Anda di halaman 1dari 10

BAB VI

Balance of Power dan Sistem Hegemoni

Sub Pokok Bahasan:

1. Definisi Bop dan Sistem Hegemoni


2. Keterkaitan BoP dengan konsep perdamaian dan keamanan internasional
3. Perdebatan dalam konsep perdamaian dan keamanan internasional
4. Peran Amerika Serikat sebagai negara hegemon
5. Nature sistem hegemoni

Tujuan Pembelajaran:

1. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep balance of power dan peranannya dalam


perdamaian dan keamanan internasional serta mampu menjelaskan perdebatan
tentang sistem balance of power dalam mendukung terciptanya perdamaian dan
keamanan internasional
2. Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai sistem hegemoni dan mengidentifikasi ciri
atau nature dari sistem hegemoni dalam pengamanan dunia serta relasi sistem
hegemoni dengan sistem balance of power dan aliansi dalam menciptakan perdamaian
Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai system hegemoni dan mengidentifikasi ciri
atau nature dari sistem hegemoni dalam pengamanan dunia serta relasi sistem
hegemoni dengan sistem balance of power dan aliansi dalam menciptakan perdamaian

Metode Pembelajaran:

Kelas dibagi menjadi tiga kelompok, dengan rincian dua kelompok sebagai presenter materi
dan satu kelompok sebagai panelis. Kelas dimulai dari pemaparan materi oleh kelompok
presenter berdasarkan pertanyaan arahan yang telah diberikan. Kemudian, kelas dilanjutkan
dengan sesi diskusi untuk menyampaikan pendapat, pertanyaan, maupun kritik yang dipimpin
oleh kelompok panelis. Sesi diskusi akan ditutup dengan kesimpulan dari salah satu
perwakilan kelas dan dilanjutkan dengan sesi penjelasan dari pengajar.

Pertanyaan Arahan:

1. Jelaskan pengertian dari Balance of Power?


2. Bagaimana Balance of Power mendukung terciptanya Perdamaian dan Keamanan
Internasional?
3. Jelaskan juga perdebatan tentang sistem BoP dalam mendukung terciptanya
perdamaian dan Keamanan Internasional?
4. Berikan contoh kasus yang relevan terkait hal tersebut!
5. Apakah yang dimaksud dengan sistem hegemoni?
6. Bagaimana US selaku hegemoni power di dunia melakukan upaya keamanan
internasional ?
7. Apa yang menjadi ciri atau nature dari hegemonic system dalam pengamanan dunia?
8. Menurut pendapat saudara masih layak dan mampukah US menjadi institusi penting
dalam keamanan internasional?

Sumber Bacaan:

Pettman, Ralph, 1991, ‘The Balance of Power’, International Politics, Balance of Power,
Balance of Productivity, Balance of ideologies. Sydney: Longman Cheshire.

Goldstein, Avery. 2003. ‘Balance of Power politics: Consequences for Asian Security Order’,
dalam Muthiah Alagappa (ed.), Asian Security Order, Stanford, California: Stanford
University Press

Ikenberry G.John. 2002. America’s Imperial Ambition, Foreign Affairs, 81 (5)

Kagan, Robert. 2004. America’s Crisis of Legitimacy, Foreign Affairs83 (2) hal. 65-87.

Mastanduno, Michael. 2003. “Incomplete Hegemony: The United States and Security Order
in Asia” , dalam Muthiah Alagappa (ed.), Asian security order, Stanford, California: Stanford
University Press.
BAB VI

Balance of Power dan Sistem Hegemoni

Pendahuluan

Sejak berakhirnya peristiwa Perang Dingin, kondisi tatanan dunia mengalami


perubahan dari yang semula bipolar menjadi multipolar. Perubahan tatanan dunia tersebut
membawa konsekuensi tersendiri bagi ilmu Hubungan Internasional. Dinamika yang
ditimbulkan dari bergesernya tatanan dunia tersebut mempengaruhi interaksi yang terjadi
antar satu negara dengan negara lainnya. Negara dalam melakukan relasi dengan negara lain
tentunya membawa kepentingan nasional yang dapat dicapai melalui power yang dimiliki
oleh negara tersebut. Negara-negara tersebut memanfaatkan power yang mereka miliki
sebagai bentuk dari bergaining position. Perbedaan hirarki dalam posisi tawar menawar yang
dipengaruhi oleh power tersebut yang kemudian memunculkan hegemoni suatu negara yang
kemudian diatasi dengan konsep balance of power. Konsep perimbangan kekuatan ini
memiliki posisi yang penting dan krusial di dalam ilmu Hubungan Internasional itu sendiri.

Perkembangan dunia yang telah melahirkan berbagai macam international oerder


hingga saat ini telah merefleksikan adanya peranan dari sistem hegemoni. Keberadaan sistem
hegemoni dalam sistem internasional tentunya memiliki fungsi-fungsi tersendiri yang
bertujuan untuk menciptakan sistem internasional yang stabil. Hal ini menurut teori stabilitas
hegemoni dikarenakan bahwa, sistem internasional ditegakkan atau dipelihara oleh single
leadership (kepemimpinan tunggal) yang berperan dalam mengakomodasi kepentingan
bersama dalam keseluruhan sistem dunia dan tentunya memiliki kemampuan atau kapasitas
yang besar untuk menjaga stabilitas dunia termasuk stabilitas dalam bidang perdamaian dan
keamanan internasional.

Balance of Power

Konsep balance of power tidak dapat dilepaskan dari sisi pesimistik perspektif
induknya, yakni realisme yang memandang sistem internasional sebuah anarki sehingga
perdamaian yang berkelanjutan seperti yang diamini oleh liberalisme idealis menjadi istilah
yang utopis. Balance of power adalah kondisi dimana negara cenderung untuk memperkuat
kekuatan militernya demi mencegah adanya ancaman dan serangan dari negara lain, dengan
kata lain negara-negara berupaya untuk menyeimbangkan hard power guna menghindari
perang (Kegley dan Blaton, 2011: 69). Kompetisi antar aktor di sistem internasional ini
ditujukan untuk menciptakan keadaan keamanan dan ketertiban internasional. Balance of
power atau perimbanagn kekuatan pada mulanya digunakan untuk menunjukan relasi
kekuasaan dan kekuatan para aktor internasional ketika masa Perang Napoleon di Eropa
sampai pada Perang Dunia Pertama. Aktor negara yang ada dalam sistem internasional akan
berusaha untuk menyeimbangkan dan menyetarakan kekuatan mereka sehingga
menghasilkan suatau kerjasama antarnegara di tengah situasi yang kompetitif. Lahirnya
balance of power ini sendiri dikarenakan ketakutan negara-negara Dunia Pertama terhadap
munculnya kekuatan baru dari negara-negara Dunia Ketiga yang dapat mengganggu
keamanan negaranya. Keamanan dapat dikelola dengan mengubah aliansi antarnegara
sehingga dapat mencegah kemungkinan suatu negara menjadi dominan dalam sistem
internasional. Demi terciptanya keadaan yang terkendali, institusi dan hukum internasional
harus juga berperan aktif dalam sistem internasional, dan akan lebih efektif jika terdapat
paksaan dan sanksi (Steans et al., 2005: 77).

Dalam teori negara konvensional, pettman (1991: 52) menyatakan konsep balance of
power menjelaskan situasi dan kondisi dari keadaan perpolitikan internasional dewasa ini.
Konsep ini muncul saat sistem internasional yang anarki lantas mendorong negara untuk
berperilaku agresif dalam mengejar akumulasi dari kekuatannya. Keadaan sistem
internasional yang kompetitif ini kemudian mengarahkan pada situasi security dilemma yang
menempatkan negara pada dua pertimbangan yang sulit, yakni di satu sisi berusaha untuk
menjaga kestabilan sistem internasional melalui pembatasan akumulasi kekuatan, di sisi lain
juga berusaha untuk meningkatkan agar mencapai kepentingan nasionalnya (Paul et al. 2004:
134). Security dilemma merupakan kecurigaan terhadap negara yang secara diam-diam
berusaha untuk meningkatkan kekuatan karena negara dalam prakteknya membutuhkan
kekuatan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup negaranya. Ketika dilema tersebut
dihadapi, maka konsep balance of power adalah hal yang ditawarkan oleh para penganut
pandangan realisme sebagai salah satu win-win solution, karena di satu sisi stabilitas sistem
negara terjaga dan di sisi lain ketakutan-ketakutan negara akan akumulasi kekuatan negara
lain dapat direduksi.

Perdebatan Mengenai Balance of Power

Jika merujuk pada Argumen John J, Mearsheimer dalam karya Tragedy of Great
Power Politics (2001: 231), dengan asumsi dasar dari realisme yang menyebutkan bahwa
kebutuhan esensial dari tiap negara adalah survivalitas dalam dunia internasional, dengan
kondisi dunia yang bersifat anarki, dan setiap negara memiliki kecurigaan atas intensi dari
negara lain, cara paling jelas untuk memastikan suatu negara tetap eksis adalah dengan
menjadi yang paling kuat diatas negara lain, atau singkatnya menjadi hegemon. Menjadi
pihak yang hegemon dalam dunia internasional yang semacam ini, menjadi opsi yang paling
rasional. Selain menjadi pihak yang berada diatas negara lain, keberadaan negara hegemon
juga mampu menjadi jaminan bahwa keamanan dan perdamaian internasional mampu
dicapai. Aktor rasional lain akan cukup mawas diri untuk tidak mengancam atau melakukan
tindakan provokatif terhadap negara hegemon karena selain hal tersebut akan mengganggu
stabilitas internasional, jika negara hegemon tersebut, dalam kesempatan langka, mampu
dikalahkan, maka akan ada perebutan dari aktor lain yang merasa memiliki kapabilitas dan
merasa mampu untuk menggantikan pihak yang lama. Pada jeda inilah akan ada
kemungkinan terjadi peperangan dan gangguan keamanan sebagai akibat dari hilangnya aktor
pengatur.

Pesimistik yang dimiliki oleh realisme mendorong perspektif tersebut sebagai bagian
dominan dari studi Hubungan Internasional. Namun, sama seperti perspektif lainnya,
perspektif ini juga menuai berbagai kritik didalamnya. Begitu pula konsep balance of power
yang diperkenalkan oleh realisme untuk menjaga stabilitas sistem internasional yang bersifat
anarki. Terdapat setidaknya tiga perdebatan mengenai balance of power. Pertama adalah
konsep tersebut yang memiliki doktrin dan pemahaman absolut mengenai kemampuan
manusia dalam merumuskan kebijakan luar negeri dan mengubahnya secara komprehensif
dan pemahaman bahwa dunia memiliki cycle yang akan mudah diprediksi kedepannya. Kritik
yang dituai adalah pada kenyataannya manusia memiliki ruang untuk melakukan kesalahan
dan tidak dapat melaksanakan apllikasi kebijakan yang tanpa cacat, disisi lain dunia
regularitas yang digunakan untuk memandang dunia kurang tepat untuk diaplikasikan
mengingat dunia memiliki faktor-faktor tidak terduga dan konflik merupakan salah satu dari
aspek tidak terduga tersebut (Pettman, 1991: 67). Kedua adalah kritik mengenai pembahasan
balance of power yang bersifat terlalu state-centric dalam sistem internasional dan sebagai
framework bagi pilitik dunia. Pemahaman ini dinilai mereduksi peran aktor-aktor lain seperti
NGO, MNC, dan lain sebagainya yang juga memiliki kemampuan dalam mewujudkan
stabilitas internasional. Perdebatan ketiga merujuk pada kemunculan anomali ketika dua
negara besar memiliki kekuatan yang sama dan berusaha untuk melakukan penyeimbangan,
kekuasaan akan membawa bipolaritas yang mana terbukti justru menciptakan konflik lain
hingga kemudian munculah peristiwa seperti Perang Dingin. Tujuan untuk menyeimbangkan
kekuatan negara justru memiliki potensi untuk menimbulkan perang (Paul et al., 2004: 23).
Selain itu, konsep balance of pwer yang merujuk pada keseimbangan kekuatan dalam aspek
hard power maupun soft power dinilai tidak memiliki tolak ukur pasti yang pada akhirnya
akan sulit untuk menciptakan keseimbangan itu sendiri (Goldstein, 2003: 54).

Balance of Power dalam Mendukung Terciptanya Perdamaian dan Kemanan


Internasional

Goldstein (2003: 89) memaparkan bagaimana situasi di Asia terwujud dari penerapan
konsep balance of power untuk menyaingi pengaruh Amerika Serikat sebagai superpower.
Meskipun mulai terlihat adanya pergeseran dengan kemunculan potensi aktor baru dalam
membentuk keseimbangan kekuatan di Asia, pengaruh Amerika Serikat di antara negara-
negara Asia memang sulit untuk digantikan. Hal ini dikarenakan masih banyak negara-negara
yang bergantung dan berlindung pada Amerika Serikat. Di sisi lain, terdapat beberapa negara
seperti Tiongkok dan India yang mendukung pengurangan pengaruh Amerika Serikat yang
dianggap kurang mampu mewujudkan apa yang menjadi tujuan internasional dalam bidang
politik, ekonomi serta militer (Goldstein, 2003:90).

Adanya balance of power di kawasan Asia didorong oleh beberapa hal, pertama
adalah perkembangan teknologi. Terciptanya balance of power sangat dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi terutama teknologi militer yang membantu negara untuk menambah
powernya. Hal ini terus berkembang seiring berjalannya waktu, teknologi modern
mempengaruhi perilaku balancing di era kontemporer karena memberikan pertimbangan bagi
negara dalam penerapan kekuatan militer untuk mewujudkan tujuan internasionalnya
(Goldstein, 2003: 112). Dalam kata lain, teknologi mempersulit negara untuk memenuhi
persyaratan strategi yang memerlukan keberhasilan dari operasi ofensif dan defensif militer.

Kedua adalah kondisi geografi yang dipengaruhi oleh tiga hal. Ukuran negara
merupakan faktor yang turut memengaruhi kebijakan yang dibuat oleh negara terutama dalam
menjamin kedaulatan negara tersebut. Realitanya, ukuran negara masih menjadi hal yang
signifikan dalam pembuatan kebijakan negara. Contoh pengaruh ukuran terhadap negara
Pakistan, Korea Utara dan Taiwan yang mengembangkan nuklir untuk menutupi kekurangan
geogrfi yang dimilkinya. Selain itu, geografi berpengaruh pada kemunculan berbagai konflik
wilayah terkait maritim dan benua yang mana bebarapa diantaranya masih belum
terselesaikan seperti konflik Laut Cina Selatan. Geografi juga penting dalam balance of
power di kawasan Asia karena kedekatan hubungan wilayah dengan Amerika Serikat sebagai
superpower (Goldstein, 2003: 113). Ketiga adalah adanya upaya balancing dan aliansi pada
era nukilr.

Sistem Hegemoni

Sebagaimana yang diketahui bahwa hegemoni merupakan bentuk dominasi atas suatu
kelompok. Maka dari itu tidak dapat dimungkiri bila hegemoni menempatkan suatu pihak
yang memiliki kekuatan paling besar pada posisi tertentu yang memudahkan mereka untuk
memutuskan sesuatu dan mengontrol jalannya aktivitas yang dijalani bersama-sama
(Rosamond, 2006: 17). Istilah hegemoni sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti
dominasi atau kepemimpinan, terutama oleh negara dalam suatu perserikatan atau
konfederasi. Namun, istilah ini tidak menjelaskan apakah terdapat komitmen yang mengikat
negara sebagai bentuk pemaksaan, konsensus, atau perpaduan antara keduanya. Artinya,
hegemoni tidak harus bersebelahan secara teritorial, melainkan dapat menyebarluas atau
terkonsentrasi secara geografis. Dalam penerapannya, hegemoni tidak hanya melibatkan
pemaksaan militer dan ekonomi, namun juga pada persetujuan militer dan ekonomi, namun
juga pada persetujuan dan kerjasama anntara negara-negara. Inti utama hegemoni terletak
pada aturan umum, institusi, dan nilai. Aspek-aspek tersebut didukung oleh posisi superior
ekonomi, budaya, dan militer yang dimiliki oleh negara atau kelompok sosial yang melakuka
hegemoni. Sehingga, hegemoni tidak haya merujuk pada superiorits bentuk pengalaman dan
kesadaran untuk melakukan hegemoni (Angew, 2005: 20).

Dalam teori stabilitas hegemoni terdapat dua klasifikasi yaitu, hegemoni merupakan
sistem yang benevolent dan hegemoni sebagai sistem yang koersif. Pertama, hegemoni
sebagai sistem yang benevolent didasarkan pada teori liberla dan fungsional. Hal ini
dijelaskan melalui asumsi Charles Kindleberger (1986 dalam Min, 2003: 22) bahwa
keberadaan kepemimpinan tunggal dalam sistem duni aguna untuk memenuhi fungsi-fungsi
dan tanggung jawab dalam menjaga stabilitas sistem. Sementara konsep hegemoni sebagai
sistem yang koersif merefleksikan tradisi dan keegosidan yang merupakan sifat dasar
hegemoni dalam sistem anarki dan perebutan kekuasaan (Min, 2003: 22).

Hegemoni Amerika Serikat dalam Sistem Internasional

Pada awalnya globalisasi ini merupakan proyek dari hegemoni geopolitik AS selama
Perang Dingin dengan menggabungkan seluruh dunia dalam pengawasannya pasca runtuhnya
kekuasaan komunis Uni Soviet. Globalisasi ini berbeda dengan liberalisasi. Globalisasi
cenderung pada meningkatnya kegiatan ekonomi dan budaya lintas negara sehingga
kemudian dapat mengaburkan batas-batas negara. Sedangkan liberalisasi merupakan
perubahan kebijakan oleh pemerintah sebagai respon atas tekanan eksternal yang menuntut
perubahan teknologi dan kebijakan yang melibatkan lembaga dunia seperti WTO, IMF, dan
Bank Dunia. Dalam konteks ini, liberalisasi condong untuk meningkatkan intensitas
globaalisasi, tetapi bukan hal yang sama. Selain itu, hegemoni AS tidak hany dimaksudkan
secara politik semata karena pada kenyataanya US Main Street dan pusat perbelanjaanya
lebih berpengaruh daripada sekadar Washington DC. Kemudian hegemoni ini lebih kepada
penyebaran nilai yang masif melalui konsumerisme masyarakat. Penyebaran ide hegemoni
Amerika Serikat kemudian juga turut mengubah nilai tradisional yang dapat menghambat
perkembangan berbagai kelompok, tidak terkecuali wanita sebagai subjek yang independen
(sebagai masyarakat maupun konsumen daripada hanya terbatas pada sebagai ibu), serta
partisipasi masyarakat sebagai individu cenderung meningkat (Agnew, 2005).

Di lain sisi, hegemoni yang dilakukan melalui intervensi kemanusiaan dianggap


Amerika sering menyelamatkan lebih banyak korban daripada biaya yang dikeluarkan.
Dalam kebijakan National Security Presidential Directive nomer empat puluh empat
menyebutkan bahwa "Amerika Serikat memiliki andil yang signifikan dalam meningkatkan
kapasitas untuk membantu menstabilkan dan merekonstruksi negara atau wilayah, terutama
yang berisiko, dalam atau dalam transisi dari konflik atau bencana, dan untuk membantu
mereka membangun jalan yang berkelanjutan menuju masyarakat damai, demokrasi, dan
ekonomi pasar”. Lebih lanjut, “Usaha tersebut bertujuan untuk memungkinkan pemerintah di
luar negeri menjalankan kedaulatan atas wilayah mereka sendiri dan untuk mencegah agar
wilayah-wilayah tersebut tidak dijadikan basis operasi atau tempat yang aman bagi ekstremis,
teroris, kelompok kejahatan terorganisir, atau pihak lain yang menimbulkan ancaman
terhadap kebijakan luar negeri Amerika” (Choksy dan Choksy, 2011). Melihat hal tersebut,
dalam tulisan John Ikenberry (2002) menyebutkan bahwa gaya-gaya intervensi tersebut
didorong oleh ideologi kemenangan, rasa ancaman yang berlebihan, dan komplek industri
militer yang melayani diri sendiri. Bahkan tupoksi dari sebuah institusi mulai merambah
kesegala bidang seperti Pentagon telah menggantikan Departemen Luar Negeri sebagai
pembentuk utama kebijakan luar negeri. Namun hasil yang dilakukan pun perlu
dipertimbangkan. Dalam tinjauan yang dilakukan oleh Taylor Seybolt, dari tujuh belas
intervensi yang dipimpin Amerika, sembilan diantaranya berhasil menyelamatkan banyak
orang (Zenko, 2014).
Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep balance of


power, tidak terlepas dari pesimistik perspektif realisme dan pandangan mengenai sistem
internasional yang anarki dengan menempatkan negara sebagai pemeran utama. Konsep ini
muncul saat sistem internasional yang anarki lantas mendorong negara untuk berperilaku
agresif dalam mengejar akumulasi dari kekuatannya hingga menimbulkan adanya security
dilemma. Tidak berbeda dengan konsep lain, konsep balance of power juga menuai berbagai
macam kritik terkait aplikasinya dalam politik internasional.

Hegemoni merupakan kondisi dimana suatu pihak memiliki kekuatan untuk


mendominasi. Hal tersebut membuatnya memiliki kuasa untuk melegitimasi berbagai aspek.
Hegemoni sendiri terwujud lewat peran AS dalam berbagai aktivitas yang berimplikasi pada
stabilitas internasional. Meski dominasinya sempat memudar, namun AS mampu memenuhi
ciri-ciri sebagai negara hegemoni, yaitu memiliki tujuan kolektif yang tertuang dalam
upayanya memerangi terorisme, serta menjadi dominasi dari sistem unipolar yang
mengakibatkan negara-negara lain meletakkan kiblat tatanannya pada AS. Dengan berbagai
perannya dalam menciptakan stabilitas internasional, penulis berpendapat bahwa AS mampu
menjadi institusi penting dalam keamanan internasional.

Kata Kunci: balance of power, state, power, security, hegemony, international order,
Amerika Serikat

Referensi

Agnew, John. 2005. “Hegemony versus empire” dalam Hegemony: The New Shape of Global
Power. Philadelphia: Temple University Press.

Chance, Alek. 2015. How America and China Have Different Visions of International Order.
https://thediplomat.com/2015/07/how-americaand-china-have-different-visions-
ofinternational-order/ [DIakses pada 23 September 2018]

Choksy, Carol E. B., dan Choksy, Jamsheed K. 2011. American Intervention in Failing
Countries is Neccessary. http://www.eir.info/2011/05/12/american-intervention-
infailing-countries-is-neccessary/ [DIakses pada 23 September 2018].

Ikanberry, John. 2002. “America Imperial Ambition” dalam Foreign Affairs. Vol. 81. No. 5.
Mastanduno, Michael. 2003 “Chapter 4: Incomplete Hegemony: The United States and
Security Order in Asia”, hal. 141-169

Min, Byoung Won. 2003. “Understanding International Hegemony : A Complex Approach”


dalam Journal of International and Area Studies. 10 (1), hal. 21-40

Yazid, Noor Mat, 2015. “The Theory of Hegemonic Stability, Hegemonic Power, and
International

Political Economy “dalam Global Journal of Political Science and Administration. European
Centre for Research Training and Development UK

Zenko, Micah. 2014. America's rescue mission in Iraq is going to be messier, longer, and
more expensive than the White House wants to admit.
http://foreignpolicy.com/2014/08/12/theslippery-slope-of-u-s-intervention/ [DIakses
pada 23 September 2018].

Goldstein, Avery. 2003. “Balance of Power Politics: Consequences for Asian Security
Order”, dalam Muthiah Alagappa (ed.). Asian Security Order. Stanford, California:
Stanford University Press.

Ingram, Edward. 1980. “Great Britain's Great Game: An Introduction”, dalam The
International History Review, Vol. 2, No. 2. pp. 160-171

Kegley, Charles William dan Shannon Lindsey Blanton. 2011. World Politics Trend and
Transformation, 2010-2011 edition. Boston: Wadsworth.

Mearsheimer, John J. 2001. Tragedy of Great Power Politics. New York: W.W. Norton &
Company Inc.

Paul, T. V. et. al. 2004. Balance of Power: Theory and Practice in the 21st century. Stanford,
California: Stanford University Press.

Pettman, Ralph. 1991. The Balance of Power, International Politics, Balance of Power,
Balance of Productivity, Balance of Ideologies. Sydney: Longman Cheshire.

Steans, Jill and Pettiford, Lloyd & Diez, Thomas. 2005. Introduction to International
Relations, Perspectives & Themes, 2nd edition, Pearson & Longman, Chap. 2, pp.
49-74.

Anda mungkin juga menyukai