Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP SUMBER HUKUM INTERNASIONAL


DAN PERLINDUNGAN HAM OLEH DEWAN KEAMANAN PBB

Dalam Bab II, Penulis akan menguraikan mengenai jenis-jenis sumber

Hukum Internasional yang akan menjadi dasar analisis dalam identifikasi

masalah pertama. Dalam bab ini juga akan dijelaskan mengenai

kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam pelaksanaan R2P dan

perlindungan HAM yang berkaitan dengan analisis identifikasi masalah

kedua.

A. Sumber Hukum Internasional

Berdasarkan Pasal 38(1) Statuta Mahkamah Internasional 1945,

sumber Hukum Internasional terdiri dari: (i) perjanjian internasional; (ii)

kebiasaan Hukum Internasional; (iii) prinsip hukum umum; (iv) putusan

pengadilan; dan (v) doktrin para ahli. Sebagai tambahan, soft law juga

dapat dipertimbangkan sebagai suatu sumber hukum.

1. Perjanjian Internasional

Malcolm Shaw menyatakan bahwa perjanjian internasional adalah

perjanjian tertulis di mana negara-negara yang bersangkutan

mengikatkan dirinya untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan

perbuatan tertentu atau membangun suatu hubungan antara para

pihak tersebut.1 Sementara, pada Pasal 1 bagian a Vienna Convention

1 Malcolm Shaw, op.cit hlm.93.

23
24

on the Law of Treaties between States 1969 (VCLT 1969), dinyatakan

bahwa traktat adalah perjanjian internasional di antara negara-negara

dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional dengan

instrumen tunggal atau lebih dan dalam bentuk tertentu.

Ada dua jenis perjanjian internasional, yakni law-making treaties

dan treaty contract.2 Law-making treaties adalah perjanjian yang

meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat

internasional sebagai keseluruhan secara umum.3 Treaty contract

adalah perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum

perdata, hanya menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak

yang mengadakan perjanjian itu.4 Pada Pasal 11 VCLT 1969,

dijelaskan bahwa suatu pihak dalam perjanjian internasional,

khususnya negara-negara, dapat mengikatkan diri mereka dengan

cara:5 (i) penandatanganan, (ii) pertukaran instrumen yang

menimbulkan perjanjian internasional, (iii) ratifikasi, (iv) penerimaan,

(v) pengesahan, (vi) accession, dan (vii) cara-cara lain yang

disepakati.

2. Kebiasaan Hukum Internasional

Kebiasaan Hukum Internasional klasik bertumpu pada praktik

negara yang serupa dan berkelanjutan dalam jangka waktu yang

2 Ibid, hlm.94.
3 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit, hlm.122.
4 Ibid.
5 Vienna Convention on the Law of Treaties between States. 1969. Pasal 11.
25

memadai.6 Secara tradisional, sebuah norma baru dikatakan sebagai

kebiasaan Hukum Internasional ketika telah terbentuk setelah

beberapa dekade atau bahkan ratusan tahun.7 Grigory Tunkin tidak

sependapat dengan menyatakan bahwa durasi pembentukan

kebiasaan Hukum Internasional tidak harus selalu menghabiskan

waktu yang lama.8

Relativitas durasi pembentukan kebiasaan Hukum Internasional

tersebut diperkuat dalam putusan Mahkamah Internasional dalam

North Sea Continental Shelf pada 1969 yang menyatakan bahwa

pembentukan kebiasaan Hukum Internasional tidak berdasarkan

suatu jangka waktu tertentu atau bahkan waktu yang lama, melainkan

berdasarkan praktik dan pengakuan negara yang seragam terkait

norma hukum tertentu9 dan tidak adanya penolakan dari subjek hukum

lain terkait norma hukum tersebut.10 Ada pula kebiasaan Hukum

Internasional yang “instan”,11 namun tidak mudah ditemukan dan

6 Etienne Henry, “Alleged Acquiescence of the International Community to Revisionist

Claims of International Customary Law (With the Special Reference to the Jus Contra
Bellum Regime)”, Melbourne Journal of International Law, vol.18, Parkville; Melbourne
University, 2017, hlm.24.
7 Michael P. Scharf, “Accelerated Formation of Customary International Law”, ILSA

Journal of International and Comparative Law, vol.20, no.2, Davie: Nova Southeastern
University Shepard Broad College of Law, 2014, hlm.306; lihat juga: Michael P. Scharf,
“Seizing the Grotian Moment: Accelerated Formation of Customary International Law in
Times of Fundamental Change”, Cornell International Law Journal, vol.43, Ithaca: Cornell
University, 2010, hlm.446.
8 Grigory Tunkin, “Remarks on the Juridical Nature of Customary Norms of

International Law”, California Law Review, vol.49, no.3, Berkeley: University of California,
1961, hlm.419-420.
9 North Sea Continental Shelf Cases, Jerman/Denmark/Belanda, ICJ Report of

Judgments, 20 Februari 1969, hlm.43,¶74.


10 Etienne Henry, op.cit, hlm.25.
11 Peter Malanzcuk, op.cit, hlm.45; lihat juga: North Sea Continental Shelf Cases,

Jerman/Denmark/Belanda, ICJ Report of Judgments, 20 Februari 1969, ¶4.


26

dibuktikan. Kebiasaan Hukum Internasional juga dapat bersifat

regional atau hanya berlaku bagi negara-negara tertentu saja

sebagaimana tercermin dalam Asylum Case.12 Terlepas dari itu,

secara umum, sebuah norma harus memenuhi dua kriteria agar dapat

menjadi ketentuan yang mengikat bagi semua negara sebagai

kebiasaan Hukum Internasional.13

Kriteria pertama untuk menjadi kebiasaan Hukum Internasional

adalah harus adanya state practice. State practice atau general

practice adalah unsur material yang membentuk kebiasaan Hukum

Internasional, yaitu suatu pola tindakan yang berlangsung lama.14

Anthony Aust menyatakan bahwa state practice dapat berbentuk

berbagai tindakan pemerintah dalam hubungannya antar negara,

peraturan perundang-undangan, nota diplomatik.15

Maurice Mendelson menyatakan bahwa praktik negara yang

diterima adalah praktik negara yang dilakukan badan legislatif,

eksekutif, yudikatif, pejabat administrasi, putusan pengadilan, bahkan

perseorangan yang memang mewakili negara.16 Ian Brownlie

12 Maurice H. Mendelson, et.al, Hague Academy of International Law, Collected


Courses, vol.272, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 1998, hlm.215.
13 A. Mark Weisburd, “The International Court of Justice and the Concept of State

Practice”, University of Pennsylvania Journal of International Law, vol.31, no.2,


Philadelphia: University of Pennsylvania, 2009, hlm.301&302; lihat juga: Malcolm Shaw,
op.cit, hlm.74&75.
14 Malcolm Shaw, op.cit, hlm.74; Mochtar Kusumaatmadja, op.cit, hlm.144. ; Peter

Malanzcuk, op.cit, hlm.39; lihat juga: Nikaragua v. Amerika Serikat, Case Concerning
Military and Paramilitary Activities in and against Nicaragua, ICJ Reports Of Judgments:
Advisory Opinions and Orders, 27 Juni 1986, ¶14
15 Anthony Aust, Handbook of International Law, New York: Cambridge University

Press, 2005, hlm.7.


16 Maurice H. Mendelson, et.al, op.cit, hlm.198.
27

mencoba merinci apa-apa saja yang termasuk ke dalam bentuk state

practice, antara lain: korespondensi diplomatik, kebijakan, press

release, panduan militer, peraturan perundang-undangan, putusan

pengadilan, resolusi Majelis Umum PBB.17 International Law

Association menyatakan bahwa praktik organisasi internasional juga

dapat dipandang sebagai state practice, karena kedudukannya

sebagai subjek Hukum Internasional.18

Tidak ada jumlah minimal terkait keberadaan state practice,

bahkan keberadaan state practice dan opinio juris di antara dua

negara dapat dipandang sebagai Kebiasaan Hukum Internasional di

antara keduanya sebagaimana tercermin dalam Right of Passage

over Indian Territory Case.19

Kriteria yang kedua adalah harus adanya opinio juris, yaitu: a

general recognition by states that the practice is settled enough to

amount to an obligation binding on states in international law.20 Opinio

juris atau accepted as law adalah unsur psikologis yang membentuk

kebiasaan Hukum Internasional, yaitu keyakinan dari suatu negara

bahwa state practice demikian adalah sebuah kewajiban (opinio juris

sive necessitates21).

Dalam pandangan yang lebih modern, opinio juris dinyatakan

17 Ibid, hlm.204.
18 Ibid.
19 Portugal v. India, Case Concerning Right of Passage over Indian Territory, Report

of Judgment, Advisory Opinion, and Order of ICJ, 12 April 1960.


20 Anthony Aust, op.cit, hlm.7.
21 Malcolm Shaw, op.cit, hlm.75
28

sebagai unsur utama dari sebuah kebiasaan Hukum Internasional dan

state practice adalah unsur sekundernya.22 Pemikiran ini

dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa norma hukum yang baru akan

berlaku ketika subjek hukum telah mengakui dan mempercayai bahwa

norma tersebut ada dan merupakan kewajiban yang harus

dilaksanakan.23 Pengakuan dan kepercayaan (opinio juris) tersebut

dimanifestasikan melalui praktik negara (state practice).24

Dalam Nicaragua Case, Mahkamah Internasional menyimpulkan

adanya opinio juris berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB dan

tindakan negara yang didasarkan atas keyakinan akan kewajiban

untuk melakukan sesuatu.25 Opinio juris juga dapat berasal dari

tindakan negara yang didasarkan atas keyakinan akan kewajiban

untuk tidak melakukan sesuatu sebagaimana tercermin dalam Lotus

Case.26

3. Prinsip Hukum Umum

Prinsip hukum umum merupakan prinsip hukum yang jika tidak

22 Roozbeh B. Baker, “Customary International Law in the 21 st Century: Old

Challenges and New Debates”, European Journal of International Law, vol.21, no.1,
Oxford: Oxford University, 2010, hlm.181-182.
23 Samantha Besson, et.al, The Philosophy of International Law, New York: Oxford

University Press, 2010, hlm.202.


24 Ibid.
25 Nikaragua v. Amerika Serikat, Case Concerning Military and Paramilitary Activities

in and against Nicaragua, ICJ Reports Of Judgments: Advisory Opinions and Orders, 27
Juni 1986, hlm.100.
26 Perancis v. Turki, The Case of the S.S. Lotus, Publications of the Permanent Court

of International Justice: Collection of Judgments, 7 September 1927, hlm.28.


29

ada, maka tidak ada sistem hukum manapun yang dapat berfungsi. 27

Prinsip hukum umum tidak dipengaruhi oleh praktik negara-negara

sebagaimana kebiasaan Hukum Internasional.28 Bruno Sima dan Ben

Cheng menyatakan pendapat yang serupa bahwa prinsip hukum

sebagai sumber Hukum Internasional memang harus diakui oleh

masyarakat internasional, namun tidak ada syarat berdasarkan

general atau common practice.29

Prinsip hukum umum dalam Hukum Internasional adalah prinsip-

prinsip yang diakui sebagai sumber Hukum Internasional oleh para

hakim, arbitrator, dan perwakilan diplomatik negara-negara ketika

perjanjian internasional dan kebiasaan internasional tidak secara jelas

mengatur suatu permasalahan dalam suatu sengketa internasional.30

Prinsip hukum umum mengisi kekosongan hukum dan bersifat

sebagai sumber hukum internasional yang akan memudahkan

penyelesaian sengketa yang sifatnya non liquet.31

Prinsip hukum umum yang dimaksud adalah asas hukum yang

mendasari sistem hukum secara umum.32 Arti kata umum dalam

27 Rumiana Yotova, “Challenges in the Identification of the “General Principles of Law


Recognized by Civilized Nations”: The Approach of the International Court”, Canadian
Journal of Comparative and Contemporary Law, vol.3, no.1, Kamloops: Faculty of Law of
Thompson Rivers University, 2017, hlm.273.
28 Christina Voigt, “The Role of General Principles in International Law and their

Relationship to Treaty Law”, Retfaerd, vol.31, Kopenhagen: Association of Danish Lawyers


and Economists, 2008, hlm.6.
29 Ibid.
30 Conway W. Henderson, Understanding International Law, West-Sussex: Wiley-

Blackwell, 2010, hlm.72.


31 Malcolm Shaw, op.cit, hlm.98.
32 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit, hlm.148; Hugh Thrilway, et.al, International Law,

New York: Oxford University Press, 2003, hlm.131.


30

pengertian ini sangat penting, karena dengan demikian jelaslah bahwa

hukum internasional merupakan bagian dari keseluruhan dari hukum

pada umumnya.33 Prinsip hukum umum bersumber dari

perkembangan dan praktik dalam berbagai sistem hukum nasional, 34

seperti asas pacta sunt servanda, precautionary principle, dan rebus

sic stantibus. Prinsip hukum umum memang tidak dapat ditemukan

berdiri sendiri, namun ditemukan sebagai norma perjanjian

internasional, kebiasaan Hukum Internasional atau sumber hukum

lain.35

4. Putusan Pengadilan

Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional tidak hanya

mengacu pada putusan Mahkamah Internasional sebagai judicial

decisions, namun juga peradilan internasional lain, seperti Tokyo

Tribunal dan putusan pengadilan dalam sistem hukum nasional.

Putusan pengadilan, walaupun tidak memiliki kekuatan mengikat,

dapat menjadi tolok ukur dan bahan pertimbangan para hakim

Mahkamah Internasional.36 Walaupun dinyatakan bahwa judicial

decisions adalah sumber hukum subsidier,37 namun justru judicial

decisions adalah salah satu sumber hukum yang paling berpengaruh

33 Ibid, hlm.149.
34 Ibid.
35 Hugh Thrilway, et.al, op.cit, hlm.132.
36 Malcolm Shaw, op.cit, hlm.110; lihat juga: Qatar v. Bahrain. ICJ Reports of

Judgments. 16 Maret 2001.¶40.


37 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit, hlm.115.
31

dalam penjatuhan putusan Mahkamah Internasional, karena

banyaknya sumber putusan pengadilan di seluruh dunia yang dapat

menjadi acuan dan pertimbangan bagi para hakim.

5. Doktrin Para Ahli

Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional menyatakan

bahwa teachings of the most highly qualified publicists atau pendapat

para sarjana hukum terkemuka merupakan salah satu sumber hukum

internasional.38 Hal ini dikarenakan dalam perkembangan hukum

internasional pun, para sarjana hukum terkemuka atau para ahli telah

berperan dalam kemajuan hukum internasional.39

Manfred Lachs berpendapat bahwa teaching of the most highly

qualified publicists hanya dipandang sebagai cara subsidier untuk

menentukan apakah suatu norma termasuk ke dalam norma

perjanjian internasional, prinsip hukum umum, atau kebiasaan Hukum

Internasional.40 Pendapat para ahli tidak dapat berdiri sendiri,

melainkan juga merupakan turunan dari sumber Hukum Internasional

lain. Para ahli tidak akan menyatakan pendapat atau argumentasinya

berdasarkan pemikirannya semata, namun mereka mendasarkan

pemikirannya dan menyadari bahwa pemikiran tersebut berasal

38 Malcolm Shaw, op.cit, hlm.113.


39 Ibid, hlm.112.
40 Michael Piel, “Scholarly Writings as a Source of Law: A Survey of the Use of

Doctrine by the International Court of Justice”, Cambridge Journal of International and


Comparative Law, vol.1, no.3, Cambridge: Cambridge University, 2012, hlm.141.
32

sumber lain.41

Apabila hakim dalam sistem hukum nasional pun mengalami

kesulitan, maka mereka akan menelaah dari karya tulis ilmiah,

academic writing, maupun buku dari para sarjana hukum terkemuka.42

Sama halnya pada Mahkamah Internasional, saat para hakim

Mahkamah Internasional dalam menangani suatu sengketa

menemukan permasalahan terkait ketentuan hukum yang dapat

digunakan, para hakim pun akan mencarinya dari pendapat para

sarjana hukum terkemuka. Walaupun tidak mengikat, sama halnya

dengan judicial decisions, teachings of the most highly qualified

publicists dapat menjadi bahan pertimbangan para hakim Mahkamah

Internasional.

Salah satu contoh highly qualified publicists yang diakui dan pula

menjadi bagian dalam struktur sistem hukum internasional adalah

International Law Commission (ILC) yang bertugas melakukan

kodifikasi dan perkembangan hukum internasional yang terdiri dari

para sarjana hukum terkemuka yang mewakili berbagai negara dan

kebudayaan di dunia.43

6. Soft Law

Soft law bukan merupakan hukum, namun selalu dipandang

41 Hugh Thrilway, et.al, op.cit, hlm.132.


42 Ibid, hlm.113.
43 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit, hlm.153.
33

sebagai lex ferenda atau hukum yang akan datang.44 Status ini

diperkuat dengan kecenderungan saat ini yang menjadikan instrumen

yang tidak mengikat menjadi suatu kewajiban hukum (opinio juris).45

Soft law merupakan instrumen tidak mengikat, seperti

rekomendasi, panduan, deklarasi, resolusi dan lain sebagainya.46 Soft

law menggambarkan kesepahaman antar para subjek hukum,

pernyataan politik atau moral, atau sekadar opini yang di masa

mendatang menjadi bagian dari sumber hukum lain, seperti perjanjian

internasional atau kebiasaan Hukum Internasional.47

Soft law dipandang sebagai norma sosial dibandingkan sebagai

norma hukum. Hal ini dikarenakan soft law lebih cenderung

mengandung preferensi dibandingkan kewajiban. Perbedaan

mendasar antara norma hukum dan norma sosial atau politik, yaitu

pelanggaran norma hukum akan mengakibatkan sanksi hukum,

sementara pelanggaran norma sosial atau politik akan mengakibatkan

sanksi sosial atau politik.48

Soft law terbagi dua, yaitu primary soft law dan secondary soft law.

Primary soft law49 merupakan instrumen yang tidak diadopsi menjadi

perjanjian internasional yang ditujukan pada masyarakat internasional

44 Peter Malanzcuk, op.cit, hlm.54.


45 Hugh Thrilway, et.al, op.cit, hlm.168.
46 Malcolm Shaw, op.cit, hlm.118.
47 Dinah Shelton, et.al, Routledge Handbook of International Law, New York:

Routledge, 2009, hlm.69.


48 Hugh Thrilway, et.al, op.cit, hlm.167.
49 Dinah Shelton, et.al, op.cit, hlm.70.
34

sebagai bagian dari anggota organisasi internasional yang

menerbitkan instrumen tersebut. Instrumen tersebut dipandang

sebagai norma baru atau norma penjelasan dari instrumen pendahulu.

Secondary soft law50 adalah rekomendasi, opini, laporan, atau

dokumen yang diterbitkan oleh organisasi internasional, komite, atau

badan adhoc. Secondary soft law diterbitkan oleh entitas yang

terbentuk dari perjanjian internasional dan berwenang serta

menjalankan fungsinya berdasarkan perjanjian internasional tersebut.

Fungsi soft law, yaitu:51 (i) berperan dalam pembentukan sumber

hukum lain; (ii) mengisi kekosongan hukum dan menjelaskan lebih

lanjut sumber hukum lain; (iii) membentuk state practice; dan (iv)

menggantikan kewajiban hukum yang belum atau sedang dibentuk.

B. Upaya Perlindungan HAM dalam Kerangka Dewan Keamanan PBB

Pasal 24(1) Piagam PBB 1945 menyatakan bahwa Dewan

Keamanan PBB memiliki tanggung jawab utama dalam menjaga

kedamaian dan keamanan dunia. Ancaman kedamaian dan keamanan

dunia dapat berupa pelanggaran berat HAM.52 Maka dari itu, tugas dan

wewenang Dewan Keamanan PBB berdasarkan Piagam PBB 1945

merupakan bagian signifikan dari perlindungan HAM dalam

implementasi R2P.

50 Ibid.
51 Hugh Thrilway, et.al, op.cit, hlm.169.
52 Jeremy Matam Farrall, op.cit, hlm.5&15.
35

1. Kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam Pelaksanaan R2P

ICISS menyatakan bahwa peran Dewan Keamanan PBB dalam

penerapan R2P sangat penting53, karena berhubungan dengan tugas

dan fungsi Dewan Keamanan PBB dalam menjaga kedamaian dan

keamanan dunia.54 A/RES/60/1 menyatakan bahwa penerapan R2P

dilaksanakan dalam kerangka Bab VI, VII, dan VIII Piagam PBB

1945.55

Pasal 33(2), Pasal 39, dan Pasal 52 Piagam PBB 1945

menyatakan bahwa kewenangan dalam bab-bab tersebut merupakan

kewenangan Dewan Keamanan PBB. Masyarakat internasional

menyerahkan kewenangan untuk menerapkan R2P kepada Dewan

Keamanan PBB sebagai upaya kolektif dalam melindungi masyarakat

dari genosida, pemusnahan etnis, kejahatan perang, dan kejahatan

terhadap kemanusiaan.56

Tugas dan fungsi Dewan Keamanan PBB berdasarkan Pasal

24(1) Piagam PBB 1945 berbeda dalam penerapan R2P. Pasal 24(1)

Piagam PBB 1945 secara tegas menyatakan bahwa menjaga

perdamaian dan keamanan dunia adalah tanggung jawab utama

Dewan Keamanan PBB. Sementara dalam penerapan R2P, tanggung

perlindungan HAM berada di tangan masing-masing negara.

53 Hitoshi Nasu, et.al, op.cit, hlm.379.


54 Ibid.
55 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolution Adopted by the General Assembly: 2005

World Summit Outcome¸ A/RES/60/1, op.cit, ¶139.


56 Ibid.
36

Peran Dewan Keamanan PBB merupakan peran sekunder,

bahkan subsider, jika negara-negara gagal atau tidak melakukan

kewajibannya dalam kerangka R2P.57 Maka dari itu, politik hukum

penerapan R2P benar-benar memberikan kewenangan utama kepada

masing-masing negara dan menghormati kedaulatannya, sehingga

Dewan Keamanan memiliki prioritas kewenangan yang berbeda

dalam kerangka R2P.

2. Sanksi Dewan Keamanan PBB Berdasarkan Piagam PBB 1945

Pasal 39 Piagam PBB 1945 menyatakan bahwa Dewan

Keamanan PBB dapat membuat rekomendasi atau memutuskan

tindakan/langkah PBB untuk menjaga kedamaian dan keamanan

dunia terhadap situasi atau perbuatan yang mengancam kedamaian

dan keamanan dunia.

a. Sanksi Non Militer

Pasal 41 Piagam PBB 1945, dinyatakan bahwa PBB dapat

memberikan sanksi kepada suatu pihak berupa ikut campur PBB

secara menyeluruh atau sebagian terhadap hubungan ekonomi,

perdagangan, komunikasi, embargo senjata, pelarangan

perjalanan ke luar negeri, dan pemutusan hubungan diplomatik.58

57 Hitoshi Nasu, et.al, op.cit, hlm.390.


58 Departement of Public Information of UN, Basic Facts about the United Nations,
New York: United Nations Publication, 2004, hlm.76; lihat juga: Jeremy Matam Farrall,
op.cit, hlm.58.
37

b. Sanksi Militer

Sanksi lain dapat diberikan apabila sanksi-sanksi

sebagaimana dimaksud Pasal 41 Piagam PBB 1945 dipandang

tidak efektif. Pada Pasal 42 Piagam PBB 1945, dinyatakan bahwa

PBB dapat memberikan sanksi berupa kegiatan militer baik di

perairan, daratan, maupun udara, termasuk blokade dan operasi

militer dari pasukan militer PBB.

Sanksi-sanksi PBB diatas dilaksanakan oleh para anggota

PBB, baik secara keseluruhan atau hanya sebagian anggotanya.59

Sanksi-sanksi tersebut dapat dilaksanakan secara langsung oleh

anggota-anggota PBB atau melalui organisasi atau agensi

internasional.60

3. Humanitarian Intervention

Humanitarian intervention atau intervensi kemanusiaan adalah

ancaman dan penggunaan kekerasan lintas batas negara yang

dilakukan oleh suatu negara atau sekelompok negara yang bertujuan

untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran HAM tanpa

persetujuan dari negara yang menjadi objek dari ancaman dan

penggunaan kekerasan tersebut.61

59 Piagam PBB 1945 1945, pasal 48(1) dan 49.


60 Ibid, pasal 48(2).
61 J. L. Holzgrefe, et.al¸ op.cit, hlm.18.
38

4. Misi Perdamaian PBB

Misi perdamaian PBB (United Nations peacekeeping missions)

merupakan salah satu upaya untuk menyelesaikan sengketa antar

negara atau dalam negara dengan menempatkan pihak netral untuk

membuka peluang penyelesaian sengketa secara damai.62 Misi

perdamaian PBB akan ditugaskan oleh Dewan Keamanan PBB 63

sebagaimana fungsinya dalam Pasal 24(1) Piagam PBB 1945.

Tugas dan fungsi misi perdamaian PBB, antara lain:64 (i)

membantu terlaksananya perdamaian; (ii) mengawasi situasi

gencatan senjata untuk membuka ruang penyelesaian sengketa; (iii)

menciptakan lingkungan yang kondusif agar penduduk setempat

dapat kembali ke kehidupannya; (iv) mencegah sengketa untuk

meluas; (v) mengarahkan negara melalui masa transisi pasca

sengketa; dan (vi) menetapkan daerah tertentu untuk menjadi daerah

administratif negara selagi adanya sengketa.

C. R2P sebagai Norma Baru dalam Perlindungan HAM

Untuk mengetahui kedudukan R2P sebagai suatu sumber Hukum

Internasional, harus dipahami terlebih dahulu mengenai sejarah

pembentukan dan dasar-dasar pemberlakuan R2P.

62 United Nations Department of Peacekeeping Operations, Handbook on United


Nations Multidimensional Peacekeeping Operations, New York: United Nations
Department of Peacekeeping Operations, 2003, hlm.1.
63 Ibid, hlm.3.
64 Ibid, hlm.1&2.
39

1. Latar Belakang Lahirnya R2P

Pada tahun 2005, masyarakat internasional berkomitmen melalui

resolusi Majelis Umum PBB, A/RES/60/1, untuk menerapkan

kewajiban untuk melindungi HAM melalui kerangka R2P.65 R2P

mengubah perspektif kedaulatan yang semula sebuah hak, menjadi

sebuah kewajiban. Negara bedaulat memiliki kewajiban untuk

melindungi penduduk di wilayahnya dari pelanggaran HAM, baik

dalam hal mencegah atau menghentikan pelanggaran HAM

tersebut.66 Konsep R2P mengubah konsep kedaulatan yang

dahulunya state-centric menjadi human right-centric yang melekat

pada penduduk di dalam wilayah negara. 67 Tiga pilar dalam

mengimplementasikan R2P, yaitu: (i) responsibility to prevent; (ii)

responsibility to react; dan (iii) responsibility to rebuild.68

Lahirnya R2P disebabkan oleh ketidaksetujuan masyarakat

internasional terhadap tindakan seperti apa yang harus dilaksanakan

manakala adanya pelanggaran HAM. Selain yang diatur dalam Bab

VII Piagam PBB 1945, intervensi kemanusiaan sebagai salah satu

mekanisme untuk menghadapi pelanggaran HAM dipandang sebagai

suatu pelanggaran terhadap kedaulatan suatu negara.69 Kegagalan

65 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolution Adopted by the General Assembly: 2005


World Summit Outcome¸ op.cit, ¶140.
66 Mehrdad Payandeh, op.cit, hlm.472.
67 Andreea Iancu, op.cit, hlm.344.
68 ICISS, op.cit, hlm.19,29,39.
69 Kofi Annan, op.cit, hlm.47-48.
40

dalam mencegah dan menghentikan genosida Rwanda pada 1994

dan Srebrenica pada 1995 serta intervensi militer NATO pada wilayah

Kosovo pada 1999 menimbulkan perdebatan terkait perlindungan

HAM dan kedaulatan negara.70

Dalam Millenium Report, Kofi Annan menyatakan, ‘Jika intervensi

kemanusiaan adalah pelanggaran terhadap kedaulatan suatu negara,

lalu bagaimana kita harus bertindak jika adanya pelanggaran berat

dan sistematis HAM yang tidak sejalan dengan rasa kemanusiaan?’71

Sebelum dikristalisasi dalam A/RES/60/1, R2P telah terlebih

dahulu menjadi perhatian dari ICISS sejak tahun 2001. Dalam

laporannya, ICISS menawarkan konsep R2P sebagai mekanisme

baru untuk menghadapi kekhawatiran masyarakat internasional terkait

penggunaan intervensi kemanusiaan sebagai alasan untuk

melakukan agresi yang melanggar kedaulatan negara.72

Kekhawatiran masyarakat internasional terkait penyalahgunaan

intervensi kemanusiaan bukan tidak beralasan.

Konsep R2P menyatakan bahwa:73 (i) negara memiliki kewajiban

utama untuk melindungi penduduknya dari kejahatan genosida,

pemusnahan etnis, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap

70 Peter Hilpold, et.al, op.cit, hlm.8&21.


71 Kofi Annan, op.cit, hlm.48.
72 Miodrag A. Jovanovic, “Responsibility to Protect and the International Rule of Law”,

Chinese Journal of International Law, vol.4, Oxford: Oxford University Press, 2015,
hlm.766.
73 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolution Adopted by the General Assembly: 2005

World Summit Outcome, op.cit, ¶139.


41

kemanusiaan; (ii) masyarakat internasional memiliki kewajiban untuk

membantu negara untuk melakukan kewajibannya; dan (iii)

masyarakat internasional harus menggunakan upaya diplomatik,

kemanusiaan, dan upaya damai lainnya dalam melindungi penduduk

dari kejahatan-kejahatan tersebut. Jika suatu negara gagal dalam

melakukan kewajibannya atau bahkan merupakan pelaku dari

kejahatan-kejahatan tersebut, maka masyarakat internasional dapat

melakukan upaya lainnya termasuk untuk menggunakan kekerasan

melalui kewenangan yang diberikan Dewan Keamanan PBB.

2. Pelanggaran Berat HAM yang menjadi Landasan Norma R2P

Penerapan R2P didasarkan atas indikasi atau dilakukannya

pelanggaran berat HAM tertentu saja, yaitu: (i) kejahatan genosida; (ii)

pemusnahan etnis; (iii) kejahatan perang; dan (iv) kejahatan terhadap

kemanusiaan. Kejahatan-kejahatan ini menjadi dasar penerapan R2P,

karena dipandang sebagai kejahatan-kejahatan yang pelanggaran

berat HAM atau humanitarian disasters74 dan shock the moral

conscience of mankind.75

Pembatasan terhadap indikator R2P dilakukan agar menghindari

penyalahgunaan R2P sebagai alasan untuk melakukan intervensi

terhadap kedaulatan negara lain.76 Pembatasan tersebut dilakukan

74 Australian Red Cross, International Humanitarian Law and the Responsibility to

Protect: A Handbook, Melbourne: Australian Red Cross, 2011, hlm.12.


75 Andreea Iancu, op.cit, hlm.345.
76 Chelsea O’Donnell, “The Development of the Responsibility to Protect: An
42

agar intervensi hanya berdasarkan pada kepentingan HAM, bukan

atas kepentingan lain, seperti politik.77 Oleh karena itu, indikator R2P

hanya terbatas pada pelanggaran berat HAM dan kejahatan

internasional tertentu saja.

a. Kejahatan Genosida dan Pemusnahan Etnis

Kejahatan genosida adalah perbuatan dengan niat untuk

menghancurkan sebagian atau seluruhnya dari kelompok bangsa,

etnis, ras, atau agama. Kejahatan genosida tidak terbatas pada

membunuh, namun perbuatan lain yang berujung pada

kepunahan dari suatu kelompok.78

Unsur perbuatan yang menjadi tolok ukur penentuan

kejahatan genosida adalah kualifikasi dari kelompok yang menjadi

objek kejahatan dan niat dari pelaku. Untuk menjadi suatu

kelompok yang dilindungi dari kejahatan genosida, harus

ditentukan dari keadaan senyatanya apakah kelompok tersebut

merupakan suatu bangsa, etnis, ras, atau agama.79 Kualifikasi

kelompok tersebut juga harus ditentukan dari perspektif subjektif

dari pelaku, yaitu apakah pelaku memang memandang kelompok

Examination of the Debate over the Legality of Humanitarian Intervention”, Duke Journal
of Comparative & International Law, vol.24, Durham: Duke University, 2014, hlm.586.
77 Lawrence Woocher, et.al, Handbook of the Responsibility to Protect, London:

Routledge, 2012, hlm.11.


78 Statuta Roma 2002, Pasal 6.
79 Prosecutor v. Semanza, Trial Chamber III International Criminal Tribunal of

Rwanda, ICTR-97-20-T, 15 May 2003, ¶317.


43

tersebut sebagai kelompok yang dilindungi dari kejahatan

genosida.80

Perbedaannya dengan pemusnahan etnis, yaitu niat dan

cakupan objek di antara kedua jenis pelanggaran berat HAM

tersebut. Terminologi genosida sebenarnya serupa dengan

pemusnahan etnis. William A. Schabas berpendapat bahwa

pemusnahan etnis hanya eufemisme atau istilah yang lebih sopan

daripada genosida.81 Pemusnahan etnis adalah upaya untuk

menghilangkan suatu etnis dari suatu wilayah yang dilakukan oleh

kelompok etnis lain dengan niat agar hanya ada satu etnis

(homogenous) yang berada di wilayah tersebut.82

Contoh kejahatan genosida adalah kasus kejahatan genosida

di Rwanda pada tahun 1994 yang mengakibatkan korban tewas

yang berasal dari suku etnis Hutu dan Tutsi. Sementara contoh

dari pemusnahan etnis, yaitu pembantaian penduduk non Serbia

di Srebrenica, Bosnia & Herzegovina pada tahun 1995.

b. Kejahatan terhadap Kemanusiaan

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan tidak

80 Ibid.
81 William A. Schabas, “’Ethnic Cleansing' and Genocide: Similarities and
Distinctions”, European Yearbook of Minority Issues,vol.3, Leiden: Koninklijke Brill NV,
2005, hlm.111.
82 Bosnia And Herzegovina v. Serbia and Montenegro (Advisory Opinion: Case

concerning Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime
of Genocide), International Court of Justice, 26 Februari 2007, ¶190.
44

manusiawi yang dilakukan dengan sistematis dan menyebar luas

yang ditujukan kepada penduduk sipil. Kualifikasi perbuatan tidak

manusiawi yang menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan

tercantum dalam Pasal 7 Statuta Roma 2002 yang dibedakan ke

dalam sebelas jenis kejahatan terhadap kemanusiaan. Unsur

perbuatan yang menjadi tolok ukur dalam menentukan apakah

suatu perbuatan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan

adalah unsur sistematis dan menyebar luas serta unsur penduduk

sipil sebagai objek kejahatan.

Berdasarkan Kordic & Cerkez,83 serangan yang menyebar

luas merupakan serangan yang dilakukan dalam skala dan

sasaran yang luas. Sementara dalam Blaskic,84 serangan

sistematis merupakan serangan yang dilakukan, karena: (i)

adanya tujuan politis; (ii) perbuatan dilakukan terhadap sasaran

yang spesifik dan menyebar luas; (iii) perbuatan dilakukan melalui

aparat kenegaraan; dan (iv) adanya keterlibatan berbagai pejabat

negara dan perencanaan yang matang. Unsur penduduk sipil

sebagai objek kejahatan dimaksudkan untuk membatasi objek

kejahatan hanya bagi individu-individu yang bukan merupakan

bagian dari kombatan.85

Konflik bersenjata di Republik Kongo yang berakhir pada

83 Prosecutor v. Kordic & Cerkez, Appeals Chamber ICTY, IT-95-14/2-A, 17 Desember

2004, ¶94.
84 Prosecutor v. Blaskic, Trial Chamber ICTY, IT-95-14-T, 3 Maret 2000, ¶203.
85 Additional Protocol II 1977 Geneva Convention I-IV 1949, Pasal 13(3).
45

tahun 2004 merupakan salah satu contoh dari kejahatan terhadap

kemanusiaan yang terjadi dalam konflik bersenjata.

c. Kejahatan Perang

Kejahatan perang adalah perbuatan berupa pelanggaran

terhadap Hukum Humaniter Internasional (HHI) dan kebiasaan

yang berlaku dalam konflik bersenjata.86 Dengan kata lain,

kejahatan perang hanya terbatas pada perbuatan yang dilakukan

dalam masa konflik bersenjata saja. Secara spesifik, Pasal 8

Statuta Roma 2002 memberikan jenis-jenis perbuatan yang

menjadi kejahatan perang.

Perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran

HHI jika melanggar instrumen HHI yang berlaku, seperti: Konvensi

Jenewa 1949 I-IV, Protokol Tambahan I 1979 dan Protokol

Tambahan II 1977, kebiasaan HHI, dan prinsip-prinsip dalam HHI.

Kasus penghancuran situs ibadah dan sejarah di Timbuktu pada

tahun 2012 oleh Ahmad Al-Faqi Al-Mahdi merupakan salah satu

contoh kejahatan perang.

3. Perkembangan R2P Berdasarkan Praktik Subjek Hukum Internasional

a. Praktik Negara dalam Perkembangan R2P

Perancis terlibat langsung dalam penerapan R2P sebagai

86 Robert Cryer, et.al, International Criminal Law and Procedure, New York:

Cambridge University Press, 2007, hlm.221.


46

anggota Dewan Keamanan PBB dan juga mengirimkan pasukan

bersenjatanya dalam berbagai situasi yang memenuhi indikator

pelanggaran HAM berdasarkan R2P, seperti pada situasi Libya

dan Republik Afrika Tengah.87

Amerika Serikat juga merupakan salah satu negara yang

mengakui norma R2P. Secara domestik, Amerika Serikat

menetapkan National Security Strategy pada tahun 2010 yang

mencantumkan kewajiban R2P secara eksplisit.88 Intervensi militer

berdasarkan implementasi R2P dilakukan oleh Amerika Serikat

pada situasi Libya pada tahun 2011 ketika Amerika menyerang

sistem pertahanan udara angkatan bersenjata Libya dan situasi

Suriah yang menjadi objek penelitian tugas akhir ini.89

Dalam berbagai dokumen resmi Inggris, terdapat klausa

terkait kewajiban perlindungan HAM dalam kerangka R2P.

Dokumen tersebut antara lain:90 (i) UK Government Strategy on the

Protection of Civilians in Armed Conflict oleh Departemen Luar

Negeri dan Persemakmuran Britania Raya; (ii) Securing Britain in

an Age of Uncertainty: The Strategic Defence and Security Review

87 Eglantine Staunton, (2015), France and the Responsibility to Protect, (Policy Brief

#4), [https://r2pasiapacific.org/filething/get/975/AP-R2P-Policy-Brief-France-and-the-
Responsibility-to-Protect.pdf], 10 Juli 2018.
88 “...we have recognized that the primary responsibility for preventing genocide and

mass atrocity rests with sovereign governments...” dalam konteks mengakui norma R2P
dikutip dari: Amerika Serikat, National Security Strategy, Washington D.C., 2010, hlm.48.
89 Laura Steenbrink, Responsibility to Protect At Stake: R2P in Relation to the US,

NATO, and the EU: The Case of Syria, Utrecht: Utrecht University, 2017, hlm.17.
90 Departemen Luar Negeri dan Persemakmuran Britania Raya, UK Government

Strategy on the Protection of Civilians in Armed Conflict, London: Departemen Luar Negeri
dan Persemakmuran Britania Raya, 2011, hlm.5.
47

dalam laporan kepada Parlemen Inggris; dan (iii) Joint Doctrine

Publication 0-01: UK Defence Doctrine oleh Kementerian

Pertahanan Inggris. Inggris juga terlibat dalam penerapan R2P

dalam situasi Libya pada tahun 2011 yang menjadi bagian NATO

dalam intervensi militer terhadap angkatan bersenjata Gaddafi.91

b. Praktik R2P dalam Lingkup Regional

Peran organisasi regional dalam penerapan R2P sangat

penting dalam menjembatani masyarakat internasional dengan

negara dalam organisasi regional tersebut dalam rangka

mencegah atau menghentikan pelanggaran berat HAM.92 Uni

Afrika adalah salah satu organisasi regional yang berkomitmen

untuk mengimplementasikan R2P. Komitmen tersebut didukung

dengan Pasal 4 African Union Constitutive Act 2001 terkait

indikator pelanggaran berat HAM berdasarkan R2P.93 Komitmen

tersebut juga tercermin dalam Ezulwini Consensus 2005 yang

diadopsi oleh Uni Afrika dan PBB dalam rangka kerjasama untuk

melaksanakan R2P.94

Dalam rangka mengimplementasikan R2P, Uni Afrika

91 Jason Ralph, Mainstreaming the Responsibility to Protect in UK Strategy, London:


UNA-UK, 2014, hlm.9.
92 Laura Steenbrink, op.cit, hlm.38.
93 Augustin Hodali, The Implementation of the Responsibility to Protect Norms by the

African Standby Force in Sub-Saharan African, Amsterdam: University of Amsterdam,


2017, hlm.19; lihat juga: Constitutive Act of the African Union, 2001, Pasal 4.
94 Ibid, hlm.20.
48

membentuk African Standby Force sebagai pasukan bersenjata

yang bertugas untuk mengupayakan perlindungan penduduk sipil

ketika akan atau sedang terjadi konflik bersenjata.95 Uni Afrika

telah terlibat dalam penanganan berbagai situasi di Afrika dalam

kerangka R2P, seperti pada situasi Sudan, Republik Kongo,

Republik Afrika Tengah, dan Libya.96

Uni Eropa juga merupakan salah satu organisasi regional

yang mendukung perkembangan dan implementasi R2P.

European Commission dan European Parliament secara tegas

menyatakan pengakuan R2P sebagai norma dalam Hukum

Internasional.97 Uni Eropa juga mencantumkan pengakuan dan

komitmennya untuk melaksanakan R2P dalam Global Strategy for

the European Union’s Foreign and Security Policy 2016.98 Uni

Eropa memang belum menetapkan standardisasi penerapan R2P

dalam norma implementasi lainnya, namun Uni Eropa telah turut

serta dalam upaya penerapan R2P bersama PBB, seperti pada

situasi Republik Kongo, Republik Afrika Tengah, dan Chad.99

95 Ibid, hlm.21.
96 Ibid, hlm.43&51; lihat juga: Dewan Keamanan PBB, S/Res/2031, 21 Desember
2011, hlm.2; Dewan Keamanan PBB, S/Res/1973,17 Maret 2011, hlm.2.
97 Laura Steenbrink, op.cit, hlm.40.
98 Dinas Luar Negeri Uni Eropa, Shared Vision, Common Action: A Stronger Europe,

Global Strategy for the European Union’s Foreign and Security Policy, Brussel: Dinas Luar
Negeri Uni Eropa, 2016, hlm.42.
99 Laura Steenbrink, op.cit, hlm.41.

Anda mungkin juga menyukai