Law making treaties adalah perjanjian internasional yang menetapkan ketentuan hukum
internasional yang berlaku umum. Law making treaties ini menetapkan ketentuan-ketentuan
hukum perjanjian internasional (treaty rules). Law making treaties juga disebut international
legislation. Contoh law making treaties sebagai berikut.
Treaty contract menetapkan ketetuan hukum internasional yang berlaku bagi dua pihak atau
lebih yang membuatnya dan berlaku khusus bagi pihak-pihak tersebut. Ketentuan hukum
internasional yang menetapkan treaty contract hanya untuk hal khusus dan tidak dimaksudkan
berlaku umum. Namun dalam beberapa hal dapat berlaku secara umum melalui kebiasaan,yaitu
jika ada pengulangan, ditiru oleh treaty, dan sebagai hukum internasional kebiasaan.
B. Kebiasaan Internasional
Contoh kebiasaan internasional adalah penyambutan tamu dari negara-negara lain dan yang
mengharuskan menyalakan lampu bagi kapal yang berlayar pada malam hari di laut bebas untuk
menghindar tabrakan.
Semula ketentuan tentang menyalakan lampu kapal tersebut ditetapkan oleh pemerintah Inggris,
tetapi kemudian diterima umum sebagai hukum kebiasaan internasional.
Badan peradilan banyak berperan dalam menetapkan ketentuan hukum kebiasaan internasional.
Adapun badan-badan peradilan yang menetapkan ketentuan hukum kebiasaan internasional
sebagai berikut.
(a) bersifat umum, misalnya The International Court of Justice (ICJ); dan
Putusan peradilan nasional dapat menjadi sumber hukum internasional melalui berikut ini :
(a) Preseden (precedent), yaitu putusan peradilan nasional suatu negara yang ditiru atau dicontoh
dalam praktik hukum internasional.
(b) Kebiasaan, yaitu proses pembuatan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku
umum, tetapi tidak memenuhi persyaratan yang berlaku bagi perundang-undangan.
Lembaga abitrase internasional bersifat tidak tetap. Lembaga ini ada jika dikehendaki oleh para
pihak. Dalam menyelesaikan masalah, lembaga abitrase cenderung menempuh cara kompromi.
Yang dimaksud disini ialah dasar-dasar sistem hukum pada umumnya yang berasal dari asas
hukum Romawi. Menurut pendapat Sri Seianingsih Suwardi,S.H., fungsi dari prinsip-prinsip
hukum umum ini terdiri dari hal-hal sebagai berikut.
(1) Sebagai pelengkap dari hukum kebiasaan dan perjanjian internasional. Contoh: Mahkamah
Internasional tidak dapat menyatakan non liquet, yaitu tidak dapat mengadili karena tidak ada
hukum yang mengaturnya. Tetapi dengan sumber ini Mahkamah Internasional bebas bergerak.
(2) Sebagai penafsiran bagi perjanjian internasional dan hukum kebiasaan. Jadi kedua sumber
hukum itu harus sesuai dengan asas-asas hukum umum.
(3) Sebagai pembatasan bagi perjanjian internasional dan hukum kebiasaan. Contoh, perjanjian
internasional tidak dapat memuat ketentuan yang bertentangan dngan asas-asas hukum umum.
Karya yuridis bukan merupakan sumber hukum yang independen, tetapi hanya sebagai
pelengkap atau penjelasan hukum internasional, yaitu berupa analisis secara umum terhadap
peristiwa-peristiwa tertentu.
Diantara prinsip-prinsip tersebut ada yang berlaku memaksa. Prisnip ini disebut ius cogens.
Prinsip yang berlaku memaksa misalnya, perjanjian harus ditaati (pacta sunt servanda).
Berlakunya prinsipini tidak dapat disimpangi oleh ketentuan hukum internasional yang
ditetapkan kemudian dan tidak dapat diubah oleh prinsip hukum internasional yang sifatnya tidak
sama.
will also bring benefit to others
Kumpulan sumber hukum internasional merupakan aturan dan prinsip yang menjadi rujukan bagi ahli
hukum internasional ketika akan menentukan hukum mana dan aturan seprti apa yang akan
diberlakukan. Keutuhan dan kekuatan argumentasi hukum akan dinilai dari seberapa kuat sumber-
sumber hukum yang digunakannya.
Kata-Kata Kunci:
Sumber Hukum Formil merujuk kepada adanya proses formal yang diakui metodenya oleh institusi yang
berwenang menerbitkan ketentuan yang mengikat yang biasanya diterapkan dalam sebuah sistem
hukum tertentu. Dari sebuah hukum formal inilah validitas sebuah hukum ditemukan.
Sumber Hukum Materiil merujuk kepada bukti-bukti baik secara umum maupun khusus yang
menunjukkan bahwa hukum tertentu telah diterapkan dalam suatu kasus tertentu. Dari sebuah hukum
materiil inilah isi dari sebuah hukum bisa ditemukan.
Dengan kata lain, sumber hukum materiil memberikan isi dari hukum sementara hukum formil
memberikan kewenangan dan validitas pemberlakuannya.
Pasal 38 (1) dari Piagam Mahkamah Internasional (International Court of Justice) menyatakan bahwa
dalam memutuskan sebuah perkara yang diajukan, mereka akan merujuk kepada sumber-sumber
hukum sebagai berikut:
1. Konvensi Internasional, baik umum maupun khusus, yang menjadi hukum dan diakui oleh negara-
negara yang berperkara;
2. Kebiasaan Internasional, sebagai bukti praktek negara yang diterima sebagai sebuah hukum;
3. Prinsip-prinsip Hukum Umum yangn diakui oleh bangsa yang beradab; dan
4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para ahli hukum, sebagai sumber hukum tambahan dalam
menentukan adanya sebuah hukum.
Mahkamah Internasional juga mengakui adanya prinsip ex aequo et bono sesuai dengan Pasal 38 (2)
yang memungkinkan Mahkamah memutuskan suatu perkara berdasarkan prinsip-prinsip yang telah
disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa. Lihat kasus Frontier Dispute Case (Burkina Faso v Mali
1986)
b. Hirarki Prioritas
Urut-urutan yang disebutkan dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional bukanlah merupakan
hirarki ketentuan yang didasarkan kepada bobot materiil ketentuan tersebut melainkan hanya urutan
prioritas kemudahan penggunaan ketika Mahkamah Internasional akan menggunakannya dalam
memutus sebuah perkara.
Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties
1969) telah mengatur hal-hal yang menyangkut proses negosiasi atau penundukkan (accession),
validitas, perubahan (amendment), penggantian (modification), pengecualian (reservation), penundaan
(suspension) atau pemberhentian (termination) dari sebuah perjanjian internasional.
Pernyataan Sepihak (Unilateral Statement) atau Deklarasi yang memuat hak dan kewajiban suatu negara
dalam hubungannya dengan peristiwa tertentu dapat pula dianggap sebagai sebuah perjanjian sepihak
yang menjadi suatu sumber hukum terbatas bagi negara yang mengeluarkan pernyataan tersebut. Lihat
Nuclear Test Case (1974) ICJ Reports, hal 253 paragraf 43
Perjanjian Internasional dapat pula berfungsi sebagai bukti adanya kebiasaan internasional ketika:
1. Ada beberapa perjanjian bilateral terhadap kasus yang serupa yang memakai prinsip-prinsip yang
sama atau ketentuan-ketentuan yang serupa sehingga bisa menimbulkan akibat hukum yang sama. Lihat
Lotus Case (1927) PCIJ reports, Series A, No. 10
2. Sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh beberapa negara bisa menjadi sebuah kebiasaan jika
aturan yang disepakati merupakan generalisasi dari praktek negara-negara dan persyaratan bahwa hal
tersebut dianggap sebagai sebuah hukum dapat dipenuhi. Lihat North Sea Continental Shelf Cases
(1969) ICJ Report, hal 3
3. Sebuah perjanjian yang ditandatangani beberapa negara yang merupakan hasil kodifikasi dari
beberapa prinsip dalam kebiasaan internasional dan secara konsekuen telah mengikat pihak-pihak yang
tidak terlibat dalam perjanjian tersebut. Lihat preamble Geneva Convention on the High Seas 1958 dan
treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space 1967.
Suatu negara bisa secara terus menerus melakukan penolakan terhadap sebuah kebiasaan internasional
(persistent objector). Bukti penolakan tersebut harus jelas. Lihat Anglo Norwegian Fisheries Case (1951)
ICJ Reports, hal 116. Namun demikian, suatu negara yang diam saja ketika proses pembentukan
kebiasaan internasional berlangsung tidak dapat menghindar dari pemberlakuan kebiasaan tersebut
terhadapnya.
Suatu kebiasaan internasional bisa saja “exist” di wilayah tertentu saja, misal antar dua negara atau
regional saja. Lihat Asylum Case (1950) ICJ Reports, hal. 266 dan The Rights of Passage over Indian
Territory Case (1960) ICJ Reports,hal 6
Prinsip hukum umum seringkali berguna dan berfungsi sebagai keterangan untuk menginterpretasikan
sebuah kebiasaan atau perjanjian internasional. Hal ini terutama ditemukan dalam naskah persiapan
suatu perjanjian internasional.
Prinsip-prinsip yang pernah digunakan oleh Mahkamah Internasional antara lain adalah Good Faith,
Estoppel, Res Judicata, Circumstantial Evidence, Equity, Pacta Sunt Servanda dan Effectivites. Lihat
Diversion of Water from the Meuse Case (1937) PCIJ Reports, Series A/B, no 70; Temple of Preah Vihear
Case (Merits) (1962) ICJ Reports, hal 6 dan the Corfu Channel Case (Merits) (1949) ICJ Reports hal 4
Keputusan Pengadilan
Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional menegaskan bahwa “the decision of the Court shall have no
binding effect except between the parties and in respect of that particular case”. Konsekuensinya:
Mahkamah tidak mengakui prinsip Preseden dan keputusan sebelumnya tidak mengikat secara teknis.
Tujuannya adalah bahwa mencegah sebuah prinsip yang sudah dipakai Mahkamah dalam putusannya
digunakan untuk negara lain atas kasus yang berbeda. Lihat Certain German Interest in Polish Upper
Silesia Case (1926) PCIJ Reports, Series A, no 7. Keputusan Mahkamah bukan merupakan sumber formal
dari sumber hukum internasional. Keputusan Peradilan hanya memiliki nilai persuasif. Sementara
keputusan peradilan nasional berfungsi sebagai acuan tidak langsung adanya opinio juris terhadap suatu
praktek negara tertentu.
Hal yang sama juga berlaku untuk ajaran para ahli hukum internasional. Selain dilihat sebagai sebuah
doktrin yang melengkapi interpretasi sebuah perjanjian, kebiasaan maupun prinsip umum hukum,
sekaligus juga merupakan buki tidak langsung dari praktek dan opinio juris dari suatu negara.
Dalam hukum internasional kontemporer, ajaran para ahli berfungsi terbatas hanya dalam analisa fakt-
fakta, pembentukan pendapat-pendapat dan kesimpulan-kesimpulan yang mengarah kepada terjadinya
trend atau kecenderungan dalam hukum internasional. Tentu saja pendapat dan ajaran-ajaran tersebut
bersifat pribadi dan subyektif, namun dengan semakin banyaknya ajaran yang menyetujui akan suatu
prinsip tertentu maka bisa dikatakan akan membentuk suatu kebiasaan baru.
Pendapat dari para pejabat di bagian hukum masing-masing negara, tidak bisa dianggap sebagai ajaran
para ahli hukum internasional namun justru bisa dilihat sebagai bagian dari prakte negara-negara.
PBB sendiri tidak memiliki mandat untuk mengeluarkan prinsip-prinsip hukum internasional sehingga
satu-satunya cara agar apa yang disepakati di dalam resolusi bisa menjadi prinsip hukum internasional
adalah dengan melalui prosedur hukum kebiasaan internasional. Resolusi PBB hanya dianggap
merefleksikan opinio juris dari negara-negara yang menyetujui resolusi itu.
Meski demikian tetap harus diperhatikan dengan seksama apakah negara yang menyetujui memang
menghendaki pernyataan persetujuannya itu dianggap sebagai opinio juris dan bukan sekedar
pernyataan persetujuan belaka.
Disadur dari Templeman, L, consultant editor, (1997) Public International Law, London: Old Bailey Press
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
About Me
Name: Benny Setianto
Location: Semarang, Indonesia
Previous Posts
Sumber-sumber hukum internasional adalah material dan proses dari mana aturan dan
prinsip-prinsip yang mengatur masyarakat internasional dikembangkan. They have been
influenced by a range of political and legal theories . Mereka telah dipengaruhi oleh berbagai
politik dan teori-teori hukum . During the 19th century, it was recognised by legal positivists that
a sovereign could limit its authority to act by consenting to an agreement according to the
principle pacta sunt servanda . Selama abad ke-19, itu diakui oleh positivis hukum bahwa
berdaulat dapat membatasi kewenangan untuk bertindak dengan menyetujui sebuah perjanjian
sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda . This consensual view of international law was
reflected in the 1920 Statute of the Permanent Court of International Justice , and preserved in
Article 38(1) of the 1946 Statute of the International Court of Justice . [1] Pandangan konsensual
hukum internasional tercermin dalam Statuta 1920 dari Pengadilan Tetap Internasional
Keadilan , dan disimpan dalam Pasal 38 (1) dari Statuta 1946 dari Mahkamah Internasional . [1]
Article 38(1) is generally recognised as a definitive statement of the sources of international law.
Pasal 38 (1) umumnya diakui sebagai pernyataan definitif dari sumber-sumber hukum
internasional. It requires the Court to apply, among other things, (a) international conventions
"expressly recognized by the contesting states", and (b) "international custom, as evidence of a
general practice accepted as law". Hal ini membutuhkan Mahkamah berlaku, antara lain, (a)
konvensi internasional "jelas diakui oleh negara-negara peserta", dan (b) "kebiasaan
internasional, sebagai bukti dari suatu praktek umum diterima sebagai hukum". To avoid the
possibility of non liquet , sub-paragraph (c) added the requirement that the general principles
applied by the Court were those that had been "the general principles of the law recognized by
civilized nations". Untuk menghindari kemungkinan liquet non , sub-ayat (c) menambahkan
persyaratan bahwa prinsip-prinsip umum yang diterapkan oleh Pengadilan adalah mereka yang
telah "prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab". As it is states that
by consent determine the content of international law, sub-paragraph (d) acknowledges that the
Court is entitled to refer to " judicial decisions " and the most highly qualified juristic writings
"as subsidiary means for the determination of rules of law". Seperti yang menyatakan bahwa
dengan persetujuan menentukan isi hukum internasional, sub-ayat (d) mengakui bahwa
Mahkamah berhak untuk merujuk kepada " keputusan peradilan "dan paling berkualitas hukum
tulisan "sebagai anak perusahaan berarti untuk penentuan aturan hukum ".
On the question of preference between sources of international law, rules established by treaty
will take preference if such an instrument exists. Pada pertanyaan tentang preferensi antara
sumber hukum internasional, peraturan yang ditetapkan oleh perjanjian akan mengambil
preferensi jika instrumennya ada. It is also argued however that international treaties and
international custom are sources of international law of equal validity; this is that new custom
may supersede older treaties and new treaties may override older custom. Hal ini juga
berpendapat demikian bahwa perjanjian internasional dan kebiasaan internasional merupakan
sumber hukum internasional validitas sama; ini adalah bahwa adat baru dapat menggantikan
perjanjian lama dan perjanjian baru dapat mengesampingkan adat lebih tua. Certainly, judicial
decisions and juristic writings are regarded as auxiliary sources of international law, whereas it is
unclear whether the general principles of law recognized by 'civilized nations' should be
recognized as a principal or auxiliary source of international law. Tentu saja, keputusan
pengadilan dan tulisan-tulisan hukum dianggap sebagai sumber tambahan hukum internasional,
sedangkan tidak jelas apakah prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa 'beradab'
harus diakui sebagai sumber utama atau penunjang hukum internasional.
It may be argued that the practice of international organizations, most notably that of the United
Nations , as it appears in the resolutions of the Security Council and the General Assembly , are
an additional source of international law, even though it is not mentioned as such in Article 38(1)
of the 1946 Statute of the International Court of Justice . Dapat dikatakan bahwa praktek
organisasi internasional, terutama yang dari PBB , seperti yang muncul dalam resolusi Dewan
Keamanan dan Majelis Umum , adalah sumber tambahan hukum internasional, meskipun tidak
disebutkan seperti itu dalam Pasal 38 (1) dari Statuta 1946 dari Mahkamah Internasional . Article
38(1) is closely based on the corresponding provision of the 1920 Statute of the Permanent Court
of International Justice , thus predating the role that international organizations have come to
play in the international plane. Pasal 38 (1) erat berdasarkan ketentuan yang berkaitan dengan
Statuta 1920 dari Pengadilan Tetap Internasional Keadilan , sehingga mendahului peran bahwa
organisasi internasional telah datang untuk bermain di bidang internasional. That is, the
provision of Article 38(1) may be regarded as dated , and this can most vividly be seen in the
mention made to 'civilized nations', a mentioning that appears all the more quaint after the
decolonization process that took place in the early 1960s and the participation of nearly all
nations of the world in the United Nations . Artinya, ketentuan Pasal 38 (1) dapat dianggap
sebagai tanggal, dan hal ini dapat paling jelas terlihat dalam menyebutkan dibuat untuk 'beradab
bangsa', yang menyebutkan bahwa muncul semua lebih kuno setelah proses dekolonisasi yang
berlangsung di awal 1960-an dan partisipasi hampir semua bangsa di dunia di PBB .
It is also possible, though less common, for a treaty to be modified by practices arising between
the parties to that treaty. Hal ini juga memungkinkan, tetapi kurang umum, untuk perjanjian yang
akan dimodifikasi oleh praktek-praktek yang timbul antara para pihak dalam perjanjian itu. The
other situation in which a rule would take precedence over a treaty provision would be where the
rule has the special status of being part of the jus cogens . Situasi lain di mana aturan itu akan
didahulukan dari ketentuan perjanjian akan menjadi di mana aturan memiliki status khusus
sebagai bagian dari jus cogens .
Contents Isi
[hide]