Anda di halaman 1dari 39

Positivisme dalam

Analisis Hubungan
Internasional
Studi Hubungan
Internasional, sama hal
dengan disiplin akademik
lainnya, pastinya
mengalami
dinamika perdebatan
didalamnya. Kontroversi
yang kemudian
mendasari adanya
perdebatan
tersebut
menitikberatkan kepada
metodologi mempelajari
hubungan internasional
yang
disimbolkan pada
pertukaran intelektual
antar Hedley Bull
yang mendukung
‘pendekatan
klasikal’ dan Morton
Kaplan yang memihak
pada ‘pendekatan
saintifik’ (Schmidt, 2002).
Kaum
behavioralis
mengutamakan
pengumpulan data
empiris yang dapat
digunakan untuk
melakukan
klasifikasi, generalisasi,
dan pengesahan
hipotesis serta
merumuskan pola
perilaku secara ilmiah,
beda dengan tradisionalis
yang berupaya untuk
memahami HI sebagai
kompleksitas dalam
dunia
manusia yang dipelajari
melalui dilemma moral
kebijakan luar negeri,
hukum, praktik
diplomasi,
sejarah, teori-teori, yang
keseluruhannya
bertumpu pada cara
kemanusiaan. Keinginan
kaum
behavioral yang ingin
menempatkan HI pada
fondasi analisis ilmiah
lalu dikenal sebagai
‘positivisme’ dengan
meyakini bahwa studi
HI merupakan
penelitian objektif
dengan
berdasarkan fakta-fakta
yang dapat diuji dan
berdasarkan pada teknik-
teknik penelitian ilmiah
yang valid (Jackson dan
Sorensen, 2009).
Selama empat puluh
tahun disiplin akademik
HI telah didominasi oleh
positivisme. Positivisme
lalu diartikan sebagai
sebuah pendekatan
epistemologi dalam
hubungan internasional
yang
menyiratkan legitimasi
dari metodologi.
Nicholson (1996)
mempercayai
epistomologi sebagai
pandangan untuk
membuat generalisasi
terhadap dunia sosial,
termasuk sistem
internasional
yang dapat diverifikasi.
Lebih lanjut, kaum
positivis percaya bahwa
studi tersebut
seharusnya
terdiri dari proposisi
empiris yang dapat diuji
dengan bukti dari hasil
observasi. Pernyataan ini
berdasar pada tujuh
kriteria teori empiris
yang baik yaitu, akurat
dan terbatas, non
relativis, dapat
diuji atau disalahkan,
kuat dalam
penjelasannya, dapat
menerima perbaikan,
konsisten dengan
pengetahuan yang telah
mapan, dan parsimoni
(Jackson dan Sorensen,
2009). Proposisi-proposisi
ini kemudian saling
memiliki interrelasi
dalam struktur yang
logikal. Maka kaum
positivis
menuntut bahwa kajian
ilmu perlu memenuhi
syarat-syarat empiris
yang ditentukan agar
dapat
berkembang sebagai
studi yang baik dan
empirik. Nicholson
menyebutkan bahwa
terdapat dua
asumsi utama yang
berkenaan dengan
positivism kontemporer
dalam studi HI yang
dapat
menunjukkan peran
sebagai studi yang
empiris yaitu program
penelitian kuantitatif dan
program
analisis pilihan rasional.
Positivisme dalam
Analisis Hubungan
Internasional
Studi Hubungan
Internasional, sama hal
dengan disiplin akademik
lainnya, pastinya
mengalami
dinamika perdebatan
didalamnya. Kontroversi
yang kemudian
mendasari adanya
perdebatan
tersebut
menitikberatkan kepada
metodologi mempelajari
hubungan internasional
yang
disimbolkan pada
pertukaran intelektual
antar Hedley Bull
yang mendukung
‘pendekatan
klasikal’ dan Morton
Kaplan yang memihak
pada ‘pendekatan
saintifik’ (Schmidt, 2002).
Kaum
behavioralis
mengutamakan
pengumpulan data
empiris yang dapat
digunakan untuk
melakukan
klasifikasi, generalisasi,
dan pengesahan
hipotesis serta
merumuskan pola
perilaku secara ilmiah,
beda dengan tradisionalis
yang berupaya untuk
memahami HI sebagai
kompleksitas dalam
dunia
manusia yang dipelajari
melalui dilemma moral
kebijakan luar negeri,
hukum, praktik
diplomasi,
sejarah, teori-teori, yang
keseluruhannya
bertumpu pada cara
kemanusiaan. Keinginan
kaum
behavioral yang ingin
menempatkan HI pada
fondasi analisis ilmiah
lalu dikenal sebagai
‘positivisme’ dengan
meyakini bahwa studi
HI merupakan
penelitian objektif
dengan
berdasarkan fakta-fakta
yang dapat diuji dan
berdasarkan pada teknik-
teknik penelitian ilmiah
yang valid (Jackson dan
Sorensen, 2009).
Selama empat puluh
tahun disiplin akademik
HI telah didominasi oleh
positivisme. Positivisme
lalu diartikan sebagai
sebuah pendekatan
epistemologi dalam
hubungan internasional
yang
menyiratkan legitimasi
dari metodologi.
Nicholson (1996)
mempercayai
epistomologi sebagai
pandangan untuk
membuat generalisasi
terhadap dunia sosial,
termasuk sistem
internasional
yang dapat diverifikasi.
Lebih lanjut, kaum
positivis percaya bahwa
studi tersebut
seharusnya
terdiri dari proposisi
empiris yang dapat diuji
dengan bukti dari hasil
observasi. Pernyataan ini
berdasar pada tujuh
kriteria teori empiris
yang baik yaitu, akurat
dan terbatas, non
relativis, dapat
diuji atau disalahkan,
kuat dalam
penjelasannya, dapat
menerima perbaikan,
konsisten dengan
pengetahuan yang telah
mapan, dan parsimoni
(Jackson dan Sorensen,
2009). Proposisi-proposisi
ini kemudian saling
memiliki interrelasi
dalam struktur yang
logikal. Maka kaum
positivis
menuntut bahwa kajian
ilmu perlu memenuhi
syarat-syarat empiris
yang ditentukan agar
dapat
berkembang sebagai
studi yang baik dan
empirik. Nicholson
menyebutkan bahwa
terdapat dua
asumsi utama yang
berkenaan dengan
positivism kontemporer
dalam studi HI yang
dapat
menunjukkan peran
sebagai studi yang
empiris yaitu program
penelitian kuantitatif dan
program
analisis pilihan rasional.
Studi Hubungan
Internasional, sama hal
dengan disiplin akademik
lainnya, pastinya
mengalami
dinamika perdebatan
didalamnya. Kontroversi
yang kemudian
mendasari adanya
perdebatan
tersebut
menitikberatkan kepada
metodologi mempelajari
hubungan internasional
yang
disimbolkan pada
pertukaran intelektual
antar Hedley Bull
yang mendukung
‘pendekatan
klasikal’ dan Morton
Kaplan yang memihak
pada ‘pendekatan
saintifik’ (Schmidt, 2002).
Kaum
behavioralis
mengutamakan
pengumpulan data
empiris yang dapat
digunakan untuk
melakukan
klasifikasi, generalisasi,
dan pengesahan
hipotesis serta
merumuskan pola
perilaku secara ilmiah,
beda dengan tradisionalis
yang berupaya untuk
memahami HI sebagai
kompleksitas dalam
dunia
manusia yang dipelajari
melalui dilemma moral
kebijakan luar negeri,
hukum, praktik
diplomasi,
sejarah, teori-teori, yang
keseluruhannya
bertumpu pada cara
kemanusiaan. Keinginan
kaum
behavioral yang ingin
menempatkan HI pada
fondasi analisis ilmiah
lalu dikenal sebagai
‘positivisme’ dengan
meyakini bahwa studi
HI merupakan
penelitian objektif
dengan
berdasarkan fakta-fakta
yang dapat diuji dan
berdasarkan pada teknik-
teknik penelitian ilmiah
yang valid (Jackson dan
Sorensen, 2009).
Selama empat puluh
tahun disiplin akademik
HI telah didominasi oleh
positivisme. Positivisme
lalu diartikan sebagai
sebuah pendekatan
epistemologi dalam
hubungan internasional
yang
menyiratkan legitimasi
dari metodologi.
Nicholson (1996)
mempercayai
epistomologi sebagai
pandangan untuk
membuat generalisasi
terhadap dunia sosial,
termasuk sistem
internasional
yang dapat diverifikasi.
Lebih lanjut, kaum
positivis percaya bahwa
studi tersebut
seharusnya
terdiri dari proposisi
empiris yang dapat diuji
dengan bukti dari hasil
observasi. Pernyataan ini
berdasar pada tujuh
kriteria teori empiris
yang baik yaitu, akurat
dan terbatas, non
relativis, dapat
diuji atau disalahkan,
kuat dalam
penjelasannya, dapat
menerima perbaikan,
konsisten dengan
pengetahuan yang telah
mapan, dan parsimoni
(Jackson dan Sorensen,
2009). Proposisi-proposisi
ini kemudian saling
memiliki interrelasi
dalam struktur yang
logikal. Maka kaum
positivis
menuntut bahwa kajian
ilmu perlu memenuhi
syarat-syarat empiris
yang ditentukan agar
dapat
berkembang sebagai
studi yang baik dan
empirik. Nicholson
menyebutkan bahwa
terdapat dua
asumsi utama yang
berkenaan dengan
positivism kontemporer
dalam studi HI yang
dapat
menunjukkan peran
sebagai studi yang
empiris yaitu program
penelitian kuantitatif dan
program
analisis pilihan rasional.
Studi Hubungan
Internasional, sama hal
dengan disiplin akademik
lainnya, pastinya
mengalami
dinamika perdebatan
didalamnya. Kontroversi
yang kemudian
mendasari adanya
perdebatan
tersebut
menitikberatkan kepada
metodologi mempelajari
hubungan internasional
yang
disimbolkan pada
pertukaran intelektual
antar Hedley Bull
yang mendukung
‘pendekatan
klasikal’ dan Morton
Kaplan yang memihak
pada ‘pendekatan
saintifik’ (Schmidt, 2002).
Kaum
behavioralis
mengutamakan
pengumpulan data
empiris yang dapat
digunakan untuk
melakukan
klasifikasi, generalisasi,
dan pengesahan
hipotesis serta
merumuskan pola
perilaku secara ilmiah,
beda dengan tradisionalis
yang berupaya untuk
memahami HI sebagai
kompleksitas dalam
dunia
manusia yang dipelajari
melalui dilemma moral
kebijakan luar negeri,
hukum, praktik
diplomasi,
sejarah, teori-teori, yang
keseluruhannya
bertumpu pada cara
kemanusiaan. Keinginan
kaum
behavioral yang ingin
menempatkan HI pada
fondasi analisis ilmiah
lalu dikenal sebagai
‘positivisme’ dengan
meyakini bahwa studi
HI merupakan
penelitian objektif
dengan
berdasarkan fakta-fakta
yang dapat diuji dan
berdasarkan pada teknik-
teknik penelitian ilmiah
yang valid (Jackson dan
Sorensen, 2009).
Selama empat puluh
tahun disiplin akademik
HI telah didominasi oleh
positivisme. Positivisme
lalu diartikan sebagai
sebuah pendekatan
epistemologi dalam
hubungan internasional
yang
menyiratkan legitimasi
dari metodologi.
Nicholson (1996)
mempercayai
epistomologi sebagai
pandangan untuk
membuat generalisasi
terhadap dunia sosial,
termasuk sistem
internasional
yang dapat diverifikasi.
Lebih lanjut, kaum
positivis percaya bahwa
studi tersebut
seharusnya
terdiri dari proposisi
empiris yang dapat diuji
dengan bukti dari hasil
observasi. Pernyataan ini
berdasar pada tujuh
kriteria teori empiris
yang baik yaitu, akurat
dan terbatas, non
relativis, dapat
diuji atau disalahkan,
kuat dalam
penjelasannya, dapat
menerima perbaikan,
konsisten dengan
pengetahuan yang telah
mapan, dan parsimoni
(Jackson dan Sorensen,
2009). Proposisi-proposisi
ini kemudian saling
memiliki interrelasi
dalam struktur yang
logikal. Maka kaum
positivis
menuntut bahwa kajian
ilmu perlu memenuhi
syarat-syarat empiris
yang ditentukan agar
dapat
berkembang sebagai
studi yang baik dan
empirik. Nicholson
menyebutkan bahwa
terdapat dua
asumsi utama yang
berkenaan dengan
positivism kontemporer
dalam studi HI yang
dapat
menunjukkan peran
sebagai studi yang
empiris yaitu program
penelitian kuantitatif dan
program
analisis pilihan rasional.
Kontroversi yang terdapat di dalam sebuah disiplin akademik akan dapat menciptakan sebuah
perdebatan didalamnya seperti pada Ilmu Hubungan Internasional contohnya, Permasalahan
tersebutlah yang mendasari adanya pertukaran pemikiran antara ‘pendekatan klasikal’ dengan
‘pendekatan saintifik’. Oleh karena itu, parakaum behavorialis mencari data yang bersifat
empiris. Berbeda dengan tradisionalis yang berupaya untuk memahami HI sebagai ilmu dasar
yang bersifat kompleks yang dipelajari berdasarkan adanya dilemma terhadap kebijakan luar
negeri, diplomasi, hukum, teori dan sejarah yang dimana semuanya mendasari pada cara
kemanusiaan.

Dengan cara meyakini bahwa studi ilmu HI merupakan studi yang berisikan fakta-fakta dalam
penelitian yang bersifat objektif dan dapat diuji dengan berdasarkan teknik-teknik yang
digunakan dalam penelitian ilmiah yang akurat. Ambisi kaum behavioralis dalam berupaya untuk
menjadikan HI sebagai dasar dalam analisis ilmiah yang dikenal sebagai ‘positivisme’

Positivisme memiliki ambisi untuk menyatukan berbagai macam pengetahuan ke dalam suatu


“unified of science” yang merupakan sebuah pemikiran ala Barat. Salah satu dampak dari adanya
gerakan positivisme adalah munculnya kaum Behavioralis di akhir 1950-an dan awal 1960-an.
Kaum Behavioralis mendorong studi HI ke arah terciptanya teori yang bersifat dapat
memprediksi atau meramal.

Behavioralis berupaya membuat sebuah hukum yang bersifat universal atas fenomena HI. Para
behavioralis akan selalu terus mencari tahu agar didapatkannya sebuah struktur atau pola yang
memiliki siklus yang berulang atas fenomena internasional. Oleh karena itu, teori HI harus terus
dikembangkan, dan dikaji agar diperoleh sebuah generalisasi.Maka dari itu, secara
epistemologis, behavioralisme mengarah pada pendekatan saintifik yang tujuannya adalah agar
dapat mempelajari pola-pola dan kecenderungan sehingga dapat dijadikan sebuah prediksi bahwa
apa yang mungkin selanjutnya akan terjadi dalam hubungan internasional.

Behavioralis dituntut agar mampu memformulasikan “hukum-hukum” yang bersifat objektif


untuk menjelaskan fenomena yang terjadi dalam social di lingkup dunia, dengan dilakukannya
pengumpulan data empiris tentang fakta, yang biasanya disajikan dalam bentuk angka agar dapat
dijadikan pengukuran, klasifikasi, dikarenakan para behavioralis lebih cenderung tertarik pada
fakta yang dapat diukur dalam bentuk angka agar dapat dihitung dengan akurat sehingga mampu
menghasilkan pola yang berulang yaitu hukum-hukum yang terdapat dalam hubugan
internasional.
Menurut Waltz, teori HI haruslah teori yang memiliki sifat empiris, dikarenakan dengan
menggunakan teori yang empiris akan lebih mudah dalam
memprediksi perilaku politik internasional. Berikut merupakan langkah-langkah yang digunakan
untuk membentuk keilmiahan teori menurut Waltz, sebagai berikut

1. Menyatakan teori yang akan diuji


2. Membuat hipotesis dari teori tersebut
3. Menempatkan hipotesis tersebut pada uji eksperimental atau observasional
4. Pada saat melakukan cara kedua dan ketiga, gunakan definisi dari istilah yang ditemukan
dalam teori yang sedang diuji
5. Mengembangkan sejumlah pengujian yang berbeda dan menekan
6. Apabila pengujian tersebut gagal, dipikirkan lagi apakah teori tersebut gagal sepenuhnya,
apakah hanya membutuhkan perbaikan dan uraian baru atau memerlukan penyempitan
ruang lingkup dari pernyataan eskplanatori.

Namun, teori Waltz ini memiliki kecenderungan yang sangat belebihan dan dilihat seperti ingin
melepaskan konteks pada saat penelitian yang dilangsungkan dengan harapan agar bisa
menemukan sebuah fakta yang objektif dan bebas nilai sehingga tampak seperti sebuah
pemberian.

Anda mungkin juga menyukai