Anda di halaman 1dari 3

Ari Wijanarko Adipratomo, A.A.

2008231002 / 2004230075
Hubungan Internasional di Eropa
Neo Fungsionalisme

Neo Fungsionalisme

Ernst Haas sebagai penganut utama teori ini ingin memperbaiki fungsionalisme klasik
agar lebih realistik dan penuh arti, agar relevan dan memiliki hubungan yang tertata dengan
pendekatan teoritis lain dalam ilmu sosial, dan menciptakan proposisi yang teruji melalui bukti-
bukti empiris sejarah integrasi Eropa.

Asumsi yang digunakan, pertama adalah bahwa kehidupan sosial didominasi oleh
kompetisi antar kepentingan. Kedua, adanya konsensus di mana kolompok-kelompok diajak
untuk mengejar kepentingannya melalui kerangka kerja yang mengharapkan proses integrasi.
Ketiga, keadaan psikologi elit dalam integrasi memuncak dalam kemunculan sistem politik yang
baru. Keempat, neofungsionalisme mengutamakan faktor politik dalam proses penggabungan
negara-negara merdeka. Neofungsionalisme mengharap pencapaian masyarakat supranasional
dengan menekankan kerjasama di daerah yang secara politik kontroversial. Teori ini memandang
integrasi politik bukan suatu kondisi tapi proses perubahan yang mengarah pada masyarakat
politik.

Kritik terhadap neofungsionalisme karena tujuan dari integrasi politik dalam teori ini
meninggalkan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan, sehingga analisisnya perlu diperbaiki dan
diperluas (salah satunya, tidak ada pembedaan antara high dan low politics sebagaimana
dibedakan oleh Stanley Hoffman). Neofungsionalisme ragu-ragu untuk meniru model dari
negara supranasional. Selain itu, kondisi wilayah yang berbeda yang masalah integrasinya
berbeda memerlukan model analisis yang berbeda pula. Sesuatu yang cocok di wilayah Eropa
timur bisa tidak sesuai dengan keadaan di wilayah lain.

Teori ini pada garis besarnya adalah sebuah teori integrasi regional dari Ernst B Haas
yang menekankan , utamanya pada peranan Non-State Actors, khususnya peranan dan fungsi
dari badan “sekretariat” dari organisasi regional, asosiasi kepentingan, dan pergerakan social
yang tumbuh dan bergerak di tingkatan regional- untuk memberikan kedinamisan terhadap
proses integrasi yang lebih lanjut. Negara anggota kelompok regional ini tetap memainkan

1
Neo Fungsionalisme, Ari W. Adipratomo,A.A.
2

peranan yang penting dalam proses pengambilan keputusan. Mereka menentukan koridor-koridor
perjanjian dasar, namun tidak secara eksklusif memiliki kewenangan untuk menentukan arah
tujuan kelompok dan juga perubahan perubahan mendasar di masa depan.
Menurut teori ini, integrasi regional adalah sebuah proses konfliktual yang pada dasarnya
bersifat sporadis, namun ketika berada dalam alam demokrasi dan perwakilan yang plural,
National Government akan menemukan fakta bahwa mereka tidak mampu lepas dari tekanan
regional dan terpaksa menyelesaikan segala macam konflik dengan jalan menyerahkan
keputusan akhir pada otoritas regional yang mereka ciptakan sendiri. Tuntutan dari masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan mereka akan meningkatkan keinginan untuk berintegrasi dalam
bidang ekonomi dan social yang pada akhirnya akan merebak ke integrasi politik.
Kontras dengan anggapan umum selama ini terdapat sebuah fakta bahwa teori neo
fungsionalisme ternyata selalu menjadi teori yang reflektif. Teori ini tidak keluar dengan tiba-
tiba dari otak sang pemikir, Ernst B Haas, namun teori ini sebenarnya adalah bentuk kritik
terhadap teori pendahulunya, Teori Fungsionalisme dari David Mitrany

Masa Keemasan Teori Neo Fungsionalisme


Tercatat dari tahun 1960 hingga pertengahan 1970-an, teori ini mengalami sebuah
perubahan substansial yang lebih mendalam. Perubahan ini kebanyakan akibat dari upaya untuk
mengaplikasikannya secara komparatif di wilayah wilayah di luar Eropa Barat. Hal ini membuat
para pesaing dari teori ini makin sadar terhadap factor-factor yang membuat wilayah Eropa Barat
ini sebagai wilayah yang lebih menjanjikan untuk maju ke arah integrasi. Variable parameter
yang dijadikan tolak ukur dalam mengukur keberhasilan teori ini dalam mengawal proses
integrasi adalah kondisi yang demokratis, dimana para penduduk menikmati kebebasan untuk
mengorganisir kelompok kolektif baik dalam batasan Negara maupun diluar batasan Negara,
dimana distribusi keuntungan dari integrasi disatukan dan dibagikan secara merata, dimana isu-
isu yang menyangkut keamanan eksternal sebuah region ditangani oleh organisasi internasional
lainnya, dimana perubahan dalam elite nasional yang memimpin dan juga koalisi social
ekonomis yang telah membantu mereka naik ke tampuk kekuasaan mampu melakukan
perubahan dan memutarbalikkan sebuah perjannjian yang telah disetujui, dimana tingkat
pembangunan, ukuran Negara dan percampuran produk telah mengalami perubahan yang
Neo Fungsionalisme, Ari W. Adipratomo,A.A.
3

sifatnya antar batasan Negara. Nilai nilai ini haruslah diperhitungkan sebagai bagian dari teori,
bukan disampingkan.

Perbedaan dengan Fungsionalisme


Fungsionalisme adalah sebuah teori utama tentang kerjasama yang keluar pasca PDII, ide
dasar dari fungsionalisme adalah dimana sebuah institusi social memenuhi kebutuhan social
( missal kestabilan social, pertumbuhan ekonomi dan keadilan). Ide dasar fungsionalisme dapat
ditelusuri kembali kepada masa Imauel Kant, namun yang mampu disebut sebagai pendiri school
of Functionalism adalah David Mitrany, seorang diplomat dan akademisi. Fungsionalisme
memiliki focus terhadap kepentingan dan kebutuhan bersama dari beberapa actor yang tidak
mengikat secara eksklusif terhadap state actors. Tujuan dari fungsionalisme adalah untuk
mendeskripsikan lebih jauh sebuah kondisi perdamaian dengan membangun struktur-struktur
yang melayani kebutuhan dari actor actor politik atau dengan kata lain untuk mengidentifikasi
masalah-masalah yang harus diselesaikan untuk mencapai perdamaian dan juga untuk mengatur
institusi yang akan memenuhi kebutuhan fungsional ini.
Mitrany melihat bahwa kedaulatan adalah sebuah permasalahan, dimana dalam kedaulatan
terdapat pendekatan yang mengikat secara legal dan politis sebuah Negara. Artinya, Negara
memiliki kapasitas untuk menunggangi perjanjian dan persetujuan. Mitrany menginginkan
sebuah sistem perdamaian yang bekerja dari tingkatan bawah keatas, dengan jalan
mempromosikan kerjasama yang akan berguna bagi Negara, yang tidak menantang legalitas
kedaulatan mereka namun mengurangi kapasitas riil sebuah Negara untuk mampu mertindak
secara berdaulat dalam tempo bertahap.

Referensi :
 Plano, Jack and Roy Olton. “Kamus Hubungan Internasional”.1990. Arbadin, CV,
Jakarta
 Roskin, Michael and Nicholas O. Berry. “IR the new World of International
Relations”. 1999.Pretince Hall, New Jersey

Anda mungkin juga menyukai