Anda di halaman 1dari 26

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

TUGAS MATA KULIAH


HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

oleh:
NESITA ANGGRAINI
1306449883

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM SARJANA REGULER
DEPOK
2016
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Suatu sengketa bisa didefinisikan sebagai adanya ketidaksetujuan yang spesifik tentang
suatu fakta, hukum atau kebijakan yang mana klaim satu pihak ditolak oleh pihak lain yang
mengajukan klaim yang berbeda.1 Dalam cakupan yang lebih luas, sengketa internasional dapat
diartikan sebagai ketidaksetujuan yang melibatkan pemerintah, institusi, badan hukum, atau
individu dan melewati batas negara. Namun, sengketa yang akan dibicarakan dalam makalah
ini hanyalah sengketa yang pihaknya adalah negara-negara berdaulat.
Dalam hubungan internaisonal, sengketa adalah suatu hal yang tidak bisa dielakkan.
Sebagaimana halnya dengan manusia, negara seringkali menginginakan sesuatu, tetapi
keadaannya tidak memungkinkan atau klaimnya tidak kompatibel. Akibatnya, negara-negara
ini berkompromi, mengubah posisinya, dan mengerahkan sumber dayanya hingga ditemukan
suatu keadaan yang memuaskan semua pihak. Sehingga, sengketa hendaknya diterima sebagai
sebuah konsep yang wajar dalam hubungan internasional; permasalahannya adalah apa yang
perlu dilakukan terkait sengketa tersebut.
Syarat utama dari sengketa adalah komitmen dari segala pihak bahwa penyelesaiannya
hanya akan dilakukan dengan cara-cara damai. Dalam lingkup negara, prinsip ini dilakukan
dengan membuat hukum dan membangun institusi untuk mencegah penyelesaian sengketa
dengan cara yang mengganggu tatanan sosial. Namun, dalam lingkup internasional (lintas
negara), prinsip ini lebih sulit berkembang dan dianggap kurang penting. Hal ini bisa dilihat
dari kemunculan hukum internasional moden di abad ke-17 yang tidak membahas penolakan
terhadap penggunaan kekuatan dalam penyelesaian sengketa antar negara.2 Pada saat itu, tidak
jarang sengketa dalam hubungan antarnegara diselesaikan dengan cara paksa atau kekerasan,
misalnya dengan perang, restoration, reprisals, pasific blockade, dan intervensi.
Namun, di tahun 1945, negara-negara anggota pendiri PBB menyepakati dalam Pasal
2 ayat (3) United Nations Charter untuk ‘settle their international disputes by peaceful means
in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered

1
J. G. Merills, International Dispute Settlement, (New York: Cambridge University Press, 2011), hlm.
1.

2
Ibid.

1
[menyelesaikan sengketa internasional dengan cara yang damai sehingga perdamaian dan
keamanan internasional serta keadilan tidak terancam].’3
Resolusi Majelis Umum PBB pada tahun 1970, setelah mengutip Pasal 2 ayat (3),
menyatakan:
States shall accordingly seek early and just settlement of their international disputes by
negotiation, inquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to
regional agencies or arrangements or other peaceful means of their choice [Negara harus
mengusahakan dengan segera dan adil penyelesaian sengketa dengan negosiasi,
penyeledikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian yudisial, menggunakan
instansi atau mekanisme regional, atau cara damai lainnya].4
Oleh karena itu, terdapat urgensi untuk mengetahui bagaimana mekanisme penyelesaian
sengketa internasional secara damai yang ditemui dalam praktek hubungan internasional.

I.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, penulisan makalah ini akan menjawab dua
rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa internasional secara damai yang
dikenal dalam hukum internasional?
2. Bagaimana contoh praktek penyelesaian sengketa internasional secara damai?

I.3. Metode dan Sistematika Penulisan


Makalah ini disusun dengan melakukan penelitian hukum normatif. Data yang
digunakan adalah data-data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Bahan
hukum yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang pertama adalah Vienna
Convention on the Law of Treaties, 1969 dan United Nations Charter. Selain itu, akan
digunakan pula bahan hukum sekunder dan tersier yang dapat memberi informasi dan
penjelasan mengenai bahan hukum primer yang hendak diteliti berupa buku-buku, artikel,
jurnal, serta bahan dari internet. Kemudian, untuk menjawab rumusan masalah kedua, akan
dilakukan studi pustaka tentang beberapa contoh penyelesaian sengketa internasional yang bisa
memberi gambaran keberagaman mekanisme penyelesaian sengketa yang digunakan oleh
negara-negara.

3
United Nations Charter, 1945, Pasal 2 ayat (3).
4
1970 Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-Operation
Among States in Accordance with the Charter of the United Nations, Adopted by the UN General Assembly
Resolution 2625 (XXV) Of 24 October 1970.

2
Ketiga rumusan masalah di atas akan dijawab secara deskriptif dengan sistematika
sebagai berikut:
1. Bab I yang berjudul Pendahuluan menjelaskan tentang latar belakang, rumusan
masalah, metode, dan sistematika penulisan makalah;
2. Bab II yang berjudul Pembahasan akan menjawab dua rumusan masalah akan dibahas
secara bersamaan dengan cara memberikan contoh atas tiap mekanisme penyelesaian
yang dipaparkan.
3. Bab III yang berjudul Penutup akan merangkum makalah dalam tiga poin jawaban
terhadap rumusan masalah.

3
BAB II
PEMBAHASAN

Penyelesaian Sengketa Internasional Tidak Secara Damai


Sebelum memasuki pembahasan tentang penyelesaian sengketa yang disepakati dalam
United Nations Charter, yaitu penyelesaian sengketa dengan damai, ada baiknya dipaparkan
berbagai macam penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan tindakan paksaan. Tindakan
paksaan yang dilakukan adalah tekanan agar pihak lain menerima kehendaknya. Dalam hukum
internasional, dikenal beberapa bentuk tindak paksaan, yaitu:
1. perang;
Penyelesaian sengketa dengan perang pada masanya bukanlah suatu hal yang dikutuk
oleh masyarakat internasional. Kita sudah mengalami dua perang dunia yang tidak hanya
menghabiskan biaya, tetapi juga memakan ribuan jiwa manusia. Pembahasan mengenai
kaidah-kaidah yang harus dipatuhi dalam perang dilakukan tersendiri dalam hukum perang
atau hukum humaniter internasional. Penerapan hukum humaniter dapat berhubungan
dengan segala permasalahan perang, baik di darat, laut, maupun udara yang masing-masing
memiliki karakteristik tersendiri dari segi pengaturannya.5
2. restorsi (restorsion);
Restorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap
tindakan-tindakan yang tidak pantas atau tidak patut dari negara lain.6 Wujudnya dapat
berupa pemutusan hubungan diplomatik, pencabutan hak-hak istimewa diplomatik,
penarikan konsesi pajak atau tarif, penghentian bantuan ekonomi,7 pembatasan gerak-gerik
perwakilan diplomatik negara lawan, penarikan kembali exequatur bagi konsul negara
lawan, penghapusan hak-hak istimewa warga negara atau perusahaan milik negara lawan,
penutupan tapal batas bagi arus lalu lintas, atau penolakan barang impor hasil negara
lawan.8

5
Teguh Sulistya, “Pengaturan Perang dan Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional “
Jurnal Hukum Internasional, Vol. 4 No. 3 (Apr, 2007), hlm. 527.

6
Albert Pede, “Peran Negara dalam Penyelesaian Sengketa Intenasional dengan Kekerasan Bukan
Perang,” Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Vol. 1 No. 3 Tahun 2014, hlm.
385.

7
Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 197.

8
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: UI Press, 2006), hlm. 197.

4
3. tindakan-tindakan pembalasan (reprisals);
Reprisals adalah metode yang dipakai negara-negara untuk mengupayakan
diperolehnya ganti rugi dari negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya
pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dengan retorsi adalah bahwa tindakan
yang dilakukan dalam restorsi masih bisa dibenarkan oleh hukum internasional.9 Pada masa
sekarang, tindakan pembalasan bisa berupa tindakan terhadap diri atau kekayaan warga
negara lawan, pemboman atas wilayah tertentu, penduduk atas wilayah pihak lawan, atau
penghentian pembayaran hutang.10
4. blokade secara damai (pacific blockade);
Blokade secara damai adalah tindakan penutupan akses masuk dan keluarnya suatu
negara (misalnya larangan masuk kapal) oleh negara lain sebagai respons dari tindakan
tidak menyenangkan yang dilakukan oleh negara tersebut. Hal ini misalnya dilakukan di
Januari 1837 di mana tiga belas kapal dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris secara ‘damai’
memblokade pantai New Grenada. Duta Besar Inggris di New Grenada memerintahkan
pemberhentian semua lalu lintas baik masuk maupun keluar New Grenada sebagai upaya
untuk meminta New Grenada melepaskan konsulat Inggris yang dihukum karena
menyerang seorang pejabat setempat. Blokade ini dianggap “damai” karena tidak ada
deklarasi perang dari kedua belah pihak.11
5. intervensi (intervention)
Intervensi diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh suatu negara, kelompok
dalam suatu negara, atau suatu organisasi internasional yang mencampuri secara paksa
urusan dalam negeri negara lain. Intervensi dilakukan dengan tujuan untuk memelihara atau
mengubah keadaan, situasi, atau barang di negara tersebut.12

Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai

9
Danial, “Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Proses Penyelesaian Konflik
Internasional,” Jurnal Ilmu dan Budaya Universitas Nasional Jakarta, hlm. 237.

10
Sri Setianingsih Suwardi, Op.Cit., hlm. 198-199.

11
Ross Williamson, “A Friendly Demonstration of Force: Pacific Blockade, International Law and State
Identity, 1827 to 1921,” Thesis submitted as requirement for the degree of Master of Arts in Legal Studies,
(Ontario: Charleton Univeristy), hlm. 1.
12
Emi Eliza, et. all., “Intervensi Kemanusiaan (Humanitarian Intervention) Menurut Hukum
Internasional dan Implementasinya dalam Konflik Bersenjata,” Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 4, (Okt-Des 2014),
hlm. 2.

5
Sebagaimana yang telah dipaparkan di bagian latar belakang, usaha untuk
mengupayakan penyelesaian sengketa internasional secara damai tertuang pada The Hague
Convention 1899 yang dalam paragraf pertama pembukaannya menyebutkan bahwa:
“Considering that, while seeking means to preserve peace and prevent armed conflict
among nations, it is likewise necessary to have regard to cases where an appeal to arms
may be caused by events which their solicitude could not avert.”13
Dalam pembukaan ini terdapat sebuah prinsip bahwa penyelesaian sengketa secara damai harus
diupayakan, meskipun tidak dapat dihindarkan bahwa konflik bersenjata masih seringkali
terjadi. Prinsip ini kemudian dikukuhkan oleh Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB (United Nations
Charter) yang mengatur bahwa:
All members shall settle their international disputes by peaceful means in such manner
that international peace and security, and justice, are not endangered.14
Penyelesaian sengketa secara damai pada dasarnya merupakan salah satu manifestasi
dari prinsip-prinsip hukum internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerja sama
antarnegara (principles of international law relating to friendly relations and cooperation
among states). Prinsip-prinsip ini dimuat dalam Declaration on Principles of International Law
concerning Friendly Relation and Co-operation among States in accordance with the Charter
of United Nations, yaitu15:
1. The principle that States shall refrain in their international relations from threat or use of
force against the territorial integrity or political independence of any State or in any other
manner consistent with the purpose of the United Nations [prinsip larangan penggunaan
kekerasan dalam penyelesaian sengketa];
2. The principle that States shall settle their international disputes by peaceful means in such
a manner that international peace and security and justice are not endangered [prinsip
untuk menyelesaikan sengketa dengan damai];
3. The principle concerning the duty not to intervene in matters within the domestic
jurisdiction of any State, in accordance with the Charter [prinsip non-intervensi urusan
yang ada di dalam yurisdiksi domestik negara lain];

13
Convention (II) with Respect to the Laws and Customs of War on Land and its annex: Regulations
concerning the Laws and Customs of War on Land, The Hague, 29 Juli 1899.
14
United Nations Charter, 1945, Pasal 2 ayat (3).

15
Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relation and Co-operation
among States in accordance with the Charter of United Nations, 1970.

6
4. The duty of States to co-operate with one another in accordance with the Charter [prinsip
kewajiban kerja sama antar negara];
5. The principle of equal rights and self-determination of peoples [prinsip persamaan hak dan
menentukan nasib sendiri];
6. The principle of sovereign equality of States [prinsip persamaan kedaulatan negara]; dan
7. The principle that States shall fulfil in good faith the obligations assumed by them in
accordance with the Charter [prinsip penggunaan iktikad baik dalam menjalankan
kewajiban dalam Piagam PBB].

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Damai


Perjanjian internasional seringkali menciptakan berbagai sengketa, baik tentang
interpretasi maupun tentang pelaksanaannya.16 Apabila arti dari suatu ketentuan sudah jelas,
maka tidak akan timbul masalah. Namun, ketika artinya tidak jelas, maka akan timbul
permasalahan interpretasi. Di sinilah sengketa sering terjadi. Tidak hanya itu, begitu suatu
ketentuan atau interpretasinya sudah disepakati, masih mungkin timbul sengketa tentang
pelaksanaannya.
Mekanisme penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara yang begitu beragam dan tidak
ada patokan tertentu dalam menggunakannya. Dalam prakteknya, banyak sengketa yang
diselesaikan dengan cepat secara informal, namun ada juga yang memakan waktu bertahun-
tahun untuk diselesaikan. Tidak ada satu metode khusus dalam menangani sengketa, bahkan
tidak bisa ditentukan mekanisme mana yang paling umum digunakan. Suatu mekanisme
penyelesaian sengketa juga tidak bisa ditentukan berdasarkan besar, tingkat kepentingan,
jumlah pihak yang bersengketa, atau jenis perjanjiannya. Sengketa dalam perjanjian
multilateral tidak bisa begitu dibedakan dengan perjanjian bilateral karena umumnya sengketa
terjadi antara dua belah pihak saja.17
Pasal 33 United Nations Charter mengelaborasi prinsip dasar yang termuat dalam Pasal
2 ayat (3) UN Charter, yaitu bahwa tiap anggota harus menyelesaikan sengketa internasional
secara damai, dan memberikan beberapa mekanisme yang paling sering digunakan: negosiasi,
mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan penyelesaian yudisial. Berbagai mekanisme ini secara umum

16
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, (United Kingdom: Cambridge University Press,
2000), hlm. 285.

17
United Nations, Treaty Handbook, Prepared by the Treaty Section of the Office of Legal Affairs, (UN:
United Nations Publication, 2012), hlm. 24.

7
dapat dibagi menjadi penyelesaian yang mengikat (compulsary settlement) dan penyelesaian
sukarela (voluntary settlement); keduanya dibedakan dari sifat mengikat atau tidaknya hasil
dari penyelesaian sengketa.18 Meskipun begitu, bukan berarti para pihak yang menyelesaikan
sengketa secara sukarela tidak terikat dengan hasilnya; bukan berarti pula hasil penyelesaian
berdasarkan kewajiban selalu mengikat – keduanya tergantung pada kesepakatan.
1. penyelesaian sukarela
a. negosiasi dan konsultasi
Dari berbagai macam mekanisme penyelesaian sengketa, negosiasi adalah
mekanisme yang paling pertama disebutkan dalam Pasal 33 UN Charter. Hal ini
dikarenakan oleh fakta bahwa negosiasi adalah cara prinsipil dalam menangani
penyelesaian sengketa internasional. Dalam sejarah penyelesaian sengketa
internasional, negosiasi lebih sering digunakan daripada seluruh mekanisme lain.19
Negosiasi biasanya adalah mekanisme pertama yang ditempuh dalam
menyelesaikan sengketa; bahkan ketika penyelesaiannya dirujuk ke arbitrase atau
penyelesaian yudisial, poin-poin yang hendak dimintakan penyelesaian ditentukan
dengan cara negosiasi. Negosiasi dapat dilaksanakan dalam suasana yang penuh
privasi sehingga lebih mudah untuk mencapai kesepakatan. Ketika suatu sengketa
masuk ke tahap yang lebih formal dan publik, akan lebih sulit, setidaknya secara
politis, untuk menyelesaikannya. Hal tersebut dikarenakan para pihak menjadi lebih
banyak dan “berkubu” serta di depan publik, para pihak tidak mau terlihat banyak
berkompromi.20
Ketika pemerintah memperkirakan bahwa keputusannya akan merugikan
negara lain, maka ia akan melakukan konsultasi untuk membicarakan kemungkinan
adanya penyesuaian atau pengakomodasian mengenai suatu perjanjian yang telah
dibuat di antara mereka, misalnya dengan melakukan modifikasi. Dalam hal ini
konsultasi dilakukan dalam tahap sebelum terjadinya sengketa yang dimungkinkan
terjadi, yaitu untuk mencegah adanya sengketa di masa depan.21

18
Anthony Aust, Op.Cit, hlm. 286.

19
J. G. Merills, Op.cit., hlm. 2.

20
Anthony Aust, Loc.cit.

21
J. G. Merills, Op.cit., hlm. 4.

8
Konsultasi juga dilakukan di tahap lain, misalnya dalam tahap mencari
kesepakatan dalam melanjutkan penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga. Misalnya,
ketentuan penyelesaian sengketa di UK-US Air Services Agreement 1977 (‘Bermuda
2’) mengatur bahwa suatu sengketa harus diselesaikan melalui ‘first round of
consultation’ sebelum sengketa tersebut dapat dirujuk ke pihak ketiga. ‘First round’
di sini umumnya dipahami sebagai setidaknya dua kali pertemuan dengan jarak waktu
antara keduanya.22
Prosedur negosiasi dan negosiasi sangatlah fleksibel – tahap-tahapnya
ditentukan sendiri oleh para pihak. Negosiasi dapat dilakukan selama yang diinginkan
dan dapat dihentikan kapanpun sesuai keinginan para pihak. Namun, beberapa
perjanjian internasional mengatur limitasi waktu untuk bernegosiasi.23 Negosiasi dapat
dilakukan oleh perwakilan diplomatik atau perwakilan departemen pemerintah yang
berkaitan dengan sengketa – misalnya antara Menteri Perdagangan dalam sengketa
tentang perjanjian komersial atau antara Menteri Pertahanan dalam sengketa tentang
perjanjian pengadaan senjata.24
Beberapa perjanjian internasional terkadang hanya memberi pilihan negosiasi
dan konsultasi dalam pilihan penyelesaian sengketa. Hal ini dilakukan dengan
pandangan bahwa para pihak tersebut bisa menyepakati lebih lanjut mekanisme
penyelesaian sengketa yang lain. Hal ini harus dilakukan dengan iktikad baik sehingga
sebuah negosiasi harus dilaksanakan dengan suatu tujuan – bukan hanya formalitas
belaka.25
Ketika negosiasi berhasil, penting bagi para pihak untuk mencatat hal-hal yang
mereka sepakati. Kesepakatan ini bisa berupa amandemen suatu perjanjian atau
pernyataan publik. Jika para pihak tidak menghendaki adanya publikasi, mereka bisa
mencatat kesepakatannya dalam MOU yang tidak dipublikasikan.26
Jika negosiasi tidak berhasil, salah satu pihak bisa memutuskan untuk
melakukan terminasi. Hal ini juga bisa disebut the other way of settling a treaty. Sejak

22
Anthony Aust, Op.cit., hlm. 287.

23
Ibid.

24
J. G. Merills, Op.cit., hlm. 8.

25
Anthony Aust, Loc.cit.

26
Ibid.

9
tahun 1945, Inggris sudah melakukan terminasi terhadap empat perjanjian pelayanan
udara (air service agreement), yaitu dengan Filipina (1953 dan 1984), Amerika Serikat
(1976) dan Lebanon (1981). Terkadang, sebuah sengketa bisa menjadi sangat buruk
sehingga terminasi menjadi pilihan yang terbaik. Jika sudah demikian, bukan berarti
penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga tidak lagi bisa dilakukan apabila para pihak
menghendaki hal tersebut. Terlebih lagi, beberapa perjanjian internasional mengatur
bahwa ketentuan mengenai sengketa masih berlaku setelah terminasi dalam hal
sengketa terjadi sebelum dilakukannya terminasi. Terminasi bisa jadi bermanfaat agar
para pihak yang bersengketa dapat membuat perjanjian baru yang memenuhi
kebutuhan masing-masing. 27
b. pengikutsertaan pihak ketiga
Jika suatu sengketa tidak bisa diselesaikan dengan negosiasi, pihak ketiga bisa
diundang untuk membantu. Berhasil atau tidaknya bergantung pada banyak faktor.
Salah satunya adalah tingkat kerjasama antara para pihak. Tidak semua perjanjian
mengatur perihal penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga sehingga para
pihak perlu menegosiasikan suatu kesepakatan ad hoc tentang hal ini. Jika pilihannya
adalah mediasi atau konsiliasi, kecuali para pihak menghendaki sebaliknya, para pihak
tidak terikat pada rekomendasi yang diberikan oleh pihak ketiga ini.28
i. konsiliasi
Pilihan konsiliasi bisa diberikan oleh perjanjian itu sendiri, perjanjian mengenai
penyelesaian sengketa secara umum di mana kedua belah pihak menjadi pihak di
dalamnya, atau disepakati secara ad hoc.29 Karakteristik konsiliasi telah dijelaskan
dengan baik dalam Annex VCLT itu sendiri, yang memberikan pilihan konsiliasi
antara para pihak konvensi untuk beberapa kasus tertentu saja.
(4) The [Conciliation] Commission may draw the attention of the parties to
the dispute to any measures which might facilitate an amicable settlement.
(5) The Commission shall hear the parties, examine the claims and objections,
and make proposals to the parties with a view to reaching an amicable
settlement of the dispute.30

27
Ibid., hlm. 288.

28
Ibid.

29
Ibid.

30
Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969, Annex.

10
Format ini dijadikan contoh untuk berbagai perjanjian internasional yang lain,
salah satunya adalah United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
Komisi konsiliasi biasanya terdiri dari tiga sampai empat anggota; satu (atau
dua) anggota dipilih oleh masing-masing pihak dan satu pihak dipilih oleh anggota
yang ditunjuk tadi untuk bertindak sebagai ketua. Jika para pihak gagal untuk
menunjuk anggotanya atau tidak tercapai kesepakatan antara para anggota yang
ditunjuk atas anggota ketiga, biasanya pemilihan anggotanya diserahkan kepada
seseorang yang independen seperti Presiden ICJ atau Sekretaris Jenderal PBB. Atas
dasar inilah, penetapan tenggat waktu menjadi penting. Annex VCLT ini
memberikan model yang baik bagi perjanjian multilateral dengan menyediakan
daftar tetap konsiliatior agar penunjukan konsiliator tidak hanya diserahkan kepada
para pihak yang bersengketa.31
Konsiliasi, tidak dapat dipungkiri, menjadi mekanisme penyelesaian sengketa
yang lebih mahal daripada negosiasi karena tiap pihak tidak hanya perlu membayar
pengacara atau ahli lainnya, tetapi juga setengah dari biaya para konsiliator
termasuk akomodasi dan staf mereka.32
Hasil konsiliasi hampir selalu tidak mengikat (non-binding). Hal ini dijelaskan
dengan baik dalam Annex VCLT:
(6) . . . The report of the Commission, including any conclusions stated therein
regarding the facts or questions of law, shall not be binding upon the parties
and it shall have no other character than that of recommendations submitted for
the consideration of the parties in order to facilitate an amicable settlement of
the dispute.33

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa konsiliasi, di satu sisi, adalah mekanisme


penyelesaian yang kurang efektif dibandingkan arbitrase atau penyelesaian secara
yudisial – yang mana keputusannya mengikat (binding) – tetapi biayanya dan
waktu yang digunakan bisa sama besarnya. Jika konsiliasi tidak berhasil, kecuali
kemudian para pihak sepakat untuk menggunakan arbitrase atau penyelesaian

31
Anthony Aust, Op.cit., hlm. 289.

32
Ibid.

33
Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969, Annex.

11
secara yudisial, maka tidak ada cara lain yang bisa digunakan untuk menyelesaikan
sengketa.34
ii. mediasi dan jasa-jasa baik (good offices)
Mediasi biasanya adalah mekanisme ad hoc yang melibatkan intervensi dari
pihak ketiga dalam upaya mempertemukan klaim para pihak dengan mengajukan
sebuah rekomendasi penyelesaian. Mediasi kurang tepat digunakan dalam
penyelesaian sengketa terkait interpretasi maupun aplikasi dari perjanjian
internasional karena proses mediasi lebih bersifat politis.
Jasa-jasa baik (good offices) adalah mekanisme yang mirip dengan mediasi
(istilahnya bahkan seringkali dipertukarkan), yaitu melibatkan juga pihak ketiga –
biasanya Sekretaris Jenderal PBB atau wakil khususnya – yang memberikan
asistensi berimbang dalam upaya menyelesaikan sengketa. Prosesnya juga
memiliki kelemahan yang sama dengan mediasi.
Mediasi dan jasa-jasa baik pada dasarnya adalah suatu negosiasi antara kedua
belah pihak yang bersengketa dengan mediator sebagai pihak yang aktif,
berwenang, malah diharapkan untuk mengajukan proposal yang fresh – yang tidak
terpikirkan oleh kedua pihak serta untuk menginterpretasi dan mempertemukan
proposal para pihak yang bersengketa. Hal yang membedakan mediasi dengan
konsiliasi adalah bahwa mediasi umumnya mengajukan rekomendasi penyelesaian
secara informal dan berdasarkan informasi yang diberikan oleh kedua belah pihak;
tidak seperti konsiliasi yang menggunakan jasa investigasi tersendiri, meskipun
dalam praktek perbedaanya sangat kabur.35
iii. pencarian fakta (inquiry)
‘Inquiry’ sebagai suatu istilah dapat digunakan dalam dua hal yang berbeda,
meskipun keduanya berkaitan. Dalam arti luas, inquiry merujuk pada suatu proses
dalam persidangan atau lembaga ajudikasi lainnya dalam mencari fakta untuk
dipertimbangkan dalam membuat suatu keputusan. Inquiry dalam artian ini adalah
komponen penting dalam arbitrasi, konsiliasi, ajudikasi oleh organisasi

34
Anthony Aust, Op.cit., hlm. 289.

35
J. G. Merills, Op.cit., hlm. 26.

12
internasional, atau penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga lainnya. Namun,
dalam sub bahasan ini akan dijelaskan inquiry dalam arti sempit.36
Dalam suatu sengketa, para pihak memiliki versi yang berbeda tentang fakta
yang terjadi. Agar suatu sengketa dapat diselesaikan, maka dibutuhkan rangkain
fakta yang dapat disetujui atau setidaknya diakui oleh para pihak yang bersengketa.
Sehingga inquiry yang dimaksud di sini adalah kegiatan pencarian fakta dengan
bantuan pihak ketiga yang dapat memuaskan para pihak yang bersengketa. Namun,
para pihak tidak memiliki keharusan untuk menerima fakta-fakta yang ditemukan
oleh pihak ketiga, kecuali mereka menghendaki hal yang sebaliknya. Rencana
pembentukan dan mekanisme pelaksanaan suatu komisi inquiry diberikan secara
garis besarnya oleh Konvensi Hague 1899 dan 1907.37
Salah satu contoh penggunaan komisi inquiry dijelaskan dalam kasus sebagai
berikut. Pada tanggal 16 Maret 1916, kapal uap Belanda, Tubantia,
ditenggelamkan oleh torpedo di laut bebas. Pemerintah Belanda, yang merupakan
pihak netral atau tidak berperang, mengklaim bahwa tenggelamnya kapal
disebabkan oleh kapal U-boat milik angkatan laut Jerman sehingga Jerman harus
membayar kompensasi. Jerman, di sisi lain, tidak dapat menyangkal bahwa
tenggelamnya kapal disebabkan oleh torpedo milik Jerman. Namun, Jerman tetap
mengklaim bahwa serpihan tornado Jerman yang ditemukan di kapal Belanda
adalah tornado yang ditembakkan ke kapal Inggris namun tidak kena, dan tetap
mengapung di lautan hingga mengenai kapal Belanda 10 hari kemudian.38
Setelah perang berakhir, kedua pemerintah membentuk komisi inquiry untuk
mencari tahu penyebab dari tenggelamnya kapal. Komisinya terdiri dari perwira
angkatan laut dari Denmark, Swedia, Jerman, dan Belanda, serta Swiss sebagai
ketua komisinya. Setelah mendengar beberapa saksi dan ahli, dilaporkan pada
bulan Februari 1922 bahwa benar Tubantia adalah korban dari serangan kapal
perang Jerman. Hal ini memperjelas adanya tanggung jawab di pihak Jerman
meskipun komisi ini merasa perlu untuk menjelaskan bahwa ia tidak
berwenanguntuk menentukan apakah penembakan torpedo dilakukan dengan

36
Ibid. hlm. 41.

37
Ibid., hlm. 42.

38
Ibid., hlm. 46.

13
sengaja atau tidak. Akhirnya, Jerman membayar ganti rugi sebesai 6.5 florin ke
pemerintah Belanda.39
2. penyelesaian dengan putusan mengikat
Pilihan penyelesaian sengketa dengan putusan yang mengikat membutuhkan
persetujuan (consent) dari para pihak, baik sebelum atau setelah dimulainya suatu sengketa.
Sehingga, dua karakteristik penting dari penyelesaian sengketa dengan putusan mengikat
adalah (i) kesepakatan untuk menyerahkan sengketa pada pihak ketiga dan (ii) putusan dari
pihak ketiga ini mengikat para pihak. Pilihan ini bisa diberikan oleh perjanjian yang sedang
disengketakan, perjanjian internasional tentang mekanisme penyelesaian sengketa yang
mana para pihak terikat padanya, atau kesepakatan ad hoc. Namun, meskipun sebuah
perjanjian menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga dengan
putusan yang mengikat, dalam praktiknya, tiap pihak dapat menunda pelaksanaanya. 40
Mengikuti putusan ICJ dalam kasus genosida (Bosnia v. Yugoslavia) (Preliminary
Objections), disarankan bahwa klausa tentang penyelesaian sengketa oleh pengadilan atau
tribunal dapat berlaku secara non-retroaktif pada kasus yang terjadi sebelum suatu
perjanjian memasuki masa entry into force, kecuali compromissory clause menyatakan
sebaliknya.41
a. arbitrase
Arbitrase adalah pengajuan sengketa kepada seorang atau lebih hakim untuk
diputuskan dengan prinsip-prinsip yang dipilih oleh para pihak. Para pihak harus
menerima dan menghormati putusannya. Hakim dalam hal ini disebut “arbitrators”
dan keputusannya disebut “award.” Arbitrase yang hanya dipimpin oleh seorang
arbiter biasanya adalah arbitrase dengan kasus yang simpel dengan cakupan sengketa
yang sempit. Dalam kasus yang lebih besar, tiap pihak yang bersengketa akan memilih
seorang arbirator dan para arbiter ini akan menunjuk seorang arbiter lainnya. Arbiter
yang dipilih oleh para pihak ini akan bisa menjelaskan posisi negara yang
diwakilinya.42

39
Ibid., hlm. 47.

40
Anthony Aust, Op.cit., hlm. 291.

41
Ibid., hlm. 294.

42
Ibid.

14
Meskipun umumnya arbitrase dilakukan dengan tiga arbiter (seperti dalam
kasus Iran-US Claims Tribunal), komposisi ini tidak ideal karena pemimpin arbiter
akan membutuhkan dukungan salah satu pihak agar bisa mencapai sebuah keputusan.
Dalam hal demikian, maka pemimpin arbiter seringkali terdesak untuk berkompromi
dengan keputusannya. Berbeda jika dipilih tiga arbiter netral, pimpinan arbiter akan
lebih mudah mencapai keputusan yang baik (an honest decision).43
Banyak perjanjian multilateral dan bilateral yang memiliki klausa arbitrase.
Mekanisme ini lebih dikehendaki daripada penyelesaian yudisial. Hal ini terjadi bukan
karena arbitrase lebih murah, cepat, dan tidak rumit; melainkan karena para pihak bisa
dengan lebih mudah mengontrol prosesnya. Jika mereka ingin penyelesaian yang lebih
cepat, mereka bisa merujuk sebuah tribunal untuk menjatuhkan putusan dengan
tenggat waktu tertentu. Faktanya, justru arbitrase memakan lebih banyak waktu dan
biaya. Para pihak harus membayar upah arbiter, panitera, dan staf lainnya serta biaya
akomodasi mereka. Selain itu, tribunal arbitrase harus dibentuk tiap kali timbul
sengketa, padahal pembentukannya saja bisa memakan waktu berbulan-bulan.44
Putusan arbitrase seringkali dianggap sebagai hasil kompromi. Namun, jika
dilihat beberapa kasus terakhir yang diputus oleh ICJ, kompromi juga harus dibuat oleh
lima belas hakim ICJ dalam penyelesaian sengketa secara ajudikasi.45
Karena arbitrase adalah suatu proses yang konsensual, para pihak pertama-tama
harus sepakat bahwa sengketa akan dibawa ke arbitrase. Klausa yang menyatakan
bahwa para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa di masa depan dengan
mekanisme arbitrase disebut dengan compromissory clause. Akan lebih baik jika
klausa ini mengatur secara detail. Beberapa perjanjian internasional di masa lampau
hanya mengatur secara umum terkait penyelesaian sengketa dengan arbitrase (seperti
UK-US Air Services Agreement) dan menyerahkan syarat-syarat yang lebih mendetail
di kemudian hari. Hal ini akan menambah kerumitan sengketa karena pihak yang
bersengketa, sebelum mencoba menyelesaikan pokok sengketa, masih harus

43
Ibid.

44
Ibid., hlm. 292

45
Ibid.

15
membicarakan prosedur teknis arbitrase.46 Beberapa hal yang biasa diatur dalam
compromissory claiuse atau compromis adalah47:
- komposisi tribunal;
- penunjukkan anggota, termasuk merumuskan lowongan kerja;
- penunjukan agen dari para pihak;
- pertanyaan yang ingin diputuskan;
- aturan tentang prosedur dan metode kerja;
- bahasa;
- hukum yang berlaku;
- jumlah kursi tribunal;
- penunjukan sekretariat tribunal dan stafnya;
- biaya;
- sifat mengikat dari suatu putusan.
Hal-hal yang disebutkan di atas tidak perlu seluruhnya diatur. Misalnya, aturan
tentang prosedur dan metode kerja bisa disepakati untuk diatur oleh tribunal yang
hendak dibentuk.
Hal yang perlu dihindari adalah kelalaian untuk mengatur pihak ketiga yang
akan menunjuk arbiter ‘netral’ atau arbiter ‘nasional’ jika tidak terjadi kesepakatan
antara para pihak. Kelalaian ini ditemukan dalam Annex 2 Dayton Agreement yang
mengatur penyelesaian sengketa melalui arbitrase dengan tiga orang arbiter.
Meskipun ada ketentuan di mana Presiden ICJ akan menunjuk seorang arbiter netral
jika tidak terjadi kesepakatan, tidak ada ketentuan yang memberikan hak untuk
Presiden ICJ (atau pihak ketiga lainnya) untuk menunjuk arbiter nasional jika salah
satu pihak gagal untuk menunjuk. Selain itu, penting pula untuk menyepakati poin-
poin yang hendak diselesaikan melalui arbitrase.48
Arbitrase, sebagai salah stau cara penyelesaian sengketa, sering digunakan
dalam hubungan dagang internasional. Hal ini, menurut Rajagukguk, disebabkan
karena beberapa alasan. Pertama, pada umumnya pihak asing kurang mengenal sistem
tata negara lain. Kedua, adanya keraguan akan sikap objektivitas Pengadilan setempat

46
Ibid., hlm. 293.

47
Ibid.

48
Ibid., hlm 294.

16
dalam memeriksa dan memutus pekara yang di dalamnya terdapat unsur asing. Ketiga,
pihak asing masih ragu akan kualitas dan kemampuan pengadilan negara berkembang
dalam memeriksa dan memutus perkara yang berskala perdagangan internasional dan
alih teknologi. Keempat, timbulnya dugaan dan kesan, penyelesaian sengketa melalui
jalur formal badan peradilan memakan waktu yang lama.49 Beberapa nama badan
arbitrase asing yang sering digunakan untuk mneyelesaikan sengketa bisnis
internasional, di mana pihaknya bisa saja negara, adalah International Chamber of
Commerce (ICC) yang didirikan pada tahun 1923; American Arbitration Association
(AAA) yang didirikan pada tahun 1926; London Court of International Arbitration
(LCIA) yang didirikan pada tahun 1892, dan United Nations Comission on
International Trade Law (UNCITRAL).50
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam membuat kontrak
arbitrase, perumusan arbitration clause harus dirumuskan secara jelas. Dalam hal ini,
beberapa badan arbitrase telah menentukan klausula standar yang digunakan oleh para
pihak yang hendak merujuk sengketanya ke badan arbitrase yang dimaksud. Klausula
standar ini tentu pada prakteknya dapat dimodifikasi menurut keinginan para pihak.
Hal ini terjadi karena klausula standar yang dirumuskan oleh badan arbitrase belum
tentu dapat mencakup semua persyaratan yang memenuhi keinginan para pihak.51
Misalnya dalam UNCITRAL diberikan model klausula arbitrase sebagai
berikut52:
“Any dispute, controversy or claim arising out of or relating to the contract, or
the breach, termination or invalidity thereof, shall be settled by arbitration in
accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as Present in force.”
Selanjutnya, para pihak dapat mempertimbangkan untuk menambah klausula sebagai
berikut:
i. The appointing authority shall be ...
ii. The number of arbitrators shall be ...
iii. The place of arbitration shall be ...

49
Erman Rajagukguk dalam Yahya Harahap, Arbitrase, (n.p.: Pustaka Kartini, 1991), hlm. 24.

50
Abdul Wahid, “Pengangkatan Arbiter dalam Arbitrase Internasional: Suatu Studi Perbandingan
Berdasarkan UNCITRAL, ICC, AAA, dan LCIA Rules,” Jurnal Hukum dan Pembangunan NO. 3 Tahun XXIX
(Jul-Sept, 1999) hlm. 223.
51
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 21.

52
Dikutip dari Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 123-124.

17
iv. The language(s) to be used in arbitral proceeding shall be ...
ICC memberikan model sebagai berikut53:
“Any dispute arising in connection the present contract shall be finally settled
under the Rules of Conciliation and Arbitration of the International Chamber
of Commerce by one or more arbitrators appointed in accordace with the said
Rules.”
Sedangkan, LCIA memberikan model sebagai berikut54:
“Any dispute arising out of or in connection with this contract, including any
question regarding its existence, validity or termination, shall be refrred to and
finally resolved by arbitration under the Rules of the London Court of
International Arbitration, which Rules are deemed to be incorporated by
reference into this clause.”
b. penyelesaian yudisial
Penyelesaian judisial adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa dengan
merujuk sengketa tersebut ke suatu tribunal permanen untuk membuat putusan yang
mengikat. Penyelesaian jenis ini merupakan perkembangan dari arbitrase. Tribunal
yang dimaksud dapat berupa tribunal yang memiliki yurisdiksi umum (general
jurisdiction) seperti International Court of Justice (ICJ) atau yurisdiksi khusus seperti
International Tribunals for the Law of the Sea (ITLOS).55
International Court of Justice
Meskipun keputusan ICJ, seperti award arbitrase, mengikat para pihak;
penyelesaian ini lebih menguntungkan karena pengadilan seperti ini telah terbentuk
sehingga terdapat hakim-hakim yang selalu siap bertugas menyelesaikan sengketa.
Para pihak juga tidak perlu membayar apapun terkait biaya yang dikeluarkan oleh ICJ,
meskipun mereka tetap harus membayar sebagai bentuk kontribusi ke PBB.56
ICJ sering dikritik karena tidak melakukan banyak pekerjaan. Namun,
penyelesaian sengketa melalui penyelesaian yudisial tidak membutuhkan waktu
sebanyak arbitrase. Terlebih lagi, kasus-kasus yang diajukan ke ICJ adalah kasus yang
lebih kompleks daripada yang diajukan ke tribunal arbiter. Biaya yang dikeluarkan
oleh masing-masing pihak juga lebih sedikit. Negara berkembang dapat mengajukan

53
Dikutip dari Huala Adolf, Op.cit.,hlm. 22.

54
Dikutip dari Munir Fuady, Op.cit., hlm. 125-126.

55
J. G. Merills, Op.cit., hlm. 116.

56
Anthony Aust, Op.cit., hlm. 294.

18
permohonan umenggunakan dana perwalian yang ada di Sekretaris Jendeal PBB untuk
membayar sebagian biaya litigasi yang ia keluarkan. Terlebih lagi, ICJ memiliki badan
yurisprudensi, sehingga negara dan para penasehat hukumnya dapat memprediksikan
pendekatan yang dilakukan ICJ. Dalam praktiknya, karena beban kerja yang terus
meningkat dan biaya yang minim, banyak kasus yang mengalami keterlambatan
penyelesaian.57
Sebagaimana halnya dengan arbitrase, penyelesaian dengan oleh pengadilan
atau tribunal hanya dapat digunakan ketika pihak-pihak yang bersengketa sepakat.
Kesepakatan ini dapat dibuat berdasarkan58:
- perjanjian internasional, baik multilateral maupun bilateral, yang sedang
dipersengketakan;
- optional protocol dari perjanjian internasional yang disengketakan;
- compromissory clause dari perjanjian internasional yang disengketakan;
- penyimpulan dari compromis; dan
- membuat deklarasi timbal balik sesuai dengan Pasal 36 Statuta ICJ yang
menyatakan penerimaan terlebih dahulu yurisdiksi ICJ untuk memutus
semua kasus terkait perjanjian internasional yang sedang berjalan.
Oleh karena itu, tribunal permanen seperti ICJ memiliki contentious jurisdiction, yaitu
bahwa tribunal itu tidak memiliki yurisdiksi untuk membuat keputusan atas suatu
sengketa kecuali para pihak yang bersengketa telah memberikan persetujuannya.59
International Tribunal for the Law of the Sea60
International Tribunal for the Law of the Sea (Mahkamah Hukum Laut
Internasional) adalah badan yang dibentuk berdasarkan Annex VI dari Konvensi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS, 1982). UNCLOS mengamanatkan agar setiap
perselisihan atau sengketa yang timbul di antara negara peserta konvensi diselesaikan

57
Ibid., hlm. 295.

58
Ibid. hlm. 295-296.
59
J. G. Merills, Loc.cit., hlm. 116.

60
Daeng Randy, “Statute of the International Tribunal for the Law of the Sea,” Indonesian Journal of
International Law Vol. 1 No. 3 (Apr, 2004), hlm. 621-623.

19
melalui jalan damai. Prinsip ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 279 UNCLOS
1982 yang menyatakan bahwa61:
“State parties shall settle any dispute between them concerning the interpretation or
application of this convention by peaceful means...”

Pada pasal selanjutnya, yaitu Pasal 280, para pihak yang bersengketa dengan
persetujuan bersama dapat memilih sendiri prosedur apa yang akan digunakan untuk
penyelesaian sengketa yang timbul. Beberapa pilihan prosedur yang dapat dipilih
menurut Pasal 287 UNCLOS 1982, upaya penyelesaian dapat dilakukan melalui:
i. International Tribunal for the Law of the Sea yang dibentuk berdasarkan Annex
VI;
ii. International Court of Justice;
iii. Arbitral Tribunal yang dibentuk berdasarkan Annex VII; dan
iv. Special Arbitral Tribunal yang dibentuk berdasarkan Annex VIII guna
menyelesaikan masalah-masalah khusus.
Terkait kompetensi ITLOS, Pasal 20 mengatur bahwa Tribunal terbuka bagi
semua negara peserta konvensi. Sehingga, setiap negara anggota konvensi dapat
mengajukan permasalahannya ke hadapan Tribunal. Selain negara peserta UNCLOS
1982, Pasal 20 mengatur bahwa negara yang bukan merupakan anggota dari UNCLOS
1982 juga dapat mengajukan sengketa yang timbul kepada Tribunal jika dikehendaki
oleh para pihak, sepanjang sengketa yang timbul berkaitan dengan hal-hal yang terdapat
pada Bagian XI UNCLOS 1982.
Tribunal ini terdiri dari 21 orang anggota yang dipilih oleh negara-negara
anggota UNCLOS 1982. Jumlah ini dianggap cukup untuk mewakili berbagai prinsip
dalam sistem hukum yang ada di dunia. Dari 21 orang anggota ini, tidak ada dua orang
yang memiliki kewarganegaraan sama. Anggota dipilih untuk masa jabatan sembilan
tahun dan mungkin dipilih kembali untuk satu masa jabatan. Sebagai pelaksanaan dari
prinsip keadilan dan ketidakberpihakan, anggota Tribunal tidak diperkenankan untuk
bertindak sebagai konsultan, penasehat, atau mewakili pihak-pihak lain yang sedang
ditangani Tribunal.

Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969

61
United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982

20
Dalam Vienna Convention on the Laws of Treaty, 1969 juga diatur perihal sengketa
dan penyelesaiannya dalam Pasal 65 dan Pasal 66. Namun, kedua pasal ini hanya berlaku pada
sengketa yang berhubungan dengan Pasal 46-64 tentang Invalidity, Termination, and
Suspension of the Operation of Treaties. Sehingga, ketentuannya tidak mencakup sengketa
yang timbul akibat penerapan atau interpretasi perjanjian internasional.62 Dalam Pasal 65 ayat
(3) dan ayat (4) VCLT diatur bahwa:
(3) If, however, objection has been raised by any other party, the parties shall seek a
solution through the means indicated in Article 33 of the Charter of the United Nations.
(4) Nothing in this foregoing paragraphs shall affect the rights or obligations of the
parties under any provisions in force binding the parties with regard to the settlement of
disputes.63
Frasa “seek a solution” di sini pernah disarankan untuk diganti dengan “settlement of
dispute.” Namun, SR Waldock menolaknya dengan alasan bahwa frasa “seek a solution” lebih
bersifat netral atau tidak perlu mengakui ada atau tidaknya sengketa; lagi-lagi, karakter
diplomatis dari VCLT ditekankan.64
Kemudian, Pasal 65 juga merujuk mekanisme penyelesaian sengketa yang digunakan
alam Pasal 33 UN Charter, yaitu negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase,
penyelesaian yudisial, menggunakan instansi atau mekanisme regional, atau cara damai
lainnya.65
Namun, ayat (4) menekankan ketentuan di atas tidak menghilangkan kesepakatan
mengenai penyelesaian sengketa yang ada antara para pihak. Ayat ini menjamin bahwa
kehendak para pihak tidak akan terpengaruh sehingga kesepakatan itu tetap dapat diterapkan
dalam hubungan mereka.66
Selanjutnya, Pasal 66 VCLT mengatur bahwa:
If, under paragraph 3 of article 65, no solution has been reached within a period of 12
months following the date on which the objection was raised, the following procedures
shall be followed:
a. any one of the parties to a dispute concerning the application or the interpretation of
article 53 or 64 may, by a written application, submit it to the International Court of

62
Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach (Eds), Vienna Convention on the Law of Treaties, A
Commentary, (New York: Springer Heidelberg Dordrecht, 2012), hlm. 1141.

63
Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969.

64
Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach (Eds), Op. Cit., hlm. 1148.

65
Ibid., hlm. 1148-1149.

66
Ibid., hlm 1149.

21
Justice for a decision unless the parties by common consent agree to submit the
dispute to arbitration;
b. any one of the parties to a dispute concerning the application or the interpretation of
any of the other articles in part V of the present Convention may set in motion the
procedure specified in the Annex to the Convention by submitting a request to that
effect to the Secretary-General of the United Nations.67

Pasal ini hanya berlaku ketika upaya penyelesaian sebagaimana diatur dalam Pasal 65
ayat (3) tidak membuahkan hasil. Lagi-lagi, penyelesaian sengketa yang diatur dalam Pasal ini
hanyalah terkait sengketa dalam kaitannya dengan Bagian V VCLT, bukan interpretasi atau
pelaksanaan suatu perjanjian internasional, bukan pula sengketa mengenai bagian lain dalam
VCLT.68

67
Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969.

68
Oliver Dorr dan Kirsten Schmalenbach (Eds), Op. Cit., hlm. 1154.

22
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang dilakukan di Bab I, dapat disimpulkan beberapa hal


sebagai berikut:
1. Suatu sengketa bisa didefinisikan sebagai adanya ketidaksetujuan yang spesifik tentang
suatu fakta, hukum atau kebijakan yang mana klaim satu pihak ditolak oleh pihak lain yang
mengajukan klaim yang berbeda. Dalam cakupan yang lebih luas, sengketa internasional
dapat diartikan sebagai ketidaksetujuan yang melibatkan pemerintah, institusi, badan
hukum, atau individu dan melewati batas negara
2. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara damai maupun tidak secara damai.
Penyelesaian sengketa secara tidak damai dapat dilakukan dengan perang, restorsi,
tindakan-tindakan pembalasan, blokade damai, dan intervensi.
3. Prinsip penyelesaian sengketa secara damai dikukuhkan dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam
PBB yang kemudian dalam Pasal 33 piagam yang sama disebutkan beberapa kemungkinan
mekanismenya, yaitu negosiasi, pencarian fakta, mediasi, jasa-jasa baik, konsiliasi,
arbitrasi, penyelesaian yudisial, atau menggunakan instansi atau mekanisme regional, serta
cara damai lainnya.
4. Dari beberapa mekanisme yang disebutkan sebelumnya, dapat dilakukan klasifikasi
berdasarkan kekuatan mengikat dari hasil penyelesaian sengketa. Negosiasi, pencarian
fakta, mediasi, dan jasa-jasa baik, dan konsiliasi merupakan mekanisme penyelesaian
dengan hasil yang tidak mengikat para pihak. Kemudian, keputusan yang diambil dari
proses konsiliasi, arbitrasi, dan penyelesaian yudisial merupakan keputusan yang mengikat
para pihak. Namun klasifikasi ini tidaklah mutlak, dalam arti bahwa mengikat atau tidaknya
hasil penyelesaian sengketa tergantung pada kesepakatan para pihak.
5. Selain negosiasi dan konsultasi, mekanisme penyelesaian sengketa yang disebutkan
sebelumnya menggunakan bantuan pihak ketiga di luar para pihak yang bersengketa.

23
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Adolf, Huala. 1991. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Rajawali Press.
Aust, Anthony. 2000. Modern Treaty Law and Practice. (United Kingdom: Cambridge
University Press).
Dorr, Oliver dan Kirsten Schmalenbach (Eds). 2012. Vienna Convention on the Law of
Treaties, A Commentary. (New York: Springer Heidelberg Dordrecht)
Fuady, Munir. 2000. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis). Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Harahap, Yahya. 1991. Arbitrase. n.p.: Pustaka Kartini.
Merills, J. G. 2011. International Dispute Settlement. (New York: Cambridge University Press)
Sefriani. 2012. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. (Jakarta: Rajawali Pers).
Suwardi, Sri Setianingsih. 2006. Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: UI Press).
United Nations. 2012. Treaty Handbook, Prepared by the Treaty Section of the Office of Legal
Affairs. (UN: United Nations Publication).

Artikel dalam Jurnal


Danial. “Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Proses Penyelesaian
Konflik Internasional.” Jurnal Ilmu dan Budaya Universitas Nasional Jakarta.
Eliza, Emi et. all. “Intervensi Kemanusiaan (Humanitarian Intervention) Menurut Hukum
Internasional dan Implementasinya dalam Konflik Bersenjata.” Jurnal Ilmu Hukum, Vol.
8 No. 4. (Okt-Des 2014).
Pede, Albert. “Peran Negara dalam Penyelesaian Sengketa Intenasional dengan Kekerasan
Bukan Perang.” Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Vol. 1 No. 3 (2014).
Randy, Daeng. “Statute of the International Tribunal for the Law of the Sea.” Indonesian
Journal of International Law Vol. 1 No. 3 (Apr, 2004).
Sulistya, Teguh. “Pengaturan Perang dan Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter
Internasional.” Jurnal Hukum Internasional. Vol. 4 No. 3 (Apr, 2007).
Wahid, Abdul. “Pengangkatan Arbiter dalam Arbitrase Internasional: Suatu Studi
Perbandingan Berdasarkan UNCITRAL, ICC, AAA, dan LCIA Rules.” Jurnal Hukum
dan Pembangunan No. 3 Tahun XXIX (Jul-Sept, 1999).

24
Instrumen Hukum
Convention (II) with Respect to the Laws and Customs of War on Land and its annex:
Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague, 29 Juli 1899.
Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-
Operation Among States in Accordance with the Charter of the United Nations. Adopted
by the UN General Assembly Resolution 2625 (XXV) Of 24 October 1970.
United Nations Charter. 1945.
Vienna Convention on the Law of Treaties. 1969

Tesis
Williamson, Ross. “A Friendly Demonstration of Force: Pacific Blockade, International Law
and State Identity, 1827 to 1921.” Thesis submitted as requirement for the degree of
Master of Arts in Legal Studies. (Ontario: Charleton Univeristy).

25

Anda mungkin juga menyukai