Anda di halaman 1dari 20

Muhammad Akram H1A119475

TUGAS HUKUM INTERNASIONAL

DISUSUN OLEH

MUHAMMAD AKRAM

DOSEN

WAODE MUSTIKA, S.H., M.H

UNIVERSITAS HALUOLEO
FAKULTAS HUKUM

ILMU HUKUM
2019/2020

1|Page
Muhammad Akram H1A119475

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya bisa selesaikan tugas
yang telah diberikan.

Makalah ilmiah ini sudah selesai saya susun dengan semaksimal mungkin. Untuk


itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada ibu Waode Mustika, SH.,MH.
Yang telah memberikan tugas makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Saya menyadari seutuhnya bahwa masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
saya terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat
membangun dari pembaca sehingga saya bisa melakukan perbaikan tugas ini
sehingga menjadi makalah yang baik dan benar.

Akhir kata saya meminta semog tugas ini bisa memberi ma mafaat utaupun
inpirasi/pelajaran pada pembaca.

                                            

  Kendari, april 2020

PENYUSUN

2|Page
Muhammad Akram H1A119475

DAFTAR ISI
COVER ....................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ..................................................................... 2

DAFTAR ISI ............................................................................... 3

A. MENGAPA PARA PIHAK YANG BERSENGKETA WAJIB


MENGHORMATI PUTUSAN MAHKAMA INTERNASIONAL ............ 4

B. APAKAH PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MAHKAMA


INTERNASIONAL MERUPAKAN JALAN TERAKHIR BAGI PARA
PIHAK YANG BERSENGKETA ................................................... 7

C. PENDAPAT MENGAPA PENYELESAIAN SENGKETA SECARA


DAMAI LEBIH BERMARTABAT JIKA DIBANDINGKAN
PENYELESAIAN DENGAN KEKERASAN .................................... 8

D. SIKAP PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP PUTUSAN


MAHKAMA INTERNASIONAL ATAS PULAU SIPADAN DAN LIGITAN
YANG DIANGGAP MERUGIKAN ................................................ 13

E. APAKAH PUTUSAN MAHKAMA INTERNASIONAL BISA


DIMINTAKAN BANDING ........................................................... 14

3|Page
Muhammad Akram H1A119475

A. MENGAPA PARA PIHAK YANG BERSENGKETA WAJIB MENGHORMATI


PUTUSAN MAHKAMA INTERNASIONAL

Mahkamah International adalah badan kehakiman yang


terpinting dari Perserikatan bangsa bangsa (PBB)

Kita hars menghormati keputusannya karena:

1. Indonesia menjadi Anggota dari PBB

2. Berfungsi menyelesaikan kasus-kasus persengketaan internasional


yang subjeknya adalah negara sehingga negara anggota harus
menhormati

3. Keanggotaan Mahkama internasional diputuskan oleh hakim"


dengan pendidikan paling cakap diseluruh dunia

4. Keputusan dihasilkan dngn pertimbangan asas-asas umum yang


akui oleh semua negara jadi bersifat universe.

Hal hal yang perlu diketahui tentang Mahkama Internasional

1. Mahkama Internasional hanya menangani perkara antar negara

Mahkamah Internasional berdiri sejak tahun 1945 sebagai


salah satu dari enam organ utama Perserikatan Bangsa – Bangsa
(PBB). Piagam PBB kemudian menegaskan bahwa setiap Negara
Anggota PBB secara ipso facto merupakan Anggota Mahkamah
Internasional.

Selain mengacu pada Piagam PBB, tugas dan fungsi Mahkamah


Internasional juga diatur dalam Statuta Mahkamah Internasional.
Dalam Statuta inilah, yakni Pasal 34, tertulis ketentuan bahwa
hanya negara yang bisa menjadi pihak dalam suatu perkara di
Mahkamah Internasional. Dengan demikian, individu tidak bisa
mengajukan gugatan ataupun diadili di Mahkamah Internasional.

Adapun lembaga peradilan internasional yang dapat mengadili


individu atas kejahatan internaasional seperti agresi, kejahatan
perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) yang
juga berkedudukan di Belanda.

4|Page
Muhammad Akram H1A119475

Contoh lembaga peradilan lainnya yang mengadili individu


adalah International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dan
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) yang
beberapa tugasnya saat ini dijalankan oleh United Nations
International Residual Mechanism for Criminal Tribunals (IRMCT).
Selain memberikan putusan atas sengketa antar Negara, Mahkamah
Internasional juga memiliki kewenangan untuk memberikan advisory
opinion atas suatu pertanyaan hukum yang diajukan oleh Majelis
Umum PBB, Dewan Keamanan PBB, atau organ – organ PBB
lainnya.

2. Jenis Perkara yang Menjadi Yurisdiksi Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional memiliki kewenangan untuk


menangani sengketa hukum internasional yang dibawa oleh negara
kepada Mahkamah Internasional.

Pada umumnya, apabila suatu negara berniat untuk membawa


suatu sengketa yang tidak dapat diselesaikan secara bilateral dengan
negara lain, maka kedua negara yang bersengketa akan membuat
perjanjian tertulis untuk menyerahkan permasalahan mereka untuk
diputus oleh Mahkamah Internasional.

Hal ini pernah dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia ketika


meminta Mahkamah Internasional untuk memutus kepemilikan atas
Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan.

Suatu negara juga dapat mendeklarasikan bahwa mereka


mengakui yurisdiksi Mahkamah Internasional meskipun tanpa
adanya perjanjian khusus dengan negara lain. Apabila suatu negara
memproklamasikan hal ini, maka Mahkamah Internasional dianggap
memiliki compulsory jurisdiction.

Secara umum, jenis perkara yang ditangani oleh Mahkamah


Internasional meliputi perkara mengenai interpretasi atas suatu
perjanjian internasional, pertanyaan mengenai hukum internasional,
pelanggaran kewajiban internasional, dan ganti rugi atas suatu
pelanggaran kewajiban internasional.

3. Hakim Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional terdiri dari 15 orang hakim yang


berasal dari berbagai negara. Tidak boleh ada lebih dari satu hakim
yang berasal dari negara yang sama. Komposisi hakim Mahkamah
Internasional mengacu pada pengelompokan regional yang lazimnya
berlaku di PBB, yakni Afrika, Asia, Amerika Latin dan Karibia, Eropa

5|Page
Muhammad Akram H1A119475

Barat, dan Negara Barat lainnya, serta Eropa Timur. Saat ini
terdapat empat orang hakim dari Asia (Jepang, India, Tiongkok, dan
Lebanon) Pemilihan hakim Mahkamah Internasional dilakukan
setiap tiga tahun sekali di New York untuk memilih lima orang
hakim. Agar terpilih, seorang calon wajib memperoleh dukungan
suara absolut (absolute majority) di Majelis Umum dan Dewan
Keamanan.

Mahkamah Internasional dipimpin oleh seorang presiden dan


seorang wakil presiden. Presiden Mahkamah Internasional saat ini
adalah Hakim Abdulqawi Ahmed Yusuf dari Somalia, dan Wakil
Presiden Mahkamah Internasional adalah Hakim Xue Hanqin dari
Tiongkok. Keduanya terpilih pada bulan Februari 2018 dan akan
menjabat hingga Februari 2021. Dalam sejarah, belum pernah ada
orang Indonesia yang menjadi hakim Mahkamah Internasional. Dari
kawasan Asia Tenggara, hanya Filipina yang pernah memiliki hakim
Mahkamah Internasional pada tahun 1967 - 1976.

4. Indonesia dan Mahkamah Internasional

Indonesia memiliki pengalaman berperkara di Mahkamah


Internasional ketika pada tahun 1998 bersepakat dengan Malaysia
untuk meminta Mahkamah Internasional untuk memberikan
putusan atas kepemilikan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan.

Pada tahun 2002, Mahkamah Internasional memutus bahwa


Malaysia memiliki kedaulatan atas kedua pulau tersebut
berdasarkan prinsip effective occupation. Indonesia menghormati
putusan tersebut dan dibuktikan dengan menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 yang mengubah Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinast
Geografis Titik – Titik Pangkal Kepulauan Indonesia sehingga tidak
lagi menempatkan titik pangkal di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.

Keputusan Indonesia untuk menyelesaikan sengketa Sipadan


dan Ligitan dengan cara damai melalui mekanisme Mahkamah
Internasional merupakan pelaksanaan dari konstitusi yang
mengamanahkan agar Indonesia ikut melaksanakan ketertiban
dunia dan merupakan kontribusi nyata Indonesia terhadap
perkembangan hukum internasional.

Tentu saja keempat hal di atas hanya merupakan pengetahuan


awal mengenai Mahkamah Internasional. Masih banyak hal yang
dapat dipelajari dari institusi yang sangat penting itu. Agar tidak
salah pengertian lagi, mari kita perbanyak membaca dari sumber -
sumber terpercaya seperti situs resmi Mahkamah Internasional.

6|Page
Muhammad Akram H1A119475

B. APAKAH PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MAHKAMA


INTERNASIONAL MERUPAKAN JALAN TERAKHIR BAGI PARA PIHAK
YANG BERSENGKETA

Fungsi utama Mahkamah Internasional adalah untuk


menyelesaikan sengketa antarnegara-negara anggota. Lembaga ini
juga memberikan pendapat atau nasihat kepada badan-badan resmi
dan lembaga khusus yang dibentuk oleh PBB. Dalam pelaksanaan
tugasnya, Mahkamah Internasional mengacu pada konvensi-
konvensi internasional untuk menetapkan perkara yang diakui oleh
negara-negara yang sedang bersengketa. ICJ juga berpedoman pada
kebiasaan internasional yang menjadi bukti praktik umum yang
diterima sebagai hukum. Selain itu, ICJ menggunakan asas-asas
umum yang diakui oleh negara-negara yang mempunyai peradaban.
Mahkamah Internasional juga bisa menggunakan keputusan-
keputusan kehakiman dan literatur dari penerbit terkemuka dari
berbagai negara, sebagai pedoman tambahan dalam menentukan
peraturan hukum.

Menurut keterangan di situs resmi ICJ, hanya negara-negara


anggota yang bisa mengajukan kasusnya ke Mahkamah
Internasional. "Mahkamah Internasional tidak memiliki kewenangan
untuk menyelesaikan permintaan dari individu, organisasi non-
pemerintah, korporasi atau entitas swasta lainnya," tulis Mahkamah
Internasional di situsnya. Mahkamah Internasional juga tidak bisa
memberikan nasihat atau opini hukum kepada pihak-pihak tersebut
ketika bermasalah dengan pemerintah di negara masing-masing.

Penyelesaian Sengketa Bisa Diajukan Melalui Tiga Cara

Mahkamah Internasional juga tidak bisa berinisiatif


menyidangkan kasus sengketa antarnegara. "Majelis hanya bisa
menyidangkan suatu perselisihan jika diminta oleh satu negara atau
lebih," demikian pernyataan ICJ. Negara-negara yang mengajukan
penyelesaian sengketa juga harus memiliki akses ke Mahkamah
Internasional dan menerima yurisdiksinya. Dengan kata lain, negara-
negara yang bersengketa harus mau menerima pertimbangan yang
diberikan oleh Mahkamah. Ada tiga cara yang bisa diikuti negara
yang ingin mengajukan kasus sengketanya dengan negara lain ke
Mahkamah Internasional.

7|Page
Muhammad Akram H1A119475

Pertama, dengan kesepakatan khusus (special agreement). Dua


negara atau lebih yang bersengketa bersama-sama mengajukan
kasus tersebut ke Mahkamah Internasional dalam suatu
kesepakatan.

Kedua, melalui klausul khusus dalam traktat perjanjian (clause in a


treaty). Ada lebih dari 300 traktat berisi klausul-klausul yang
digunakan oleh salah satu negara untuk menerima yurisdiksi
Mahkamah Internasional ketika terjadi sengketa atau perbedaan
interpretasi mengenai penerapan traktat tersebut.

Ketiga, adanya deklarasi unilateral (unilateral declaration). Negara-


negara yang mengajukan kasus sengketanya ke Mahkamah
Internasional bisa memilih menggunakan deklarasi unilateral yang
sesuai dengan yurisdiksi Mahkamah dan mengikuti bagi negara
lainnya.
C. PENDAPAT MENGAPA PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DAMAI
LEBIH BERMARTABAT JIKA DIBANDINGKAN PENYELESAIAN DENGAN
KEKERASAN

Penyelesaian suatu sengketa internasional erat kaitannya


dengan hukum internasional yang mengatur mengenai
permasalahan yang menjadi sebuah sengketa. Sejarah
perkembangan penyelesaian sengketa internasional berhubungan
dengan sejarah terbentuknya hukum internasional sebagai
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta
mengatur hubungan negara-negara dan subjek hukum lainnya
dalam kehidupan masyarakat internasional. Upaya-upaya
penyelesaian sengketa telah menjadi perhatian penting di
masyarakat internasional sejak awal abad ke-20. Upaya-upaya ini
ditunjukan untuk menciptakan hubungan antar negara yang lebih
baik berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.
Peranan hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa
internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang
bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum
internasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum internasional
mengenal dua cara penyelesaian, yaitu penyelesaian secara damai
dan militer (kekerasan). Dalam perkembangannya kemudian, dengan
semakin berkembangnya kekuatan militer serta senjata pemusnah
massal, Masyarakat internasional semakin menyadari besarnya
bahaya dari penggunaan perang. Karenanya dilakukan upaya untuk

8|Page
Muhammad Akram H1A119475

menghilangkan atau sedikitnya membatasi penggunaan penyelesaian


sengketa secara kekerasan.

         Menyelesaikan sengketa-sengketa internasional sedini mungkin,


dengan cara yang seadil-adilnya bagi para pihak yang telibat,
merupakan tujuan hukum internasional sejak lama. Kaidah-kaidah
serta prosedur-prosedur yang terkait sebagian merupakan kebiasaan
praktek dan sebagian lagi berupa sejumlah konvensi yang membuat
hukum yang sangat penting seperti Konvensi The Hague 1899 dan
1907 untuk Penyelesaian secara Damai Sengketa-sengketa
Internasional dan Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
dirumuskan di San Fransisco tahun 1945. Salah satu tujuan pokok
Charter tersebut adalah membentuk Organisasi Persetujuan
Perserikatan Bangsa Bangsa untuk mempermudah penyelesaian
secara damai perselisihan-perselisihan antara negara-negara.

Pada umumnya, metode-metode penyelesaian sengketa internasional


publik digolongkan dalam dua kategori:

 Cara-cara penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak telah


dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang
bersahabat.

 Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan,


yaitu apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui
kekerasan karena jalur damai tidak berhasil.

Penyelesaian Sengketa Secara Damai

Dalam membahas mengenai Penyelesaian Sengketa Secara Damai,


Ada beberapa Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai, yang
telah saya bahas pada artikel Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara
Damai.

Penyelesaian sengketa secara damai merupakan konsekuensi


langsung dari ketentuan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang berbunyi:

‘All Members shall refrain in their international relations from the


threat or use of force against the territorial integrity or political
independence of any state, or in any other manner inconsistent with
the Purposes of the United Nations’.

Ketentuan Pasal 2 ayat (4) ini melarang negara anggota


menggunakan kekerasan dalam hubungannya satu sama lain.
Dengan demikian pelarangan penggunaan kekerasan dan
penyelesaian sengketa secara damai telah merupakan norma-norma
imperatif dalam hubungan antar bangsa. Oleh karena itu hukum

9|Page
Muhammad Akram H1A119475

internasional telah menyediakan berbagai cara penyelesaian


sengketa internasional secara damai demi terpeliharanya perdamaian
dan keamanan serta terciptanya hubungan antar bangsa yang
serasi.

Metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara damai


atau bersahabat dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi.
Pengklasifikasian ini tidak berarti bahwa proses-proses ini secara
kaku terpisah sama sekali, yang masing-masing hanya sesuai untuk
memecahkan satu kelompok sengketa tertentu. Posisi ini tidak
demikian dalam praktek. Klasifikasi metode penyelesaian secara
damai dapat dibagi menjadi:

1. Negosiasi, Pencarian Fakta, Jasa-jasa baik (Good offices), mediasi


(Mediations), konsiliasi (Consiliations) dan Penyelidikan;

2. Arbitrase (Arbitration);

3. Penyelesaian secara Yudisial (Judicial Settlement).

Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Kekerasan

Apabila negara-negara tidak mencapai kesepakatan untuk


menyelesaikan sengketasengketa mereka melalui jalur diplomasi
atau damai (bersahabat), maka salah satu cara yang dapat
digunakan sebagai jalan keluar penyelesaian sengketa adalah
melalui jalur pemaksaan atau kekerasan. Penyelesaian sengketa
internasional dengan menggunakan kekerasan secara garis besar
dibagi menjadi:

1. Perang;

2. Retorsi (retortion);

3. Tindakan-tindakan pembalasan (repraisals)

4. Blokade secara damai;

5. Intervensi (intervention).

 Perang

Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara


lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian sengketa
di mana negara yang ditaklukan tersebut tidak memiliki alternatif
lain selain mematuhinya. Cara perang untuk menyelesaikan
sengketa merupakan cara yang telah diakui dan di praktikkan sejak

10 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau


instrumen dan kebijakan luar negeri untuk memaksakan hak-hak
dan pemahaman mereka mengenai aturan-aturan hukum
internasional. Dalam perkembangannya kemudian, seiring dengan
berkembangnya teknologi senjata pemusnah massal, masyarakat
internasional menyadari besarnya bahaya dari penggunaan perang,
karenanya masyarakat internasional sekarang ini tengah berupaya
untuk menghilangkan cara penyelesaian ini atau sedikitnya dibatasi
penggunaannya.

Hukum internasional sebenarnya telah melarang penggunaan


kekerasan bersenjata dalam penyelesaian sengketa internasional.
Dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB menyebutkan ‘All members shall
settle their international disputes by peaceful means in such a manner
that international peace and security are not endangered’, Pasal
tersebut menyebutkan bahwa setiap negara anggota PBB diwajibkan
untuk menempuh cara-cara penyelesian sengketa secara damai.

 Restorsi (Restortion)

Retorsi merupakan istilah untuk melakukan pembalasan oleh suatu


negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas dari negara lain,
balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan
sah yang tidak bersahabat, misalnya pemutusan hubungan
diplomatik, pencabutan hak istimewa, penghentian bantuan ekonomi
dan penarikan konsesi pajak dan tarif.

Keadaan yang memberikan penggunaan retorsi hingga kini belum


dapat secara pasti ditentukan karena pelaksanaan retorsi sangat
beraneka ragam. Dalam Pasal 2 paragraf 3 Piagam PBB ditetapkan
bahwa anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyelesaikan
sengketa mereka dengan cara damai sehingga tidak mengganggu
perdamaian dan keamanan internasional dan keadilan. Penggunaan
retorsi secara sah oleh negara anggota PBB terikat oleh ketentuan
piagam tersebut.

 Tindakan-Tindakan Pembalasan (Repraisals)

Reprisal adalah upaya paksa untuk memperoleh jaminan ganti rugi,


akan tetapi terbatas pada penahanan orang dan benda. Pembalasan
merupakan upaya yang dilakukan oleh suatu negara terhadap
negara lain dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul oleh karena negara tersebut telah melakukan tindakan yang
tidak dibenarkan. Perbedaan tindakan repraisal dan retorsi adalah
bahwa pembalasan adalah mencakup tindakan yang pada umumnya
dapat dikatakan sebagai tindakan ilegal, sedangkan retorsi meliputi
tindakan balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum.

11 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

Pembalasan dapat dilakukan dengan bentuk pemboikotan barang-


barang terhadap suatu negara tertentu, suatu embargo atau suatu
penyanderaan terhadap seseorang. Saat ini pada umumnya bahwa
suatu pembalasan hanya dibenarkan apabila negara yang menjadi
tujuan tindakan ini bersalah karena melakukan tindakan yang
sifatnya merupakan pelanggaran internasional. Reprisal dapat
dilakukan dengan syarat sasaran reprisal merupakan negara yang
melakukan pelanggaran internasional, negara yang bersangkutan
telah terlebih dahulu diminta untuk mengganti kerugian yang
muncul akibat tindakannya, serta tindakan reprisal harus dilakukan
dengan proporsional dan tidak berlebihan.

 Blokade Secara Damai (Pasific Blockade)

Blokade secara damai adalah tindakan blokade yang dilakukan pada


waktu damai. Tindakan ini pada umumnya ditunjukan untuk
memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk mengganti
kerugian oleh negara yang melakukan blokade. Blokade secara
damai dapat dipandang sebagai suatu prosedur kolektif yang diakui
untuk memperlancar penyelesaian sengketa antara negara. Secara
tegas tindakan blokade disebut dalam Pasal 42 Piagam PBB sebagai
suatu tindakan yang boleh diprakasai oleh Dewan Keamanan demi
untuk memelihara kedamaian dunia.

 Intervensi (Intervention)

Internvensi merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa


internasional dengan melakukan tindakan campur tangan terhadap
kemerdekaan politik negara tertentu. Hukum internasional pada
prinsipnya menegaskan bahwa suatu negara dilarang untuk turut
campur dalam urusan negara lain. Hal ini ditekankan dengan jelas
dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (7) Piagam PBB, yang mana melarang
negara anggota untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri
negara lain dalam bentuk apapun. Pengecualian terhadap hal ini
diberikan kepada Dewan Keamanan PBB yang mana berhubungan
dengan pelaksanaan Bab VII Piagam PBB. Suatu negara dapat
melakukan tindakan intervensi dengan beberapa alasan, J.G Starke
beranggapan bahwa tindakan intervensi negara atas kedaulatan
negara lain belum tentu merupakan suatu tindakan yang melanggar
hukum. Ia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu
dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum
internasional.

12 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

Tindakan tersebut adalah apabila:

 Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB;

 Untuk melindungi hak dan kepentingan serta keselamatan warga


negaranya di negara lain;

 Jika negara yang diintervensi dianggap telah melakukan


pelanggaran berat atas hukum internasional.

Suatu tindakan intervensi harus dilakukan dengan mendapatkan


izin terlebih dahulu melalui Dewan Keamanan PBB. Izin ini
berbentuk rekomendasi yang berisikan pertimbangan-pertimbangan
terhadap keadaan yang menjadi alasan tindakan intervensi dan
apakah tindakan intervensi diperlukan dalam keadaan tersebut.
D. SIKAP PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP PUTUSAN MAHKAMA
INTERNASIONAL ATAS PULAU SIPADAN DAN LIGITAN YANG DIANGGAP
MERUGIKAN

Mahkamah Internasional (MI) memenangkan Malaysia dalam


kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia.
Keputusan tersebut dibacakan Ketua Pengadilan Gilbert Guillaume
di Gedung MI Den Haag, Belanda pada Selasa 17 Desember 2002
atau tepat 17 tahun silam.

MI menerima argumentasi Indonesia bahwa Pulau Sipadan dan


Ligitan tidak pernah masuk dalam Kesultanan Sulu seperti yang
diklaim Malaysia. Namun, MI juga mengakui klaim-klaim Malaysia
bahwa mereka telah melakukan administrasi dan pengelolaan
konservasi alam di kedua pulau yang terletak di sebelah timur
Kalimantan itu.

Pada babak akhir, MI menilai, argumentasi yang diajukan Indonesia


mengenai kepemilikan Sipadan dan Ligitan yang terletak di sebelah
timur Pulau Sebatik, Kalimantan Timur itu tidak relevan. Karena itu,
secara defacto dan dejure, dua pulau yang luasnya masing-masing
10,4 hektare untuk Sipadan dan 7,4 ha untuk Ligitan itu menjadi
milik Malaysia. Keputusan yang diambil melalui pemungutan suara
itu bersifat mengikat bagi Indonesia dan Malaysia. Kedua negara
bertetangga itu juga tidak dapat lagi mengajukan banding. Sebelum
diputus, anggota delegasi Indonesia Amris Hasan mengakui argumen
Malaysia memang lebih kuat dalam kasus sengketa Pulau Sipadan
dan Ligitan ini. Menurut dia, Negeri Jiran diuntungkan dengan
alasan change of title atau rantai kepemilikan dan argumen
effectivités (effective occupation) yang menyatakan kedua pulau itu
lebih banyak dikelola orang Malaysia. Mahkamah Internasional juga

13 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

memandang situasi Pulau Sipadan-Ligitan lebih stabil di bawah


pengaturan pemerintahan Malaysia.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dalam konferensi pers usai


putusan di Den Haag, Belanda menyatakan, pemerintah Indonesia
menerima keputusan Mahkamah Internasional yang memutuskan
Pulau Sipadan dan Ligitan masuk ke dalam kedaulatan Malaysia.
Kendati begitu, tak bisa dipungkiri bahwa pemerintah Indonesia
merasa kecewa dengan keputusan yang mengikat dan tak bisa
dibanding lagi itu. Sementara itu, Wakil Presiden Hamzah Haz
meminta masyarakat bisa menerima keputusan Mahkamah
Internasional yang memenangkan Malaysia atas kepemilikan Pulau
Sipadan dan Ligitan. Pasalnya, diserahkannya sengketa tersebut ke
Mahkamah Internasional sesuai dengan keinginan kedua negara.

Menurut Hamzah Haz, keputusan tersebut harus disadari sebagai


konsekuensi atas diserahkannya persoalan Pulau Sipadan dan
Ligitan kepada Mahkamah Internsional. Selain itu, konflik sengketa
Pulau Sipadan dan Ligitan dinilai telah banyak menguras energi
pemerintah sejak zaman Orde Baru. Karenanya, kini Hamzah Haz
meminta masyarakat mengkonsentrasikan diri pada persoalan-
persoalan lain yang lebih penting untuk dituntaskan.
E. APAKAH PUTUSAN MAHKAMA INTERNASIONAL BISA DIMINTAKAN
BANDING

Secara umum mekanisme beracara di MI akan dijelaskan


berurutan menurut bagiannya. Perlu digarisbawahi bahwa
mekanisme beracara ini adalah untuk kasus-kasus yang sifatnya
contentious.

1. Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement)


atau Aplikasi (Application)

Bagian awal proses beracara dapat dilakukan dengan penyerahan


perjanjian khusus (bilateral) antara kedua belah pihak untuk
menerima jurisdiksi MI. Perjanjian khusus ini harus berisikan inti
sengketa dan identitas para pihak. Karena tidak ada pembagian 
sebelumnya apakah negara A disebut sebagai Respondent atau
Applicant, maka MI membedakan para pihak dengan cara memakai
stroke oblique atau garis miring pembeda, contoh
Indonesia/Malaysia.

Selain penyerahan perjanjian, juga ada bentuk lain proses awal


beracara di MI, yaitu dengan penyerahan aplikasi (unilateral) oleh
salah satu pihak. Pihak yang menyerahkan aplikasi berisikan
identitas, Negara yang menjadi pihak lawan dan subjek dari konflik,

14 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

disebut sebagai Applicant. Sementara negara yang lain disebut


Respondent. Untuk bentuk ini, MI menggunakan singkatan v. atau
versus dalam bahasa latinnya guna membedakan para pihak yang
bersengketa, contoh Indonesia v. Malaysia Perjanjian khusus atau
aplikasi tersebut biasanya ditandatangani oleh wakil atau agent yang
dilampirkan juga surat dari Menteri Luar Negeri atau Duta Besar di
Hague dari negara yang bersangkutan.

Setelah diterima oleh Registrar (selanjutnya register)  MI dan


dilengkapi kekurangan-kekurangan jika ada sesuai dengan statuta
MI dan Aturan Mahkamah, maka register MI akan mengirimkan
perjanjian atau aplikasi tersebut ke kedua belah pihak dan negara
anggota dari MI. Kemudian hal tersebut akan dimasukan ke dalam
Daftar Umum Mahkamah atau Court’s General Lists yang akan
diteruskan dengan press release. Versi dua bahasa (Perancis dan
Inggris) dari perjanjian atau aplikasi tersebut setelah didaftar, dialih-
bahasakan dan dicetak, akan dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB,
negara yang mengakui jurisdiksi MI dan setiap orang yang
memintanya. Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi diterima oleh
register adalah tanggal permulaan dimulainya proses beracara di MI.

Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk


beracara di MI, maka tahap yang selanjutnya adalah tahap
pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan
presentasi pembelaan (oral pleadings). Pada dasarnya, MI
memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan
utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis maupun
presentasi pembelaan.

2. Pembelaan Tertulis (Written Pleadings)

              Pada tahap ini urutan pembelaannya jika tidak ditentukan


lain oleh para pihak, baik dalam hal perjanjian khusus maupun
aplikasi, adalah Memorial dan Tanggapan Memorial (Counter
Memorial). Jika ternyata para pihak   meminta kesempatan
pertimbangan dan MI menyetujuinya, maka dapat diberikan
kesempatan untuk memberikan Jawaban (Reply).

Batasan waktu yang diberikan untuk menyusun memorial maupun


tanggapan memorial ditentukan secara sama oleh MI, jika kedua
belah pihak tidak mengaturnya. Ketentuan yang serupa juga berlaku
dalam hal pemilihan bahasa resmi yang nantinya akan dipakai.

Sebuah memorial harus berisikan sebuah pernyataan fakta, hukum


yang relevan dan submissions yang diminta, sedangkan tanggapan
memorial harus berisikan  argumen pendukung atau penolakan
atas  fakta yang disebutkan di dalam memorial, tambahan fakta baru

15 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

jika diperlukan, jawaban atas pernyataan hukum memorial dan


petitum yang diminta. Dokumen pendukung biasanya langsung
menyertai memorial, akan tetapi jika dokumen tersebut terlalu
panjang, maka dimasukan ke dalam lampiran. Di dalam tahap
tertulis ini, MI dapat meminta dokumen dan penjelasan yang relevan
dari para pihak yang bersengketa

3. Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings)

Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh


para pihak, maka dimulailah proses presentasi pembelaan atau oral
pleadings. MI menentukan tanggal hearing dari kasus yang diajukan
dengan pertimbangan dari MI dan para pihak. Tahap ini bersifat
terbuka untuk umum atau open for public, jika para pihak tidak
menentukan lain dan disetujui oleh MI.

Para pihak mendapat dua kali kesempatan untuk memberikan 


presentasi  pembelaan di depan MI. Jika para pihak menginginkan
pengunaan bahasa selain bahasa resmi dari MI, maka pihak tersebut
harus memberitahukan terlebih dahulu kepada register guna
dipersiapkan terjemahan simultan yang telah dilakukan sejak 1965.

Waktu untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan


tetapi jika MI beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu
untuk hearing tersebut dapat diperpanjang. Akan tetapi menurut
Aturan Mahkamah 1978, pasal 60, proses hearing tersebut berada
dibawah pengawasan MI dan waktu hearing disesuaikan dengan
pertimbangan MI,

“The oral statements made on behalf of each party shall be as succinct


as possible within the limits of what is requisite for the adequate
presentation of that party’s contentions at the hearing. Accordingly,
they shall be directed to the issues that still divide the parties, and
shall not go over the whole ground covered by the pleadings, or merely
repeat the facts and arguments these contain. The Court may at any
time prior to or during the hearing indicate any points or issues to
which it would like the parties specially to address themselves, or on
which it considers that there has been sufficient argument.”

5. Perihal Khusus

              Selain dari proses normal beracara di MI, juga ada perihal
khusus yang dapat mempengaruhi jalannya proses beracara
tersebut. Perihal tersebut adalah Keberatan Awal atau Preliminary
Objection, Ketidakhadiran Salah Satu Pihak atau Non-Appearance,
Keputusan Sela/Sementara atau Provisional Measures, Beracara
Bersama atau Joinder Proceedings dan Intervensi atau Intervention.

16 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

6. Keberatan Awal (Preliminary Objections)

Keberatan awal diajukan oleh pihak yang dituduhkan atau


respondent atas dasar aplikasi yang diajukan oleh pihak applicant
untuk mencegah MI dari proses pengambilan keputusan. Adapun
alasan yang biasanya digunakan untuk melakukan Keberatan Awal
ini adalah bahwa MI tidak mempunyai jurisdiksi, aplikasi yang
diajukan tidak sempurna dan hal lain yang dianggap signifikan oleh
MI. Adapun keputusan MI berkenaan dengan Keberatan Awal ini
adalah antara lain bahwa MI akan menerima Keberatan Awal
tersebut kemudian menutup kasus yang diajukan dan menolak
kemudian meneruskan proses beracara Keberatan Awal ini diatur
dalam pasal 79 Aturan Mahkamah 1978.

7.  Ketidakhadiran Salah Satu Pihak (Non-Appearance)

Non-Appearance biasanya dilakukan oleh pihak respondent dengan


dasar antara lain menolak jurisdiksi MI. Akan tetapi ketidakhadiran
pihak respondent ini tidak menghentikan jalannya proses beracara di
MI. Proses normal beracara baik tertulis maupun presentasi akan
terus berjalan yang kemudian diberikan keputusan MI.

8. Keputusan Sela/Sementara (Provisional Measures)

Jika pada suatu waktu dalam proses beracara terjadi hal-hal yang
akan membahayakan subjek dari applikasi yang diajukan, maka
pihak applicant dapat meminta MI untuk mengindikasikan usaha-
usaha perlindungan (interim measures of protection) atau keputusan
sela (provisional measures). MI dapat meminta para pihak untuk
tidak melakukan hal-hal yang dapat membahayakan efektifitas
keputusan MI atas permintaan Keputusan Sela tersebut. Ketentuan
mengenai Keputusan Sementara ini diatur di dalam Aturan
Mahkamah pasal 73-78

9.  Beracara Bersama (Joinder Proceedings)

Jika MI menemukan bahwa ada dua pihak atau lebih dari proses
beracara yang berbeda, akan tetapi mempunyai argumen dan
petitum yang sama atas satu pihak lawan yang sama, maka MI dapat
memerintahkan adanya proses beracara bersama (joinder
proceedings). Para pihak tersebut hanya bisa mempunyai satu hakim
ad hoc dengan satu pembelaan baik tertulis maupun presentasi yang
digabung untuk melawan satu pihak yang sama.

17 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

10. Intervensi (Intervention)

MI memberikan hak kepada Negara lain (non-disputant party) yang


bukan pihak dari sengketa di MI untuk melakukan intervensi atas
sengketa yang diajukan. Hak ini dapat diajukan jika Negara tersebut
beranggapan bahwa ada kepentingan dari sisi hukum atau legal
nature interest yang akan terkena dengan adanya keputusan dari MI.
Lebih jauh mengenai intervensi ini akan dibahas pada bab
berikutnya.

11. Keputusan (Judgment)

Ada tiga cara untuk sebuah kasus dianggap telah selesai. Pertama,
para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara
berakhir. Kedua, pihak applicant atau kedua belah pihak telah
sepakat untuk menarik diri dari proses beracara yang mana secara
otomatis maka kasus itu dianggap selesai. Dan, ketiga, MI memutus
kasus tersebut dengan keputusan yang dibuat berdasarkan
pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan.

Selain itu pendapat hakim MI dibagi atas tiga bagian, yaitu pendapat
yang menolak atau dissenting opinion, pendapat yang menyetujui
tetapi berbeda dalam hal tertentu atau separate opinions dan
pendapat yang menyetujui atau declarations.

F.   Putusan Mahkamah Internasional

Suatu sengketa yang diperiksa oleh Mahkamah Internasional dapat


berakhir karena hal-hal sebagai berikut :

1. Adanya kesepakatan dari para pihak

Kesepakatan ini dapat dialihkan pada setiap tahap persidangan


dengan memberitahukan kepada Mahkamah bahwa mereka telah
mencapai kesepakatan. Dalam hal terjadinya kesepakatan,
Mahkamah akan mengeluarkan surat putusan (order) yang berisi
penghapusan sengketa dari daftar Mahkamah. Contoh hal seperti ini
tampak dalam sengketa yang ditangani PCIJ yaitu the Delimitation of
the Territorial Waters between Island of Castello and Coasts of
Anatolia, Losinger, Bochgrave (1973)

2. Tidak dilanjutkannya persidangan

Suatu Negara penuntut atau pemohon setiap waktu dapat


memeberitahukan Mahkamah bahwa mereka telah sepakat untuk
tidak melanjutkanpersidangan atau kedua belah pihak menyatakan
bahwa mereka sepakat untuk menarik kembali sengketanya.

18 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

3. Dikeluarkannya Putusan (Judgment)

Ada beberapa cara yaitu :

a. Putusan diterbitkan untuk masyarakat luas

Putusan tersebut ipublikasikan secara luas memiliki segi positif


yaitu telah memberikan sumbangan yang berharga bagi
perkembangan hukum internasional dengan argument-argumen
hukum dan pendapat –pendapat para hakim dimana telah menjadi
“sumber hukum” penting yang kemudian banyak diikuti oleh
putusan-putusan selanjutnya.

b. Pendapat Para Hakim, terdiri dari :

 Dissenting Opinion,

Yaitu suatu pendapat hakim yang tidak setuju dengan satu atau
beberapa hal dari putusan Mahkamah, khusunya dasar hukum dan
argumentasi dari putusan dan akibatnya mengeluarkan putusan
atau pendapat yang menetang putusan Mahkamah tersebut.

 Separate Opinion

Yaitu suatu pendapat yang menyatakan dukungan seorang hakim


terhadap utusan Mahkamah khusunya mengenai ketentuan hukum
yang digunakan dan beberapa aspek yang menurutnya penting,
namun ia sendiri tidak sepaham dengan semua atau beberapa
argumentasi Mahkamah meskipun akhirnya isi putusan sama
dengan Mahkamah.

c. Putusan Mengikat Para Pihak

Sifat putusan Mahkamah adalah mengikat, final, dan tidak ada


banding.  Putusan Mahkamah hanya mengikat para pihak yang
sengketa dan tidak mengikuti prinsip stare decisis (sifat mengikat
preseden) seperti yang dikenal dalam system hukum Common Law.

d. Penafsiran dan Perubahan Putusan.

Wewenang untuk menafsirkan dan mengubah putusan berada di


tangan Mahkamah dengan ketentuan :

 Atas Permo

19 | P a g e
Muhammad Akram H1A119475

20 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai