Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TEORI KELEMBAGAAN BARU

(NEW INSTITUSIONALISM THEORY)

A. Teori Kelembagaan (Institutionalism) dan Teori Kelembagaan Baru (New


Institutionalism)

Frederickson dan Smith (2003, h.71) Secara sederhana menggambarkan bahwa teori
kelembagaan, merupakan teori yang melihat organisasi sebagai pembatas sosial yang
dibentuk oleh seperangkat aturan,peran, norma dan harapan yang mengatur
seseorang/kelompok dalam berperilaku dan menentukan pilihan. Berikut ini beberapa
pendapat ahli lain mengenai apa itu teori institusional bagaimana dikutip oleh Fredickson
dan Smith (2003, h.68-71):

“The beliefs, paradigms, codes, cultures and knowledge that support rules and
routines”
(Kepercayaan-kepercayaan, paradigma-paradigma, kode-kode, budaya-budaya dan
pengetahuan yang mendukung aturan-aturan dan rutinitas-rutinitas) (March dsn Olson
1989).

“…Institutionalism also includes core ideas about contemporary public


administration result, performance, outcomes and purposefulness-concepts of less
interest to organizationt theorists”
(Kelembagaan juga meliputi ide-ide utama tentang administrasi publik kontemporer
hasil, kinerja, outcome dan tujuan konsep-konsep yang kurang diminati oleh ahli-ahli
teori organisasi) (Powell and DiMaggio, 1991)

“Institutionalism, then, could be said to account for how institutions behave and how
they perform”
(Kelembagaan dapat pula didefinisikan sebagaipertanggungjawaban tentang
bagaimana institusi-institusi bekerja dan bagaimana mereka menampilkan kinerjanya)
(Lynn 1996)
“Institutionalism also combines the structural or organizational elements of
institutions and their managerial and leadeship characteristics”
(Kelembagaan juga mengkombinasikan elemen-elemen struktural atau organisasional
dari institusi-institusi dan karakteristik-karakteristik kepemimpinan dan manajerialnya
(Wilson, 1999; Rainey and Steinbauer 1999).

Perbedaan antara apa yang dimakasud sebagai ‘organisasi’ dan ‘institusi’/’lembaga’,


sampai saat ini masih menjadi perdebatan dari para pakar administrasi dan organisasi.
Richard Scott (2001) Frederickson &Smith (2003, h.74) menyebutkan bahwa dalam
konteks sosiologi, institusi didefinisikan sebagai “cognitive, normative dan regulatory
stuctures serta aktivitas yang memberikan stabilitas pada perilaku sosial”.Institusi dalam
hal ini direprsentasikan kedalam tiga kata-regulative, normative dan cognitive. Perbedaan
institusi dan organisasi terletak pada penekanan berbeda yang diberikan oleh keduanya
yaitu pada struktur formal dan pada perilaku kolektif yang kemudian dipahami memberikan
pengaruh yang besar pada organisasi formal. Dalam bukunya Leadership in administration,
Selznick (1996) memberikan gambaran mengenai perbedaan tegas antara institusi dan
organisasi.

Sebagai sebuah organisasi yang telah ‘terinstitusionalisasi’, organisasi cenderung


untuk mengambil karakter yang spesifik,dan untuk mencapai kompetensi yang dibutuhkan,
organisasi tersebut selalu melakukan pembelajaran untuk membangun kapasitas yang
dimilikinya. Memonitor proses ‘institusionalisasi’ dari semula yang hanya berupa
organisasi merupakan tanggung jawab utama seorang pemimpin dalam institusi.

Steinmo(2001, h.1) berpendapat bahwa dalam konteks yang lebih jauh, institusi
secara sederhana dapat disebut sebagai rule. Sebagian berupa aturan formal (seperi dalam
teori institusional) sebagian lainnya bersifat informal (sebagai norma yang bersifat
kultural). Teori institusional telah muncul sebagai sebuah sudut pandang yang kuat untuk
memahami kebijakan, sebagaimana juga untuk memahami politik dan perilaku sosial dalam
lingkup yang lebih luas lagi. Institusi dalam perspektif ini, tidak hanya dalam ruang lingkup
organisasi politik tetapi juga merupakan agregasi (proses secara keseluruhan) dari norma,
nilai, aturan dan praktik yang membentuk atau menghambat perilaku seseorang. Secara
khusus, teori ini menggambarkan bagaimana individu-individu yang dalam perspektif teori
yang lain seperti teori pilihan publik diasumsikan menjadi aktor otonom. Namun pada
kenyataannya perilaku mereka dibentuk (atau mungkin dihambat) oleh institusi.

Setelah lama eksis, teori institusional mendapatkan kritik dari para sarjana. Menurut
mereka, ketika membahas tentang teori institusional, ruang lingkup yang gunakan tidak
hanya berasal dari dalam institusi, misalnya dengan hanya membahas soal nilai, norma dan
kepercayaan didalam institusi. Ada ruang lingkup lebih besar lagi, yang harusnya juga
menjadi pokok bahasan dari teori institusional yang kemudian disebut sebagai ‘new
institutionalism (kelembagaan baru)’.

Beberapa dekade yang lalu argumentasi mengenai institusionalisme baru pertama kali
diformulasikan. Orientasi baru mengenai teori institusional menyarankan agar institusi
tidak lagi hanya menggambarkan struktur organisasi formal yang direflesikan hanya dalam
bentuk kebutuhan teknis dan sumber daya, tetapi juga dibentuk berdasarkan pemaksaan
institusi, seperti misalnya rasionalitas, legitimasi pengetahuan melalui sistem pendidikan
melalui profesi, opini publik dan hukum. Inti ide yang ingin dibawa oleh teori institusional
baru adalah bahwa organisasi sangat melekat dengan kondisi sosial dan lingkungan,
sehingga menyarankan agar praktik dan struktur organisasi harus merefleksikan responya
atas aturan dan nilai yang dibangun berdasarkan lingkungan yang lebih luas lagi.

Dalam karyanya yang banyak dijadikan rujukan oleh berbagai penulis lainnya, Di
Maggio & Powell (1993, h. 150) menyatakan bahwa sebuah organisasi, akan
mempertahankan eksistensinya terhadap tekanan-tekanan dari luar dimana bentuk
pertahanan yang dilakukan adalah adanya penyesuaian diri dengan melakukan proses
perubahan, yaitu apa yang disebutnya sebagai coercive isomorphism, mimetic isomorphism
& normative isomorphism. Ada tiga proses bagaimana sebuah organisasi menyesuaikan
diri. Pertama, coercive isomorphism yaitu proses penyesuaian menuju kesamaan dengan
cara ‘pemaksaan’. Tekanan datang dari pengaruh politik dan masalah legitimasi. Misalnya,
tekanan resmi datang dari aturan pemerintah. Institusi harus menyesuaikan diri terhadap
aturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tersebut. Kedua, mimetic isomorphism yaitu
proses dimana organisasi melakukan peniruan terhadap organisasi lain yang berhasil dalam
satu bidang. Dalam mimetic isomorphism perubahan dalam institusi terjadi karena adanya
keinginan untuk meniru institusi yang sukses pada bidang yang sejenis. Ketiga, normative
isomorphism sering diasosiasikan dengan profesionalisasi dan tekanan normatif yang
muncul di bidang tertentu yang mendorong dan menyebarkan kepercayaan normatif itu.
Ketika profesionalisme meningkat maka tekanan normatif untuk melakukan perubahan juga
akan meningkat.
Lebih jauh lagi, penggunaan ‘new’ dalam teori ‘institusionalism’ merupakan
rekonsepsi dari struktur formal, disebut Selznick sebagai ‘thickly institutionalized’
(Selznick, 1996). Daripada merupakan produk dari struktur formal, organisasi harusnya
dipandang sebagai produk yang adaptif dan responsif terhadap pengaruh lingkungan.

Kondisi-kondisi tersebut, oleh para sarjana, dianggap belum diakomodir dalam teori
institusionalisme ‘lama’. Padahal kondisi dan situasi tersebut terus berkembang dan
menuntut institusi untuk beradaptasi. Pendekatan institusionalisme ‘lama’ yang
menekankan pada pendekatan formal legal, dianggap tidak lagi cocok dengan
perkembangan kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh sebuah institusi.

Selain itu, untuk merespon perkembangan new institutionalism ini muncul dua aliran
utama terhadap analisis mengenai institusionalisme baru, yaitu 1) pendekatan pilihan
rasional dalam institusi; 2) sedangkan yang lainnya apa yang disebut sebagai sejarah
kelembagaan (historical institutionalism) (Bell, 2001, h.3). Pendekatan pilihan rasional
(publik) dalam institusi menekankan bahwa, sebagai sebuah bagian dari institusi, aktor
tidak hanya akan dipengaruhi oleh institusi, tetapi bisa jadi sebaliknya, aktor-aktor dalam
institusilah yang akan mempengaruhi institusi. Pendekatan pilihan rasional dalam institusi
berargumentasi bahwa, perubahan institusi merupakan upaya yang dilakukan oleh para
aktor dalam institusi untuk memenuhi kepentingannya sendiri ( self untility maximizers),
bukan kepentingan institusi.

Sedangkan pendekatan historical institusionalism dalam teori institusionalisme


baru berusaha menekankan agar institusi mampu untuk tidak memberikan banyak
pilihan kepada aktor untuk bertindak sesuai keinginan institusi. Ruang gerak pada
aktor ini dibatasi. Para aktor hanya diberikan kesempatan untuk memilih sesuai
dengan kondisi yang sudah ditentukan oleh institusi. Apabila pertanyaan inti dari
pendekatan pilihan rasional adalah, ‘bagaimana aku bisa memenuhi kepentingan
pribadiku dalam situasi semacam ini?’, maka pertanyaan inti dari perspektif historical
institutionalism adalah ‘bagaimana respon yang tepat terhadap situasi yang berada
pada posisi dan tanggung jawab yang aku miliki ?’.

B. Pilar-Pilar Teori Institusionalise Baru

Scott dalam karyanya “Contributing to a Research theoritical Program” meyakini bahwa


setidknya ada tiga pilar utama dalam teori institusionalisme baru (Scott, 2004, h.8)

I postulated that institutions are variously comprised of “cultural-cognitive,


normative and regulative elements that, together with associated activities and
resources, provide stability and meaning to social life

Saya meyakini bahwa institusi terdiri dari elemen-elemen regulatif, normatif, dan
kultural kognitif yang bersama-sama aktivitas dan sumber daya yang dimilikinya
memberikan stabilitas dan pemaknaan terhadap kehidupan sosial.

Meskipun para sarjana teori kelembagaan banyak yang memiliki perbedaan pendapat
tentang pilar-pilar teori institusional, namun para sarjana bersepakat bahwa teori
institusional setidaknya memiliki dua pilar utama, yaitu sistem aturan (rule) -regulatif- dan
budaya (cultural). Scott (2004) juga mengakui bahwa peran pilar normatif dan regulatif
bahkan bisa menjadi faktor yang memiliki dampak terbesar bagi institusi. Dalam berbagai
penelitian yang pernah dilakukan sangat memperhitungkan dampak dari institusi
pemerintah, khususnya legislasi dan pengadilan (keduanya merupakan agen regulatif
utama), teradap struktur dan aktivitas organisasi. Selain itu kekuatan aspek agen normatif,
seprti misalnya asosiasi profesional yang sangat berpengaruh untuk memebentuk
organisasi.

Selain itu, konteks dimana institusi berada juga menjadi penting untuk diperhatikan.
Tidak ada satupun institusi memiliki kesamaan pilar yang paling berpengaruh terhadap
institusi. Meskipun seluruh institusi merupakan gabungan dari banyak kombinasi. Para
sarjana teori institusional kebanyakan berpendapat bahwa rules (aturan), norms (norma)
dan pertukaran nilai (shared beliefs) berdampak kepada bentuk institusi. Perbandingan
mengenai institusi juga tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai lingkungan
institusi, sebagaimana hal ini juga menjadi titik tekan dari teori new institutionalism.
Lingkungan institusi bisa jadi akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap
institusi.
Dalam hal ini, yang dimaksud dalam lingkungan institusi adalah lingkungan eksternal
institusi yaitu institusi-institusi lain di luar institusi dan lingkungan internal institusi yaitu
individu-individu yang terdapat dalam institusi. Pertama, harus memahami bahwa
lingkungan institusi tidak monolitis (berdiri sendiri), tetapi berbeda, dan bahkan saling
bertentangan. Lembaga yang ada beraneka ragam-bahkan memang disengaja untuk
menciptakan check and balance. Pada akhirnya pilar-pilar institusi-regulatif, normatif dan
kultural-kognitif bisa jadi tidak saling menguatkan, justru saling merusak dan melemahkan.
Kedua, ketika memahami bahwa aktor dan individu yang dalam institusi dibentuk, maka
sangat penting untuk memperkokoh potensi mereka yang berbeda-beda untuk
merekonstruksi aturan, norma dan nilai yang akan mengarahkan, dan bukan mendikte
perilaku mereka.

Masing-masing institusi memiliki karakteristik dan ciri yang berbeda, mengenai


manakah dari ketiga aspek tersebut yang merupakan ciri utama dari institusi. Ini
dikarenakan masing-masing institusi juga memiliki “alam” yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Semakin lingkungan organisasi beranekaragam, baik itu dalam hal suku, budaya,
ras, agama ataupun yang lainnya, maka akan semakin memberikan pengaruh yang besar
terhadap internal institusi. Ini kemudian akan berdampak pada anggota institusi yang
cenderung berbeda (beranekaragam) antara satu dengan yang lainnya.

C. Perubahan Dalam Teori Kelembagaan Baru (New Institutionalism)

Perubahan merupakan salah satu prinsip mendasar dalam teori kelembagaan baru. Ini
artinya teori kelembagaab baru berusaha mengakomodir berbagai faktor dalam perubahan
yang terjadi dalam institusi. Tiga jenis utama perubahan dari teori kelembagaan biasanya
diidentifikasi sebagai berikut: 1) ekonomi/pilihan rasional; 2) institusionalisme sejarah
(historical institutionalism) dan 3) budaya organisasi. Namun Peters dan Pierre
memberikan empat perspektif perubahan, yaitu: 1) perubahan dalam perspektif normatif; 2)
perubahan dalam perspektif rational/public choise dalam institusi; 3) perubahan dalam
perspektif sejarah institusi dan 4) perubahan dalam perspektif sosiologis. Berikut ini adalah
beberapa perspektif perubahan dalam institusi (Peters & Pierre, 1998, h.568-572):

1. Perubahan dalam perspektif normatif.

Teori ini berasal dari penjelasan mengenai pentingnya norma dan aturan dalam
membentuk perilaku individu. Secara khusus March & Olsen berpendapat bahwa
tindakan ditentukan oleh ‘kesesuaian logika’ yang dibentuk oleh nilai-nilai
kelembagaan. Dalam versi mereka, teori institusional dikembangkan sebagai reaksi
terhadap intrumentalisme dan individualisme yang dominan dalam ilmu politik,
seperti teori rational/public choice. Oleh karena itu, lembaga akan bereaksi terhadap
perubahan di lingkungan mereka atau untuk perubahan dalam setiap individu untuk
mendefinisikan logika yang sesuai dengan lembaga.

2. Perubahan dalam perspektif pilihan rasional/publik (Rational/public choice) dalam


institusi.

Ide dasar dari perspektif ini menyatakan bahwa sebenarnya institusi merupakan
produk dari aktor politik dan produk dari pertambahan nilai. Pilihan yang dibuat
dalam institusi merupakan usaha yang dilakukan oleh pendiri/anggota institusi
untuk keuntungan dirinya sendiri. Rational/public choice mempertimbangkan
kelembagaan dilihat dari perspektif politik, salah satu yang terpenting adalah
bagaimana pejabat publik yang terpili, mongontrol institusi publik? Pertanyaan ini
merupakan manifestasi dari permasalahan tentang prinsipal agen (principal-agent)
dimana principal merupakan merupakan legislator atau eksekutif yang berasal dari
kalangan politik dan agent merupakan organisasi birokrat. Tugas dari principal
adalah memastikan bahwa agen telah melaksanakan hukum dan aturan yang hanya
diinginkan oleh principal. Lebih lanjut mengenai teori rational/public choice dan
principal-agent akan dibahas pada bagian selanjutnya.

3. Perubahan dalam perspektif sejarah institusi (historical institutionalism)

Dalam pendekatan ini, institusi melingkupi seperangkat norma yang dominan yang
telah ada sejak lama. Seringkali, norma-norma ini bahakan bertentangan dengan
sistem baru yang ingin dibentuk. Nilai-nilai inilah yang kemudian disebut sebagai
nilai historis. Secara teoritik ini sebenarnya mirip dengan pendekatan normatif,
namun dalam pendekatan ini lebih ditekankan pada aspek sejarah tentang
terbentuknya nilai.

4. Perubahan dalam perspektif sosiologis


Inti dari teori ini sebagian besar berasal dari teori organisasi dan cenderung melihat
organisasi sebagai entitas yang dapat saling dipertukarkan. Memiliki akar yang
sama dengan karya-karya yang berasal dari disiplin ilmu sosiologi pendekatan ini
memberikan penekanan mengenai hubungan antara institusi dengan lingkungan.
Peran dari masyarakat khususnya sangat penting sebagai sarana untuk merubah
organisasi;setidaknya bagi organisasi yang menyentuh dan berhubungan langsung
dengan masyarakat.

Masih berdasarkan argumentasi Pieters & Pierre (1998). Selain hal tersebut terdapat
variasi lain mengenai aspek perubahan dalam teori kelembagaan baru. Masih menurut
Pieters & Pierre berdasarkan prosesnya (apakah bersifat berkelanjutan (continuos) ataukah
tiba-tiba (discrete) dan pengungkit perubahannya (apakah bersifat dari dalam internal atau
dari luar eksternal institusi). Setidaknya ada beberapa jenis model dalam perubahan
institusi:
1) Contingent Model. Model ini memiliki kemiripan dengan contingency model
yang ada dalam teori organisasi, yang menyarankan bahwa perubahan dalam
organisasi, didasari oleh kebutuhan organisasi agar dapat menciptakan
harmonisasi dengan lingkungan (external) institusi. Dalam contingent model
perubahan institusi berlangsung secara berkelanjutan (continous) bersamaan
dengan berubahnya lingkungan.
2) Disruptive Model. Model ini berbanding terbalik dengan contingent model
dalam hal proses terjadinya perubahan lingkungan (external) yang
berlangsung dengan tiba-tiba (discrete). Sebagai contoh misalnya kebijakan
rezim pemerintah saat ini yang mengubah seluruh kebijakan dan berbeda
dengan kebijakan yang dibuat oleh rezim sebelumnya.

Keduanya, contingent dan disruptive model memandang perubahan dalam institusi


dari sisi lingkungan eksternal dari organisasi. Termaksuk dalam hal ini adalah perubahan
dari institusi lain yang berhubungan dengan institusi. Dalam perspektif yang lebih luas
bagaimana transformasi institusi dapat dikonsepsikan sebagai perubahan yang terjadi
dalam sebuah institusi yang menyebar kepada institusi lainnya.

1) Organic Model. Model organik dari perubahan organisasi adalah kombinasi dari
proses perubahan yang bersifat berkelanjutan /continous dan berasal dari dalam
(internal) organisasi. Perubahan dalam model ini bergantung pada pengambilan
kebijakan yang berada dalam organisasi (policy makers) dan kebanyakan mereka
menikmati proses perubahan yang mereka laksanakan.
2) Enacting Model. Perubahan institusi dalam hal ini berkaitan dengan proses
dimana organisasi berusaha untuk meningkatkan kapasitas organisasi dan
berusaha untuk mengontrol lingkungannya. Biasanya, perubahan ini berlangsung
ditengah situasi yang tidak menentu. Daripada berusaha untuk menyesuaikan diri,
maka institusi berusaha untuk mengukuhkan dominasi atas lingkungannya.

Berikut ini gambaran dari deskripsi yang telah disampaikan sebelumnya:

Salah satu ciri yang juga melekat pada teori kelembagaan baru adalah adanya
keinginan untuk membentuk lembaga yang memiliki nilai wirausaha (Institutionalism
Entrepreneurs). Berkaitan dengan kelembagaan yang bersifat wirausaha dan senantiasa
mengalami perubahan dari waktu ke waktu teori the institutional entrepreneurs (teori
kewirausahaan institusi) merupakan teori yang tepat untuk menjelaskan fenomena ini. Teori
kewiusahaan institusi menurut Levy dan Schully (2007) memiliki peran yang sangat
penting dalam mengubah institusi. Sebagai mekanisme yang spesifik untuk mengubah
institusi, keiwrausahaan institusi merepresentasikan aktivitas dari para aktor yang
mempunyai kepentingan dalam susunan organisasi dan sumberdaya pengungkit untuk
membentuk institusi baru atau mentransformasikan apa yang sudah ada. Kewirausahaan
institusional dapat dipahami sebagai aksi strategis (strategic action) dimana hal tersebut
harus dapat diwujudkan dalam strategi kelembagaan. Strategi kelembagaan merupakan pola
dari aksi organisasi yang fokus pada formasi dan transformasi institusi, aturan dan standar
yang mengontrol struktur tersebut. Serupa fligstein (Levy & Schully, 2007, h.4)
mendefinisikan aksi strategis ini sebagai ‘usaha dari aktor sosial untuk menciptakan dan
menjaga’ kondisi yang stabil.

D. Teori Kelembagaan Baru dalam Praktik

Berikut ini akan diberikan contoh mengenai praktik dari teori new institutionalism, yaitu
pelayanan satu atap (One Stop Service) dan Penyusunan dan Pelaksanaan Rencana Strategis.

Pelayanan Satu Pintu (One Stop Service)

Pembentukan pelayanan satu pintu merupakan salah satu bentuk praktik dari teori
kelembagaan baru (new institutionalism). Pelayanan satu atap merupakan upaya untuk
merubah pola pelayanan publik yang harus melalui prosedur yang panjang dan berbelit
belit, menjadi pola pelayanan publik yang cepat, mudah dan murah. Pelayanan satu atap
merupakan mekanisme pelayanan publik yang dilakukan secara terpadu pada suatu tempat
oleh beberapa instansi pemerintah yang bersangkutan sesuai dengan kewenangannya
masing-masing dengan tujuan untuk mempermudah proses pelayanan publik.

Pembentukan pelayanan satu atap yang berusaha untuk mengubah nilai,norma dan
budaya pelayanan pada institusi pemerintah yang semula memiliki konotasi negatif dalam
proses layanan publik (prosedur panjang, berbelit-belit dan lambat)diharapkan menjadi
institusi yang memiliki pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat. Prosesnya
mudah, transparan, terjangkau dan memiliki akuntabilitas publik yang tinggi. Nilai, norma
dan budaya institusi inilah yang kemudian perlu perlu dirubah untuk memberikan pelayanan
yang lebih maksimal bagi masyarakat. Dengan adanya perubahan nilai, norma dan budaya
yang ada, institusi mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan masyarakat.

Pelayanan satu atap juga berusaha memenuhi tuntutan perubahan (change) yang
terjadi dilingkuan institusi pemerintah. Sebagai contoh, salah satu bentuk pelayanan satu
atap adalah perjanjian investasi. Ketika pelayanan perizinan dipersulit dan prosesnya
panjang,maka investo akan enggan untuk menanamkan modalnya. Para investor kemudian
akan lebih memilih untuk menanamkan modalnya di tempat lain. Para investor tidak akan
mau menanamkan modal, sebelum proses pelayanan perizinan investasi diperbaiki. Tuntutan
untuk melakukan perubahan inilah yang kemudian direspon oleh pemerintah untuk
membentuk pola perjanjian baru melalui mekanisme ataupun pembentukan institusi baru
(new institutionalism), aspek perubahan (change) samgat penting untuk diperhatikan.

Penyusunan dan Pelaksanaan Rencana Strategis Lembaga

Penyusunan, penetapan dan pelaksanaan rencana strategis (renstra) lembaga


merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam upaya menciptakan value (nilai) dan
belief (kepercayaan) yang ada dalam lembaga. Upaya ini merupakan upaya untuk
menciptakan internalisasi nilai dalam lembaga. Rencana strategis ini setidaknya berisi
tentang visi (vision) dan misi (mission) ataupun strategi (strategi) yang akan dicapai dan
dilakukan oleh lembaga dalam kurun waktu tertentu.

Pembentukan renstra lembaga, termaksuk didalamnya proses missioning dan


visioning merupakan upaya yang dilakukan oleh lembaga untuk membentuk kesamaan
tujuan dari para individu dan aktor yang berada di dalam institusi. Visi, yang kurang lebih
dapat diartikan sebagai gambaran yang jelas (clear image) tentang masa depan, merupakan
dasar gerak bagi institusi. Renstra juga mensyaratkan adanya kemampuan institusi untuk
menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi pada sekitar institusi, khususnya pada
aspek-aspek yang memengaruhi perjalanan institusi.

Rencana strategis harus mengakomodir bagaimana melakukan manajemen perubahan


terhadap institusi. Perubahan yang juga merupakan salah satu pokok ajaran dari teori
kelembagaan baru, harus mampu dijabarkan dalam renstra, sehingga institusi mampu dengan
dinamis menghadapi kompleksitas permasalahan yang ada. Tanpa rencana strategis, suatu
institusi tidak akan memiliki kesamaan tujuan dan pandangan dalam menjalankan
institusi/lembaga.

Sebagaimana juga disampaikan dalam teori institusional, dibutuhkan kepemimpinan


yang tangguh untuk memperkokoh niai, aturan dan tujuan dari institusi. Dalam penyusunan,
penetapan dan pelaksanaan rencana strategis juga dibutuhkan kepemimpinan yang
transformatif, yang mampu menyebarkan dan menginternalisasi nilai dalam institusi.

Apabila teori institutionalism dan new institutionalism berpendapat bahwa lembaga


merupakan aspek sentral bagi kajian manajemen publik, maka pada bagian selanjutnya akan
dibahas mengenai teori public choice, dimana aspek sentral pembahasan adalah individu-
individu.

Anda mungkin juga menyukai