Anda di halaman 1dari 6

Dinamika Geopolitik dan Geostrategi Era Imperialisme hingga New World Order

Oleh : Andraina Ary Fericandra / 071211232002

Konsep geopolitik muncul pertama kali oleh seorang ahli politik Swedia bernama
Rudolf Kjellen pada tahun 1899, dimana konsep geopolitik menurut Kjellen
berkaitan dengan geografi dan politik (geo-politics). Geopolitik terlihat dari
geografi yang menciptakan peta politik dunia. Konsep geopolitik sangat sulit
didefinisikan secara spesifik karena kecenderungannya untuk berubah seiring
dengan periode historis dan struktur tatanan dunia yang juga berubah.
Geolpolitik mudah dipahami dalam konteks historis dan tidak besambungan.
Misalnya pada abad ke-20, Kjellen dan para pemikirin imperialis memahami
geopolitik sebagai bagian dari pengetahuan imperial Barat yang berurusan
dengan hubungan antara geografi fisik dan politik. Kemudian pada era Perang
Dunia, geopolitik dipahami sebagai perluasan wilayah seperti konsep
Lebensraum dan Heartland sebagai tujuan kebijakan luar negeri Nazi Jerman saat
itu. Paska era perang, saat era Perang Dingin geopolitik digunakan untuk
mendiskripsikan persaingan panas anatara Uni Soviet dan Amerika Serikat dalam
mempengaruhi dan engontrol negara-negra dan sumber daya strategis di dunia
(Tuathail 2003, 1). Kemudian paska Perang Dingin, seiring dengan munculnya
fenomena globalisasi, hubungan antara geografi, power, dan tatanan dunia
semakin bervariasi. Hal ini memunculkan konsep geopolitik baru yang
didominasi oleh geo-ekonomi.

Geopolitik menjadi popular karena berurusan dengan visi komprehensif peta


politik dunia serta memberikan gambaran besar dan cara untuk mengaitkan
dinamika lokal dan regional dengan sistem global secara keseluruhan. Perlu juga
dipahami bahwa konsep geopolitik berbeda dengan geografi politik atau geo-
politik, dimana geografi politik berkaitan dengan bagaimana proses pemetaan
geografi sehingga menjadi determinasi dalam kebijakan politik, sedangkan
geopolitik dan geostrategi berkaitan dengan bagaimana mengelola alam
dibawah power manusia (Sulistyo 2014). Geostrategi adalah implementasi dari
geopolitik, dalam arti tanpa adanya geopolitik tidak akan muncul geostrategi.
Geostrategi lebih berbentuk kebijakan yang dirumuskan dengan matang
berdasarkan geopolitik, meletakkan wilayah sebagai target utama dan pusat
rencana kebijakan. Geopolitik dan geostrategi memang muncul pada era
imperialisme, namun tidak selalu berarti ekspansionisme. Dalam geopolitik
terdapat keterkaitan antara time, space, struggle, dan people. Keempat unsur
tersebut menjadi pondasi utama dalam konsep geopolitik dan geostrategi yang
dinamis.

Geopolitik Era Imperialisme

Geopolitik lahir pada era persaingan imperialis sebagai bentuk power atau
pengetahuan antara tahun 1970an hingga 1945. Era tersebut diwarnai oleh
ekspansionisme kolonial ke negara-negara lain, modernisasi, industrialisasi,
perkembangan teknologi, pergolakan sosial, dan transformasi kultural. Aktor
imperialis yang dominan saat itu adalah Britania Raya, Rusia, Perancis, Italia,
Amerika Serikat, Jerman, dan terkahir Jepang. Motivasi imperialisme ini
dikarenakan terjadinya revolusi industri di negara-negara Eropa, sehingga
negara-negara tersebut mulai memiliki kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri agar industri tetap berjalan. Imperialisme sendiri berarti kebijakan
perluasan kekuasaan atau otoritas suatu imperium atau bangsa terhadap
negara-negara lain untuk memperoleh daerah koloni demi memenuhi
kepentingan nasional (dictionary.com, 2014). Fokus era kolonialisme dan
imperialisme adalah land and soil. Pada abad ke-18 luasnya wilayah
merefleksikan kekuatan suatu negara. Pada era imperialisme, muncul beberapa
ahli geopolitik yang memiliki gagasan-gagasan yang berbeda, seperti Halford
Mackinder, Karl Haushofer, Alfred Mahan, dan Friedrich Ratzel.

Halford Mackinder, seorang ahli geopolitik Inggris mengatakan bahwa geopolitik


merupakan cara baru untuk melihat politik internasional sebagai dunia yang
bersatu. Mackinder mengatakan bahwa sejarah sekarang ini memasuki zaman
Post-Columbian, dimana ruang menjadi tertutup sehingga suatu peristiwa yang
terjadi di suatu negara akan berdampak secara global. Mackinder mengatakan,
Who rules East Europe commands the Heartland. Who rules the Heartland
commands the World-Island. Who rules the World-Island commands the World
(Mackinder dalam Tuathail 2003, 19). World Island yang dimaksud Mackinder
adalah wilayah Eropa, Asia, dan Afrika. Sementara posisi strategis sentral di
World Island adalah wilayah Eurasia yang kemudian disebut Mackinder sebagai
Heartland (Sempa 2002, 77). Eurasia menjadi pivot area sebagai target geografi
yang strategis karena ruang negara tidak statis. Arti penting Eurasia meluas
karena mengandung sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak
(Sulistyo 2014). Pivot area ini menjadi sangat penting sebagai salah satu titik
kekuatan untuk menguasai dunia, dimana negara-negara yang dapat menguasai
pivot area adalah negara-negara penguasa dunia.

Berbeda halnya dengan konsep geopolitik yang dicetuskan oleh Alfred Mahan
(1840-1914), seorang angkatan laut Amerika, yang menekankan pada
pentingnya sea power atau kekuatan laut sebagai faktor utama dalam geopolitik.
Mahan meyakini bahwa awal mula era penjelajahan dan suatu negara memiliki
power yang besar dikarenakan mereka menguasai sea power. Mahan juga
meyakini bahwa sea power tidak hanya sekedar untuk tujuan militer, namun juga
digunakan untuk instrumen mencapai kesuksesan ekonomi (energeopolitics.com,
t.t.). Menurutnya, ketika bukan untuk tujuan perang negara harus menggunakan
sumber daya mereka untuk membangun aparatur maritime yang mampu
meningkatkan kegiatan perdagangan maupun militer. Penaklukan laut dianggap
sebagai bagian dari pengamanan kepentingan nasional. Doktrin inilah yang
kemudian diterapkan Amerika Serikat untuk menaklukkan wilayah lain melalui
jalur laut.

Pada akhir abad ke-19, Friedrich Ratzel dari Jerman juga mengemukakan idenya
tentang geopolitik, sehingga dia dianggap sebagai pencetus geopolitik Jerman.
Ratzel mengembangkan teori sesuai dengan perkmbangan spesies, termasuk
manusia, yang pertama kali ditentukan oleh adaptasi terhadap kondisi geografis.
Ratzel berpendapat bahwa migrasi spesies merupakan faktor krusialdalam
adaptasi sosial dan perubahan kultur. Dia juga mengatakan bahwa untuk tetap
sehat, spesies harus memperluas ruang hidupnya (Noakes 2011). Menurut
pandangan Ratzel, negara adalah organisme yang hidup yang memiliki
kebutuhan untuk bertahan hidup, sehingga untuk berkembang negara bersaing
satu sama lain untuk mendapatkan ruang hidup yang disebut dengan
Lebensraum. Konsep ini diadopsi oleh Hitler melalui partai NAZI-nya dan menjadi
dasar aksi ekspansionis Jerman ke negara-negara Eropa dengan tujuan untuk
memiliki daratan yang luas sebagai ruang hidup. Selain itu teritorial atau
geografi dianggap sebagai kekuatan politik utama. Imperialisme bangsa Jerman
ini terjadi ketika padatnya jumlah penduduk tidak diimbangi oleh luas
wilayahnya yang tidak mungkin dikembangkan lagi. Hitler mengatakan bahwa
harus terjadi keseimbangan antara pertumbuhan dan populasi bangsa, dengan
kuantitas dan kualitas tanah yang menjadi tempat kehidupan dari bangsa
tersebut (Hitler 1942 dalam Tuathail 2003, 36). Oleh karena itu, Hitler
mengajukan politik luar negeri ekspansif ke arah timur untuk memperoleh tanah
Rusia yang dianggap merupakan hak dari ras Arya. Tujuan politik luar negeri bagi
Hitler adalah untuk pencapaian land and soil.

Ada keterkaitan antara Lebensraum dan Heartland, yakni keduanya


mengenalkan pentingnya ruang hidup sebagai pondasi utama untuk menguasai
wilayah dan mempertahankan kekuatan geopolitik. Dalam dimensi waktu,
geopolitik pada abad ke-18 hingga ke-19 memunculkan Eropa sebagai
episentrum peradaban dunia karena adanya revolusi industri. Dalam dimensi
ruang di masa peperangan, industrialisasi dan kebutuhan space yang lebih luas
menjadi penting agar tetap bisa survive. Sementara dalam dimensi struggle,
memang strategi penguasaan yang paling rasional pada era tersebut adalah
militer, sehingga memunculkan kolonialisme dan imperialism (Sulistyo 2014).

Geopolitik Era Perang Dingin

Pada era Perang Dingin terjadi perubahan geopolitik yang sangat signifikan dan
sangat berbeda dengan masa imperialisme, termasuk masa Perang Dunia.
Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945 memunculkan dua kekuatan baru
yang mendominasi dunia, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Masing-masing
kekuatan besar tersebut memiliki ideologi yang saling bertolak belakang, dimana
Amerika Serikat dengan ideologi liberal berada di Blok Barat, sementara Uni
Soviet dengan ideologi komunis berada di Blok Timur. Perbedaan ideologi ini
memunculkan persaingan diantara kedua negara. Persaingan antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet ini disebut sebagai Perang Dingin karena tidak pernah
melibatkan kontak atau perang secara langsung, melainkan melalui penyebaran
ideologi dan pengaruh di negara-negara lain, pemberian ancaman satu sama
lain, melakukan perlombaan senjata dan teknologi dengan tujuan menunjukkan
siapa yang paling kuat di dunia.

Momentum dimulainya Perang Dingin adalah adanya Truman Doctrine pada 12


Maret 1947 yang dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat saat itu, Harry S.
Truman, dengan memberi bantuan ekonomi kepada Yunani dan Turki untuk
mencegah dominasi komunis Uni Soviet di kedua negara tesebut, dimana
bantuan ekonomi ini disebut dengan Marshall Plan (history.com, t.t.). Truman
menegaskan parameter luas kebijakan luar negeri AS pada Perang Dingin yakni
memberikan bantuan militer dan ekonomi di negara-negara lain untuk
melindungi negara dari agresi komunis Uni Soviet yang dianggap sebagai pusat
dari semua aktivitas komunis dan gerakan di seluruh dunia.

Geopolitik pada masa Perang Dingin menunjukkan suatu sistem anti-komunisme.


Amerika Serikat pun mencetuskan teori domino, yakni suatu efek domino apabila
satu negara jatuh ke tangan komunis, mana negara-negara sekitarnya juga akan
berada di bawah pengaruh komunisme. Misalnya ketika pengaruh komunisme
mulai masuk ke Vietnam yang menyebabkan terjadinya proxy war, yakni Perang
Indochina II pada tahun 1961 antara Vietnam Utara dengan pengaruh
komunisme dengan Vietnam Selatan yang mengusung liberalisme. Amerika
Serikat melihat masuknya komunisme di Vietnam sebagai ancaman serius bagi
penyebaran komunisme di Asia tenggara jika terus dibiarkan. Oleh karena itu
Amerika Serikat membuat suatu kebijakan yang bertujuan untuk membendung
dan mengantisipasi efek domino persebaran komunisme di Asia Tenggara, yaitu
containment policy yang dibuat oleh George F. Kennan. Kebijakan containment
yang diambil AS dalam hubungannya dengan negara-negara baru merdeka di
Asia Tenggara menekankan suatu bentuk kemanan bersama melawan ancaman
komunis sebagai dasar hubungan yang lebih luas dalam sektor ekonomi dan
politik menjadi sangat penting untuk perkembangan nasional. Tujuan AS adalah
untuk membawa negara-negara Asia Tenggara dalam dunia bebas
(Weatherbee 2005). Adapun implementasi dari containment policy Amerika
Serikat adalah dengan dibentuknya Southeast Asia Treaty Organization (SEATO)
pada 1954 sebagai organisasi keamanan kawasan dengan tujuan membendung
komunisme Soviet di Asia Tenggara. SEATO juga berperan sebagai kerangka
politik multilateral AS di Asia Tenggara. Nilai geopolitik SEATO bagi AS adalah
bisa meletakkan pusat militer dan latihan militer, seperti pada Perang Vietnam
(1966-1967) lebih dari 2000 tentara AS berada di basis-basis Thailand dan
mendukung operasi udara (Tow 2003).

Era Perang Dingin telah menggeser dimensi geopolitik baik dalam konteks time,
space, people, dan struggle. Dalam dimensi time dan space, terjadi pergeseran
dari sebelum era Perang Dingin para pengambil keputusan tidak pernah bicara
tentang ideologi, melainkan sebatas tentang wilayah. Setelah adanya Perang
Dingin, geopolitik lebih diwarnai oleh rivalitas ideologi yang pada akhirnya
memunculkan berbagai pakta, seperti NATO (North Atlantic Treaty Organization)
dan Pakta Warsawa. Aktor yang mendominasi pun bergeser dari semula negara-
negara imperialis menjadi dua kubuu besar, yakni Amerika Serikat dan Uni
Soviet. Sementara dalam dimensi struggle, pergeseran terjadi mengingat
bersamaan dengan era Perang Dingin, berakhirnya Perang Dunia II juga
memunculkan dekolonisasi dari negara-negara koloni di Asia dan Afrika untuk
memerdekakan diri dan menentukan nasib sendiri. Para pemimpin negara Asia
dan Afrika yang baru merdeka tersebut menggagas Gerakan Non Blok (GNB)
untuk membendung dua kekuatan dunia, yakni Blok Barat dan Blok Timur yang
sedang berseteru karena kekhawatiran akan terjadinya kolonialisme dan
imperialisme kembali. Hal ini akhirnya membagi dunia menjadi tiga space, yaitu
Barat, Timur, dan negara Dunia Ketiga. China pun muncul sebagai kekuatan
regional dan memposisikan diri sebagai pemimpin Dunia Ketiga. Jadi, struggle
yang dilakukan oleh kubu Barat adalah fokus membendung kubu Timur melalui
pelaksanaan containment policy. Sementara kubu Timur berfokus pada
penyebaran ideologi komunisme dengan obyek target negara-negara Dunia
Ketiga. Dunia Ketiga pun memiliki struggle untuk membendung kedua kekuatan
melalui pembentukan GNB dan fokus pada pengembangan ekonomi,
pemberantasan kemiskinan, dan lain-lain.

Geopolitik era Perang Dingin bertujuan lebih kepada pembangunan, yakni


menerapkan model pembangunan yang bisa diterapkan di suatu negara. Hal ini
memunculkan tantangan kepada kedua kubu yang sedang berseteru, dimana
Amerika Serikat dan Uni Soviet menawarkan dua model pembangunan yang
berbeda berdasarkan ideologi liberalisme dan komunisme tersebut. Model
pembangunan itu kemudian diadopsi oleh negara-negara Dunia Ketiga yang baru
merdeka. Beberapa negara mengalami dilemma terkait ketergantungan
pembangunan, misalnya negara-negara Afrika yang menerima dan menerapkan
model pembangunan komunis namun hanya diambil kulitnya saja, sehingga
terjadi chaos dan instabilitas politik karena penerapan yang keliru, akhirnya
negara-negara tersebut kembali bergantung kepada negara-negara besar,
misalnya Afrika Tengah yang bergantung kepada Perancis hingga sekarang
(Sulistyo 2014). Aspek lain yang menggeser geopolitik era Perang Dingin adalah
meskipun yang menjadi fokus utama adalah ideologi, namun munculnya senjata-
senjata canggih karena kemajuan teknologi membawa pada persaingan
teknologi antar kedua kubu. Akhirnya, rivalitas ideologi tidak sebatas dalam
pembangunan namun berkembang di banyak aspek.

Geopolitik Era Polis hingga New World Order

Dalam mengkaji geopolitik tentu tidak bisa terlepas dari konsep negara sebagai
aktor utama yang menjadi fokus pembahasan. Pembentukan sistem negara pun
tidak serta-merta muncul, namun melalui proses yang panjang, mulai dari
bentuk city-state atau polis, imperium, hingga menjadi nation-state seperti yang
ada saat ini. Sistem negara berarti hubungan antara pengelompokan manusia
yang terorganisir secara politik yang menguasai wilayah tertentu, tidak berada di
bawah satu kekuatan atau kekuasaan yang lebih tinggi, dan memperoleh dan
menjalankan tindakan merdeka dari satu sama lainnya (Jackson & Sorensen
1999, 14). Sistem negara pertama kali muncul pada era Yunani Kuno (500 SM-
100 SM) yang dikenal sebagai Hellas, yang terdiri dari sejumlah negara-kota,
seperti Sparta, Athena, dan Corinth. Negara kota Yunani Kuno tidaklah seperti
negara yang ada saat ini, namun mereka merupakan sistem negara pertama
dalam sejarah Barat. Polis merupakan suatu wilayah otonomi yang memiliki hak
penuh dalam mengatur administrasi wilayahnya. Sistem ini masih memegang
teguh konsep-konsep agama dan kebudayaan setempat. Permasalahan geografis
sering muncul ketika antar negara kota, seperti Athena dan Sparta yang selalu
berperang dalam rangka ekspansi wilayah.

Sistem negara Yunani Kuno akhirnya hancur oleh kekaisaran Romawi (200 SM-
500 SM) yang menandai bahwa sistem negara kota beralih ke sistem imperium.
Bangsa Romawi mengembangkan kekaisaran yang luas dengan cara
menaklukkan, menguasai, dan memerintah hampir seluruh Eropa dan sebagian
besar Timur Tengah dan Afrika Utara (Jakson & Sorensen 1999, 15). Setelah itu
kekaisaran Romawi diganti oleh kekaisaran Roma di Eropa Barat dan Byzantium
di Eropa Timur. Selain itu juga ada banyak kekaisaran yang menguasai dunia,
seperti kekaisaran Ottoman, China, dan Venesia yang melancarkan ekspansi
wilayah melalui rute perdagangan. Kekuasaan imperium di masa lalu melibatkan
berbagai kekuatan besar di Eropa dalam melebarkan kekuasaan melalui ekspansi
wilayah membuktikan bahwa aspek geopolitik telah dipakai sejak zaman dahulu
sebelum sistem negara modern yakni nation-state terbentuk. Selama era
imperium terjadi banyak perang di Eropa, termasuk Perang Tiga Puluh Tahun.
Kemudian pada tahun 1648 muncul Perjanjian Wesphalia yang menandakan
akhir dari imperium dan mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun. Perjanjian
Westphalia ini memunculkan konsep negara modern, yakni nation-state. Sistem
ini mulai menegaskan tentang kedaulatan dan batas-batas negara yang diakui
secara hukum.

Munculnya konsep nation-state pun membuat konsep geopolitik bergeser lagi.


Berakhirnya Perang Dingin yang ditandai oleh runtuhnya Tembok Berlin dan
mengakhiri kejayaan Uni Soviet, mengantarkan Amerika Serikat muncul sebagai
kekuatan tunggal dan mendominasi dunia dengan liberalismenya. Homogenitas
dunia ini dianggap sebagai end of history yang akhirnya melahirkan konsep new
world order. Konsep ini pun melahirkan pola geopolitik yang baru, dimana dalam
dimensi time terjadi pergeseran dari berakhirnya Perang Dingin menjadi adanya
new world order. Pada era new world order, space pun bergeser setelah
pertarungan ideology berakhir, dimana dunia menjadi semakin multipolar
dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru dengan perspektif-perspektif baru,
seperti China yang muncul dengan kekuatan ekonomi dan menjadi rival
hegemoni AS, negara-negara Eropa yang mendirikan European Union sebagai
organisasi solidaritas kawasan, negara-negara ASEAN yang merangkul negara-
negara Asia Timur, dan negara-negara bekas Uni Soviet yang ingin bergabung
dengan Barat. Dalam dimensi struggle menunjukkan adanya clash of civilization
antara Barat dan Islam, budaya memiliki batas-batas jelas dimana pada saat era
Perang Dingin dibedakan antara liberalisme dan komunisme, pada era new world
order yang menjadi pembeda dalam masyarakat adalah agama dan budaya.
Dalam dimensi people, terjadi pergeseran aktor yang semula we dan they
merujuk pada Amerika Serikat dan Uni Soviet, kini merujuk pada kelompok-
kelompok partikularis seperti kelompok agama, budaya, etnosentrisme, dan
gerakan-gerakan radikal lainnya. Rusia juga muncul sebagai negara yang
memiliki etno-nasionalisme yang kuat, sehingga kemudian Rusia mencaplok
wilayah yang ditinggali oleh ras Rusia (Sulistyo 2014).

Fenomena globalisasi pun menjadi faktor determinan dalam perubahan


geopolitik era new world order dengan adanya kemajuan teknologi, komunikasi,
dan informasi. Di sisi lain globalisasi menyulut berbagai persoalan baru, seperti
fenomena Arab Spring dengan menyebarkan nilai-nilai demokrasi dan liberal
secara global. Peran negara pun bergeser dengan munculnya aktor-aktor non-
state yang ikut mewarnai dunia perpolitikan. Namun, negara masih memegang
peran sebagai satu-satunya entitas yang mampu menyentuh persoalan
geopolitik dan geostrategi secara holistik. Pergeseran pola geopolitik menjadikan
identitas negara sebagai dasar dalam menyusun geostrategi.

Dari penjabaran konsep geopolitik dalam berbagai era, mulai era polis,
imperium, Perang Dingin, hingga new world order, dapat disimpulkan bahwa
konsep geopolitik bersifat dinamis dengan terus mengalami perkembangan dan
pergeseran dalam dimensi time, space, people, dan struggle. Memahami
geopolitik beserta dimensi-dimensinya dengan baik menjadi penting bagi negara
untuk mengambil kebijakan geostrategi agar eksistensi negara tetap bisa
bertahan seiring perkembangan zaman. Munculnya isu-isu internasional yang
semakin kompleks, aktor-aktor non-state yang semakin banyak pada era
globalisasi juga menuntut negara untuk mempertahankan dirinya dalam rangka
mencapai kepentingan nasional.

Anda mungkin juga menyukai