Anda di halaman 1dari 11

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN

PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS


JAMBI FAKULTAS HUKUM

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP


KONFLIK DAN KRISIS MYANMAR UNTUK MENCAPAI
PENYELESAIAN
“Review Of International Law Againt The Myanmar Conflict and Crisis
To Achieve A Settlement”

DI SUSUN OLEH

MUHAMMAD RAFI FADILAH

B10020356

PROGRAM STUDI HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI

2022
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Puji Syukur atas Kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena atas
Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul “
Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Konflik dan Krisis Myanmar untuk mencapai
Penyelesaian”. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih jauh dari kategori
sempurna, oleh karena itu penulis dengan hati dan tangan terbuka mengharapkan saran dan
kritik yang membangun demi kesempurnaan tugas yang akan datang.
Selanjutnya dalam kesempatan ini penulis tidak lupa untuk menyampaikan ucapan
terima kasih yang sedalam–dalamnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
dalam penambahan materi ini, langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan tugas
ini. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jambi, 3 November 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………………………..1
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………………………………………2

BAB I………………………………………………………………………………….........…………………………………………….3
PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………………………………..4
1. Latar Belakang Masalah……………………………………………………….……………………………….....4
1.2. Perumusan Masalah………………………………………………………………………………………………4
1.3. Tujuan Penelitian…………………………………………………………………………………………………..4
1.4. Manfaat Penelitian………………………………………………………………………………………………..4
1.5. Kerangka Konseptual……………………………………………………………………………………………..4
1.6. Landasan
Teoristis………………………………………………………………………………………………….4
1.7. Metode Penelitian………………………………………………………………………………………………...4
1.8. Sistematika Penulisan…………………………………………………………………………………………….4

BAB II……………………………………………………………………………………………………………………………………….5
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………………………………………………..………….5

BAB III…………………………………………………………………………………..………………………………………………..13
PEMBAHASAN….……………………………………………………………………….……………………………………………13
1. Konsep Dasar Penyelesaian Sengketa……………………………………………………………………….5
1.1. Definisi Konflik dan Krisis ………………………………………………………………………………………5
1.2. Konflik dan krisis Myanmar ……………………………………………………………………………….….5
1.3. Alternatif Penyelesaian Sengketa Myanmar……………………………………………………….….6

BAB IV…………………………………………………………………………………..……………………………………………….14
PENUTUP…………………………………………………………………………………..…………………………………………..14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………………………..14
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Penyelesaian sengketa merupakan satu tahap penting dan menentukan. Hukum internasional
memainkan peran yang esensial, yakni memberikan pedoman, aturan, dan cara bagaimana
suatu sendketa dapat diselesaikan oleh para pihak secara damai. Penyelesaian sengketa
internasional digolongkan ke dalam dua bisang, yaotu penyesaian secara hukum dan
diplomatik. Penyelesaian secara hukum meliputi arbitrase dan pengadilan, sedangkan
penyelesaian secara diplomatik meliputi negosiasi, penyelidikan, jasa baik, mediasi dan
konsiliasi. Sengketa internasional juga sangat dimungkinkan terjadi antara satu negara dengan
individu-individu maupun satu negara dengan lembaga atau badan yang menjadi subjek
hukum skala internasional.

Sengketa internasional juga sangat dimungkinkan terjadi antara satu negara dengan
individu-individu maupun satu negara dengan lembaga atau badan yang menjadi subjek
hukum skala internasional. Terdapat sejumlah penyebab yang memicu terjadinya sengketa
internasional. Berikut enam sebab terjadinya sengketa internasional, invasi adalah serangan
militer di mana sebagian besar angkatan bersenjata dari satu entitas geopolitik secara
agresif memasuki wilayah yang dikendalikan oleh entitas lain tersebut. Tujuan dari invasi
adalah untuk menaklukkan, membebaskan atau membangun kembali kontrol atau otoritas
atas suatu wilayah, memaksa pemisahan suatu negara, mengubah pemerintahan yang telah
ditetapkan atau memperoleh konsesi dari pemerintah tersebut, atau kombinasinya.

Invasi dapat menjadi penyebab perang atau bahkan menjadi bagian dari strategi yang lebih
besar untuk mengakhiri perang. Sebab skala besar operasi yang terkait dengan invasi,
biasanya mereka akan membuat strategis dalam perencanaan dan pelaksanaan dengan
matang.

Istilah invasi biasanya menunjukkan upaya strategis yang sangat besar, karena tujuan invasi
biasanya berskala besar dan berjangka panjang. Untuk itu, diperlukan kekuatan yang cukup
besar untuk mempertahankan wilayah dan melindungi kepentingan entitas penyerang.

Tindakan lintas batas dengan taktik skala kecil, seperti pertempuran kecil, serangan
mendadak, penyerbuan, infiltrasi, atau perang gerilya, umumnya tidak dianggap sebagai
invasi. Upaya militer untuk mengambil kembali wilayah yang dipegang oleh penjajah awal
selama perang umumnya disebut serangan balik.

Kudeta merupakan sebuah kunci bagi seorang perwira militer untuk dapat mengambil alih
kekuasaan negara yang kemudian peristiwa kudeta itu disebut kudeta militer. Hal ini
biasanya dilakukan berdasarkan keadaan negara yang situasinya memburuk dari sisi
ekonomi dan politik, misalnya korupsi oleh pejabat negara, aktor-aktor separatisme,
kenaikan tingkat inflasi, tingkat pengangguran yang naik, dan lainlain. Biasanya, kudeta
militer ini digunakan ketika muncul ketidakpercayaan lagi terhadap pemerintah yang sedang
berkuasa dan berlaku tidak taat.2Militer memiliki peran yang dominan dalam
kehidupanpolitik di sebuah Negara. Posisi militer nasional dalam suatu negara mempunyai
peran yang sangat penting sebagai pelindung negara dari berbagai macam ancaman,
terutama ancaman militer. Namun, dengan tujuan utamanya yaitu untuk bertempur sebagai
alat pertahanan negara. Militer tidak boleh ikut campur dengan hal-hal yang berkaitan
dengan ideologi, politik, ekonomi hingga sosial budaya dan begitu juga
denganpemerintahan sipil tidak boleh ikut campur mengenai urusan militer atau
pertahanan. Tetapi dalam negara berkembang pihak militer sebagai fungsinya selalu ikut
campur dalam pemerintahan yang sedang berkuasa,

2. RUMUSAN MASALAH

a. Bagaimana mengetahui sumber konflik daerah Myanmar


b. Bagaimana cara mencapai traktar Agreement
c. Mengapa konflik Konflik dan kudeta itu terjadi
BAB II

PEMBAHASAN

1. Konsep Dasar Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa adalah suatu penyelesaian perkara yang dilakukan antara salah satu
pihak dengan pihak yang lainnya. Penyelesaian sengketa terdiri dari dua cara yaitu melalui
litigasi (pengadilan) dan non litigasi (luar pengadilan). Dalam proses penyelesaian sengketa
melalui litigasi merupakan sarana terakhir (ultimum remidium) bagi para pihak yang
bersengketa setelah proses penyelesaian melalui non litigasi tidak membuahkan hasil.
Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, penyelesaian sengketa melalui non litigasi (luar pengadilan)
terdiri dari 5 cara yaitu:

1. Konsultasi: suatu tindakan yang dilakukan antara satu pihak dengan pihak yang
lain yang merupakan pihak konsultan
2. Negosiasi: penyelesaian di luar pengadilan dengan tujuan untuk mencapai
kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis
3. Mediasi: penyelesaian melalui perundingan untuk mencapai kesepakatan di
antara para pihak dengan dibantu oleh mediator
4. konsiliasi: penyelesaian sengketa dibantu oleh konsiliator yang berfungsi
menengahi para pihak untuk mencari solusi dan mencapai kesepakatan di
antara para pihak.
5. Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan
sesuai dengan bidang keahliannya.
Akan tetapi dalam perkembangannya, ada juga bentuk penyelesaian di luar pengadilan yang
ternyata menjadi salah satu proses dalam penyelesaian yang dilakukan di dalam pengadilan
(litigasi). Contohnya mediasi. Dari pasal tersebut kita ketahui bahwa mediasi itu adalah
penyelesaian di luar pengadilan, akan tetapi dalam perkembangannya, mediasi ada yang
dilakukan di dalam pengadilan. Cara-cara penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan
apabila para pihak telah menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. J.G.
Starke mengklasifikasikan suatu metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara
damai atau bersahabat yaitu sebagai berikut (J.G. Starke, 2007: 646): arbitrase, penyelesaian
yudisial, negosiasi, jasa-jasa baik (good offices), mediasi, konsiliasi, penyelidikan, dan
penyelesaian di bawah naungan organisasi PBB. Sementara itu, F. Sugeng Istanto (1998:88),
menyatakan bahwa penyelesaian secara damai dapat dilakukan melalui beberapa cara yakni:
rujuk, penyelesaian sengketa di bawah perlindungan PBB, arbitrasi dan peradilan.
Pada umumnya sengketa antar negara kebanyakan diselesaikan dengan cara negosiasi
karena para pihak sendiri yang memiliki kebebasan untuk mencapai kesepakatan. Namun
negosiasi bukan merupakan satu-satunya penyelesaian sengketa terbaik terutama apabila
negara yang bersengketa tidak memiliki hubungan diplomatik. Hal ini biasanya diatasi dengan
keterlibatan negara ketiga, yaitu melalui good offices dan mediasi, namun kendalanya adalah
sulit untuk mencari negara yang tidak memihak pada salah satu pihak yang bersengketa
Dalam Pasal 1 Piagam PBB dijelaskan bahwa salah satu tujuan dari PBB adalah mengadakan
tindakan bersama yang tepat untuk mencegah dan melenyapkan ancaman bagi perdamaian,
dan karenanya setiap sengketa hendaknya diselesaikan dengan jalan damai sesuai dengan
prinsip keadilan dan hukum internasional agar tidak mengganggu perdamaian. Cara
penyelesaian berdasarkan Piagam PBB dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (1) yaitu negosiasi,
penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, serta penyelesaian menurut hukum melaui badan
atau pengaturan regional, atau cara damai lainnya yang dipilih sendiri
Penyelesaian suatu sengketa internasional menurut hukum internasional dengan dua
cara yaitu dengan cara penyelesaian sengketa secara damai dan penyelesaian sengketa secara
kekerasan. Para pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketa, menurut hukum
internasioal setiap negara yang memiliki sengketa, wajib menyelesaikan sengketanya melalui
cara damai terlebih dahulu. Penyelesaian sengketa secara damai dapat dibagi menjadi 2 yaitu
Jalur Politik dan Jalur Hukum (Sefriani,2016,297). Para pihak yang bersengketa apabila dalam
menyelesaikan sengketa tidak bisa menyelesaikan sengketa dengan jalur damai maka menurut
hukum internasional para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya dengan
melalui jalur penyelesaian sengketa secara kekerasan. Penyelesaian sengketa secara
kekerasan ada 2 cara yaitu melalui Jalur Perang dan Jalur Non Perang.

2. Definisi Konflik dan Krisis

 Pengertian Konflik Sosial Menurut Para Ahli

 Menurut Taquiri dan Davis, konflik adalah warisan kehidupan sosial yang terjadi dalam
berbagai keadaan sebagai akibat dari bangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi,
dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih secara terus-menerus.
 Menurut Lewis A. Coser, konflik adalah perjuangan nilai atau tuntutan atas status dan
merupakan bagian dari masyarakat yang akan selalu ada, sehingga apabila ada
masyarakat maka akan muncul konflik.
 Menurut Soerjono Soekanto, konflik adalah suatu keadaan pertentangan antara dua
pihak untuk berusaha memenuhi tujuan dengan cara menentang pihak lawan.
 Menurut Robbins, konflik adalah proses sosial dalam masyarakat yang terjadi antara
pihak berbeda kepentingan untuk saling memberikan dampak negatif, artinya pihak-
pihak yang berbeda tersebut senantiasa memberikan perlawanan.

Jadi, Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa
juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik bertentangan dengan
integrasi. Konflik dan integrasi berjalansebagai sebuah siklus dimasyarakat. Konflik
yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna
dapat menciptakan konflik. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnyamasyarakat itu sendiri.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Konflik merupakan sutu proses
dimana satu pihak merasa bahwa pihak lain telah atau mengambil tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan pihak lain. Kemudian konflik juga merupakan salah
satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik
yang beragam. Manusia memiliki perbedaan suku, agama, kepercayaan, aliran politik,
serta budaya dan tujuan hidupnya.
Krisis
Krisis dapat berarti bahaya dan peluang, Secara umum, krisis adalah situasi sistem yang
kompleks (baik sistem keluarga, ekonomi, masyarakat) yang mana ketika berfungsi dengan
buruk, keputusan segera diambil, namun penyebab hal tersebut tidak segera diidentifikasi
krisis memiliki empat karakteristik yaitu "peristiwa spesifik, tak terduga, dan tidak rutin atau
serangkaian peristiwa yang [menciptakan] ketidakpastian dan ancaman yang tinggi, atau
ancaman-ancaman terhadap organisasi tujuan prioritas tinggi. " Dengan demikian, tiga
karakteristik pertama adalah bahwa acara tersebut adalah
1. tak terduga (contohnya kejutan)
2. menciptakan ketidakpastian
3. dipandang sebagai ancaman terhadap tujuan-tujuan penting
Venette[4] berpendapat bahwa "krisis adalah proses transformasi di mana sistem lama
tidak dapat dipertahankan." Karena itu, kualitas yang menentukan krisis nomor empat
di atas; adalah kebutuhan akan perubahan. Jika perubahan tidak dicapai, lebih akurat
digambarkan sebagai kegagalan.

3. Konflik dan krisis Myanmar

a. Krisis Myanmar

S eakan tidak kunjung selesai, kudeta terakhir yang terjadi pada 1 Februari 2021
seperti mengulangi kembali pola kejadian serupa beberapa tahun lalu.
Kemenangan partai NLD, penolakan hasil pemilu oleh pihak militer, dan
demonstrasi pro-demokrasi besar-besaran di berbagai wilayah Myanmar yang terus
mendapat tekanan seperti layaknya déjà vu di negara tersebut.

Jumlah korban jiwa akibat aksi junta militer yang terus menekan setiap gerakan
demonstrasi semakin bertambah, dan menambah panjang deretan kasus pelanggaran
hak asasi manusia (HAM) di Myanmar. Sejak invasi Vietnam terhadap Kamboja pada
akhir 1970-an, krisis Myanmar saat ini merupakan tantangan berat yang harus dihadapi
ASEAN. Kasus Myanmar saat ini membuka kembali perdebatan panjang terkait prinsip
non-intervensi ASEAN. Hal ini terlihat dari respon negara-negara anggota ASEAN
terhadap krisis di Myanmar yang saling berbeda pendapat, mulai dari yang aktif
mengecam hingga yang diam saja. Meskipun Myanmar telah diberikan berbagai sanksi
oleh negara-negara Barat, pemimpin-pemimpin negara di regional ASEAN tetap
membuka jalur diplomatik dan komunikasi dengan pemerintahan Tatmadaw (sebutan
untuk rezim militer) tersebut. Keadaan ini seolah-olah membuat kepemimpinan
otoriter Tatmadaw, oleh Jenderal Min Aung Hlaing, mendapatkan semacam legitimasi,
serta membuat ASEAN terkesan menjadi organisasi regional yang tidak bertaji dalam
menyikapi berbagai isu pelanggaran HAM.

b. Kudeta Myanmar
Kekuasaan di Myanmar saat ini diserahkan kepada panglima tertinggi Min Aung Hlaing.
Ia adalah sosok yang selama ini memiliki pengaruh politik signifikan, berhasil
mempertahankan kekuatan Tatmadaw (militer Myanmar) meskipun saat negara itu
dalam transisi menuju demokrasi. Sosok Min Aung Hlaing adalah sosok yang menerima
kecaman dan sanksi internasional atas dugaan perannya dalam serangan militer
terhadap etnis minoritas. Usai kudeta, ia mengeluarkan komentar publik pertamanya
yang berupaya membenarkan tindakannya dengan menyebut militer berada di pihak
rakyat dan akan membentuk demokrasi yang benar dan adil. Ia menyebut, militer akan
mengadakan pemilihan yang bebas dan adil usai keadaan darurat selesai.

selama 6 (enam) dekade terakhir tidak bisa dipisahkan dari genggaman kediktatoran
pihak militer, padahal mejelang tahun 1962 Myanmar berada pada posisi yang relatif
stabil dan aman. Meskipun dihadapkan dengan berbagai permasalahan baik krisis
ekonomi, tekanan internasional hingga gejolak protes massa, Tatmadaw, alias militer
Myanmar, senantiasa menemukan jalan untuk memperkokoh dominasinya bahkan
masih memegang kendali pemerintahan sampai sekarang ini. Semenjak adanya
peralihan kekuasaan kepada pihk militer, seluruh aspek kehidupan yang ada di
Myanmar diambil alih oleh militer baik dari segi politik, pemerintahan dan ekonomi.
Pendapat ini dikemukakan oleh Davis I. Steinberg yang menyebut Myanmar sebagai
the most monolithically military-controlled in the world. Hal ini disebabkan kondisi
pemerintahan Myanmar yang sangat dikendalikan oleh militer sejak tahun 1962.
Pengambil-alihan kekuasaan sipil oleh pihak militer bukan merupakan hal yang baru di
Myanmar. Militer Myanmar memiliki catatan sejarah cukup panjang dalam kehidupan
politik dalam negeri Myanmar. Kudeta merupakan isu yang tidak asing bagi Myanmar,
sejak merdeka dari Inggris pada tahun 1948, tercatat Myanmar telah mengalami
beberapa kali pergantian kekuasaan.

Perdana Menteri U Nu seperti menjadi pembuka rezim militer yang sangat berkuasa
di Myanmar

Dia menangkap U Nu, Sao Shwe Thaik, dan beberapa lainnya, dan mendeklarasikan


negara sosialis yang dijalankan oleh «Dewan Revolusi» perwira militer senior. Putra
Sao Shwe Thaik, Sao Mye Thaik, ditembak mati dalam apa yang umumnya
digambarkan sebagai kudeta «tak berdarah» oleh media dunia.

Fase kedua terjadinya gerakan kudeta di Myanmar yaitu pada tahun 1988 atau biasa
yang dikenal

Di bawah agenda pemerintah, yang disebut Jalan Burma Menuju Sosialisme, yang


melibatkan isolasi ekonomi dan penguatan militer, Burma menjadi salah satu negara
paling miskin di dunia. Sebelum krisis, Burma telah diperintah oleh rezim Jenderal Ne
Win yang represif dan terisolasi sejak tahun 1962.

4. Alternatif Penyelesaian Sengketa Myanmar

Menurut hukum internasional hanya negaralah yang memiliki kedaulatan yaitu suatu
kekuasaan tertinggi yang tidak berada di bawah kekuasaan negara lain dan memiliki hak-hak
berdaulat yang diakui hukum internasional.
Myanmar terhadap pemerintahan sipil. dewasa ini menarik perhatian dunia, baik secara
regional maupun internasional. Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau lebih populer dengan
sebutan Association of Southeast Asian

Nations , bahkan dari masyarakat internasional. Aksi yang dilakukan militer tersebut dinilai


sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia , pada akhirnya isu tersebut tidak bisa dilihat
sebagai isu domestik saja tetapi sudah menjadi isu mancanegara.

Tapi setelah perang dingin berakhir ada pergeseran hukum internasional, ada pandangan yang
menilai legitimasi terhadap suatu pemerintahan itu, antara lain harus memenuhi prinsip
demokrasi . Tapi, dalam praktiknya Dewan Keamanan PBB tidak jelas mengatur apakah kudeta
itu sebagai bentuk pelanggaran hukum internasional atau tidak. DK PBB tidak melihat legalitas
dari kudeta, tapi menilai apakah kudeta itu berdampak atau tidak terhadap keamanan dan
perdamaian dunia internasional. Selain itu secara hukum dengan adanya ketentuan yang
sudah dibuat dan diberlakukan maka secara jelas prinsipprinsip di atas mengatur bahwa
hubungan antar negara tidak diperbolehkan adanya intervensi.

Dalam perkembangan hukum internasional, intervensi terhadap urusan dalam negeri suatu


negara dirasa semakin penting, tetapi hukum internasional tidak mengatur secara jelas aksi
kudeta militer yang terjadi di berbagai negara contohnya adalah kudeta Myanmar. Piagam PBB
ataupun ASEAN hanya mengatur prinsip kesetaraan dimana semua negara berada dalam
posisi yang sama dan setara, karena itu tidak boleh ada negara yang berhak menentukan
sepihak baik atau tidaknya kehidupan demokrasi yang berlangsung di suatu negara, serta tidak
boleh ada negara yang menilai apakah sistem politik negara lain itu baik atau tidak. Banyak
protes secara global yang mengecam, mengutuk, menjatuhkan sanksi sampai kecewa dengan
langkah militer Myanmar.

Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana mengatakan, komunitas internasional


sebenarnya sudah memiliki keinginan untuk menghentikan konflik berdarah yang terjadi di
Myamnyar. Akan tetapi, menurutnya, keinginan untuk menghentikan konflik di Myanmar itu
terkendala oleh aturan-aturan yang berlaku dalam konteks hukum internasional. "Seperti
ASEAN, terbentur pada Piagam ASEAN. Khususnya pasal 2 ayat 2, di mana negara ASEAN tidak
boleh mencampuri urusan dalam negeri anggota ASEAN,"

Sementara itu, terkait penerjunan Dewan Keamanan PBB untuk menyelesaikan konflik di
Myanmar, Hikmahanto mengatakan hal itu berbenturan dengan tugas dari Dewan Keamanan
itu sendiri. "Karena Dewan Keamanan PBB itu bertugas untuk hal-hal yang terkait kalau ada
ancaman dunia, perdamaian dunia, dan konflik yang antar negara, kira-kira seperti itu," ujar
Hikmahanto. Perlu ada utusan khusus Menilik perkembangan situasi di Myanmar, Hikmahanto
mengusulkan, de-eskalasi konflik bisa dimulai dengan pengiriman special envoy atau utusan
khusus, baik dari ASEAN maupun dari Indonesia.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dalam perkembangan hukum internasional, intervensi terhadap urusan dalam negeri


suatu negara dirasa semakin penting, tetapi hukum internasional tidak mengatur secara jelas
aksi kudeta militer yang terjadi di berbagai negara contohnya adalah kudeta Myanmar. Banyak
protes secara global yang mengecam, mengutuk, menjatuhkan sanksi sampai kecewa dengan
langkah militer Myanmar.
metode penyelesaian sengketa internasional yang tersedia yang dapat digunakan oleh setiap
negara atau masing-masing negara yang tengah dilanda sengketa atau konflik dengan negara
lain. Masing-masing negara yang bersengketa berhak untuk menentukan penyelesaian pada
sengketa internasional yang mana yang akan digunakan, kesemua ini tergantung dan
kesepakatan masing-masing negara dan yang paling penting adalah negara ketiga atau negara
lain yang tidak ikut terlibat di dalam sengketa tersebut dilarang untuk ikut campur untuk
menangani sengketa yang sedang dihadapi oleh suatu negara, lain halnya jika negara yang
sedang bersengketa meminta bantuan kepada negara lain untuk membantu menyelesaikan
sengketa tersebut. Begitu juga sengketa yang telah melanda Thailand dan Kamboja, kedua
negara berhak untuk menentukan pilihan penyelesaian sengketa yang digunakan untuk
mencari solusi demi terciptanya kedamaian di kedua belah pihak.

Anda mungkin juga menyukai