Konsep geopolitik muncul pertama kali oleh seorang ahli politik Swedia bernama
Rudolf Kjellen pada tahun 1899, dimana konsep geopolitik menurut Kjellen
berkaitan dengan geografi dan politik (geo-politics). Geopolitik terlihat dari
geografi yang menciptakan peta politik dunia. Konsep geopolitik sangat sulit
didefinisikan secara spesifik karena kecenderungannya untuk berubah seiring
dengan periode historis dan struktur tatanan dunia yang juga berubah.
Geolpolitik mudah dipahami dalam konteks historis dan tidak besambungan.
Misalnya pada abad ke-20, Kjellen dan para pemikirin imperialis memahami
geopolitik sebagai bagian dari pengetahuan imperial Barat yang berurusan
dengan hubungan antara geografi fisik dan politik. Kemudian pada era Perang
Dunia, geopolitik dipahami sebagai perluasan wilayah seperti konsep
Lebensraum dan Heartland sebagai tujuan kebijakan luar negeri Nazi Jerman saat
itu. Paska era perang, saat era Perang Dingin geopolitik digunakan untuk
mendiskripsikan persaingan panas anatara Uni Soviet dan Amerika Serikat dalam
mempengaruhi dan engontrol negara-negra dan sumber daya strategis di dunia
(Tuathail 2003, 1). Kemudian paska Perang Dingin, seiring dengan munculnya
fenomena globalisasi, hubungan antara geografi, power, dan tatanan dunia
semakin bervariasi. Hal ini memunculkan konsep geopolitik baru yang
didominasi oleh geo-ekonomi.
Geopolitik lahir pada era persaingan imperialis sebagai bentuk power atau
pengetahuan antara tahun 1970an hingga 1945. Era tersebut diwarnai oleh
ekspansionisme kolonial ke negara-negara lain, modernisasi, industrialisasi,
perkembangan teknologi, pergolakan sosial, dan transformasi kultural. Aktor
imperialis yang dominan saat itu adalah Britania Raya, Rusia, Perancis, Italia,
Amerika Serikat, Jerman, dan terkahir Jepang. Motivasi imperialisme ini
dikarenakan terjadinya revolusi industri di negara-negara Eropa, sehingga
negara-negara tersebut mulai memiliki kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri agar industri tetap berjalan. Imperialisme sendiri berarti kebijakan
perluasan kekuasaan atau otoritas suatu imperium atau bangsa terhadap
negara-negara lain untuk memperoleh daerah koloni demi memenuhi
kepentingan nasional (dictionary.com, 2014). Fokus era kolonialisme dan
imperialisme adalah land and soil. Pada abad ke-18 luasnya wilayah
merefleksikan kekuatan suatu negara. Pada era imperialisme, muncul beberapa
ahli geopolitik yang memiliki gagasan-gagasan yang berbeda, seperti Halford
Mackinder, Karl Haushofer, Alfred Mahan, dan Friedrich Ratzel.
Berbeda halnya dengan konsep geopolitik yang dicetuskan oleh Alfred Mahan
(1840-1914), seorang angkatan laut Amerika, yang menekankan pada
pentingnya sea power atau kekuatan laut sebagai faktor utama dalam geopolitik.
Mahan meyakini bahwa awal mula era penjelajahan dan suatu negara memiliki
power yang besar dikarenakan mereka menguasai sea power. Mahan juga
meyakini bahwa sea power tidak hanya sekedar untuk tujuan militer, namun juga
digunakan untuk instrumen mencapai kesuksesan ekonomi (energeopolitics.com,
t.t.). Menurutnya, ketika bukan untuk tujuan perang negara harus menggunakan
sumber daya mereka untuk membangun aparatur maritime yang mampu
meningkatkan kegiatan perdagangan maupun militer. Penaklukan laut dianggap
sebagai bagian dari pengamanan kepentingan nasional. Doktrin inilah yang
kemudian diterapkan Amerika Serikat untuk menaklukkan wilayah lain melalui
jalur laut.
Pada akhir abad ke-19, Friedrich Ratzel dari Jerman juga mengemukakan idenya
tentang geopolitik, sehingga dia dianggap sebagai pencetus geopolitik Jerman.
Ratzel mengembangkan teori sesuai dengan perkmbangan spesies, termasuk
manusia, yang pertama kali ditentukan oleh adaptasi terhadap kondisi geografis.
Ratzel berpendapat bahwa migrasi spesies merupakan faktor krusialdalam
adaptasi sosial dan perubahan kultur. Dia juga mengatakan bahwa untuk tetap
sehat, spesies harus memperluas ruang hidupnya (Noakes 2011). Menurut
pandangan Ratzel, negara adalah organisme yang hidup yang memiliki
kebutuhan untuk bertahan hidup, sehingga untuk berkembang negara bersaing
satu sama lain untuk mendapatkan ruang hidup yang disebut dengan
Lebensraum. Konsep ini diadopsi oleh Hitler melalui partai NAZI-nya dan menjadi
dasar aksi ekspansionis Jerman ke negara-negara Eropa dengan tujuan untuk
memiliki daratan yang luas sebagai ruang hidup. Selain itu teritorial atau
geografi dianggap sebagai kekuatan politik utama. Imperialisme bangsa Jerman
ini terjadi ketika padatnya jumlah penduduk tidak diimbangi oleh luas
wilayahnya yang tidak mungkin dikembangkan lagi. Hitler mengatakan bahwa
harus terjadi keseimbangan antara pertumbuhan dan populasi bangsa, dengan
kuantitas dan kualitas tanah yang menjadi tempat kehidupan dari bangsa
tersebut (Hitler 1942 dalam Tuathail 2003, 36). Oleh karena itu, Hitler
mengajukan politik luar negeri ekspansif ke arah timur untuk memperoleh tanah
Rusia yang dianggap merupakan hak dari ras Arya. Tujuan politik luar negeri bagi
Hitler adalah untuk pencapaian land and soil.
Pada era Perang Dingin terjadi perubahan geopolitik yang sangat signifikan dan
sangat berbeda dengan masa imperialisme, termasuk masa Perang Dunia.
Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945 memunculkan dua kekuatan baru
yang mendominasi dunia, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Masing-masing
kekuatan besar tersebut memiliki ideologi yang saling bertolak belakang, dimana
Amerika Serikat dengan ideologi liberal berada di Blok Barat, sementara Uni
Soviet dengan ideologi komunis berada di Blok Timur. Perbedaan ideologi ini
memunculkan persaingan diantara kedua negara. Persaingan antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet ini disebut sebagai Perang Dingin karena tidak pernah
melibatkan kontak atau perang secara langsung, melainkan melalui penyebaran
ideologi dan pengaruh di negara-negara lain, pemberian ancaman satu sama
lain, melakukan perlombaan senjata dan teknologi dengan tujuan menunjukkan
siapa yang paling kuat di dunia.
Era Perang Dingin telah menggeser dimensi geopolitik baik dalam konteks time,
space, people, dan struggle. Dalam dimensi time dan space, terjadi pergeseran
dari sebelum era Perang Dingin para pengambil keputusan tidak pernah bicara
tentang ideologi, melainkan sebatas tentang wilayah. Setelah adanya Perang
Dingin, geopolitik lebih diwarnai oleh rivalitas ideologi yang pada akhirnya
memunculkan berbagai pakta, seperti NATO (North Atlantic Treaty Organization)
dan Pakta Warsawa. Aktor yang mendominasi pun bergeser dari semula negara-
negara imperialis menjadi dua kubuu besar, yakni Amerika Serikat dan Uni
Soviet. Sementara dalam dimensi struggle, pergeseran terjadi mengingat
bersamaan dengan era Perang Dingin, berakhirnya Perang Dunia II juga
memunculkan dekolonisasi dari negara-negara koloni di Asia dan Afrika untuk
memerdekakan diri dan menentukan nasib sendiri. Para pemimpin negara Asia
dan Afrika yang baru merdeka tersebut menggagas Gerakan Non Blok (GNB)
untuk membendung dua kekuatan dunia, yakni Blok Barat dan Blok Timur yang
sedang berseteru karena kekhawatiran akan terjadinya kolonialisme dan
imperialisme kembali. Hal ini akhirnya membagi dunia menjadi tiga space, yaitu
Barat, Timur, dan negara Dunia Ketiga. China pun muncul sebagai kekuatan
regional dan memposisikan diri sebagai pemimpin Dunia Ketiga. Jadi, struggle
yang dilakukan oleh kubu Barat adalah fokus membendung kubu Timur melalui
pelaksanaan containment policy. Sementara kubu Timur berfokus pada
penyebaran ideologi komunisme dengan obyek target negara-negara Dunia
Ketiga. Dunia Ketiga pun memiliki struggle untuk membendung kedua kekuatan
melalui pembentukan GNB dan fokus pada pengembangan ekonomi,
pemberantasan kemiskinan, dan lain-lain.
Dalam mengkaji geopolitik tentu tidak bisa terlepas dari konsep negara sebagai
aktor utama yang menjadi fokus pembahasan. Pembentukan sistem negara pun
tidak serta-merta muncul, namun melalui proses yang panjang, mulai dari
bentuk city-state atau polis, imperium, hingga menjadi nation-state seperti yang
ada saat ini. Sistem negara berarti hubungan antara pengelompokan manusia
yang terorganisir secara politik yang menguasai wilayah tertentu, tidak berada di
bawah satu kekuatan atau kekuasaan yang lebih tinggi, dan memperoleh dan
menjalankan tindakan merdeka dari satu sama lainnya (Jackson & Sorensen
1999, 14). Sistem negara pertama kali muncul pada era Yunani Kuno (500 SM-
100 SM) yang dikenal sebagai Hellas, yang terdiri dari sejumlah negara-kota,
seperti Sparta, Athena, dan Corinth. Negara kota Yunani Kuno tidaklah seperti
negara yang ada saat ini, namun mereka merupakan sistem negara pertama
dalam sejarah Barat. Polis merupakan suatu wilayah otonomi yang memiliki hak
penuh dalam mengatur administrasi wilayahnya. Sistem ini masih memegang
teguh konsep-konsep agama dan kebudayaan setempat. Permasalahan geografis
sering muncul ketika antar negara kota, seperti Athena dan Sparta yang selalu
berperang dalam rangka ekspansi wilayah.
Sistem negara Yunani Kuno akhirnya hancur oleh kekaisaran Romawi (200 SM-
500 SM) yang menandai bahwa sistem negara kota beralih ke sistem imperium.
Bangsa Romawi mengembangkan kekaisaran yang luas dengan cara
menaklukkan, menguasai, dan memerintah hampir seluruh Eropa dan sebagian
besar Timur Tengah dan Afrika Utara (Jakson & Sorensen 1999, 15). Setelah itu
kekaisaran Romawi diganti oleh kekaisaran Roma di Eropa Barat dan Byzantium
di Eropa Timur. Selain itu juga ada banyak kekaisaran yang menguasai dunia,
seperti kekaisaran Ottoman, China, dan Venesia yang melancarkan ekspansi
wilayah melalui rute perdagangan. Kekuasaan imperium di masa lalu melibatkan
berbagai kekuatan besar di Eropa dalam melebarkan kekuasaan melalui ekspansi
wilayah membuktikan bahwa aspek geopolitik telah dipakai sejak zaman dahulu
sebelum sistem negara modern yakni nation-state terbentuk. Selama era
imperium terjadi banyak perang di Eropa, termasuk Perang Tiga Puluh Tahun.
Kemudian pada tahun 1648 muncul Perjanjian Wesphalia yang menandakan
akhir dari imperium dan mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun. Perjanjian
Westphalia ini memunculkan konsep negara modern, yakni nation-state. Sistem
ini mulai menegaskan tentang kedaulatan dan batas-batas negara yang diakui
secara hukum.
Dari penjabaran konsep geopolitik dalam berbagai era, mulai era polis,
imperium, Perang Dingin, hingga new world order, dapat disimpulkan bahwa
konsep geopolitik bersifat dinamis dengan terus mengalami perkembangan dan
pergeseran dalam dimensi time, space, people, dan struggle. Memahami
geopolitik beserta dimensi-dimensinya dengan baik menjadi penting bagi negara
untuk mengambil kebijakan geostrategi agar eksistensi negara tetap bisa
bertahan seiring perkembangan zaman. Munculnya isu-isu internasional yang
semakin kompleks, aktor-aktor non-state yang semakin banyak pada era
globalisasi juga menuntut negara untuk mempertahankan dirinya dalam rangka
mencapai kepentingan nasional.