Anda di halaman 1dari 17

SOSIOLOGI GENDER

KEKERASAN BERBASIS GENDER


(Fenomena Kekeresan Dalam Rumah Tangga)

Diajukan untuk memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester

Disusun Oleh:

Ami Dwi Fitriani

170710150010

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2017

i
DAFTAR ISI

Daftar Isi ......................................................................................................... ii


BAB I .............................................................................................................. 1
Pendahuluan ............................................................................................ 1
Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 2
Metode ................................................................................................... 5
BAB II Pembahasan Teoritik........................................................................ 6
Kesimpulan ..................................................................................................... 13
Daftar Pustaka ................................................................................................ 14

ii
BAB I
Pendahuluan, Tinjauan Pustaka dan Metode

Pendahuluan
Saat ini ketidakadilan gender (gender inequalities) merupakan permasalahan
yang sering terdengar di dalam suatu masyarakat. Adanya suatu perbedaan
gender tentu telah melahirkan berbagai ketidakadilan terutama terhadap
perempuan. Ketidakadilan gender ini dapat dilihat melalaui berbagai manifestasi
seperti marginalisasi, subordinasi, penbentukan stereotype, kekerasan maupun
intimidasi dan sistem patriarki yang kental dalam suatu tradisi masyarakat. Semua
manifestasi kekerasan tersebut adalah kekerasan yang berbasis gender yang pada
umumnya terjadi dilingkungan keluarga dan pelakunya adalah orang yang dekat
dengan korban kekerasan. Kekerasan yang terjadi dalam masyarakat,
sesungguhnya disebabkan oleh anggapan ketidaksetaraan yang ada dalam
masyakarakat. Pihak yang tertindas yang menjadi korban kekerasan disudutkan
pada posisi yang membuat mereka berada dalam ketakutan. Dalam makalah ini
penulis akan memfokuskan pada kekerasan dalam rumah tangga berbasis gender.
Kekerasan rumah tangga adalah bentuk penganiyaan oleh suami kepada
isteri maupun isteri terhadap suami baik secara fisik maupun psikologis atau
emosional. Kekerasan fisik yaitu kekerasan yang dapat mengakibatkan luka pada
fisik (patah tulang, memar, kulit tersayat dsb) dan dapat pula mengakibatkan
kematian. Kekerasan psikologis atau emosioanl berakibat pada timbulnya trauma
berkepanjangan pada korban terhadap hal-hal yang telah dialaminya (rasa cemas,
depresi dan perasaan rendah diri). Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga
tidak hanya terjadi antara suami dan isteri saja, tetapi bisa juga terjadi antara
orang tua dan anak (kekerasan terhadap anak) atau antara majikan dan
pembantunya yang terjadi dalam ranah domestik. Namun dapat kita ketahui
bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang paling sering terjadi adalah kekerasan
terhadap perempuan (isteri).
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat terjadi dari adanya suatu pola relasi
kekuasaan yang timpang antara suami dan isteri. Hal tersebut merupakan suatu
kondisi dimana kekerasan yang dilakukan suami terhadap isterinya dilakukan

1
karena ia merasa memiliki otoritas sebagai kepala rumah tangga. Kekerasan yang
terjadi dalam rumah tangga dapat diposisikan sebagai akibat yang dilahirkan dari
sebuah sistem sosial yang bias gender. Kekerasan dalam rumah tangga pada
praktiknya, bisa terjadi pada semua lapisan masyarakat. Bias gender juga
menekan perempuan untuk menjadi submisif dan menerima semua bentuk
perilaku tidak adil yang lebih mengedepankan hak sosial atau orang lain daripada
hak peribadi hak tersebut juga terjadi karena masih kentalnya suatu sistem
patriarki. Pada umumnya bias gender juga menempatkan perempuan pada posisi
lemah, sehingga laki-laki selalu berada pada posisi dominan dalam masyarakat
maupun keluarga, hal tersebut menyebabkan perempuan selalu berada pada posisi
yang lemah dan dirugikan sehingga perempuan lebih sering mengalami kekerasan.
Tinjauan Pustaka
Secara konseptual, pembahasan gender acapkali dikacaukan pengertianya
dengan istilah seks, yang sesungguhnya antara keduanya sangat berbeda baik dari
pengertian maupun sifatnya. Untuk memahami konsep gender harus bisa
membedakan antara gender dan seks. Pengertian seks merujuk pada
penggolongan biologis yang didasarkan pada sifat reproduksi potensial. Seks tentu
saja berbeda dengan gender. Gender yaitu diartikan sebagai perbedaan antara laki-
laki dan perempuan yang dilihat dari fungsi, peran, status dan tanggung jawabnya
yang dikontruksi secara sosial maupun kultural..
Hasbianto (Meiyanti: 1999) menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah
tangga adalah suatu bentuk penganiayaan yang dilakukan secara fisik maupun
psikologis/emosional, yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap
pasangan dalam kehidupan rumah tangga. Meiyanti (1999:67) menjelaskan jenis-
jenis kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan adalah sebagai berikut;
Pertama, kekerasan seksual yang meliputi pemaksaan dalam melakukan hubungan
seksual, pemaksaan selera seksual sendiri, dan tidak memperhatikan kepuasan
pihak isteri. Kedua, kekerasan fisik yaitu segala macam tindakan yang
mengakibatkan kekerasan fisik pada perempuan yang menjadi korbannya.
Kekerasan fisik dilakukan dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan
dan kaki) memukul, menampar, menendang, menjambak atau dengan alat-alat

2
lainnya seperti menyulut dengan rook dan melukai dengan barang atau senjata.
Ketiga, kekerasan ekonomi seperti tidak memberikan uang belanja, dan memakai
atau menghabisakan uang isteri. Dan Keempat, kekerasan emosional yang
meliputi mencela, mengancam, menghina dan menakut-nakuti sebagai sarana
melaksanakan kehendak.
Dalam jurnal psikologi yang ditulis Asmarany, dikatakan bahwa dari
beberapa kajian literatur terdapat kenyataan bahwa kekerasan dalam rumah tangga
yang lebih sering terjadi adalah laki-laki (suami) yang menjadi pelaku kekerasan
dan perempuan (isteri) yang menjadi korban kekerasan. Persepsi yang menjadi
pelaku kekerasan adalah laki-laki dan yang menjadi korban kekerasannya adalah
perempuan, hal ini berhubungan dengan kentalnya budaya patriarki dalam tradisi
masyarakat serta merupakan suatu bias gender.1
Selama ini masyarakat secara umum memandang bahwa perempuan selalu
berada pada posisi ke dua atau biasa disebut dengan istilah “The Second Sex”
yang dimana peran yang paling utama bagi perempuan yaitu berada di sektor
domestik (lingkungan rumah tangga) sedangkan pria berada pada peran utama
yaitu sektor publik (luar rumah tangga) yaitu sebagai pencari sumber ekonomi
atau mencari nafkah untuk keluarga. Hal tersebut tentu menunjukan adanya suatu
budaya patriarki. Budaya patriarki dikatakan sebagai salah satu bentuk
penindasan bagi perempuan karena patriarki telah memunculkan serta
memperkuat pembatasan ruang gerak perempuan dalam sektor domestik dan
publik. Budaya patriarki selama ini telah meletakan perempuan tersubordinasi.
Laki-laki dan perempuan memiliki hubungan yang bersifat hierarkis, maksudnya
adalah laki-laki memiliki kedudukan yang lebih mendominasi sedangkan
perempuan memiliki kedudukan yang subordinat. Patriarki secara tidak disadari
telah dikontruksikan, dilembagakan serta disosialisasikan di dalam kehidupan
masyarakat seperti di lembaga-lembaga yang terlibat dalam kehidupan masyarakat
diantaranya keluarga, sekolah, lembaga agama, tempat kerja bahkan kebijakan
negara. Kedudukan perempuan yang tersubordinasi juga dipengaruh oleh faktor
1
Asmarny,Jurnal Psikologi UGM Vol 35, NO.1 Bias Gender Sebagai Prediktor Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. diakses di https://journal.ugm.ac.id/jpsi/article/viewFile/7096/5548. 25 Desember
2017

3
kontruksi sosial. Terdapat banyak kepercayaan dan mitos yang akhirnya
menjadikan kedudukan perempuan berada lebih rendah daripada laki-laki.
Dalam Ridwan (2006: 69-73) selain kentalnya budaya patriarki, seksisme
juga dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk kekerasan yang berdimensi
rasisme. Ideologi seksisme ini merambah pada semua dimensi kehidupan
perempuan yang tersubordinat dan teralienasi secara sosial. Implikasi yang nyata
dari ideologi ini dikaitkan sengan jenis pekerjaan perempuan di sektor industri
termanifestasi jelas pada jenis pekerjaan dan pola pemberian upah buruh
perempuan yang dibedakan dengan laki-laki. Pembagian upah yang berbeda
karena berdasarkan jenis kelamin ini mengakibatkan alienasi psikologis dalam
bentuk diskriminasi. Meskipun seksisme menjadi penyebab dan akibat dari
persoalan ekonomi, status subordinatif perempuan tidak hanya terbatas di bidang
ekonomi, namum berkembang ke semua aspek kehidupan. Dalam media, mode
pakaian, periklanan, fashion bahkan dalam kessasteraan, perempuan banyak
menjadi objek fantasi seks laki-laki. Perempuan ditekan bahwa dirinya emperior
dan harus selalu menempatkan laki-laki di atasnya. Perempuan dicegah oleh pola-
pola sosial dan tradisi untuk tidak terlibat di dalam seluruh kegitan yang secara
biologis baginya tidak tepat. Kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap
perempuan adalah merupakan bagian dari cara laki-laki dalam menunjukan dan
mengekspresikan maskulinitasnya sebagai pribadi yang kuat dan punya otoritas
serta kekuasaan dalam bentuk kemampuan untuk mendominasi dan
mengendalikan orang lain.
Potensi kekerasan yang terjadi dan menimpa kaum perempuan sebagai bias
ideologi patriarki dan seksisme melahirkan beragam bentuk kekerasan. Dalam
Ridwan (2006: 73) Kristi Porwandari menyebutkan bahwa terdapat beberapa
faktor yang mendorong lahirnya kekerasan dengan bentuk yang beragam yang
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Perempuan lebih rentan dan mudah menjadi korban kekerasan terutama
kekerasan seksial adalah karena karalteristik fisik dan reproduksinya.
2. Perempuan seringksli dalam relasinya dengan laki-laki, mendapatkan
pemaknaan sosial dari perbedaan biologis yang menyebabkan

4
menguatkan mitos, stereotype, aturan, dan praktek-praktek yang
merendahkan perempuan dan memudahkan terjadinya kekerasan.
Kekerasan dapat berlangsung dalam keluarga dan relasi personal, bisa juga
di tempat kerja.
3. Perempuan seringkali ditarik untuk melakukan hal-hal yang
mengubtungkan dalam sudut ekonomi, untuk mendapatkan keuntungan
yang besar seringkali perempuan dipaksa untuk melakukan pelacuran,
perdagangan perempuan dan pornografi.
4. Melakukan teror, penghinaan dan memicu konflik seringkali dijadikan
bentuk saran untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Hal itu
dikarenakan kesucian perempuan dilihat sebagai kehormatan masyarakat,
sehingga penghinaan atau perusakan kesucian perempuan akan dipahami
sebagai penghinaan terhadap masyarakat.
Metode
Dalam pembuatan makalah ini penulis menggunakan dengan metode studi
literatur, penulis mengumpulkan dan membaca buku, jurnal, berita online dan
penelitian-penelitian terdahulu yang membahas tentang Gender serta isu
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Data-data yang didapatkan dari studi
literatur digunakan penulis sebagai referensi penulisan makalah.

5
BAB II
PEMBAHASAN TEORITIK
Keluarga adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan perempuan dalam satu
rumah tangga, yang diikat oleh tali perka winan dan menghasilkan seorang anak
atau lebih. Sebuah keluarga dibangun oleh sebuah komitmen, yaitu dibentuk oleh
sepasang suami dan isteri agar dapat mewujudkan cita-cita bersama yakni
mewujudkan keluarga yang harmonis penuh kasih sayang. Kehidupan keluarga
yang penuh harmoni akan sangat bergantung dari pola relasi di antara anggota
keluarga yang setara dan berkeadilan dengan menghargai posisi seta peran
masing-masing anggota keluarga.
Dalam Ridwan (2006:44-45) Mufidah menjelaskan bahwa untuk
mengetahui pola relasi dalam keluarga antara suami dan isteri dan anatara anak
dengan orang tuanya secara setara dan berkeadilan dapat dilihat dari hal-hal
berikut:
1. Melihat besar atau kecilnya partisipasi aktif seluruh anggota keluarga
dalam perumusan dan pengambilan keputusan atau perencanaan maupun
pelaksanaan segala kegiatan keluarga baik pada wilayah domestik maupun
publik
2. Seberapa besar manfaat yang diperoleh seluruh anggota keluarga secara
merata dari hasil pelaksanaan berbagai kegiatan baik sebagai pelaku
maupun sebagai pemanfaat dan pengikat hasilnya
3. Seberapa besar akses dan kontrol seluruh anggota keluarga dalam berbagai
sumber daya manusia maupun sumber daya alam yang menjadi asset
keluarga, seperti hak waris, hak memperoleh pendidikan, jaminan
kesehatan hak-hak reproduksi dan lain-lain.
Dengan adanya indikator-indikator yang telah disebutkan diatas, maka pola
relasi keluarga akan mudah dimengerti apakah pola relasi di antara anggota
keluarga sudah adil atau justru relasi tersebut terdapat suatu ketidakadilan gender.
Pola relasi yang cenderung menunjukan ketidakadilan gender bermula dari adanya
pola relasi kekuasaan yang tidak seimbang dengan model hierarski-structural di

6
mana terdapat pihak yang lebih dominan atau mendominasi anggota keluarga
lainnya.
Secara sosiologis menurut Friedman (Setiawati: 2008), keluaga merupakan
unit terkecil dalam sistem sosial yang memerankan berbagai fungsi yakni:
1. Fungsi Reproduksi, pada hakikatnya manusia akan selalu berkembang
biak tentu untuk menjaga kelsetarian generasinya. Maka fungsi
reproduksi ini bertujuan agar memperoleh keturunan agar tetap
mempertahankan keturunannya.
2. Fungsi edukatif, keluarga tentu merupakan tempat pertama untuk
mengerti tentang kehidupan, dimana keluarga merupakan tempat
pendidikan semua anggotanya, orang tua mempunyai peran penting
membawa anak-anaknya menuju kedewasan.
3. Fungsi religius, keluarga menjadi tempat pertama untuk menanamkan
nilai moral agama melalui pemahaman, penyadaran agar kelak menjadi
pegangan hidup.
4. Fungsi protektif, dalam fungsi ini keluarga menjadi tempat yang harus
memberikan rasa aman untuk setiap anggota keluarganya dan mampu
melindngi dari gangguan sekaligus untuk menangkal berbagai penngaruh
negatif.
5. Fungsi sosialisasi, keluarga sebagai tempat untuk mempersiapkan anggota
keluarganya sebagai anggota masyarakat yang baik, mampu memegangi
norma-norma yang berada dalam kehidupan masyarakat.
6. Fungsi rekreatif, yaitu menciptakan kondisi keluarga yang saling
menghargai, menghormati, demokratis dan mampu mengakomodasi
aspirasi masing-masing anggotanya.
7. Fungsi ekonomis, yaitu keluarga merupakan kesatuan ekonomis dimana
keluarga harus menjadi sarana pemenuhan kebutuhan dasar manusia,
dalam fungsi ekonomi keluarga juga memilki aktifitas mencari nafkah,
pembinaan usaha, perencanaan anggaran dan bagaimana dapat
mempertanggungjawabkan kekayaan dan harta bendanya secara sosial
maupun moral.

7
Pada umumnya, pandangan masyarakat, bahwa laki-laki diharapkan berada
pada sektor publik dan mampu melindungi keluarga, sedangkan perempuan
berada di sektor domestik seperti merawat anak serta melayani suami. Anak laki-
laki didorong untuk menggunakan akal dan fisiknya, sementara perempuan
didorong untuk menggunakan perasannya agar tetap bersikap lemah lembut.
Proses sosialisasi yang massif dan mapan ini melahirkan pemikiran bahwa
kekuasaan ada pada laki-laki. Dalam posisi suami yang begitu kuat, maka ia
memiliki kebebasan untuk mengendalikan, mengontrol dan menentukan
keputusan sendiri dan ia bisa melakukan kekerasan dengan pembenaran atas
sosialisasi yang memang telah ia terima dari sejak kecil.
Keluarga sebagai tempat dimana watak dan kepribadian anak akan terbentuk
menjadi sangat strategis dalam upaya penciptaan pola relasi gender yang adil.
Oleh karena itu upaya membangun relasi sosial yang adil gender dalam konteks
pergaulan di masyarakat yang lebih luas harus dimulai dari lingkup kehidupan
keluarga.
Mendengar istilah keluarga, mungkin yang pertama akan kita fikirkan
adalah tempat yang paling aman dan tempat kembali, keluarga merupakan tempat
berteduh dari berbagai tekanan dan kesulitan di dunia luar, tempat dimana bisa
berbagai suka duka. Namun, disisi lain sungguh sangat ironis bahwa sudah
banyak penelitian yang menunjukan bawa keluarga bisa menjadi tempat terjadinya
kekerasan, dimana anggota keluarga yang dianggap lemah biasanya adalah kaum
perempuan dan anak-anak yang menjadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga.
Teori mengenai gender didominasi adanya tradisi kekerasan yang dilakukan
oleh laki-laki. Asumsi tentang bias gender secara implisit mengatakan bahwa
pelaku kekerasan kebanyakan adalah laki-laki, hal tersebut mengatakan bahwa
laki-laki memiliki peluang lebih besar dalam melakukan kekerasan terhadap
perempuan (Worthen&Sullivan : 2005).
Hasbianto (Meiyanti: 1999) menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah
tangga adalah suatu bentuk pengontrolan terhadap pasangan atau anggota kelarga
lainnya yang dilakukan dengan bentuk kekerasan baik secara fisik maupun
emosional. Kekerasan dalam rumah tangga tentu saja merupakan bentuk

8
pelanggaran hak asasi manusia yang harus segera diaatasi. Dikutip dari situs
kriminologi.id, jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia masih
tergolong cukup tinggi. Dalam data Komnas Perempuan dinyatakan bahwa pada
tahun 2017 kasus kekerasan terhadap isteri menempati tingkat pertama untuk
seluruh kasus kekerasan dalam rumah tangga, yakni terdapat 5.784 kasus. Jenis
kekerasan dalam rumah tangga yang tercatat di komnas perempuan pada tahun
2017 menununjukan bahwa 42% adalah merupakan kekerasan fisik, 34%
merupakan kekerasan seksual, 14% merupakan kekerasan psikologis atau
emosional dan 10% merupakan kekerasan ekonomi. 2
Begitu banyak bentuk kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan fisik
(seperti pemukulan, penjambakan, penganiyaan), kekerasan seksual (perbudakan,
perkosaan, kehamilan paksa, aborsi), kekerasan psikologis (ancaman, intimidasi,
penyisihan) dan kekerasan ekonomi (larangan bekerja, eksploitasi tenaga). Korban
dari kekerasan rumah tangga bisa terjadi pada siapa saja, suami, isteri, anak,
anggota keluarga lain atau siapapun yang berada tinggal dalam rumah tangga.
Namun melihat data diatas, yang paling banyak menjadi korban kekerasan dalam
rumah tangga adalah perempuan. Berita-berita di televisi maupun media sosial
telah banyak memberikan informasi mengenai kasus-kasus kekerasan dalam
rumah tangga, baru-baru ini tengah ada pemberitaan tentang Suami potong kaki
Isteri di Bali, aksi sadis suami yang memotong kaki isterinya tersebut diduga
karena sang suami terbakar cemburu terhadap sang isteri. Pemberitaan kekerasan
dalam rumah tangga selanjutnya adalah seorang ayah memukul anak dan isteri
dengan palu hanya karena tidurnya terganggu, dikutip dari berita online
liputan6.com Seorang Bapak bernama Stanley telah tega melakukan kekerasan
dalam rumah tangga kepada anak dan isterinya, kejadian tersebut terjadi pada
Tanggal 18 September 2017, Penganiyaan yang dilakukan seorang ayah kepada
anak dan isterinya tersebut dikarenakan hal sepele, ia dibangunkan oleh anaknya
saat tertidur. Menurut keterangan polisi, pelaku telah mengakui bahwa ia
memukul tangan anaknya dengan palu dan memukul kepala isterinya sebanyak 3

2
Kriminolog.id https://kriminologi.id/renata/wanita/kasus-kdrt-oktober-2017-dari-pembunuhan-
hingga-istri-dijual. Diakses: 26 Desember 2017

9
kali pukulan dengan menggunakan palu.3 tentu saja masih banyak lagi kasus-
kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dan bahkan lebih sadis dari apa
yang dituliskan sebelumnya.
Bermacam-macam memang sebab-akibat terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, namun terdapat kenyataan yang terlihat bahwa kasus-kasus kekerasan
terhadap perempuan khususnya selama ini terjadi di tempat tinggal korban itu
sendiri. Pelaku kekerasan adalah orang-orang terdekat, baik itu ayah, suami,
majikan korban ataupun anggota keluarga lainnya.
Telah tampak jelas apabila kita melihat kenyataan bahwa pelaku kekerasan
terhadap perempuan justru berasal dari pihak yang diberi suatu kepercayaan oleh
masyarakat untuk bertindak sebagai pelindung perempuan maupun keluarga. Hal
tersebut tentu berlaku bagi para ayah, suami, majikan. Dalam hal ini juga terlihat
bahwa hubungan antara sosok pelindung dan yang dilindungi, siapapun mereka
tentu akan selalu ada hubungan kekuasaan yang sangat mencolok yaitu orang
yang memberikan perlindungan berada dalam posisi yang lebih kuat dan berkuasa
daripada sang penerima perlindungan. Relasi kekuasaan yang timpang inilah yang
kemudian menjadi salah satu akar lahirnya kekerasan. Berbicara mengenai
kekuasaan yang kemudian melahirkan suatu kekerasan, maka disini akan
dipaparkan mengenai kekuasaan dan kekerasan.
Max Weber mendefinisikan kekuasaa.n sebagai suatu kesempatan yang
dimiliki seseorang atau bahkan sejumlah orang untuk melakukan sesuatu sesuai
dengan kemauannya sendiri dalam suatu tindakan sosial. Kesempatan atau
probability merupakan suatu konsep inti dalam definisi Max Weber yang
dihubungkan dengan ekonomi, kehormatan dan apapun yang merupakan sumber
kekuasaan bagi seseorang. Dalam konteks illmu sosial, terdapat 3 jenis kekuasaan
yakni adalah sebagai berikut:
1. Kekuasaan Utilitarian, kekuasaan ini diibaratkan apabila dalam kasus
suap-menyuap atau sogok-menyogok menandakan bahwa seseorang yang

3
Liputan6.com http://regional.liputan6.com/read/3100725/tidurnya-terganggu-ayah-tega-hantam-
anak-dan-istri-dengan-palu. Diakses 26 Desember 2017

10
memiliki uang atau melakukan tindakan tersebut adalah orang yang
memiliki kekuasaan utilitarian.
2. Kekuasaan Koersif, kekuasan ini dimunculkan dengan cara melakukan
kekerasan, apabila ada orang yang menghalangi atau mengacaukan
tujuannya ia akan melakukan kekerasan untuk melawan, mengubah
maupun menghukum orang yang menghalanginya tersebut.
3. Kekuasaan Persuasif, kekuasan ini mengandalkan nilai, perasaan dan
kepercayaan agar dapat memiliki kekuasaan.
Kekuasan lahir karena seseorang dinilai memiliki suatu otoritas. Otoritas
merupakan suatu kemungkinan dimana perintah-perintah tertentu datang dari
sumber-sumber tertentu akan dipatuhi oleh sekelompok orang tertentu.
Hubungan antara kekuasaan dan kekerasan seacara teoritis telah digagas
oleh Thomas Hobbes dalam bukunya yang berjudul Leviathan, menurut Hobbes,
manusia bertindak atas dasar kepentingan diri sendiri dan sudah menjadi hal yang
wajar jika manusia berselisih dan bertengkar. Seseorang yang berkuasa tentu saja
memiliki kekuasaan yang tak terbatas untuk mempertahankan kekuasaannya
termasuk dengan menggunakan kekerasan. Kekuasaan menjadi sangat nyata
dalam hubungan sosial yang tidak seimbang. Kekerasan yang dilakukan oleh
penguasa dengan otoritas kekuasaanya merupakan model kekeresan struktural
yang biasa dilakukan oleh negara yang pada umumnya berangkat dari pandangan
state centered dalam rangka melakukan kontrol terhadap masyarakat sekaligus
untuk melagengkan kekuasaannya.
Melihat fenomena kekeresan dalam rumah tangga berbasis gender dalam
perspektif sosiologi konflik, maka kita akan berangkat kepada teori konflik Ralf
Dahrendorf yang berpendapat bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, sisi satu
berwajah konsesus dan sisi lainnya berwajah konflik. Manusia pada dasarnya
bersifat tak pernah puas serta egois, dan akan selalu memicu konflik dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dahrendorf mengatakan bahwa sumber konflik
berada pada perbedaan kekuasaan atau otoritas. Berkaitan dengan masalah
kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki
peran serta otoritas dalam keluarga dalam konteks kekerasan berbasis gender

11
termanifestasikan dalam berbagai regulasi yang melahirkan ketidakadilan gender
atau bias gender. Ayah atau Suami sebagai kepala keluarga mempunyai otoritas
legal-rasional yang memiliki potensi untuk melakukan kekerasan terhadap orang-
orang yang termajinalkan dalam keluarga umumnya adalah perempuan (isteri) dan
anak-anak.
Teori konflik yang ada dalam dunia ekonomi publik oleh feminis marxis
ditarik dalam kehidupan keluarga/dunia rumah tangga. Suami dipandang sebagai
kelompok borjuis dan isteri merupakan kelompok proletar. Kepemilikan pribadi
dan penguasaan suami atas isteri merupakan sumber penindasan. Dalam suatu
tradisi masyarakat, suami dikenal sebagai pemilik sumber daya yang melegitimasi
budaya patriarki sedangkan isteri tidak akan pernah memiliki posisi yang setara
dengan suami dan hal tersebut tentu berdampak pada lahirnya suatu ketidakadilan.
Dengan demikian, feminis marxis melihat bahwa perjuangan untuk mewujudkan
kesetaraan gender harus melalui perlawanan kelas.

12
KESIMPULAN
Kekerasan berbasis gender dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga
merupakan fenomena kebudayaan yang terkontruksi oleh suatu sistem sosial.
Gender merupakan suatu perbedaan peran atau fungsi antara laki-laki dan
perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Ketidakadilan gender
merupakan suatu keadaan sistem dan struktr yang menempatkan laki-laki maupun
perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender
termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti marginalisasi
pemiskinan ekonomi, subordinasi, stereotype, kekerasan bahkan kentalnya suatu
budaya patriarki. Pada masyarakat patriarki, perempuan sering termajinalisasikan,
perempuan sering dinilai sebagai sumber fitnah, sumber kekacauan dan kerusakan
sosial.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga lahir sebagai akibat dari cara pandang
masyarakat tentang peran-peran sosial dan personal baik laki-laki maupun
perempuan dalam konteks sosial dengan pola relasi yang timpang dan tidak
sebanding. Lahirnya berbagai kekerasan dalam rumah tangga anatar lain
disebabkan oleh adanya pola relasi kekuasaan yang timpang yang mengandaikan
pola relasi struktural dan hierarki yaitu relasi antara penguasa dan yang dikuasai.
Salah satu upaya meingkatkan kualitas sistem sosial yang adil gender adalah
dengan melakukan berbagai cara seperti sosialisasi, seminar dan pelatihan
mengenai sensitifitas gender dan isu tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Mengingat bahwa gender merupakan suatu bentukan sosial maka upaya
kulturisasi sistem sosial yang adil gender sangat perlu dilakukan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour. (2013). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar
Meiyanti. (1999). Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga.
Yokyakarta: Ford Foundation
Mufidah. (2004). Paradigma Gender. Malang: Banyu Media Publishing
Ridwan. (2006). Kekerasan Berbasis Gender. Purwokerto: Pusat Studi Gender
Saptiawan, Sugihastuti I H. (2007). Gender dan Inferioritas Perempuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Setiawati. (2008). Penuntun Praktis Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta:
Trans Info Media
Soekanto, Soejono.(2009). Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga.
Remaja dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta
Susan, Novri (2009). Pengantar Sosiologi Konflik. Jakarta: Prenadamedia Group

Sumber Lain
Anugriaty Indah Asmarany, “Bias Gender Sebagai Prediktor Kekerasan Dalam
Rumah Tangga”, Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada, Vol 35 No.
1
Komnas Perempuan. (2002). Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan
Indonesia. Jakarta: Ameepro
Kriminolog.id. (2017, Oktober). Kasus KDRT Oktober 2017, dari Pembunuhan
Hingga Istri Dijual. Diakses: 26 Desember 2017, dari
https://kriminologi.id/renata/wanita/kasus-kdrt-oktober-2017-dari-
pembunuhan-hingga-istri-dijual
Liputan6.com. (2017, September). Tidurnya Terganggu, Ayah Tega Hantam Anak
dan Isteri dengan Palu. Diakses: 26 Desember 2017, dari
http://regional.liputan6.com/read/3100725/tidurnya-terganggu-ayah-tega-
hantam-anak-dan-istri-dengan-palu

14
Rita Serena Kalibonso. (2002) “Kejahatan itu Bernama Kekerasan Dalam Rumah
Tangga”, Jurnal Perempan, Vol 26.
Worthen, JB & Sullivan. (2005). “Gender Bias in Attributions of Responsibility
for Abuse. Journal of Family Violence Vol. 20, 305-311 (2005)

15

Anda mungkin juga menyukai