Anda di halaman 1dari 5

Struktural-fungsionalisme lahir sebagai reaksi terhadap teori evolusionari.

Jika
tujuan dari kajian-kajian evolusionari adalah untuk membangun tingkat-tingkat
perkembangan budaya manusia, maka tujuan dari kajian-kajian struktural-fungsionalisme
adalah untuk membangun suatu sistem sosial, atau struktur sosial, melalui pengajian
terhadap pola hubungan yang berfungsi antara individu-individu, antara kelompok-
kelompok, atau antara institusi-institusi sosial di dalam suatu masyarakat, pada suatu kurun
masa tertentu. Jadi pendekatan evolusionari lebih bersifat historis dan diakronis, sedangkan
pendekatan struktural-fungsional lebih bersifat statis dan sinkronis.
Teori adalah suatu pendapat bagaimana dan kenapa sebuah fakta terjadi. (Macionis,
1997:15). Sedangkan Scupin dan De Corse (1995)mendefinisikan teori adalah kumpulan
hipotesis yang tidak berhubungan yang menawarkan penjelasan secara umum untuk
fenomena natural atau sosial. Salah satu teori Antropologi adalah fungsionalisme. Teori
fungsionalisme adalah teori dominan dalam antropologi. Teori ini memandang budaya
sebagai satu kesatuan, dan mencoba untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara
bagian-bagian masyarakat yang tercipta dan bagaimana bagian ini fungsional (bermakan
memiliki konsekuensi yang menguntungkan pada individu dan masyarakat) dan
disfungsional (bermakna memiliki konsekuensi negatif). Teori ini memandang masyarakat
sebagai sistem yang kompleks yang mana bagian tersebut bekerja bersama untuk
mempromosikan solidaritas dan stabilitas; ini menandakan bahwa kehidupan sosia kita
dituntun berdasar pada struktur sosial, yang pola perilaku sosialnya secara relatif stabil
(Macionis, 1997) Seluruh struktur sosial berkntribusi pada operasi masyarakat. Dua
antropolog inggris terkemuka Radcliff Brown dan Bronslaw Malinowski, menggambarkan
dua standar teori: Struktural fungsionalisme, yang menekankan pada keunggulan dari
masyarakat dan menyusun para individu, dan bagaimana berbagai macam elemenfungsi
struktur sosial untuk memelihara permintaan sosial dan keseimbangan. Dan Psikologi
strukturalisme, yang mana menekankan pada kbutuhan individual untuk bertemu dengan
masyarakat. Kelemahan teori fungsional adalah gagalnya menjelaskan kenapa masyarakat
itu berbeda atau justru memiliki kesamaan. Ontropolog fungsionalisme menganggap dunia
tertib, memberi sedikit perhatian atau bahkan tidak memberi perhatian pada kompetisi dan
konflik (Howard dan Dunaif-Hattis, 1992). Teori ini tidak berhubungan dengan sejarah,
mengabaikan proses sejarah. (Scupin dan De Corse, 1995) teori ini juga tidak dapat
menjelaskan perubahan sosial dan budaya, sebagaimana ia dulu memandang masyarakat
sebagai sesuatu yang stabil dan tetap. meskipun memiliki kelemahan, teori fungsionalisme
mempengaruhi perjanjian besar penelitian empirik dalam antropologi.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/avitarini/teori-
fungsionalisme_551fb795813311466e9de64f
A.

Pembukaan
Pada tugas yang diberikan untuk memenuhi mata kuliah Sejarah Pemikiran Sosiologi kali
ini, penulis mendapatkan tugas untuk membuat review tiga teori yang kemudian menjadi
bahasan pada mata kuliah di semester tiga ini. Ketiga teori itu adalah teori struktural
fungsional, interaksionis simbolik, dan pertukaran sosial. Karakteristik yang berbeda di
antara ketiga teori tersebut dapat memperkaya pemahaman penulis akan teori - teori yang
ada di Sosiologi, dan sekaligus melatih pemahaman serta pemikiran kritis akan teori- teori
yang ada. Berikut adalah review mengenai ketiga teori tersebut, dimulai dari teori
struktural fungsional.

B.

Struktural Fungsional
Pada bahasan kali ini, penulis akan mereview inti dari teori struktural fungsional.
Menurut Ritzer, teori struktural fungsional, disebut pernah menjadi teori dominan pada
ilmu Sosiologi. Namun, hal itu kini memudar seiring berjalanya waktu, dan muncul teori-
teori yang lebih sesuai dengan keadaan saat ini. Meskipun begitu, teori ini tetap menarik
untuk dipelajari karena merupakan salah satu basic dari teori- teori yang kemudian
bermunculan. Teori ini mempunyai beberapa tokoh besar di dalamnya, sebut saja Talcott
Parsons, Robert K. Merton, Kinsley Davis, Wilbert Moore, dan beberapa tokoh lain. Teori
ini pada intinya memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari unsur-
unsur sistem yang saling terkait dan bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Dengan begitu, setiap sistem yang ada memberikan sumbangan agar terjadi equilibrium
(keseimbangan). Berdasarkan inti dari teori di atas, kita dapat melihat bahwa dalam
kehidupan sehari- hari, jika dilihat berdasarkan teori struktural fungsional merupakan
sebuah sistem besar yang selalu bergerak dan memproduksi individu- individu dari dalam
sistem tersebut. Ya, Parson juga menyebutkan bahwa individu adalah bentukan dari
sebuah sistem yang ada. Pada teori ini juga, muncul sebuah pernyataan yang mengatakan
ketika sesuatu tidak lagi mempunyai fungsi signifikan pada masyarakat, hal itu akan
hilang, sementara segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat, akan tetap eksis. Untuk
mempermudah analisa kita, penulis akan memberikan contoh kasus yang pernah terjadi di
Indonesia. Era pemerintahan yang pernah terjadi di Indonesia yaitu orde baru, adalah bukti
dari eksistensi teori struktural fungsional ini. Ketika pemerintahan orde baru berjalan,
semua berjalan seperti sistem. Tentu kita ingat bagaimana pemerintah selalu meneriakkan
jargon

jargon propaganda bahwa semua berjalan seperti seharusnya. Itu adalah salah satu bukti
dari adanya sistem yang berjalan di pemerintahan era orde baru. Dalam teori struktural
fungsional, kerusakan pada sistem adalah sesuatu yang harus dihindari, karena begitu suatu
elemen dalam sistem rusak, maka sistem itu akan berakhir. Hal inilah yang dikhawatirkan
pemerintah juga. Maka dari itu, segala bentuk resistensi dari elemen masyarakat yang ada
dalam sistem dipandang sebagai sebuah gangguan yang harus segera ditangani agar tidak
merusak sistem yang ada. Dalam teori Parson, muncul istilah yang kita sebut sebagai
AGIL. AGIL merupakan singkatan dari elemen

elemen penting yang diperlukan agar sebuah sistem tetap eksis Elemen itu adalah
Adaptation, Goal Attaintment, Integration, Latency. Keempat elemen itulah yang
kemudian juga dapat kita lihat ada pada sistem pemerintahan era orde baru. Pada
Adaptation ( adaptasi ), sistem dituntut harus mampu mengatasi kebutuhan yang datang
dari luar sistem itu. Ia harus mampu beradaptasi agar tidak kandas di tengah jalan.
Adaptasi, dilakukan oleh pemerintah dengan cara represif. Semua bentuk resistensi yang
muncul dari masyarakat, ditekan agar tidak sampai merubah sistem yang ada. Akibatnya,
seperti kita ketahui muncul istilah seperti penembak misterius ( petrus ), tim mawar, dan
penculikan aktivis. Mereka yang menjadi korban dipandang sebagai elemen yang dapat
mengganggu dan menyebabkan hancurnya sistem pemerintahan orde baru. Goal ( tujuan )
juga merupakan syarat yang perlu dimiliki oleh sebuah sistem agar dapat terus
mempertahankan eksistensinya. Tanpa adanya goal yang jelas, tidak bisa muncul sinergi
antar sub sistem dalam sistem yang ada. Pada contoh kasus ini, goal yang ingin dicapai
adalah untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang bisa memajukan pembangunan
Indonesia ( secara fisik ) dan menginternalisasikan Pancasila ke dalam diri setiap individu
Republik Indonesia. Hal

ini memang tidak salah, namun dalam prakteknya terjadi penyimpangan dalam goal ini. Ini
yang nanti akan kita bahas dalam kritik terhadap struktural fungsional. Integration (
integrasi ) adalah fungsi yang mengatur hubungan antara bagian yang satu dengan bagian
yang lainnya. Bisa dikatakan, integrasi adalah faktor yang menciptakan sinergi antara satu
sub sistem dengan sub sistem lainnya. Fungsi ini juga bertugas mengatur hubungan antara
fungsi Adapatation, Goal, dan Latency. Ketika fungsi ini gagal tercapai, maka tak dapat
dihindari kerusakan sistem tersebut. Latency, atau latensi bisa dipahami juga sebagai
pemeliharaan pola. Sistem yang ada harus mampu menciptakan motivasi dan pola budaya
yang kemudian tertanam pada diri setiap individu dalam sistem tersebut. Hal ini tampak
juga pada pola orde baru, yang menginternalisasikan pada setiap individu bagaimana
kekejaman G30S yang melakukan kudeta, dengan memutar film pemberontakan G30S
setiap tahunnya. Selain itu, pelajaran kewarganegaraan dan Pancasila juga menjadi
pelajaran yang wajib dilalui oleh setiap individu agar dapat diterima di dalam sistem. Hasil
dari kedua hal di atas dapat dilihat dari output sistem orde baru yang menghasilkan
individu

individu yang anti terhadap komunisme dan sangat radikal dalam memegang prinsip
Pancasila serta nasionalisme. Berdasarkan keempat analisa fungsi di atas, tampak bahwa
orde baru mampu melakukan fungsi

fungsi yang diperlukan agar suatu sistem tetap dapat berjalan. Namun perlu menjadi
perhatian juga, dalam pelaksaanaanya, sebuah sistem tetap diisi oleh individu

individu yang bersifat dinamis, bukan statis. Hal ini sekaligus merupakan kritik terhadap
teori struktural fungsional. Dalam struktural fungsional, terdapat beberapa poin yang perlu
dipahami agar kita dapat melihat perbedaan antara struktural fungsional dengan teori
lainnya. Diantaranya sebagai berikut; masyarakat dalam teori ini dipandang sebagai
sebuah sistem yang saling bekerjasama sesuai dengan fungsinya masing

masing. Kemudian, kelas dan struktur yang muncul dipandang sebagai sebuah hal yang
tidak bermasalah, karena hal itu muncul atas dasar adanya pembagian posisi dan peran
dalam masyarakat. Perbedaan yang ada, bukanlah masalah karena masing

masing unsur memegang peranan dan fungsinya tersendiri. Perubahan yang muncul, ada
karena tuntutan dari sistem. Tertib yang terjadi, merupakan sebuah hal yang muncul karena
adanya sistem, dan hal itu dipandang sebagai sebuah hal yang pasti terjadi ketika sistem
berjalan.

Kelemahan dari teori strktural fungsional tidaklah lepas dari kriti-kritik oleh beberapa
tokoh. Salah satu kritik dari teori struktural fungsional adalah kritik substansif yang
menyatakan bahwa teori struktural fungsional tidak membahas tentang sejarah secara
memadai – yakni ia pada dasarnya ahistoris. Selain itu fungsionalisme struktural juga tidak
dapat menjalaskan tentang perubahan dan konflik yang telah membawa banyak orang
berargumen bahwa fungsionalisme struktural mempunyai suatu bias konservatif (P. Cohen,
1968; Goulder. 1970). Alvin Gouldner menyatakan bahwa Parsons sebagai tokoh utama
struktural fungsional terlalu menekankan keharmonisan antarhubungan.
Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan dari struktural fungsionalisme,
yang mengantarkan Merton sebagai pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini
berbeda dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi struktural fungsional
sangatlah penting. Parson mendukung terciptanya teori yang besar dan mencakup
seluruhnya sedangkan Merton lebih terbatas dan menengah. Hal itulah yang membedakan
antara keduanya.

Kelemahan dari teori struktural fungsional ini menimbulkan kritik dari tokoh-tokoh lain

Anda mungkin juga menyukai