Anda di halaman 1dari 20

Muhammad Akram H1A119475

TUGAS HUKUM INTERNASIONAL

DISUSUN OLEH

MUHAMMAD AKRAM

UNIVERSITAS HALUOLEO
FAKULTAS HUKUM

ILMU HUKUM
2019/2020

1|Page
Muhammad Akram H1A119475

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya bisa selesaikan makalah ilmiah
mengenai limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ilmiah ini sudah selesai saya susun dengan semaksimal mungkin. Untuk itu
saya menyampaikan banyak terima kasih kepada ibu Dr. Ruliah, SH,MH. Yang telah
memberikan tugas makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Saya menyadari seutuhnya bahwa masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, saya
terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat membangun dari
pembaca sehingga saya bisa melakukan perbaikan makalah ilmiah ini sehingga menjadi
makalah yang baik dan benar.

Akhir kata saya meminta semoga makalah ilmiah tentang permasalahan perkawinan
adat suku tolaki ini bisa memberi ma mafaat utaupun inpirasi/pelajaran pada pembaca.

.                                            

 Kendari, april 2020

PENYUSUN

2|Page
Muhammad Akram H1A119475

DAFTAR ISI
COVER .......................................................................................

KATA PENGANTAR .....................................................................

DAFTAR ISI ...............................................................................

A. PENYEBAB TIMBULNYA SENGKETA INTERNASIONAL ............

B. UPAYA UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN DALAM MENYELESAIKAN


SENGKETA INTERNASIONAL .................................................

C. PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DAMAI .........................

D. PENYELESAIAN SENGKETA SECARA PAKSA .........................

E. MENGAPA PENYELESAIAN SENGKETA HARUS DILAKUKAN ..

F. UPAYA PENYELESAIAN “SENGKETA AMBALAT” ...................

3|Page
Muhammad Akram H1A119475

A. PENYEBAB TIMBULNYA SENGKETA INTERNASIONAL

penyebab timbulnya sengketa internasional antara lain :

adanya perbedaan kepentingan

adanya perbedaan penafsiran atau pengertian mengenai isi dari perjanjian


internasional

adanya salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian
internasional

adanya salah satu pihak yang melakukan penghinaan terhadap harga diri bangsa

pembahasan

Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana terjadi perselisihan atau ketidak
cocokan antara satu pihak dengan pihak lainnya, dengan tujuannya untuk
menyingkirkan pihak lawan tersebut dengan cara membuat lawan menjadi tidak
berdaya. Secara umum konflik sosial dapat diklasifikasikan menjadi :

a. Konflik pribadi. Konflik yang terjadi antara dua individu yang disebabkan oleh adanya
permasalahan pribadi diantara keduanya.

b. Konflik antar kelas. Konflik yang terjadipada dua kelompok atau individu yang berada
pada suatu kelas atau kelompok

c. Konflik politik. Konflik yang terjadi antara dua individu atau kelompok dengan
penyebab konflik adalah adanya perbedaan pada prisip ketatanegaraan.

d. Konflik rasial. konflik yang terjadi antar kelompok ras karena adanya kebudayaan
yang bertolak belakang.

4|Page
Muhammad Akram H1A119475

e. Konflik internasional. Konflik yang melibatkan beberapa negara yang disebabkan


adanya perbedaan kepentingan.

f. Konflik antar suku bangsa. Konflik disebabkan adanya perbedaan Bahasa daerah, adat
istiadat, kebudayaan, dan lain sebagainya.

g. Konflik antar agama. Konflik yang terjadi antara pemeluk satu agama dengan yang
lainnya.

Bentuk- bentuk konflik sosial berdasarkan posisi pelaku yang berkonflik

- Konflik vertical

Konflik yang terjadi dalam suatu lingkungan, misalkan antara manager dangan
karyawannya

- Konflik horizontal

Konflik antara individu atau kelomok yang memiliki kedudukan sama, misalkan antar
anggota dalam suatu organisasi.

- Konflik diagonal

Konflik yang muncul akibat pembagian atau pengalokasian sumber daya ke organisasi
yang tidak adil sehingga menyebabkan terjadinya pertentangan.

5|Page
Muhammad Akram H1A119475

Tidak hanya secara umum, namun konflik sosial dapat diklasaifikasikan berdasarkan
sifat, diantaranya :

a. Konflik Konstruktif. Konflik ini dapat terjadi karena adanya perbedaan pemahaman
antar individu atau kelompok terhadap masalah yang sedang dihadapi

b. Konsflik Destruktif. Konflik ini dapat terjadi karena adanya perasaan benci, dendam ,
atau tidak senang kepada pihak lain, sehingga dengan adanya konflik ini akan
menyebabkan terjadinya bentrokan-bentrokan fisik.

B. UPAYA UPAYA YANG DAPAT MENYELESAIKAN SENGKETA INTERNASIONAL

Secara umum ada beberapa cara untuk menyelesaikan sengketa internasional


1. Arbitrase
Arbitrase adalah sebuah salah satu cara alternatif penyelesaian sengketa yang telah
dikenal lama dalam hukum internasional. Dalam penyelesaian suatu kasus sengketa
internasional, sengketa diajukan kepara para arbitrator yang dipilih secara bebas oleh
pihakpihak yang bersengketa
 
Konvensi Den Haag Pasal 37 Tahun 1907 memberikan definisi arbitrasi internasional
bertujuan untuk menyelesai sengketa-sengketa internasional oleh hakim-hakim pilihan
mereka dan atas dasar ketentuan-ketentuan hukum internasional. Dengan penyelesaian
melalui jalur arbitrasi ini negara-negara harus melaksanakan keputusan dengan itikad
baik.
 
Hakikatnya arbitrasi ialah prosedur penyelesaian sengketa konsensual dalam arti
bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrasi hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan negara-negara bersengketa yang bersangkutan.
 
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrasi dapat dilakukan dengan perbuatan suatu
compromise, yaitu penyerahan kepada arbitrasi suatu sengketa yang telah lahir atau
melalui pembuatan suatu klausul arbitrasi dalam suatu perjanjian sebelum sengketa
lahir (clause compromissoire).
 
2. Negosiasi
Negosiasi atau perundingan dapat didefinisikan sebagai upaya untuk dapat mempelajari
dan merujuki mengenai sikap yang dipersengketakan agar dapat mencapai suatu hasil
yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Apa pun bentuk hasil yang
dicapai, walaupun sebenarnya lebih banyak diterima oleh satu pihak dibandingkan
dengan pihak yang lainnya
 
Negosiasi atau perundingan merupakan suatu Teknik penyelesaian sengketa yang
paling tradisional dan paling sederhana. Dala Teknik penyelesaian sengketa tidak
melibatkan pihak ketiga dan hanya berfokus pada pertukaran-pertukaran pendapat
atau usul-usul antar pihak yang bersengketa untuk mencari kemungkinan tercapainya

6|Page
Muhammad Akram H1A119475

penyelesaian sengketa secara damai, sedangkan pokok perundingan biasanya


merupakan apa yang menjadi pokok dari sengketa internasional
 
3. Mediasi
Mediasi sebenarnya merupakan bentuk lain dari negosiasi sedangkan yang
membedakannya adalah terdapat keterlibatan pihak ketiga. Dalam hal pihak ketiga yang
hanya bertindak sebagai pelaku mediasi atau mediator komunikasi bagi pihak ketiga
untuk mencarikan negosiasi-negosiasi, maka peran dari pihak ketiga disebut sebagai
good office. Seorang mediator merupakan pihak ketiga yang memiliki peran yang aktif
untuk mencari solusi yang tepat untuk melancarkan terjadinya kesepakatan antara
pihakpihak yang bertikai dan untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan
langsung di antara para pihak
 
Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan langsung di
antara para pihak. Mediator bisa negara, individu, dan organisasi internasional. Para
mediator ini dapat juga bertindak baik atas inisiatifnya sendiri, menawarkan jasanya
sebagai mediator, atau menerima tawaran untuk menjalankan fungsi-fungsinya atas
permintaan dari salah satu atau keduabelah pihak yang bersengketa
 
Di dalam menjalankan fungsinya, mediator tidak tunduk pada suatu aturan-aturan
hukum acara tertentu. Mediator juga bebas menentukan bagaimana proses
penyelesaian sengketanya berlangsung.
 
Peranannya disini tidak semata-mata hanya mempertemukan para pihak saja agar
bersedia berunding, akan tetapi mediator juga terlibat dalam perundingan dengan para
pihak dan bisa pula memberikan saran-saran atau usulan-usulan. Di dalam melakukan
negosiasi atau perundingan, mediator dapat mengajukan beberapa opsi atau
penawaran mengenai penyelesaian masalah sengketa.

4. Konsiliasi
istilah konsiliasi mempunyai suatu arti yang luas dan sempit. Dalam pengertian luas,
konsiliasi mencakup berbagai ragam metode dimana suatu sengketa diselesaikan secara
damai dengan bantuan negara-negara lain atau badanbadan penyelidik dan komite-
komite penasihat yang tidak berpihak.

Dalam pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa kepada sebuah
komisi atau komite untuk membuat laporan beserta usulan-usulan kepada para pihak
bagi penyelesaian sengketa tersebut, usulan itu tidak memiliki sifat mengikat.
 
Konsiliasi adalah merupakan suatu proses-proses penyusunan dari usulan-usulan
penyelesaian setelah diadakan suatu penyelidikan mengenai fakta-fakta dan suatu
upaya-upaya untuk mencari titik temu dari pendirian-pendirian yang saling
bertentangan, para pihak dalam sengketa itu tetap bebas untuk menerima atau dapat
menolak proposal-proposal yang dirumuskan tersebut.
Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi juga melibatkan pihak ketiga atau
konsiliator yang tidak berpihak atau netral dan keterlibatannya karena diminta oleh
para pihak. Unsur ketidakberpihakan dan kenetralan merupakan kata kunci untuk
keberhasilan fungsi konsiliasi, hanya dengan terpenuhinya dua unsur ini, objektifitas
dari konsiliasi dapat terjamin

7|Page
Muhammad Akram H1A119475

5. Penyelesaian Yudisial (Judicial Settlement)


Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian yang dihasilkan melalui suatu
pengadilan yudisial internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya dengan
memperlakukan dari suatu kaidah-kaidah hukum.

Peradilan Internasional penyelesaian masalah dengan menerapkan ketentuan hukum


yang dibentuk secara teratur. Pengadilan dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu
pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Pengadilan
internasional permanen contohnya adalah Mahkamah Internasional (ICJ).

Berdasarkan pemaparan dan penjelasan di atas, dapat diberikan kesimpulan bahwa


begitu banyak metode penyelesaian sengketa internasional yang tersedia yang dapat
digunakan oleh setiap negara atau masing-masing negara yang tengah dilanda sengketa
atau konflik dengan negara lain.

Masing-masing negara yang bersengketa berhak untuk menentukan penyelesaian pada


sengketa internasional yang mana yang akan digunakan, kesemua ini tergantung dan
kesepakatan masing-masing negara dan yang paling penting adalah negara ketiga atau
negara lain yang tidak ikut terlibat di dalam sengketa tersebut dilarang untuk ikut
campur untuk menangani sengketa yang sedang dihadapi oleh suatu negara, lain halnya
jika negara yang sedang bersengketa meminta bantuan kepada negara lain untuk
membantu menyelesaikan sengketa tersebut.

Begitu juga sengketa yang telah melanda Indonesia dan Malaysia, kedua negara berhak
untuk menentukan pilihan penyelesaian sengketa yang digunakan untuk mencari solusi
demi terciptanya kedamaian di kedua belah pihak.

C. PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DAMAI

1.      Negosiasi.

 Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua

digunakanoleh umat manusia. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang

paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi ini tanpa adanya

publisitas atau menarik perhatian publik.

Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi

prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap penyelesaiannya didasarkan pada

kesepakatan atau konsensus para pihak.

2.      Pencarian Fakta

8|Page
Muhammad Akram H1A119475

Suatu sengketa kadangkala mempersoalkan konflik para pihak mengenai suatu

fakta. Meskipun suatu sengketa berkaitan dengan hak dan kewajiban, namun acapkali

permasalahannya bermula pada perbedaan pandangan para pihak terhadap fakta yang

menentukan hak dan kewajiban tersebut. Penyelesaian sengketa demikian karenanya

bergantung kepada penguraian fakta-fakta yang para pihak tidak disepakati.

 Oleh sebab itu dengan memastikan kedudukan fakta yang sebenarnya dianggap

sebagai bagian penting dari prosedur penyelesaian sengketa. Dengan demikian para

pihak dapat memperkecil masalah sengketanya dengan menyelesaikannya melalui

suatu Pencarian Fakta mengenai fakta-fakta yang menimbulkan persengketaan.

3.      Jasa-jasa Baik

Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui atau dengan bantuan pihak

ketiga. Pihak ketiga ini berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketanya dengan

negosiasi. Jadi fungsi utama jasa baik ini adalah mempertemukan para pihak

sedemikian rupa sehingga mereka mau bertemu, duduk bersama dan bernegosiasi.

 Keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu penyelesaian sengketa dapat dua macam:

atas permintaan para pihak atau atas inisiatifnya menawarkan jasa-jasa baiknya guna

menyelesaikan sengketa. Dalam kedua cara ini, syarat mutlak yang harus ada adalah

kesepakatan para pihak.

4.      Mediasi

 Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Ia bisa negara,

organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu (politikus, ahli hukum atau

ilmuwan). Ia ikut serta

secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak

yang netral berupa mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian

sengketa.

9|Page
Muhammad Akram H1A119475

Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi

mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama

mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang

dapat disepakati para pihak serta membuat usulah-usulan yang dapat mengakhiri

sengketa.

5.      Konsiliasi

Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibanding

mediasi. Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh

suatu komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak.

Komisi tersebut bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi

untuk menetapkan persyaratanpersyaratan penyelesaian yang diterima oleh para

pihak. Namun putusannya tidaklah mengikat para pihak.

6.      Arbitrase

Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang

netral serta putusan yang dikeluarkan sifatnya final dan mengikat. Badan arbitrase

dewasa ini sudah semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam

menyelesaikan sengketasengketa internasional.

 Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan

suatu compromis, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir;

atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum

sengketanya lahir (clause compromissoire).

7.      Pengadilan Internasional.

Metode yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa selain cara-cara

tersebut di atas adalah melalui pengadilan. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh

apabila cara-cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil.

10 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

Pengadilan dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu pengadilan permanen dan

pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Sebagai contoh pengadilan internasional

permanen adalah Mahkamah Internasional (the International Court of Justice).

8.      Organisasi-Organisasi dan Badan-Badan Regional

Yaitu penyerahan sengketa ke badan-badan regional atau cara-cara lainnya yang

menjadi pilihan para pihak, biasanya mengacu kepada badan-badan peradilan yang

terdapat dan diatur oleh berbagai organisasi internasional, baik yang sifatnya global

maupun regional.

D. PENYELESAIAN SENGKETA SECARA PAKSA

Apabila negara-negara tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan


sengketasengketa mereka melalui jalur diplomasi atau damai (bersahabat), maka salah
satu cara yang dapat digunakan sebagai jalan keluar penyelesaian sengketa adalah
melalui jalur pemaksaan atau kekerasan. Penyelesaian sengketa internasional dengan
menggunakan kekerasan secara garis besar dibagi menjadi:

1. Perang;
2. Retorsi (retortion);
3. Tindakan-tindakan pembalasan (repraisals)
4. Blokade secara damai;
5. Intervensi (intervention).

 Perang

Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan untuk
membebankan syarat-syarat penyelesaian sengketa di mana negara yang ditaklukan
tersebut tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Cara perang untuk
menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan di praktikkan sejak
lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan kebijakan
luar negeri untuk memaksakan hak-hak dan pemahaman mereka mengenai aturan-
aturan hukum internasional. Dalam perkembangannya kemudian, seiring dengan
berkembangnya teknologi senjata pemusnah massal, masyarakat internasional
menyadari besarnya bahaya dari penggunaan perang, karenanya masyarakat
internasional sekarang ini tengah berupaya untuk menghilangkan cara penyelesaian ini
atau sedikitnya dibatasi penggunaannya.

Hukum internasional sebenarnya telah melarang penggunaan kekerasan bersenjata


dalam penyelesaian sengketa internasional. Dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB
menyebutkan ‘All members shall settle their international disputes by peaceful means in
such a manner that international peace and security are not endangered’, Pasal tersebut

11 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

menyebutkan bahwa setiap negara anggota PBB diwajibkan untuk menempuh cara-cara
penyelesian sengketa secara damai.

 Restorsi (Restortion)

Retorsi merupakan istilah untuk melakukan pembalasan oleh suatu negara terhadap
tindakan-tindakan tidak pantas dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan
dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat, misalnya pemutusan
hubungan diplomatik, pencabutan hak istimewa, penghentian bantuan ekonomi dan
penarikan konsesi pajak dan tarif.

Keadaan yang memberikan penggunaan retorsi hingga kini belum dapat secara pasti
ditentukan karena pelaksanaan retorsi sangat beraneka ragam. Dalam Pasal 2 paragraf
3 Piagam PBB ditetapkan bahwa anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa harus
menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sehingga tidak mengganggu
perdamaian dan keamanan internasional dan keadilan. Penggunaan retorsi secara sah
oleh negara anggota PBB terikat oleh ketentuan piagam tersebut.

 Tindakan-Tindakan Pembalasan (Repraisals)

Reprisal adalah upaya paksa untuk memperoleh jaminan ganti rugi, akan tetapi terbatas
pada penahanan orang dan benda. Pembalasan merupakan upaya yang dilakukan oleh
suatu negara terhadap negara lain dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul oleh karena negara tersebut telah melakukan tindakan yang tidak dibenarkan.
Perbedaan tindakan repraisal dan retorsi adalah bahwa pembalasan adalah mencakup
tindakan yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai tindakan ilegal, sedangkan
retorsi meliputi tindakan balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum.

Pembalasan dapat dilakukan dengan bentuk pemboikotan barang-barang terhadap


suatu negara tertentu, suatu embargo atau suatu penyanderaan terhadap seseorang.
Saat ini pada umumnya bahwa suatu pembalasan hanya dibenarkan apabila negara
yang menjadi tujuan tindakan ini bersalah karena melakukan tindakan yang sifatnya
merupakan pelanggaran internasional. Reprisal dapat dilakukan dengan syarat sasaran
reprisal merupakan negara yang melakukan pelanggaran internasional, negara yang
bersangkutan telah terlebih dahulu diminta untuk mengganti kerugian yang muncul
akibat tindakannya, serta tindakan reprisal harus dilakukan dengan proporsional dan
tidak berlebihan.

 Blokade Secara Damai (Pasific Blockade)

Blokade secara damai adalah tindakan blokade yang dilakukan pada waktu damai.
Tindakan ini pada umumnya ditunjukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya
diblokade untuk mengganti kerugian oleh negara yang melakukan blokade. Blokade
secara damai dapat dipandang sebagai suatu prosedur kolektif yang diakui untuk
memperlancar penyelesaian sengketa antara negara. Secara tegas tindakan blokade
disebut dalam Pasal 42 Piagam PBB sebagai suatu tindakan yang boleh diprakasai oleh
Dewan Keamanan demi untuk memelihara kedamaian dunia.

 Intervensi (Intervention)
12 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

Internvensi merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa internasional dengan


melakukan tindakan campur tangan terhadap kemerdekaan politik negara tertentu.
Hukum internasional pada prinsipnya menegaskan bahwa suatu negara dilarang untuk
turut campur dalam urusan negara lain. Hal ini ditekankan dengan jelas dalam Pasal 2
ayat (4) dan ayat (7) Piagam PBB, yang mana melarang negara anggota untuk ikut
campur dalam urusan dalam negeri negara lain dalam bentuk apapun. Pengecualian
terhadap hal ini diberikan kepada Dewan Keamanan PBB yang mana berhubungan
dengan pelaksanaan Bab VII Piagam PBB. Suatu negara dapat melakukan tindakan
intervensi dengan beberapa alasan, J.G Starke beranggapan bahwa tindakan intervensi
negara atas kedaulatan negara lain belum tentu merupakan suatu tindakan yang
melanggar hukum. Ia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu dimana
tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum internasional.

Tindakan tersebut adalah apabila:

 Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB;


 Untuk melindungi hak dan kepentingan serta keselamatan warga negaranya di
negara lain;
 Jika negara yang diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas
hukum internasional.

Suatu tindakan intervensi harus dilakukan dengan mendapatkan izin terlebih dahulu
melalui Dewan Keamanan PBB. Izin ini berbentuk rekomendasi yang berisikan
pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan yang menjadi alasan tindakan
intervensi dan apakah tindakan intervensi diperlukan dalam keadaan tersebut.

E. MENGAPA PENYELESAIAN SENGKETA HARUS DILAKUKAN

Karena jika tidak dilakukan penyelesain sengketa denga segera akan terjadi
yang semua orang yang tidak diinginkan seperti perang, pelanggaran HAM, dan
lain sebagainya. Dan kemungkinan besar akan terjadiya perang dunia ke 3.

Berikut contoh yang kemungkinan akan terjadi jika tidak dilakukannya


penyelesaian sengketa internasianal:

 Perang

Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan untuk
membebankan syarat-syarat penyelesaian sengketa di mana negara yang ditaklukan
tersebut tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Cara perang untuk
menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan di praktikkan sejak
lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan kebijakan
luar negeri untuk memaksakan hak-hak dan pemahaman mereka mengenai aturan-
aturan hukum internasional. Dalam perkembangannya kemudian, seiring dengan
berkembangnya teknologi senjata pemusnah massal, masyarakat internasional
menyadari besarnya bahaya dari penggunaan perang, karenanya masyarakat
internasional sekarang ini tengah berupaya untuk menghilangkan cara penyelesaian ini
atau sedikitnya dibatasi penggunaannya.

13 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

Hukum internasional sebenarnya telah melarang penggunaan kekerasan bersenjata


dalam penyelesaian sengketa internasional. Dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB
menyebutkan ‘All members shall settle their international disputes by peaceful means in
such a manner that international peace and security are not endangered’, Pasal tersebut
menyebutkan bahwa setiap negara anggota PBB diwajibkan untuk menempuh cara-cara
penyelesian sengketa secara damai.

 Restorsi (Restortion)

Retorsi merupakan istilah untuk melakukan pembalasan oleh suatu negara terhadap
tindakan-tindakan tidak pantas dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan
dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat, misalnya pemutusan
hubungan diplomatik, pencabutan hak istimewa, penghentian bantuan ekonomi dan
penarikan konsesi pajak dan tarif.

Keadaan yang memberikan penggunaan retorsi hingga kini belum dapat secara pasti
ditentukan karena pelaksanaan retorsi sangat beraneka ragam. Dalam Pasal 2 paragraf
3 Piagam PBB ditetapkan bahwa anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa harus
menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sehingga tidak mengganggu
perdamaian dan keamanan internasional dan keadilan. Penggunaan retorsi secara sah
oleh negara anggota PBB terikat oleh ketentuan piagam tersebut.

 Tindakan-Tindakan Pembalasan (Repraisals)

Reprisal adalah upaya paksa untuk memperoleh jaminan ganti rugi, akan tetapi terbatas
pada penahanan orang dan benda. Pembalasan merupakan upaya yang dilakukan oleh
suatu negara terhadap negara lain dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul oleh karena negara tersebut telah melakukan tindakan yang tidak dibenarkan.
Perbedaan tindakan repraisal dan retorsi adalah bahwa pembalasan adalah mencakup
tindakan yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai tindakan ilegal, sedangkan
retorsi meliputi tindakan balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum.

Pembalasan dapat dilakukan dengan bentuk pemboikotan barang-barang terhadap


suatu negara tertentu, suatu embargo atau suatu penyanderaan terhadap seseorang.
Saat ini pada umumnya bahwa suatu pembalasan hanya dibenarkan apabila negara
yang menjadi tujuan tindakan ini bersalah karena melakukan tindakan yang sifatnya
merupakan pelanggaran internasional. Reprisal dapat dilakukan dengan syarat sasaran
reprisal merupakan negara yang melakukan pelanggaran internasional, negara yang
bersangkutan telah terlebih dahulu diminta untuk mengganti kerugian yang muncul
akibat tindakannya, serta tindakan reprisal harus dilakukan dengan proporsional dan
tidak berlebihan.

 Blokade Secara Damai (Pasific Blockade)

Blokade secara damai adalah tindakan blokade yang dilakukan pada waktu damai.
Tindakan ini pada umumnya ditunjukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya
diblokade untuk mengganti kerugian oleh negara yang melakukan blokade. Blokade
secara damai dapat dipandang sebagai suatu prosedur kolektif yang diakui untuk
memperlancar penyelesaian sengketa antara negara. Secara tegas tindakan blokade

14 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

disebut dalam Pasal 42 Piagam PBB sebagai suatu tindakan yang boleh diprakasai oleh
Dewan Keamanan demi untuk memelihara kedamaian dunia.

 Intervensi (Intervention)

Internvensi merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa internasional dengan


melakukan tindakan campur tangan terhadap kemerdekaan politik negara tertentu.
Hukum internasional pada prinsipnya menegaskan bahwa suatu negara dilarang untuk
turut campur dalam urusan negara lain. Hal ini ditekankan dengan jelas dalam Pasal 2
ayat (4) dan ayat (7) Piagam PBB, yang mana melarang negara anggota untuk ikut
campur dalam urusan dalam negeri negara lain dalam bentuk apapun. Pengecualian
terhadap hal ini diberikan kepada Dewan Keamanan PBB yang mana berhubungan
dengan pelaksanaan Bab VII Piagam PBB. Suatu negara dapat melakukan tindakan
intervensi dengan beberapa alasan, J.G Starke beranggapan bahwa tindakan intervensi
negara atas kedaulatan negara lain belum tentu merupakan suatu tindakan yang
melanggar hukum. Ia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu dimana
tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum internasional.

Tindakan tersebut adalah apabila:

 Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB;


 Untuk melindungi hak dan kepentingan serta keselamatan warga negaranya di
negara lain;
 Jika negara yang diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas
hukum internasional.

Suatu tindakan intervensi harus dilakukan dengan mendapatkan izin terlebih dahulu
melalui Dewan Keamanan PBB. Izin ini berbentuk rekomendasi yang berisikan
pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan yang menjadi alasan tindakan
intervensi dan apakah tindakan intervensi diperlukan dalam keadaan tersebut.

F. PENYELESAIAN “SENGKETA AMBALAT”

A.Penyelesaian Sengketa Blok Ambalat Antara Indonesia dengan Malaysia

1.Dasar hukum Malaysia untuk melakukan klaim atas Blok Ambalat


Berdasarkan undang-undang Essensial Powers Ordonance yang di sahkan pada
bulan Agustus 1969, Malaysia menetapkan luas territorial laut sejauh 12 mil laut yang
diukur dari garis dasar dengan menarik garis pangkal lurus menurut ketentuan
Konvensi Hukum Laut 1958 mengenai Laut Teritorial dan Contiguous
Zone.Berdasarkan undang-undang tersebut selanjutnya Malaysia mendeklarasikan

15 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

secara sepihak Peta Malaysia 1979 pada tanggal 21 Desember 1979. Selanjutnya Pada
bulan Desember 1979 Malaysia mengeluarkan Peta Barudengan batas terluar klaim
maritim yang sangat eksesif di Laut Sulawesi. Peta tersebut secara jelas memasukkan
kawasan dasar laut sebagai bagian dari Malaysia yang kemudian disebut Blok Ambalat
oleh Indonesia. Hanya Malaysia sendiri yang mengetahui garis pangkal dan titik pangkal
untuk menentukan batas wilayahnya. Dalam pergaulan internasional suatu negara
harus memberitahukan titik-titik pangkal dan garis pangkal laut teritorialnya agar
negara lain dapat mengetahuinya.Peta 1979 yang dikeluarkan pemerintah Malaysia
tersebut tidak hanya mendapat protes Indonesia saja tetapi juga dari Filipina,
Singapura, Thailand, Tiongkok, Vietnam, karena dianggap sebagai upaya atas perebutan
wilayah negara lain.13Filipina dan Tiongkok misalnya mengajukan protes terkait
Spratly Island.Pada bulan April tahun 1980, Singapura mengirimkan protesnya terkait
dengan Pedra Branca (Pulau Batu Puteh). Protes juga dilayangkan oleh Vietnam,
Taiwan, Thailand dan United Kingdom atas nama Brunei Darussalam. Dengan demikian
klaim Malaysia terhadap wilayah territorial berdasarkan Peta 1979 tidak mendapat
pengakuan dari negara-negara tetangga dan dunia internasional. Namun Malaysia tetap
menjadikan Peta 1979 tetap menjadi peta resmi yang berlaku hingga saat ini.Ditinjau
dari hukum laut internasional, Malaysia bukanlah negara Kepulauan oleh karena itu
tidak dibenarkan menarik garis pangkal demikian sebagai penentuan batas laut wilayah
dan landas kontinennya. Malaysia hanyalah negara pantai biasa yang hanya dibenarkan
menarik garis pangkal normal (biasa)

dan garis pangkal lurus apabila memenuhi persyaratan-persyaratan, yaitu terdapat


deretan pulau atau karang di hadapan daratan pantainya dan harus mempunyai ikatan
kedekatan dengan wilayah daratan Sabah untuk tunduk pada rezim hukum perairan
pedalaman sesuai dengan pasal 5 KHL 1958 tentang Laut Teritorial dan Contiguous
Zonedan sesuai dengan pasal 7 KHL 1982.14Pendapat Arif Havasoegroseno, direktur
perjanjian politik, keamanan, dan kewilayahan Indonesia mengatakan, dalam hukum
kebiasaan Internasional jika klaim suatu negara merupakan tindakan sepihak dari
negara tersebut (unilateral action) tidak mendapat protes dari negara-negara terutama
negara tetangganya, maka setelah 2 (dua) tahun klaim tersebut dinyatakan sah.
Sehubungan dengan Peta Malaysia 1979 yang mendapat banyak protes dari negara-
negara tetangga dan negara lainnya sesungguhnya peta tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum.15Jika Malaysia berpendapat bawah ‘tiap pulau berhak mempunyai
laut territorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya sendiri’, maka hal
tersebut menyalahi UNCLOS pasal 121, hal itu dapat dibenarkan. Namun rezim
penetapan batas landas kontinen mempunyai specific ruleyang membuktikan
keberadaan pulau-pulau yang relatively small, socially and economically insignificant
tidak akan dianggap sebagai special circumtationdalam penentuan garis batas landas
kontinen. Malaysia bukanlah negara kepulauan sehingga tidak berhak mengklaim
Ambalat. Menurut Konvensi hukum laut, sebuah negara pantai (negara yang wilayah
daratannya secara langsung bersentuhan dengan laut) berhak atas zona maritim laut
teritorial, ZEE, dan landas kontinen sepanjang syarat-syarat (jarak dan geologis)
memungkinkan.

Berikut proses klaim yang diajukan Malaysia terhadap Blok Ambalat:

1. Tahun 1979, Malaysia menggunakan Peta Wilayah Malaysia 1979 yang secara
unilateral memasukkan wilayah Ambalat sebagai wilayahnya sebagai dasar klaim

16 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

tersebut. Padahal peta tersebut sudah diprotes, tidak hanya negara Indonesia tetapi
juga seperti Filipinan dan Singapore.

2. Klaim Malaysia yaitu 12 mil laut yang berada di sekitar Pulau Karang Ambalat, hal
tersebut jika dari Pulau Sipadan dan Ligitan sudah sejauh 70 mil.

3. Malaysia mengklaim wilayah di sebelah timur Kalimantan Timur itu miliknya dan
menyebut wilayah Ambalat sebagai Blok XYZ berdasarkan peta yang dibuatnya pada
1979. Sedangkan Indonesia menyebut blok yang sama sebagai Blok Ambalat dan Blok
East Ambalat. Di Ambalat, Indonesia telah memberikan konsesi eksplorasi kepada ENI
(Italia) pada 1999. Sementaraitu, Blok East Ambalat diberikan kepada Unocal (Amerika
Serikat) pada 2004.

4. Malaysia belum siap untuk melakukan dialog dengan Indonesia pada bulan Juli 2004,
karena sedang melakukan survei titik dasar (precise location) dari peta 1979.

5. Tahun 1961 Indonesia mulai memberikan konsesi eksplorasi kepada berbagai


perusahaan minyak, dan sampai sekarang konsesi terus berjalan. Masalah muncul
ketika Malaysia membuat peta secara sepihak pada 1979. Ditambah lagi bahwa,
Malaysia merasa lebih berperan dalam proses pembangunan Ambalat.

6. Garis dasar adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar, apabila tarik
dari garis lurus itu, maka Ambalat masuk di dalamnya dan bahkan lebih jauh ke luar
lagi. Sikap itu sudah dicantumkan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1960, yang kemudian diakui dalam Konvensi Hukum Laut 1982.

7. Keberhasilan Indonesia memperjuangkan konsep hukum negara kepulauan


(archipelagic state) hingga diakui secara internasional. Pengakuan itu terabadikan
dengan pemuatan ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam
Bab IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Conventionon the Law of
the Sea(UNCLOS). Konvensi ini ditetapkan dalam Konferensi Ketiga PBB tentang Hukum
Laut di Montego Bay, Jamaica, pada 10 Desember 1982.

8. Masalah yang dihadapi Indonesia saat ini terkait dengan kasus Sipadan dan Ligitan.
Masalahnya, pada saat berseteru dengan Malaysia dalam kasus
9Sipadan dan Ligitan, Indonesia tidak meminta Mahkamah Internasional memutuskan
garis perbatasan laut sekaligus. Indonesia tidak pernah merundingkannya.Dalam
kelaziman hukum internasional, karena Malaysia tidak memprotes, itu berarti
pengakuan terhadap sikap Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 4 Tahun
1960. Malaysia, baru mulai mengajukannota protes pada 2004 setelah menang dalam
kasus Pulau Sipadan-Ligitan.

9. Pada 1998 Indonesia memberikan konsesi kepada Shell untuk melakukan eksplorasi
minyak. Malaysia tahu itu, tapi tidak memprotes. Akhir 2004, saat Indonesia
menawarkan konsesi blok baru di Ambalat, namun hal tersebut mendapat protes dari
Malaysia.

B. Klaim Malaysia Menurut Ketentuan UNCLOS 1982

17 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

Klaim Malaysia atas kepemilikan blok Ambalat berdasarkan Peta 1979 dan
berdasarkan kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan yang diberikan kepada Malaysia.
Dalam peta 1979 Malaysia tersebut diumumkan lebar laut teritorialnya 12 mil laut yang
diukur dengan garisdasar dengan menarik garis pangkal lurus menurut hukum laut
1958 dengan tindakan tersebut Malaysia merugikan negara disekitarnya karena garis
pangkal dan titik pangkal untuk menentukan batas wilayahnya hanya diketahui oleh
Malaysia sendiri. Dalam pergaulan Internasional suatu negara harus memberitahukan
titik-titik pangkal dan garis laut teritorialnya agar negara-negara lain dapat
mengetahuinya. Sebagai negara pantai biasa oleh pengaturan dalam United
NationsConvention on the Law Of the Sea 1982 dinyatakan bahwa Malaysia hanya
diperbolehkan menarik garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus
(Straight Baselines), karena alasan ini seharusnya Malaysia tidak diperbolehkan
menarik garis pangkal lautnya dari pulau sipadan legitan karena malaysia bukan
merupakan negara pantai. namun dilain pihak Malaysia menggunakan pasal 121
UNCLOS yang menyatakan bahwa setiap pulau berhak mendapatkan laut teritorial,
Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas kontinennya sendiri-sendiri hal ini dapat
dibenarkan namun dalam penetapan landas kontinen antar negara juga harus
memperhatikan apakah daratan dasar laut itu merupakan kelannjutan tanah alamiah
tanah diatasnya sehingga itu merupakan daerah landas kontinen suatau negara dan
juga harus diperhatikan perjanjian batas landas kontinen yang telah ditetapkan oleh
Indonesia dan Malaysia.Berdasarkan kelaziman hukum Internasional karena Malaysia
tidak melakukan Klaim atas tidakan Indonesia atas kegiatan penambangan dan
eksploitasi di wilayah Blok Ambalat sejak Tahun 1960hingga pasca keluarnya peta
Malaysia tahun 1979 itu merupakan bukti pengakuan Malaysia terhadap wilayah Blok
Ambalat dan Indonesia memiliki Hak berdaulat di wilayah tersebut . Disampingitu
berdasarkan sejarah wilayah tersebut sejak zaman penjajah Belanda.Indonesia adalah
negara Kepulauan (archipelagic state). Deklarasi Negara Kepulauan Indonesia telah
dimulai ketika diterbitkan Deklarasi Djuanda tahun 1957, lalu diikuti Prp No. 4/1960
tentang Perairan Indonesia. Deklarasi Negara Kepulauan ini juga telah disahkan oleh
The United Nations Convention on the Law of the Sea(UNCLOS) tahun 1982 Bagian IV.
Isi deklarasi UNCLOS 1982 antara lain di antara pulau-pulau Indonesia tidak ada laut
bebas, dan sebagai Negara Kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal
(baselines) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar.

C. Penyelesaian Sengketa Blok Ambalat Antara Indonesia dan Malaysia Menurut


UNCLOS 1982

Menurut Hukum Laut Internasional, Malaysia dan Indonesia telah


meratifikasi UNCLOS1982maka idealnya penyelesaian sengketa berdasarkan pada
UNCLOS 1982 bukan pada ketentuan yang berlaku sepihak. Menurut UNCLOS, Pulau
Borneo (yang padanya terdapat Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam) berhak
atas laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. Di sebelah timur Borneo,
bisa ditentukan batas terluar laut teritorial yang berjarak 12 mil dari garis pangkal,
kemudian garis berjarak 200 mil yang merupakan batas ZEE demikian seterusnya
untuk landas kontinen. Zona-zona yang terbentuk ini adalah hak dari daratan Borneo.
Maka secara sederhana bisa dikatakan bahwa yang di bagian selatan adalah hak
Indonesia dan di utara adalah hak Malaysia. Tentu saja, dalam hal ini, perlu ditetapkan
18 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

garis batas yang membagi kawasan perairan tersebut.Sedangkan untuk, garis batas
darat antara Indonesia dan Malaysia di Borneo memang sudah ditetapkan. Garis itu
melalui Pulau Sebatik, sebuah pulau

11kecil di ujung timur Borneo, pada lokasi lintang 4° 10’ (empat derajat 10 menit)
lintang utara. Garis tersebut berhenti di ujung timur Pulau Sebatik. Idealnya, titik akhir
dari batas darat ini menjadi titik awal dari garis batas maritim. Meski demikian, ini tidak
berarti bahwa garis batas maritim harus berupa garis lurus mengikuti garis 4° 10’
lintang utara. Garis batas maritim ini harus sedemikian rupa sehingga membagi
kawasan maritim di Laut Sulawesi secara adil. Garis inilah yang akan menentukan
“pembagian” kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia dan Malaysia atas kawasan
maritim di Laut Sulawesi, termasuk Blok Ambalat. Hingga kini, garis tersebut ni belum
ada/disepakati dan sedang dirundingkan. Menurut UNCLOS, proses penentuan garis
batas landas kontinen mengacu pada Pasal 83 yang mensyaratkan dicapainya solusi
yang adil atau “equitable solution” (Ayat 1). Untuk mencapai solusi yang adil inilah
kedua negara dituntut untuk berkreativitas sehingga diperlukan tim negosiasi yang
berkapasitas memadai. Perlu diperhatikan bahwa ’adil’ tidak selalu berarti sama jarak
atau equidistance.Sehingga dapat disimpulkan bahwa status hak berdaulat atas Ambalat
belum sepenuhnya jelas. Belum ada garis batas maritim yang menetapkan/membagi
kewenangan kedua negara. Meski demikian, pada landas kontinen (dasar laut) Laut
Sulawesi memang sudah terjadi eksplorasi sumber daya laut berupa pemberian konsesi
oleh PemerintahIndonesia sejak tahun 1960an kepada perusahaan asing yang tidak
pernah diprotes secara langsung oleh Malaysia sampai dengan tahun 2002. Sejalan
dengan itu, Malaysia juga telah menyatakan klaimnya atas kawasan tertentu di Laut
Sulawesi melalui Peta 1979 meskipun kenyataannya peta itu diprotes tidak saja oleh
Indonesia tetapi juga negara tetangga lainnya dan dunia internasional.

D. Langkah Hukum Negara Indonesia dalam Menghadapi Klaim Malaysia Atas Blok
Ambalat

Kebijakan pemerintah Indonesia sebelum terjadi konflik Ambalat memang dapat


dikategorikan masih belum optimaldan belum tepat sasaran. Bila saja Indonesia sejak
dahulu lebih memperhatikan masalah perbatasan Indonesia mungkin kejadian konflik
Ambalat tidak perlu terjadi. Saat ini pemerintah Indonesia yang mencakup instansi-
instansi terkait berkoordinasi bersama, membuat kebijakan yang terkait untuk
menyelesaikan konflik Ambalat dan untuk mencegah konflik yang sarna terulang.Secara
yuridis, Indonesia diuntungkan oleh adanya pasal 47 UNCLOS bahwa sebagai negara
kepulauan, Indonesia dapat menarik garis di pulau-pulauterluarnya sebagai patokan
untuk garis batas wilayah kedaulatannya. Paling tidak, ada empat langkah yang dapat
diambil untuk menyelesaikan sengketa wilayah Ambalat tersebut. Pertama, melalui
perundingan bilateral, yaitu memberi kesempatan kedua belah pihak untuk
menyampaikan argumentasinya tentang wilayah yang disengketakan dalam forum
bilateral. Indonesia dan Malaysia harus secara jelas menyampaikan mana batas wilayah
yang diklaim dan apa landasan yuridisnya. Dalam hal ini, Malaysia tampaknya akan
menggunakan peta 1979 yang kontroversial itu. Sementara Indonesia mendasarkan
klaimnya pada UNCLOS 1982.Jika gagal, maka perlu dilakukan cooling down dan

19 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

selanjutnya masuk langkah kedua dengan menetapkan wilayah sengketa sebagai status
quo dalam kurun waktu tertentu. Pada tahap ini, bisa saja dilakukan eksplorasi di Blok
Ambalat sebagai sarana untuk menumbuhkan rasa saling percaya kedua belah pihak
(confidence building measures). Pola ini pernah dijalankan Indonesia-Australia dalam
mengelola Celah Timor. Langkah ketiga bisa memanfaatkan organisasi regional sebagai
sarana resolusi konflik, misalnya, melalui ASEAN dengan memanfaatkan High Council
seperti termaktub dalam Treaty of Amity and Cooperationyang pernah digagas dalam
Deklarasi Bali 1976. Malaysia akan enggan menggunakan jalur ini karena takut
dikeroyok negara-negara ASEAN lainnya. Sebab, mereka memiliki persoalan perbatasan
dengan Malaysia akibat ditetapkannya klaim unilateral Malaysia berdasarkan peta
1979, seperti Filipina, Thailand, dan Singapura. Di samping itu, kedua negara juga bisa
memanfaatkan jasa baik (good office) negara yang menjadi ketua ARF (ASEAN Regional
Forum) untuk menengahi sengketa ini.

Jika langkah ketiga tersebut tidak juga berjalan, masih ada cara lain. Membawa kasus itu
ke MahkamahInternasional (MI) sebagai langkah nonpolitical legal solution. Mungkin,
ada keengganan Indonesia untuk membawa kasus tersebut ke MI karena pengalaman
pahit atas lepasnya Sipadan dan Ligitan. Tetapi, jika Indonesia mampu menunjukkan
bukti yuridis dan fakta-fakta lain yang kuat, peluang untuk memenangkan sengketa itu
cukup besar. Pasal-pasal yang ada pada UNCLOS 1982 cukup menguntungkan
Indonesia, bukti ilmiah posisi Ambalat yang merupakan kepanjangan alamiah wilayah
Kalimantan Timur, bukti sejarah bahwa wilayah itu merupakan bagian dari Kerajaan
Bulungan, dan penempatan kapal-kapal patroli TNI-AL adalah modal bangsa Indonesia
untuk memenangkan sengketa tersebut.

20 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai