanusiaan;
4. Kepedulian dan integritas lingkungan; dan
5. Kepedulian terhadap adanya perubahan sepanjang ruang dan waktu

Selain itu terdapat kompetensi pendukung untuk mengantarkan masyarakat agar


mampu memikirkan, mencari dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan sosial
(Adi, 2003). Berikut beberapa kompetensinya:

1. Mampu mengidentifikasi masalah dan kebutuhan komunitas,


2. Mampu mencapai kesempatan tentang sasaran yang hendak dicapai dalam skala
prioritas,
3. Mampu menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai sasaran yang telah
disetujui, dan
4. Mampu bekerja sama dalam bertindak mencapai tujuan.

Kemudian menurut Shardlow (1998) pengertian dari pemberdayaan membahas


mengenai bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan
mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan
mereka (Adi, 2008). Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, untuk mencapai pembangunan
kota dan komunitas yang berkelanjutan dibutuhkan hal-hal yang harus dilakukan secara
komperehensif dan holistic. Di mana nantinya pembangunan kota dan komunitas pada masa
pandemi COVID-19 dapat bekerja dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan kesehatan
masyarakat sendiri. Sehingga pembangunan kota dan komunitas ini dapat menjadikan
kesehatan pada kota-kota di Indonesia menjadi smart healthy.

Pada masa pandemi virus corona ini tidak menghambat jalannya pembangunan
berkelanjutan pada perkotaan untuk mencapai status smart healthy. Hal ini dikarenakan dengan
adanya pandemi ini dapat membuktikan bahwa suatu kota yang cerdas akan melakukan yang
terbaik untuk masyarakatnya agar mendapatkan smart healthy. Kesehatan masyarakat sendiri
merupakan indikator dari kualitas hidup masyarakat yang akan sangat dipengaruhi oleh kondisi

17
lingkungan yang ada pada suatu wilayah. Seperti yang sudah dijelaskan perkotaan dalam suatu
negara akan mengalami kemajuan apabila salah satu indikator seperti kesejahteraan masyarakat
terwujud dalam bentuk kualitas hidup masyarakat. Menurut UNICEF (1993) dalam jurnal
Aditianata (2015) ukuran dari kesejahteraan suatu masyarakat dalam wujud kualitas manusia,
antara lain meliputi:

1. Tingkat Kesehatan, Gizi Dan Pendidikan;


2. Tingkat Memperoleh Pendapatan Secara Adil;
3. Tingkat Kemampuan Untuk Berperan Secara Aktif Dalam Pembuatan
Keputusan Yang Berdampak Pada Kehidupannya;
4. Tingkat Pengakuan Atas Hak Sipil Dan Kebebasan Berpolitik;
5. Tingkat Kepedulian Kepada Golongan Yang Lemah.
6. Tingkat Perlindungan Bagi Pertumbuhan Anak-Anak.
Menurut Hendrik L. Blum (1974), status kesehatan masyarakat sangat bergantung pada
4 komponen besar yakni lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik (keturunan)
(Aditianata, 2015). Seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat tidak akan bisa hidup tanpa
lingkungan, karena masyarakat sendiri merupakan bagian dari lingkungan. Kemudian
lingkungan sendiri dapat dipengaruhi oleh perilaku manusia dan begitu sebaliknya. Pada
perilaku manusia yang tidak bijak terhadap lingkungan sendiri dapat menyebabkan penurunan
kualitas hidup manusia sendiri yang nantinya akan membutuhkan pelayanan kesehatan untuk
mendapatkan kesehatan kembali. Keberhasilan pembangunan suatu kota dapat dilihat dari
pemberian dalam pelayanan kesehatan masyarakat yang baik dan merata.

2.5 Coronavirus Diseas 19 (COVID-19)

Corona Virus Disease 19 (Covid-19) ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO pada
tanggal 9 Maret 2020. Pandemi merupakan penyakit yang menyebar luas ke seluruh dunia,
Covid-19 dianggap sebagai pandemi bukan karena tingkat ganas virus tersebut, melainkan
penyebarannya yang meluas dan cepat (KPCPEN, 2021). Covid-19 menjadi fokus utama
negara-negara di dunia dan juga organisasi internasional yang bergerak dalam bidang
kesehatan, sehingga masuk ke dalam isu global. Pandemi Covid-19 masuk ke dalam agenda
internasional dalam menangani ataupun mengatasinya. Hal ini disebabkan adanya penyebaran
virus corona baru atau novel coronavirus (nCoV). nCov adalah jenis virus corona baru yang
menimbulkan penyakit bernama Covid-19 (KPCPEN, 2020). Globalisasi pada dewasa inilah

18
yang menyebabkan peningkatan intensitas dalam interaksi dan pertukaran penduduk
antarnegara, pergerakan yang cepat dan masif dapat mengakibatkan risiko penyebaran penyakit
bagi kondisi kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Hal tersebut akan bertambah risiko jika
perpindahan penduduk dilakukan secara irregular (Maryadi, Elizabeth Diana Dewi, Tri Aryadi,
Awidya Santikajaya, Widya Fitri, Robertus Aji Putro, 2018).

Gejala dari orang yang terinfeksi Covid-19 akan mengalami penyakit pada
pernapasannya mulai dari yang ringan hingga sedang, lalu nantinya akan sembuh tanpa
melakukan perawatan khusus. Virus ini akan menjadi serius ketika orang yang terinfeksi
memiliki penyakit kronis seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit pernapasan
kronis, dan kanker. Kemudian diketahui bahwa penyakit Coronavirus (Covid-19) adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh virus corona yang baru ditemukan (WHO, 2020).
Terdapat beberapa hal untuk mencegah dan memperlambat penularan dengan mengetahui apa
itu virus Covid-19, penyakit yang muncul akibat virus tersebut, dan kerja penyebarannya
seperti apa. Virus Covid-19 menyebar terutama melalui tetesan air liur atau cairan dari hidung
saat orang yang terinfeksi batuk atau bersin, jadi Anda juga harus mempraktikkan etika
pernapasan (misalnya, dengan batuk ke siku yang tertekuk) (WHO, 2020). Terdapat beberapa
jenis baru dari Covid-19, yaitu B.117 yang berasal dari Inggris, lalu B.1351 yang berasal dari
Afrika Selatan, dan varian mutase ganda B.1617 yang berasal dari India Kementerian
Kesehetan, 2021).

Virus ini menyebar ke seluruh negara, termasuk Indonesia. Hal ini terjadi di Indonesia
akibat adanya warga negara asing atau warga negara Indonesia yang saling lintas negara
dengan tujuan untuk berkunjung ataupun adanya kepentingan pekerjaan yang mengharuskan
untuk lintas negara (perjalanan global) atau kota (KPCPEN, 2021). Awal Maret 2020, negara
Indonesia mendapatkan kasus pertama terkait penyebaran Covid-19 di dunia. Banyak negara
yang menggunakan system lockdown untuk memutus mata rantai penyebaran virus, sedangkan
Indonesia untuk beberapa daerah dengan masif melakukan lockdown dan beberapa daerah
lainnya menerapkan physical distancing, hal ini dikarenakan pada awal Covid-19 mulai masuk
ke Indonesia, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo berpikir ada cara lain untuk memutus
mata rantai Covid-19 dengan asumsi setiap negara memiliki karakter, budaya, kedisiplinan,
dan keputusan yang berbeda-beda, sehingga pada awal pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia
masih belum terlalu ketat. Akan tetapi, awal masuknya Covid-19 sudah ditetapkan sebagai
bencana wabah penyakit akibat virus corona oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) (CNN Indonesia, 2020).

19
Penerapan protokol kesehatan yang di himbau oleh WHO menjadi suatu kebudayaan
baru bagi mayoritas masyarakat global agar terhindar dari virus tersebut. Kemudian untuk
menjaga kesehatan masing-masing pribadi masyarakat harus mulai melatih kebiasaan
menggunakan masker, karena masker dapat mencegah masyarakat agar tidak menularkan
percikan air liur saat bersin. Sehingga masyarakat harus cerdas dalam menangani kesehatannya
dimulai dari diri mereka sendiri. Kemudian juga dianjurkan jika anda mengalami kesulitan
bernapas, segera hubungi penyedia layanan kesehatan, anda hubungi terlebih dahulu jika
memungkinkan (WHO, 2020).

2.6 Public Safety Center 119

Layanan 119 merupakan program yang dicetuskan oleh pemerintah Indonesia.


Peluncuran dari layanan 119 berjalan sesuai agenda ke-5 Nawa Cita, yang membahas mengenai
peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Selama keberlangsungan agenda ke-5 Nawa
Cita, Kementerian Kesehatan selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik dalam rangka
mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat. Salah satu cara Kementerian Kesehatan yaitu
dengan mengunakan SPGDT (Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu) (Musyarofah,
2019). Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya
bencana alam. Hal ini menjadikan adanya peraturan pemerintah yang mengatur tentang Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). SPGDT merupakan sistem yang
menangani kasus-kasus bencana alam maupun non-alam yang bekerjasama dengan berbagai
unit kerja (multi sektor). Perkembangan SPGDT memadukan penanganan gawat darurat mulai
dari tingkat pra rumah sakit hingga tingkat rumah sakit dan rujukan antara rumah sakit dengan
pendekatan lintas program dan multisektoral, serta penanggulangan gawat darurat yang
menekanan respon cepat dan tepat (Dinas Kesehatan Kota Salatiga, 2015).

Layanan 119 ini adalah program kolaborasi nasional antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah di Indonesia, yang di mana terdapat integrasi layanan antara NCC (National
Command Center) yang keberadaannya ada pada Kantor Kementerian Kesehatan Jakarta dan
PSC (Public Safety Center) yang keberadaannya tersebar di setiap Kabupaten/Kota
(Musyarofah, 2019). Pusat Pelayanan Keselamatan Terpadu/Public Safety Center yang
selanjutnya disebut PSC adalah pusat pelayanan yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam
hal-hal yang berhubungan dengan kegawatdaruratan yang berada di kabupaten/kota yang
merupakan ujung tombak pelayanan untuk mendapatkan respon cepat (Kementerian

20
Kesehatan, 2020). Sesuai dengan kegunaannya, PSC-119 ini kerap digunakan sebagai
pelayanan kesehatan masyarakat yang dapat dipanggil oleh semua masyarakat. Seperti yang
dijelaskan di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/413/2020 Bab 2 Pasal 25 ayat 1, bahwa sistem transportasi Gawat Darurat
dapat diselenggarakan oleh PSC dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini data diartikan
bahwa PSC 119 merupakan pelayanan kesehatan yang sudah diatur di dalam peraturan negara
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang kesehatan. Selain itu dalam Bab 5 Pasal
29 ayat 1 menjelaskan bahwa setiap PSC harus melakukan pencatatan dan pelaporan
penyelenggaraan SPGDT (Kementerian Kesehatan, 2020).

Public Safety Center (PSC) 119 merupakan layanan kegawatdaruratan medis yang
pelayanannya melalui nomor 119 yang dapat diakses secara luas dan gratis oleh masyarakat
melalui telepon seluler maupun telepon rumah. Layanan kegawatdaruratan ini merupakan
integrasi antara Pemerintah Pusat melalui Pusat Komando Nasional 119 yang berlokasi di
Kementerian Kesehatan dengan Pemerintah Daerah melalui Public Safety Center (PSC) yang
ada di tiap Kabupaten/Kota (Yanuar, 2019). PSC merupakan amanah dari instruksi Presiden
No.4 Tahun 2013, dimana seluruh kabupaten / kota di Indonesia harus membentuk PSC
(Kementerian Kesehatan, 2016). Pelayanan kesehatan ini dibuat untuk terus diluaskan hingga
keseluruh daerah kota maupun kabupaten agar dapat memiliki PSC yang di mana fungsinya
sebagai pusat koordinasi layanan kegawatdaruratan pada suatu daerah. Pelayanan PSC yang
dapat digunakan oleh masyarakat adalah (Kementerian Kesehatan, 2016):

1) Penanganan kegawatdaruratan dengan menggunakan protokol;


2) Kebutuhan informasi ruang di rumah sakit;
3) Informasi fasilitas kesehatan terdekat; dan
4) Informasi ambulans

NCC yang akan menggabungkan dan mengkoordinasikan semua PSC 119 yang ada di
daerah karena semua panggilan 119 akan masuk ke NCC. Untuk daerah yang sudah memiliki
PSC 119 panggilan akan dijawab langsung melalui PSC 119 didaerah tersebut, sedangkan bagi
daerah yang belum memiliki PSC 119, sementara waktu akan coba dibantu melalui operator
yang ada di NCC (Nurmalia, 2020).

Alur 119 dimulai saat NCC menerima panggilan dari masyarakat di seluruh Indonesia
selama 24 jam. Telepon yang bersifat gawat darurat akan diteruskan ke PSC Kabupaten/Kota
yang selanjutnya akan menangani sekaligus menindaklanjuti laporan gawat darurat yang

21
dibutuhkan. Sedangkan telepon yang bersifat pertanyaan atau kebutuhan informasi kesehatan
lainnya dan pengaduan kesehatan akan diteruskan ke nomor Halo Kemkes (1500-567)
(Kementerian Kesehatan, 2016). PSC merupakan penangan pertama kegawatdaruratan yang
membantu memperbaiki pelayanan pra Rumah Sakit dengan menjamin respon yang cepat dan
tepat untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan, sebelum dirujuk ke Rumah Sakit
yang dituju. Adanya PSC menjadi keuntungan tersendiri bagi Dinas Kesehatan di seluruh
Indonesia, hal ini dikarenakan PSC dapat membangun respons masyarakat pada pelayanan
kesehatan dalam keadaan darurat (Dinas Kesehatan Kota Salatiga, 2015). Jenis-jenis
kegawatdaruratan yang ditangani oleh PSC adalah bencana alam maupun non-alam,
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kebakaran, dan lainnya dengan menjalin kerjasama
bersama tempat layanan kesehatan darurat, kepolisian, dan lain-lain (Dinas Kesehatan Kota
Salatiga, 2015).

2.7 Penelitian Terdahulu

Pada penelitian Endang Puji Astutik dan Gunartin dengan judul Analisis kota Jakarta
Sebagai smart city dan Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Menuju Masyarakat
Madani lebih terfokus pada penggunaan teknologi dari keseluruhan indikator smart city
ketimbang terfokus pada satu sektor. Selain itu, penelitian ini juga melihat seberapa efektif
penggunaan tekonologi pada masing-masing indikator smart city. Kemudian penelitinya juga
melihat kelebihan dan kekurangan penggunaan teknologi pada smart city. Lalu lokasi dan
waktu yang diteliti oleh peneliti terdahulu juga berbeda, kesamaannya hanya pada penggunaan
konsep smart city sebagai konsep yang akan diteliti (Astutik, 2019).

Selanjutnya penelitian terdahulu yang kedua dengan judul Analisis Penguatan


Sumberdaya Daerah dalam Pelaksanaan Smart Governance di Kota Balikpapan, Kalimantan
Timur yang diteliti oleh Muh. Ilham, Irfan Setiawan, dan M. Nawawi. Pada penelitian
terdahulu kedua ini lebih menjelaskan mengenai fokus analisa smart governance, sedangkan
penelitian ini lebih terfokus pada smart health. Kemudian lokasi yang diteliti pun juga berbeda,
penelitian terdahulu kedua ini meneliti kota Balikpapan sebagai objek penelitiannya sedangkan
penelitian ini meneliti kota Salatiga. Selain itu, waktu penelitian juga berbeda. Kesamaan yang
dimiliki penelitian ini adalah konsep smart city sebagai basis penelitian ini (Ilham; dkk, 2019).

Pada penelitian terdahulu yang ketiga berjudul Perancangan E-health Kota Cerdas
(Studi Kasus : Kota Manado) diteliti oleh Jeklly H. Sambuaga, Yaulie .Deo. Y. Rindengan, dan

22
Alwin .M. Sambul. Penelitian tersebut membahas mengenai kota cerdas dan terfokus pada
indikator kesehatannya terutama bagian teknologinya. Kemudian penelitian tersebut hanya
membahas mengenai perancangan e-health. Studi kasus penelitian terdahulu ketiga ini
menggunakan Kota Manado sebagai tempat yang diteliti (Sambuaga; dkk, 2017).

Penelitian selanjutnya adalah milik Adam Dwi Julianysah, dkk dengan judul
Pemutakhiran Kebijakan Smart Health City Secara Kolaboratif Sebagai Upaya Pelaksanaan
Revolusi Mental: Studi Di Kota Depok. Penelitian ini membahas mengenai kebijakan
pemerintah depok yaitu smart health city yang di mana memiliki tujuan untuk meningkatkan
kualitas kesehatan masyarakat Depok. Pada penelitian ini sendiri lebih condong ke arah
bagaimana kebijakan pemerintah tersebut dilaksanakan oleh semua aktor di Kota Depok agar
mencapai tujuan untuk menjadi smart healthy tersebut. Sehingga kesamaan dari penelitian ini
adalah mengenai pembangunan kota yang melihat pada peningkatan kualitas kesehatan
(Juliansyah; dkk, 2020).

Kemudian penelitian terdahulu yang terakhir adalah Peranan Institusi dalam


Mewujudkan Pertumbuhan yang Berkualitas: Sebuah Pendekatan Kapabilitas (Capability
Approach) yang diteliti oleh Dzulfian Syafrian dan Imaduddin Abdullah. Penelitian ini
membahas mengenai bagaiman peran aktor institusi dalam peningkatan kualitas ekonomi di
Indonesia. Akan tetapi, penelitian ini lebih condong kepada kebijakan pemerintah yang
mengatur fungsi institusi agar tidak keluar dari jalur. Hal ini terlihat dari saran peneliti
mengenai kebijakan pemerintah untuk institusi demi mendorong instrumental freedom di
Indonesia. Penelitian ini lebih terfokus pada sektor perekonomian daripada membahas sektor
lainnya yang menjadi permasalahan di tengah masyarakat Indonesia (Syafrian, 2012).

2.8 Kerangka Pemikiran

Pandemi Covid-19 saat ini merupakan isu global yang menjadi fokus utama bagi
masyarakat maupun pemerintahan di setiap negara saat ini. Hal ini yang mejadikan penelitian
ini melihat dari bagaimana pemerintahan pusat maupun daerah membangun sebuah komunitas
yang sehat dalam menghadapi pandemi Covid-19. Pemerintah mengupayakan pembangunan
komunitas yang sehat ini selaras dengan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih
baik lagi. Selain pembangunan tersebut dilakukan oleh pemerintah, biasanya pembangunan
komunitas juga berasal dari aktor institusional. Kemudian teori neo-institutionalism (historical
institutionalism) menjadi pisau bedah untuk melihat ketangguhan masyarakat kota Salatiga di

23
tengah pandemi Covid-19. Sebelumnya peneliti ingin memperlihatkan komponen-komponen
yang terdapat dalam smart city salah satunya adalah smart living yang berkenaan langsung
dengan smart healthy. Smart living tersebut akan dilihat menggunakan peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 yang nantinya melibatkan PSC 119
sebagai aktor institusional yang dapat mewujudkan smart healthy untuk membangun
ketangguhan masyarakat kota di tengah pandemi Covid-19.

24
Pandemi
Covid-19

Sustainable Cities and Good Health and Well-


Communities Being

(1) Smart economy; Neo-Institutionalism


(Historical Institutionalism)
(2) Smart mobility;
(3) Smart environment; Smart City

(4) Smart people;


(5) Smart living; dan
(6) Smart governance
Smart Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Living Indonesia Nomor 19 Tahun 2016

Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor
Smart Healthy PSC 119 HK.01.07/MENKES/413/2020

Ketangguhan Masyarakat Kota di


Tengah Pandemi

25

Anda mungkin juga menyukai