Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

Pengaruh Kejahatan Perang Terhadap Validitas Hukum Humaniter Internasional

Disusun Oleh:

Alfa Krisdianti Andaki

19110034

Dosen Pengampu:

Eko Nurhayanto SH.M.HUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JANABADRA YOGYAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa saya mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya.

Saya sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca jadikan
sebagai materi tambahan dalam studi hukum khsusnya Hukum Internasional

Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Untuk itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Yogyakarta, 7 November 2022

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
………………………………………………………………………………...ii

Daftar Isi
……………………………………………………………………………………...iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


……………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah
……………………………………………………………………..6
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Humaniter ………………………………………………………...8
2. Kejahatan Perang, Pelayanan dan Hak bagi Korban Kejahatan ………………………
16
3. Peran ICRC
…………………………………………………………………………..20

BAB III PENUTUP


1. KESIMPULAN ……………………………………………………………………...24
2. Saran …………………………………………………………………………………24

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………...25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dalam pergaulan internasional, sangat banyak hubungan internasional yangterjalin antar
negara, negara dengan individu, maupun negara dengan organisasiinternasional. Hubungan
internasional tersebut tidak selalu berjalan dengan damai,namun seringkali terjadi sengketa,
yang acap kali didasari oleh perbedaankepentingan politik, perebutan wilayah, dan
kepentingan ekonomi. HukumInternasional mempunyai peranan penting ketika sengketa
demikian terjadi, yaitudengan memberikan cara bagaimana sengketa itu bisa terselesaikan
menuruthukum internasional dengan baik.
Disamping perdamaian, juga ada alternatif laindalam penyelesaian sengketa, yaitu dengan
berperang, yang mana metode ini lebih dipilih oleh negara-negara besar, negara-negara
adikuasa yang mempunyai persenjataan bagus dan kuat, sebagai sarana berperang, untuk
menyelesaikan sangketanya.
Dalam perkembangannya, metode penyelesaian sengketa dengan cara berperang semakin
membahayakan umat manusia dan obyek-obyek berharga di bumi ini. Dengan semakin
berkembangnya teknologi, berkembang dan semakincanggih pula penciptaan senjata-senjata
perang, sebagai contoh yaitu senjata pemusnah masal, yang diakui dan diresahkan oleh
masyarakat internasional tentang keberadaannya yang sangat berbahaya. Hukum
Internasional mencoba untuk membatasi penggunaan metode perang dalam penyelesaian
sengketa Internasional.
Metode penyelesaian sengketa dengan jalan damai yang telah penulis sebutkan diatas,
terdapat dalam pasal 33 piagam PBB, dan dapat dilakukandengan berbagai cara, yaitu:

1. Negosiasi

metode ini merupakan dasar dalam menyelesaikan sengketa seara damai,metode ini
mempunyai kelemahan, yaitu negara yang lebih besar atau kuat, cenderung lebih
mendominasi proses negosiasi, juga lebih mendominasi akan hasil negosiasi.

iv
2. Pencarian Fakta

Metode penyelesaian ini dilakukan dengan mencari dan mengurai fakta yang akan
menentukan dan memperjelas hak dan kewajiban masing-masing pihak bersengketa. Metode
pencarian 1fakta ini biasanya dilakukan sebagai lanjutan dari proses negosiasi yang tidak
menemukan jalan keluar atau kesepakatan.

3. Jasa-jasa Baik

Metode penyelesaian sengketa dengan bantuan atau campur tangan pihakketiga, dimana
pihak ketiga berusaha mempertemukan, menengahkan danmendamaikan pihak-pihak
bersengketa. Metode ini dapat dilakukan, dengansyarat mutlak ada persetujuan dari para
pihak

4. Mediasi

Metode penyelesaian sengketa ini hampir sama dengan metode negosiasi, ataupun jasa baik,
karena sama-sama menggunakan pihak ketiga, pihak ketigadisini disebut sebagai mediator
yang ikut aktif dalam proses penyelesain sengketa. Hal yang berbeda dengan proses negosiasi
yaitu mediator disini dapatmemberikan usulan-usulan penyelesaian sengketa, bila kedua
pihak tidakmenemukan jalan keluar. Syarat mutlak bagi mediator yaitu disepakati semua
pihak bersengketa.

5. Konsiliasi

Metode penyelesaian sengketa dengan konsiliasi ini bisa dikatakan sebagai proses lanjutan
dari mediasi, karena ini semacam bentuk mediasi formal, biasnyadibentuk suatu komisi, yaitu
komisi konsiliasi. Komisi ini berfungsi unukmenetapkan persyaratan penyelesaian yang
diterima oleh para pihak. Namun, putusannya tidaklah mengikat para pihak.

6. Arbitrase

Metode penyelesaian sengketa ini hampir sama dengan sifat komisikonsiliasi, sama-sama
menggunakan jasa pihak ketiga, dan sifatnya formal. Namun dalam arbitrase, putusan yang
dikeluarkan, bersifat final dan mengikat para pihak bersengketa (Binding) pihak ketiga
dinamakan arbitrator, dan syaratnya mutlak harus dipilih berdasarkan kesepakatan para
pihak

Adolf Huala. 2020. Hukum Penyelesaian Sangketa Internasional. Jakarta Timur: Sinar
1

Grafika Hal. 1.
v
7. Pengadilan Internasional

Metode penyelesaian sengketa secara damai yang paling akhir. Metode ini biasanya
dilakukan karena cara-cara penyelesaian diatas tidak mencapaikesepakatan. Pengadalan
berupa Mahkamah Internasional (The InternationalCourt of Justice)

Penyelesaian sengketa internasional seringkali diselesaikan diluar pengadilan. "ara pihak


yang bersengketa, negara, individu, atau organisasiinternasional, tidak mengharapkan bahwa
sengketa diantara mereka diselesaikanmelalui pengadilan. Pada umumnya para pihak yang
bersengketa lebih memilih penyelesaian di luar pengadilan dengan ganti rugi, karena
penyelesaian sengketamelalui pengadilan menyita waktu yang panjang dan menghabiskan
biaya serta energi.

Hukum Internasional mengatur penyelesaian sengketa, dengan memberikan alternatif-


alternatif dari yang paling dasar, yaitu negosiasi, hingga tahap akhir yaitu Mahkamah
Internasional. Hukum Internasional dengan ini memberikankebebasan kepada negara-negara
bersengketa untuk memilih mekanisme penyelesaian yang ada, selain berperang. Karena telah
banyak diketahui bahwa berperang juga membahayakan penduduk sipil yang tidak bersalah.

Dalam penelitian ini, penulis membatasi penelitian hanya pada metode penyelesaian sengketa
dengan berperang saja. Mengingat bermunculannyakejahatan-kejahatan dan pelanggaran
perang yang terjadi. Penyelesaian sengketadengan cara berperang, diatur sepenuhnya dalam
Hukum Humaniter Internasional.

Hukum Humaniter tidak hanya mengatur mengenai metode berperang dan tatacara berperang,
tetapi lebih menitik beratkan kepada perlindungan hukum bagikorban perang. "enggunaan
metode berperang dalam menyelesaikan sengketainternasional, tidak disarankan oleh Hukum
Internasional, karena tidak hanya membahayakan combatant (yang berperang), namun juga
membahayakan penduduk sipil, juga bangunan-bangunan bersejarah disekitar medan
perangkarena acapkali kerusakan yang diakibatkan dari peperangan bukanlah kerusakanyang
ringan. Dalam Hukum Humaniter Internasional, pengaturan selanjutnyatentang perang diatur
dalam Konvensi Jenewa 1949.

Konvensi Jenewa 1949, mengatur norma-norma dan standard perlindungankorban perang,


dan terdiri dari (empat) konvensi, dan ) (tiga) protokol tambahan, yaitu:

vi
 Konvensi Jenewa I tentang Perlindungan terhadap korban luka dan yangmenderita
sakit dalam pertikaian bersenjata.2
 Konvensi Jenewa II tentang perlindungan terhadap korban luka, korban
yangmenderita sakit, dan korban kapal karam akibat pertikaian bersenjata di laut.
 Konvensi Jenewa III tentang perlakuan terhadap tawanan perang.
 Konvensi Jenewa I5 tentang perlindungan terhadap penduduk sipil dalam waktu
perang.
 Protokol Tambahan I tahun 1977 tentang perlindungan terhadap korban
dalamsengketa bersenjata internasional.
 Protokol Tambahan II tahun 1977 tentang perlindungan terhadap korban
dalamsengketa bersenjata non-internasional
 Protokol Tambahan III tahun 2005 tentang penetapan sebuah lambangkemanusiaan
baru, yaitu Kristal Merah.

Pelanggaran terhadap hukum perang, dan kejahatan perang acapkali terjadiketika perang
sedang berlangsung. Dewasa ini banyak sekali terjadi kejahatan perang yang tentunya
berlawanan dengan apa yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 diatas. Pelanggaran yang
paling sering terjadi adalah penyiksaan tawanan perang, namun juga acapkali terjadi dimana
para combatant memakai senjata yang dilarang oleh Masyarakat internasional, karena
sifatnya yang merusak dan menimbulkan luka yang tidak perlu, atau juga menyerang mereka
yang lemah dantak berdaya.

Kejahatan di Abu Ghuraib, Abu Ghuraib adalah penjara bagi para tawanan perang Iraq, yang
berlokasi di Iraq. Dari peperangan Amerika Serikat dan Iraq, Amerika Serikat menawan
beberapa tentara Iraq yang tertangkap oleh mereka. Tentara Amerika Serikat yang menawan
tentara Iraq tersebut tidak memperlakukan tawanan Iraq dengan baik, dimana telah diatur
dalam Konvensi Jenewa 1949. Namun para tentara Amerika Serikat tersebut melakukan
penyiksaan dan berbuat semena-mena, juga asusila terhadap tawanan Iraq. Terungkapnya
kasus Abu Ghuraib ini bermula ketika beberapa foto yang menggambarkan penyiksaan dan
pelecehan seksual terhadap para tawanan Iraq yang dilakukan tentara Amerika serikat
tersebut, ditayangkan stasiun televisi CBS dalam acara “60 Minutes II”. Kejahatan ini
terungkap ketika seorang tentara Amerika serikat membocorkan penyiksaan yang terjadi di
tempat penawanan, dengan membawa bukti-bukti berupa sejumlah foto. Tentara itu mengaku
tak tahan dengan kekejian tersebut. Gambar-gambar yang ditayangkan CBS dan juga di
2
Ibid, hal. 19

vii
beberapa situs-situs internet, menggambarkan perlakuan tidak bermoral para tentara Amerika
Serikat. Gambar yang menunjukkan seorang tawanan yang diikat, dan kemudian
membeturkan kepalanya ke daun pintu hingga berdarah, juga seorang tawanan yang
badannya dikenakan jubah dan tutup kepala ala Klu Kux Kan, sementara tangan, kaki, dan
lehernya diikat dengan kawat, kemudian ia diminta untuk berdiri di sebuah boks dimana bila
tawanan tersebut terjatuh dari boks, maka ia akan tersengat listrik. Kejahatan seksual yang
dilakukan oleh para tentara Amerika Serikat tersebut antara lain dengan mengambil semua
pakaian mereka dan tidak memperkenankan tawanan memakai pakaian apa-apa setiap hari.
Lebih lagi, para tentara Amerika Serikat yang melakukan kejahatan tersebut, bukan hanya
laki-laki, namun seorang tentara perempuan juga turut andil dalam penyiksaan tawanan Iraq
tersebut.

Rakyat Iraq menilai, Abu Ghuraib adalah tempat yang sangat menakutkan, karena area ini
menjadi tempat penyiksaan bagi tawanan, baik pada masa pemerintahan Saddam Husain,
lebih lagi pada saat tentara Amerika Serikat menggunakan lokasi ini sebagai penjara bagi
tentara Iraq. Teriakan dan jerit kesakitan acapkali terdengar oleh warga di dekatnya, yang
kemudian disusul dengan truk yang bergegas keluar meninggalkan Abu Ghuraib, lengkap
dengan mayat terbungkus di atasnya. Pada zaman itu, ribuan pembangkang ditangkap dan
dipenjarakan di Abu Ghuraib, dan disiksa.

Kejahatan di Guantanamo Bay, yang berlokasi di Cuba, dan di berbagaidaerah di


Afghanistan, juga mendapat sorotan Massyarakat Internasional. Pada tanggal 21 November
2001, sebanyak 8.000 tentara Taliban menyerah kepada tentara Amerika Serikat di Konduz,
Afganistan. Kebanyakan dari mereka yang tertawan tidak kembali, dan hilang tak tentu.
Seorang saksi mengatakan, saya adalah saksi mata ketika seorang tentara Amerika Serikat
mematahkan leher salah seorang tawanan. Crang Amerika dapat melakukan apa saja yang
merekainginkan. Kami tidak mempunyai kekuatan untuk menghentikan mereka.

Kejahatan perang yang terjadi, tidak hanya dilakukan oleh tentara Amerika Serikat, tentara
Inggris juga berbuat kejahatan yang serupa, dapat dikatakan lebih kejam, terhadap tawanan
Iraq, di Markas Basra, Iraq. Tindakan tentara Inggris dan tentara Amerika Serikat menyiksa
tawanan perang Iraq, menggambarkan dominasi mereka, karena dilakukan tanpa
memperhatikan hukum dan kecaman Masyarakat internasional.

Tentara Amerika Serikat mengecam perilaku 6entara dan milisi Irak,dengan mengabaikan
Hukum Humaniter Internasional, dalam bentuk menyiksadan mempertontonkan tawanan

viii
perang, membunuh warga sipil (yang terakhir adalah memenggal kepala Nick Berg, warga
Amerika Serikat), menggunakan sarana medis (mobil ambulans) untuk bom bunuh diri,
dimana dalam Konvensi Jenewa 1949, mobil yang bertugas untuk kemanusiaan harus
dilindungi dari segala bentuk kekerasan apapun.

Kejahatan genosida juga pernah terjadi, kali ini terjadi pembunuhan terhadap 25 pengikut
Imam Muqtada Al-sadr melalui penghancuran Masjid Mukhaiyam di Karbala, oleh tentara
Amerika Serikat.

Perang yang baru terjadi yaitu pertikaian bersenjata Isrel dengan Palestina, di jalur Gaza,
serangan bersenjata dilakukan terus-menerus dalam upaya memberantas gerakan HAMMAS,
yaitu salah satu fraksi bersenjata penentang Israel di palestina. Israel mengatakan bahwa
sejak sekitar 29 Desember 2008, para pejuang HAMMAS di jalur Gaza telah meluncarkan
lebih dari 180 roket kewilayah selatan Israel.

Pihak pemerintah Israel akhirnya mengaku bahwa dalamaksi serangan Israel ke Palestina
yang dikenal dengan Operation Cast Lead di jalur Gaza tersebut, Israel menggunakan bom
fosfor putih, (senjata kimia berbahaya, berupa materi yang bisa terbakar yang bisa
menyebabkan luka bakaryang mengerikan, dan bahkan kematian jika terkena kulit manusia).

Hukum Humaniter Internasional, melarang penggunaan senjata tersebut.

Peristiwa kejahatan perang, pelanggaran Hukum Humaniter dan HAM seperti ini, membawa
dampak akan luka dan penderitaan yang tidak perlu padaorang yang tidak bersalah (innocent
people), juga menimbulkan adanya larangan kebebasan beragama dan penghancuran simbol-
simbol keagamaan yang diakui. Hal ini tentu akan meresahkan masyarakat internasional,
dimana telah diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, namun seakan-akan implementasinya
gagal.

2. Rumusan Masalah

Pada hakekatnya masalah yang timbul dalam suatu penelitian, merupakansegala bentuk
pernyataan yang perlu dicari jawabannya, atau segala bentukkesulitan yang datang tentunya
harus ada kegiatan yang memecahkannya. Sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

ix
Sesuai dengan uraian pada latar belakang tersebut, maka pembahasan dalam Makalah
berjudul “Pengaruh Kejahatan Perang Terhadap Validitas Hukum Humaniter
Internasional”, ini akan dibatasi pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah validitas Hukum Humaniter Internasional dengan acapka literjadinya


pelanggaran dan kejahatan perang?
b. Bagaimanakah tindak lanjut bagi pelaku kejahatan tersebut?3

3
Ronny Hanitiyo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum Cet. 4. Jakarta: Ghalia Indonesia,
hal. 10.
x
BAB II

PEMBAHASAN

1. Hukum Humaniter Internasional dan Pengaturannya


Hukum Humaniter Internasional merupakan satu bagian dari Hukum Internasional Publik.
Pengaturannya dimuat dalam Konvensi Jenewa 1949 meliputi ketentuan-ketentuan hukum
internasional yang mengatur cara berperang, metode dan sarana berperang, dan ketentuan
internasional tentang perlindungan korban perang. Tujuan utamanya adalah mengurangi dan
mencegah penderitaan manusia ketika berlangsung pertikaian bersenjata Hukum Humaniter
Internasional harus dipatuhi oleh pemerintah-pemerintah beserta angkatan bersenjatanya,
maupun oleh setiap kelompok lawan bersenjata, dan kepada setiap pihak yang terlibat suatu
pertikaian. Instrumen Hukum Humaniter Internasional yang tertuang dalam Konvensi
Jenewa 1949 meliputi :

- Konvensi Jenewa I tentang Perlindungan terhadap korban luka dan yang menderita sakit
dalam pertikaian bersenjata.

- Konvensi Jenewa II tentang Perlindungan terhadap korban luka, korban yang menderita
sakit, dan korban kapal karam akibat pertikaian bersenjata di laut. - Konvensi Jenewa III
tentang Perlakuan terhadap tawanan perang.

- Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam waktu perang.

Karena menurut penilaian negara-negara peserta agung, bahwa Konvensi Jenewa 1949 tidak
dapat memberikan perlindungan yang maksimal pada pertikaian bersenjata setelah 1949,
maka disepakati untuk melakukan penambahn pengaturan perlindungan korban sipil akibat
pertikaian bersenjata berskala internasional atau internal di masing-masing negara peserta
agung. Penyempurnaan Konvensi Jenewa 1949 tersebut dituangkan dalam 3 (tiga) Protokol :

- Protokol Tambahan I tahun 1977 tentang perlindungan terhadap korban dalam sengketa
bersenjata internasional.

xi
- Protokol Tambahan II tahun 1977 tentang perlindungan terhadap korban dalam sengketa
bersenjata non-internasional.

- Protokol Tambahan III tahun 2005 tentang penetapan sebuah lambang kemanusiaan baru,
yaitu Kristal Merah. Keempat Konvensi Jenewa berlaku pada pertikaian bersenjata
internasional. Konvensi-konvensi ini menetapkan bahwa penduduk sipil dan orang yang tidak
lagi ikut serta dalam permusuhan harus diselamatkan dan diperlakukan secara manusiawi.
Ketiga Protokol Tambahan Tambahan taun 1977 dan 2005 adalah pelengkap Konvensi
Jenewa, Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II tahun 1977, bertujuan untuk
membatasi penggunaan kekerasan dan melindungi penduduk sipil, yaitu dengan memperkuat
aturan-aturan yang mengatur perilaku pertempuran. Hingga tahun 2005, sebanyak 162 negara
telah menjadi peserta Protokol Tambahan I dan 157 negara telah menjadi peserta Protokol
Tambahan 11. Untuk Protokol Tambahan III tahun 2005, mengatur penambahan
lambang kemanusiaan baru, lambang perlindungan, yaitu berupa kristal merah, dimana
lambang ini akan dipakai oleh organisasi kemanusiaan internasional seperti ICRC
(International Committee of the Red Cross) dalam menjalankan tugasnya.2 Dalam pertikaian
bersenjata sclalu melibatkan tiga unsur, yaitu combatant, penduduk sipil, dan tawanan
perang. Ke tiga unsur dalam pertikaian bersenjata tersebut, akan penulis uraikan lebih lanjut. 

1. Combatant

Combatant adalah orang yang berperan aktif dalam pertempuran bersenjata, scorang
combatant mematuhi syarat-syarat combatant dalam Hukum Humaniter Internasional, disebut
Lawful Combatant dan dapat tergolong scbagai tawanan perang seperti yang telah dijelaskan
pada Pasal 4 dan Pasal 5 Konvensi Jenewa III. Bilamana seseorang combatant tidak
mematuhi syarat syarat dalam Hukum Humaniter Internasional, maka disebut Unlawful
Combatant. Untuk mendapatkan status combatant dan dapat menjadi tawanan perang yang
dilindungi oleh Hukum Humaniter Internasional, scorang combatant harus memiliki
karakteristik sebagai berikut:

- Merupakan anggota sala4h satu pihak dari pihak pihak yang bertikai

- Bagian dari militer, namun tidak dibawah komando, serupa dengan gerakan  perlawanan
yang terorganisir, dengan syarat : 

1. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab

4
Ibid

xii
2. Memiliki tanda pembedaan yang tetap dan dapat terlihat dari kejauhan

3. Membawa senjata terang-terangan

4. Dalam melaksanakan operasi militer, patuh terhadap hukum dan kebiasaan perang 

- Orang-orang sipil yang menyertai pasukan bersenjata yang dilengkapi dengan surat perintah
dan tanda pengenal

- Penduduk yang tidak menempati wilayah, yang pada waktu musuh melakukan invasi, secara
spontan mengangkat senjata untuk perlawanan, dimana mereka tidak mempunyai waktu
untuk membentuk diri menjadi suatu unit kesatuan bersenjata.

2. Penduduk Sipil 

Orang-orang yang tidak ikut sama sekali dalam pertikaian, orang-orang yang tidak bersalah,
orang-orang yang tidak memakai seragam, orang-orang yang tidak membawa senjata, orang-
orang yang sudah tidak lagi menjadi bagian dari pertikaian, adalah penduduk sipil. Penduduk
sipil sebagai komponen dalam setiap pertikaian harus mendapatkan perlakuan:

- Dihormati

- Diperlakukan secara manusiawi

- Dilindungi dari segala penyakit dan luka yang tidak perlu

- Dihormati harta bendanya, tidak boleh dirusak atau dicuri 

- Tidak boleh dijadikan tawanan 

3. Tawanan Perang

Orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai tawanan perang adalah:

- Anggota angkatan bersenjata pihak-pihak yang bersengketa, termasuk milisi dan korps
sukarela yang menjadi bagian dari angkatan bersenjata

- Anggota gerakan perlawanan yang terorganisir, dengan syarat :

1. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab

2. Memiliki tanda pembedaan yang tetap dan dapat terlihat dari kejauhan

xiii
3. Membawa senjata terang-terangan

4. Dalam melaksanakan operasi militer, patuh terhadap hukum dan kebiasaan perang

- Anggota angkatan bersenjata regular yang mengabdi kepada pemerintah atau penguasa yang
diakui oleh negara penawan

- Orang-orang sipil yang menyertai pasukan bersenjata yang dilengkapi dengan surat perintah
dan tanda pengenal

- Anak pesawat dan kapal dagang para pihak yang kurang diuntungkan oleh ketentuan hukum
internasional lainnya

- Penduduk wilayah yang bukan wilayah pendudukan yang melakuakn perlawanan secara
spontan terhadap musuh yang mendekat pada saat melakukan invasi

Dibedakan juga atas orang-orang yang tidak berhak mendapatkan status sebagai tawanan
perang, yaitu :

- Mata-mata atau spionase

- Tentara bayaran atau mercenaries

2. Perlindungan Dalam Perang

Seorang prajurit perang berhak mendapatkan perlindungan, Pasal 44 Protokol Tambahan


1977 Konvensi Jenewa 1949, dengan tegas menyebutkan bahwa:

- Luka-luka dan penderitaan yang ditimpakan pada musuh tidak boleh melebihi tingkat yang
diperlukan untuk mencapai tujuan militer yang sah

- Combatant yang tidak lagi dapat ikut serta dalam operasi militer tidak boleh diserang

- Dalam pertikaian bersenjata internasional, combatant yang tertangkap harus dianggap


sebagai tawanan perang dan harus dilindungi sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi Jenewa

- Tawanan perang yang tidak dapat dirawat, harus dibebaskan Berhubungan dengan tawanan
perang, Pasal 13 Konvensi Jenewa III tahun 1949 menyebutkan bahwa “tawanan perang
(prisoner of war) harus dilperlakukan secara kemanusiaan dalam semua keadaan (must at all
times be humanely treated). Setiap perlakuan yang menyimpang dari pihak penahan adalah
dilarang keras dan dikategorikan sebagai pelanggaran yang sangat serius terhadap Konvensi
Jenewa (serious breach to Geneva Convention)”. Tawanan perang harus dilindungi setiap

xiv
saat dari kekerasan, intimidasi, penghinaan, dan publisitas, objek mutilasi, dan harus diobati,
serta memperoleh pengobatan.

Di samping diatur dalam hukum humaniter, perlindungan terhadap tawanan perang juga
diatur secara tidak langsung dalam Konvensi Anti-Penyiksaan (Convention Against Torture
and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment). Pasal 2 Konvensi ini
menyebutkan bahwa “setiap negara peserta konvensi harus dapat mencegah kekerasan dalam
wilayah jurisdiksinya, tanpa memandang apakah terjadi dalam masa damai ataupun perang”.
Pasal 11 konvensi yang sama, menyebutkan bahwa “setiap negara peserta konvensi ini
haruslah menegakkan aturan yang sistematis dalam hal interogasi, penangkapan, dan
penahanan, serta harus menghindarkan kekerasan”. 

Dalam Pasal 49 Konvensi ke I, Pasal 50 Konvensi ke II, Pasal 129 Konvensi ke III, Pasal 146
Konvensi ke IV, Konvensi Jenewa 1949, mengatur, bahwa ada sanksi pidana dan sanksi
disiplin sesuai hukum negara penahan, serta adanya jaminan peradilan yang wajar. Dari sini
dapat dilihat, bahwa Hukum Humaniter telah memberikan perlindungan yang pasti untuk
para tawanan perang, hingga sanksi pidana dapat diterapkan, meskipun tidak ada sanksi
hukum yang mengancam, tetapi sanksi pidana dijatuhkan sesuai dengan hukum yang berlaku
dalam negara setempat. Ini berarti, Hukum Humaniter itu bukanlah hukum yang melarang
adanya perang, dan Hukum Humnaiter tidak pernah mempersoalkan kenapa terjadi perang,
namun Hukum Humaniter, bertujuan untuk memanusiawikan perang. Perlindungan umum
pada Pasal 4 Konvensi Jenewa III 1949 bagi tawanan perang antara lain :

- Tanggung jawab ada pada negara penawan 

- Perlakuan yang mengakibatkan kematian atau sangat membahayakan kesehatan adalah


kejahatan berat 

- Tidak boleh menjadi obyek mutilasi 

- Dilindungi dari kekerasan, intimidasi, penghinaan dan dari tontonan publik 5

- Pribadi tawanan perang harus dihormati 

- Memperoleh pengobatan 

- Segala hak dan status tidak dapat dicabut 

- Mendapat perlakuan layak yang sama


5
Ibid

xv
Dalam masa peperangan, acapkali penduduk sipil juga turut merasakan penderitaan yang
tidak manusiawi, menjadi korban perang secara langsung, menjadi sasaran langsung, menjadi
korban pembantaian massal, penyandraan, pelecehan seksual, pengusiran, penjarahan, dan
penutupan akses akan air, bahan dasar makanan, dan alat-alat kesehatan.

Hukum Humaniter Internasional memberikan perlindungan maksimal kepada penduduk sipil.


Penduduk sipil yang tidak ikut dalam medan perang, atau orang yang tidak ikut serta dalam
permusuhan, meskipun sebelumnya orang tersebut pernah ikut serta dalam permusuhan tetapi
kini bukan lagi bagian dari permusuhan, mereka tidak boleh diserang sama sekali, mereka
harus diselamatkan dan dilindungi. Dalam perang, Konvensi Jenewa IV 1949 dan Protokol
Tambahan I 1977, telah diatur dengan jelas akan ketentuan-ketentuan yang
berisi perlindungan penduduk sipil dan harta benda penduduk sipil. Baik dalam pertikaian
bersenjata non-internasional, penduduk sipil juga mendapatkan perlindungan dari Hukum
Humaniter Internasional, yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 pada Pasal 3 ketentuan
yang sama pada keempat Konvensi Jenewa 1949. Keempat Konvensi Jenewa tersebut dan
Protokol Tambahannya, juga sangat mementingkan upaya perlindungan anak, baik itu
ketentuan yang ada dalam perlindungan penduduk sipil secara keseluruhan, maupun
ketentuan yang difokuskan pada anak-anak, yaitu pada pasal 14 dan 16 Konvensi Jenewa
IV 1949. Bentuk perlindungan umum secara tegas disebutkan dalam Pasal 76 dan 77 Protokol
Tambahan I tahun 1977 yaitu: 

- Korban luka dan korban sakit, baik sipil maupun militer harus dikumpulkan dan dirawat,
tanpa diskriminasi. 

- Perempuan dan anak-anak harus dihormati dan dilindungi dari setiap bentuk penyerangan
yang tidak senonoh. 

- Anak-anak dan remaja harus diberi perlindungan khusus. Anak dibawah 15 tahun tidak
boleh direkrut atau ditugaskan untuk ikut serta dalam pertikaian. 

- Anggota keluarga yang terpisah akibat pertikaian seharusnya dipertemukan kembali.


Mereka juga berhak untuk mengetahui nasib anggota keluarganya yang hilang. 

3. Penggunaan Istilah Perang 

Istilah perang, mempunyai definisi sendiri, dapat dikatakan perang bilamana dalam suatu
pertikaian bersenjata, disertai dengan hal-hal berikut :

xvi
a. Adanya pernyataan dari salah satu pihak, untuk mengakhiri hubungan damai dengan pihak
lainnya. 

b. Para prajurit perang (belligerenf), haruslah memakai seragam, dan tidak boleh memakai
seragam yang sama dengan pihak lawan, dimana hal ini dapat diperjanjikan terlebih dahulu
oleh kedua belah pihak. 

c. Mempunyai atau mensepakati area dimana perang akan dilangsungkan. 

d. Menaati ketentuan perang yang telah diatur dalam Hukum Humaniter Internasional. 

Sampai saat ini pertikaian bersenjata yang dapat diklasifikasikan sebagai perang, hanyalah
Perang Dunia 1 (tahun 1914 — 1918), dan Perang Dunia 2 (tahun 1939 — 1945). Sedangkan
pertikaian bersenjata lainnya yang kerap terjadi tidak dapat diklasifikasikan sebagai perang,
karena tidak memenuhi unsur perang diatas, tetapi lebih tepat disebut sebagai agresi yaitu
penyerangan, dengan tujuan mengambil alih wilayah, membuat bahaya, menyakiti, merusak,
menghancurkan dan perilaku destruktif lainnya. 

Penulis dalam hal ini menggunakan istilah perang untuk membahas pertikaian bersenjata
yang dapat digolongkan sebagai agresi, karena istilah perang mulai diperluas sejak adanya
hukum yang mengatur, yaitu Hukum Humaniter Internasional dengan berbagai produk
hukumnya, khususnya Konvensi Jenewa 1949. Bilamana masyarakat internasional tetap
menggunakan istilah perang, 

Hukum Humaniter Internasional tidak akan berlaku efektif, karena acapkali pertikaian
bersenjata tidak dapat diklasifikasikan sebagai perang dengan tidak dipenuhinya unsur perang
yang telah penulis jelaskan diatas, dan kenyataannya pertikaian bersenjata terus terjadi. Oleh
karena itu istilah perang diperluas dengan istilah menjadi armed conflict. Istilah ini mencakup
luas, untuk semua pertikaian bersenjata, baik yang dapat digolongkan sebagai perang atau
67
agresi, yang terjadi antar negara (International Armed Confliciy atau yang noninternasional
(Non-International Armed Conflici) Dengan adanya pergantian ini, Hukum Humaniter
Internasional berlaku lebih efektif, seperti yang tercantum pada Pasal 2 Konvensi Jenewa
1949, yang menjelaskan bahwa Konvensi Jenewa harus diterapkan dalam semua perang atau
pertikaian bersenjata, yang berarti ruang lingkup berlakunya Hukum Humaniter Internasional
menjadi diperluas tidak hanya pada perang dalam arti klasik saja. 

xvii
Pengaturan dalam Hukum Humaniter Internasional berperan penting, hal ini tertuang dalam
resolusi Majelis Umum No.2444 tahun 1968 yang menyebutkan bahwa Majelis mengakui
perlunya menerapkan asas-asas humaniter dalam semua pertikaian bersenjata. Dengan ini
diakui bahwa asas kemanusiaan itu harus dihormati, baik dalam waktu damai maupun apabila
timbul pertikaian bersenjata, mengingat tujuan utama Hukum Humaniter Internasional adalah
mengurangi dan mencegah penderitaan manusia ketika berlangsung pertikaian bersenjata. 4
Tujuan utama dari Hukum Humaniter Internasional adalah memberikan perlindungan dan
pertolongan kepada mereka yang menderita atau menjadi korban perang, baik mereka yang
secara aktif turut serta dalam pertempuran, atau mereka yang tidak turut serta dalam medan
pertempuran, yaitu penduduk sipil. Hukum Humaniter Internasional berlaku pada saat
timbulnya pertikaian bersenjata atau perang. Hukum Humaniter Internasional mengatur
pertikaian bersenjata, baik yang bersifat internasional (International Armed Conflict), juga
yang bersifat non internasional (Non-International Armed Conflict). Dalam penerapan
Hukum Humaniter Internasional memang tidaklah mudah, bukan hanya karena faktor
ketidakpatuhan pihak berperang saja, namun faktor utama Hukum Humaniter Internasional
sulit diterapkan adalah karena Hukum Humantter Internasional itu sendiri, harus diterapkan
pada masa perang.? Hukum Humaniter Internasional memberikan jaminan melalui Konvensi
Jenewa 1949 agar peraturan yang terkandung didalamnya dipatuhi dengan baik dengan
memberikan sanksi hukum bagi pelanggarnya.

4. Upaya Hukum Bilamana Terjadi Sengketa

Asal mula sengketa antar negara atau internal negara biasanya bermula pada situasi dimana
ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya ini diawali oleh perasaan tidak
puas, bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami negara maupun antar negara.
Biasanya diselesaikan dengan jalan negara yang merasa dirugikan menyampaikan keluhan
kepada negara yang dianggap merugikan melalui nota diplomatik, apabila pihak yang
dianggap merugikan dapat menanggapi keluhan pihak yang merasa dirugikan, maka
selesailah pertikaian tersebut. Tetapi sebaliknya jika beda pendapat kedua belah pihak terus
berlanjut, yang mana acapkali terjadi di kehidupan internasional, upaya hukum lain dalam
penyelesaian sengketa tersebut perlu ditempuh demi keamanan dan keharmonisan kehidupan
internasional. 

Dalam situasi sengketa, perbedaan pendapat dan perdebatan yang berkepanjangan biasanya
berakhir dengan putusnya jalur komunikasi dan keharmonisan kehidupan bersama, sehingga

xviii
acapkali masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan nasib ataupun
kepentingan pihak lainnya. 

Proses penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat bahwa hak didengar kedua belah pihak
sama-sama diperhatikan harus terpenuhi. Dengan itu baru dapat dimulai proses dialog dan
pencarian titik temu yang akan menjadi panggung dimana proses penyelesaian sengketa dapat
berjalan. Tanpa kesadaran pentingnya langkah ini, proses penyelesaian sengketa tidak akan
ada dalam arti yang sebenarnya, yang mana ada tiga faktor utama yang mempengaruhi proses
penyelesaian sengketa, yaitu:

a. Kepentingan 

b. Hak-hak 

c. Status kekuasaan 

Para pihak yang bersengketa pasti berkeinginan agar kepentingannya tercapai, hak-haknya
dipenuhi, dan ingin status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan.
Dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa lazimnya akan bersikeras
mempertahankan ketiga faktor yang telah penulis sebutkan diatas.

Upaya yang dapat ditempuh oleh para pihak yang bersengketa, dalam hal ini negara, dapat
diklasifikasikan menjadi dua prosedur, yaitu : 

a. Prosedur litigasi 

b. Prosedur non-litigasi 

Dalam penindak lanjutan para pelaku kejahatan perang, prosedur non-litigasi sudah tidak
mungkin lagi diterapkan, untuk itu penulis akan membahas sebatas prosedur atau jalur litigasi
saja. Jalur litigasi dalam penyelesaian suatu sengketa | internasional, dapat ditempuh melalui
ICC (International Criminal Court) atau ICJ (International Court of Justice). ICJ adalah suatu
pengadilan yang mengadili sengketa internasional. Metode penyelesaian sengketa melalui ICJ
ini yang paling memungkinkan tercapainya penyelesaian dalam suatu sengketa. ICJ adalah
suatu bentuk pengadilan internasional permanen, yang dikenal dengan Mahkamah
Internasional.

5. Kejahatan Perang 

xix
Kejahatan perang, merupakan salah satu bentuk kejahatan internasional menurut ICC
(International Criminal Court), dalam statuta roma 1998, kejahatan internasional memiliki 4
(empat) jenis kejahatan, yaitu:

1. Kejahatan Perang (war crimes) 

Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional,
terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku
kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran pada konflik antar bangsa
merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara,
belum tentu bisa dianggap kejahatan perang. Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran
terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup
kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang
pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera
perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang.
Perlakuan semena mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap
sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal dan genosida kadang dianggap juga sebagai
suatu kejahatanperang, walaupun dalam sebenarnya kejahatan ini secara luas dideskripsikan
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Kejahatan perang merupakan bagian penting dalam Hukum Humaniter Internasional, dan
biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu pengadilan internasional, seperti
pengadilan Nuremberg, pengadilan ini pada awal abad ke 21 adalah pengadilan kejahatan
internasional untuk bekas Yugoslavia dan pengadilan kejahatan internasional untuk Rwanda,
yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal VII Piagam PBB. Dan kini
pengadilan intemasional tersebut dipersatukan menjadi sebuah lembaga yang bernama ICC
(International Criminal Court). 

Kejahatan perang ini mencakup tindakan tindakan yang sangat luas, contohnya : 

a. Perbuatan yang merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949. 

b. Pelanggaran berat terhadap hukum dalam kerangka hukum interasional. 

c. Pelanggaran berat dalam Pasal 3 ketentuan bersama (common articles), dari keempat
Konvensi Jenewa 1949 dalam pertikaian bersenjata non internasional. 

xx
d. Pelanggaran berat lainnya, terhadap hukum kebiasaan yang berlaku dalam pertikaian
bersenjata non internasional dalam kerangka hukum internasional.

Pada umumnya kejahatan perang yaitu kejahatan dan pelanggaran akan hukum yang
mengatur, yang dilakukan pada masa pertikaian bersenjata. Namun tidak semua pelanggaran
yang dilakukan dapat digolongkan menjadi kejahatan perang. 

Salah satu bentuk war crimes adalah grave breaches yaitu pelanggaran serius terhadap
kemanusiaan, dimana sebenarnya Konvensi Jenewa 1949 tidak mengatur hukuman para
pelaku grave breaches tersebut. Dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949, grave breaches
dipakai untuk membedakan antara kejahatan perang yang terjadi dalam pertikaian bersenjata
internasional, dalam hubungannya dengan istilah "orang-orang yang dilindungi” (the
protected persons) dengan kejahatan yang dilakukan dalam pertikaian internal atau domestik
(Psl 4 Jo. Psl 147 Konvensi Jenewa IV). Sementara yang dimaksud sebagai "the protected
persons” adalah ”... mereka yang dalam waktu tertentu dan dengan cara apa pun,
mendapatkan dirinya, dalam sebuah pertikaian atau pendudukan, berada pada kekuasaan
salah satu pihak dalam pertikaian, di mana nasionalitas mereka tidak sama dengan pihak yang
menguasainya”. Penggunaan terminologi "the protected person” di atas, memang mengarah
pada proposisi bahwa tawanan perang ataupun orang-orang sipil dalam pertikaian internal,
tidak mendapat perlindungan oleh Konvensi Jenewa 1949. Selain kejahatan perang, kejahatan
internasional lain dalam Statuta Roma, antara lain, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan
dan agresi. 

2. Genosida (genoside)
Kejahatan genosida dimaksudkan untuk menghancurkan atau memusnahkan satu kelompok
etnis tertentu, berikut adalah 5 (lima) jenis perbuatan dengan malsud untuk menghapuskan
kelompok, bangsa, enis, ras juga agama tersebut : 
a. Membunuh anggota kelompok. 
b. Menyebabkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota kelompok
c. Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruhnya atau sebagian. 
d. Memaksa tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran dalam
suatu kelompok. 
e. Memindahkan secara paksa anak anak dari suatu kelompok ke kelompok
yang lainnya. 

xxi
Genosida telah diatur dalam suatu konvensi tersendiri yang dinamakan Konvensi

Genosida 1948. 

3. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity) 

Kejahatan ini biasanya dilakukan dengan sengaja melakukan penyerangan yang sistematis


dan meluas, yang langsung ditujukan terhadap penduduk sipil. 

Berikut adalah 11 (sebelas) jenis perbuatan kejahatan kemanusiaan : 

a. Pembunuhan. 
b. Pembasmian. 
c. Perbudakan. 
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. 
e. Pengurungan atau pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang wenang dengan
melanggar aturan dasar hukum internasional. 
f. Penyiksaan. 
g. Pemerkosaan. 
h. Penindasan terhadap suatu kelompok atau gender atau kelompok lain yang tidak
diperbolehkan oleh hukum internasional. 
i. Kejahatan rasial. 
j. Perbuatan tidak manusiawi yang sengaja mengakibatkan luka serius terhadap 

4. Agresi (aggression) 

Agresi adalah perbuatan menghancurkan, dan semua perilaku yang destruktif. 

Penulis dalam penulisan ini memfokuskan bahasan pada kejahatan perang, karena dewasa ini
semakin banyak terjadi kejahatan yang dilakukan pada masa pertikaian bersenjata sedang
berlangsung, dimana kejahatan itu tidak hanya berdampak pada pihak-pihak yang bertikai
saja, namun para penduduk sipil, juga bangunan-bangunan bersejarah dan berharga menjadi
korban kejahatan perang. Kejahatan perang kerapkali terjadi pada tawanan perang. Perihal
kejahatan serupa, telah diatur dalam Protokol Tambahan I dan II, yang dengan jelas melarang
:

- Combatant menyamar sebagai prang sipil 8

8
Haryomataram. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2007.
Hal.14.
xxii
- Penyerangan yang membabi buta, tidak pandang bulu 

- Tindakan kekerasan, atau ancaman tindakan kekerasan, yang bertujuan untuk menyebarkan
terror 

- Perusakan obyek-obyek yang mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup penduduk 

- Penyerangan terhadap tempat ibadah dan monument 

Akibat dari kejahatan perang adalah luka yang tidak perlu, untuk mencegah terjadi pada
orang-orang sipil, dibentuk Protokol Tambahan 1977 pada Konvensi Jenewa 1949 yang
berupaya memastikan penghormatan terhadap prinsip proporsionalitas dalam semua operasi
militer, dengan mengharuskan semua pihak yang terlibat pertikaian bersenjata untuk
mengambil segala langkah pencegahan yang mungkin diambil, menyangkut sarana dan cara
berperang yang dipakai untuk menghindari atau memperkecil timbulnya kerugian tambahan
berupa korban tewas dan korban luka di pihak orang sipil dan kerusakan obyek sipil yang
melebihi keuntungan militer yang diperoleh. Korban dalam suatu pertikaian bersenjata akan
mendapatkan pertolongan dan perawatan yang layak oleh organisasi yang bergerak dibidang
kemanusiaan, dalam hal ini adalah ICRC (The International Commite Of The Red Coss)

6. ICRC 

ICRC (The International Committee of The Red Coss) atau yang lebih dikenal dengan Komite
Palang Merah Internasional, didirikan hampir satu setengah abad yang lalu, karena menyadari
kenyataan menyedikan bahwa penggunaan senjata tetap menjadi cara untuk menyelesaikan
masalah peredaan antar bangsa, antar masyarakat, antar kelompok etnis, dengan
kepastian mengakibatkan banyaknya kematian dan penderitaan.“8 Peran istimewa yang
dimiliki oleh ICRC merupakan peran yang ditugaskan kepadanya oleh negaranegara melalui
berbagai instrument Hukum Humaniter Internasional. Meskipun ICRC selalu menjalin dialog
tetap dengan negara negaranya, ICRC selalu menekankan statusnya sebagai suatu organisasi
yang mandiri (independent), hal ini dikarenakan hanya jika ICRC bebas bertindak secara
mandiri terhadap pemerintah atau penguasa manapun, ICRC akan dapat melayani
kepentingan sesungguhnya yang ada pada korban pertikaian bersenjata. Karena kepentingan
para korban lah yang menjadi inti misi kemanusiaan ICRC.

ICRC berasal dari visi dan tekad satu orang, yaitu Henry Dunant, dimana pada saat itu di
solferino, italia, pasukan Austria dan prancis sedang bertempur sengit, dan akibat

xxiii
pertempuran itu, pada sore hari terdapat sangat banyak prajurit yang bergeletakan.
Mengetahui hal menyedihkan tersebut, ia kemudian mengajak para warga untuk
membantunya dalam merawat mereka, dan ia menekankan bahwa prajurit dari kedua belah
pihak harus diberi perawatan yang sama. Saat Henry Dunant kembali ke Swiss, ia
menerbitkan buku yang berjudul Memory of Solferino, yang berisi dua seruan yang serius,
yaitu agar pada masa damai didirikan perhimpunan perhimpunan bantuan kemanusiaan yang
memiliki juru rawat yang siap menangani korban luka pada waktu terjadi perang, dan agar
para relawan ini, yang akan bertugas membantu dinas medis angkatan bersenjata, diberikan
pengakuan dan perlindungan melalui sebuah perjanjian internasional. 

Pada tahun 1863, sebuah perkumpulan amal bernama Perhimpunan Jenewa Untuk
Kesejahteraan Masyarakat membentuk sebuah komisi yang beranggotakan lima orang untuk
mewujudkan gagasan Henry Dunant itu, dimana Henry Dunant juga termasuk dalam kelima
orang tersebut. Komisi yang telah dibentuk ini kemudian mendirikan Komite Internasional
Pertolongan Terhadap Korban Luka, yang kemudian menjadi Komite Internasional Palang
Merah, yang dewasa ini dikenal dengan nama ICRC. 

ICRC berperan juga dalam memberikan perlindungan dalam masa peperangan, ICRC juga
kerap berupaya untuk memperkecil bahaya yang mengancam orang-orang dalam situasi
peperangan itu, mencegah dan menghentikan perlakuan semena-mena terhadap mereka,
mengupayakan agar hakhak mereka diperhatikan dan didengar, juga berupaya untuk
memberikan mereka bantuan. ICRC melakukan hal ini dengan cara berada terus didekat para
korban pertikaian bersenjata dan kekerasan, dan juga dengan menjalin dialog secara tertutup
dengan pihak-pihak yang bertikai, baik negara ataupun bukan negara. Dalam peperangan
kerap kali terjadi hilangnya orang, penyandraan orang, penyiksaan, penahanan, perekrutan
paksa kedalam angkatan bersenjata, pengungsian, yang tidak hanya terjadi pada kaum laki-
laki saja, namun juga kerapkali terjadi pada kaum perempuan. Dimana tindakan kekerasan
yang dilakukan terhadap perempuan tersebut, lebih sesifik, yaitu kekerasan seksual. 

Sejak perang dunia pertama, bentuk kekerasan seksual seperti perkosaan, digunakan sebagai
sarana berperang, dengan tujuan merendahkan martabat dan menaklukan musuh. Pelanggaran
seperti perkosaan, pelacuran paksa, penghamilan paksa, merupakan kekerasan yang juga
berpengaruh pada psikologis seseorang, dan bentuk pelanggaran yang demikian telah diatur
dalam larangan Hukum Humaniter Internasional. Dalam situasi seperti ini, ICRC juga
mengambil peran, ICRC membantu perempuan korban perang, sesuai dengan mandatnya

xxiv
yaitu untuk melindungi dan membantu semua korban pertikaian bersenjata. Dalam hal ini,
ICRC menggunakan cara dengan menghimbau, menyadarkan para prajurit perang, para
pembawa senjata, bahwasanya kekerasan seksual dilarang oleh Hukum Humaniter
Internasional, maka perlu dicegah secara sungguh-sungguh. Hal yang sama juga berlaku pada
peran ICRC dalam melindungi para tawanan perang, ketika terjadi pertikaian bersenjata
internasional, Konvensi Jenewa mengakui hak dari ICRC untuk mengunjungi tawanan,
memastikan bahwa tawanan diperlakukan secara manusiawi, dan mengetahui kehidupan yang
para tawanan jalani disana. Oleh karena itu, melarang atau mencegah ICRC melakukan hal
ini, adalah pelanggaran Hukum Humaniter Internasional. ICRC melakukan semua
kegiatannya dengan 7 (tujuh) prinsip dasar ICRC, yaitu :

- Kemanusiaan 

- Ketidakberpihakan 

- Kenetralan

- Kemandirian 

- Kesukarelaan

- Kesatuan 

- kesemestaan 

Misi ICRC adalah melindungi dan membantu korban perang dan situasi gangguan dalam
negeri, sipil maupun militer, dengan netral, dan tidak berpihak pada siapapun. Dengan
demikian, tugas dari ICRC adalah: 

- Mencari orang hilang 

- Menyatukan anggota keluarga yang terpisah karena pertikaian bersenjata 

- Menyampaikan berita antara anggota keluarga yang terpisah karena pertikaian 

- Memberikan makanan, air, dan bantuan medis kepada penduduk sipil yang tidak punya
akses dalam kebutuhan dasar tersebut 

- Menyebarluaskan dan memberikan himbauan kepada penduduk sipil dan angkatan


bersenjata, akan Hukum Humaniter Internasional

xxv
- Memantau kepatuhan akan Hukum Humaniter Internasional - Mengarahkan perhatian pada
kasus-kasus pelanggaran Hukum Humaniter Internasional dan membantu pengembangan
Hukum Humantiter Internasional

ICRC memperkerjakan dokter, insinyur, akuntan, supir, ahli gizi, juru rawat, sekretaris,
tukang kayu, ahli hukum dan juga ahli mesin. Acapkali ICRC membutuhkan orang dari
semua profesi untuk bekerja bagi tujuan kemanusiaan.

Dengan banyaknya para pekerja di ICRC, ICRC pun memerlukan dana, sumber dana yang
diperoleh ICRC berasal dari sumbangan, antara lain sumbangan dari: 

- Negara-negara peserta Konversi Jenewa 

- Perhimpunan-perhimpunan Nasional 

- Organisasi-organisasi supranasional (contoh: Uni Eropa) 

- Sumber-sumber masyarakat dan swasta 

Dana sumbangan yang diperoleh ICRC tersebut, dapat berupa:

- Uang tunai 

- In Natura, yaitu bahan makanan, mupun bahan non makanan, seperti selimut, alat dapur,
kendaraan

- Jasa atau pelayanan9

9
Nataraian Mangai. KEJAHATAN DAN PENGADILAN INTERNASIONAL. Bandung: Nusa
Media. 2015, hal 364.

xxvi
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Keberlakuan Hukum Humaniter Internasional terbagi menjadi dua unsur, validitas dan
efektifitas. Dengan banyaknya kejahatan perang yang terjadi, tidak membawa pengaruh
buruk pada validitas Hukum Humaniter Internasional, melainkan membawa pengaruh buruk
pada efektifitas Hukum Humaniter Internasional. Hukum Humaniter Internasional lebih
efektif ketika melakukan tindakan represif usai perang dengan menindaklanjuti para pelaku
kejahatan. Tindak lanjut bagi para pelaku kejahatan sebagaimana diatur dalam Hukum
Humaniter Internasional dapat dilakukan melalui pengadilan nasional negara tempat
terjadinya kejahatan, atau melalui Mahkamah Kejahatan Internasional, yaitu ICC, seperti
halnya pada pembahasan kasus yang telah penulis jabarkan di atas.

2. Saran
Berdasarkan pengkajian teoritik dan studi kasus, Hukum Humaniter Internasional cukup
sukses mengatur pertikaian bersenjata, tetapi tidak sepenuhnya, hal ini diketahui dari
beberapa prajurit perang yang belum memahami Hukum Humaniter Internasional, untuk itu
penulis mengajukan saran kepada pihak angkatan bersenjata, diharapkan mampu memberikan
pembekalan ilmu Hukum Humaniter Internasional, secara konstan, dan penuh,
disetiap tingkatan pendidikan angkatan bersenjata, dan bukan pembekalan bertahap yang saat
ini diterapkan. 
Saran berikutnya mengacu pada proses penyebarluasan Hukum Humaniter Internasional
sendiri. Hingga kini penyebarluasan Hukum Humaniter Internasional kepada para tentara
dilakukan oleh lembaga kemanusiaan ICRC dengan memberikan pengetahuan langsung pada
medan perang, atau dengan menyebarkan booklet atau brochure. Dalam Konvensi Jenewa
1949 pada pasal 59 menyebutkan bahwa setelah Konvensi Jenewa diratifikasi, harus
disebarluaskan dan diterjemahkan kedalam bahasa negara peratifikasi. Sedang saat ini penulis
hanya mampu mendapatkan Konvensi Jenewa 1949 dengan Bahasa Indonesia pada
pendidikan angkatan laut. Dengan menyebarluaskan Konvensi Jenewa 1949 sebagai
komponen inti Hukum Humaniter Internasional dengan Bahasa Indonesia, dapat dipastikan
Hukum Humaniter Internasional akan semakin berkembang. 

xxvii
DAFTAR PUSTAKA

Adolf Huala. 2020. HUKUM PENYELESAIAN SANGKETA INTERNASIONAL. Jakarta


Timur: Sinar Grafika

Aeschilman. (2005). Perlindungan Tahanan: Kegiatan ICRC di Tempat Penahanan, 87


(857), 3-50.

Haryomataram. 2007. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Nataraian Mangai. 2015. KEJAHATAN DAN PENGADILAN INTERNASIONAL. Bandung:


Penerbit Nusa Media

Ronny Hanitiyo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum Cet. 4. Jakarta: Ghalia Indonesia

xxviii

Anda mungkin juga menyukai