Anda di halaman 1dari 9

PERANAN MAHKAMAH INTERNASIONAL (INTERNATIONAL

COURT OF JUSTICE) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM


LINGKUNGAN INTERNASIONAL
ANDREAS PRAMUDIANTO,SH
PUSAT PENELITIAN SUMBERDAYA MANUSIA DAN LINGKUNGAN
LEMBAGA PENELITIAN-UNIVERSITAS INDONESIA

1. PENDAHULUAN
2. LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA MAHKAMAH INTERNASIONAL
3. MAHKAMAH INTERNASIONAL SEBAGAI SALAH SATU BADAN PBB
4. PROSES PENYELESAIAN SENGKETA OLEH MAHKAMAH INTERNASIONAL
5. MAHKAMAH INTERNASIONAL DAN KASUS-KASUS HUKUM LINGKUNGAN
6. MENDEFINISIKAN KEMBALI PERANAN MAHKAMAH INTERNASIONAL
7. PENUTUP

1. Pendahuluan
Perkembangan hukum internasional khususnya mengenai pengajuan kasus-kasus ke
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam lima tahun terakhir ini
telah menghadapi babak baru. Paling tidak perhatian terhadap kasus-kasus yang
menyangkut persoalan lingkungan hidup khususnya sumberdaya alam telah menjadi
agenda penting, walaupun dalam kasus-kasus terdahulu hanya merupakan bagian dari
kasus mengenai sengketa perbatasan. Hal ini dapat diketahui bahwa Mahkamah
International telah menerima dua kasus penting yang berkaitan dengan masalah
lingkungan hidup khususnya mengenai pengelolaan sumberdaya alam yaitu Case
concerning Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v Australia) dan GabcikovoNagymaros Project (Hungary v. Slovakia). Mengingat kedua kasus ini memiliki
karakteristik tersendiri maka dengan pertimbangan Pasal 26 Piagam Mahkamah
Internasional telah dibentuk the Chamber of Environmental Disputte pada tanggal 19 Juli
1993.
Dalam kasus Certain Phosphat di Nauru gugatan terhadap Australia diajukan karena
sebagai anggota Dewan Perwalian PBB yang ditugaskan untuk menangani persiapan
kemerdekaan Nauru, Australia dianggap telah gagal melaksanakan tugasnya. Bahkan
kewajibannya untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan pembangunan justru
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dengan tidak merehabilitasi kerusakan akibat
proyek penambangan posphat. Dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros Project, sengketa
mengenai proyek pembangunan suatu bendungan khususnya menyangkut soal
pelaksanaan perjanjian pembangunan telah menimbulkan dampak lingkungan dengan
terancamnya sumberdaya alam hayati yang ada di sekitar Sungai Danube.
Sebenarnya sudah sejak dahulu kala sebelum menjadi Mahkamah Internasional

(International Court of Justice atau ICJ) kasus lingkungan hidup khususnya sumberdaya
alam dalam arti luas pernah ditangani oleh Mahkamah Internasional Permanen (PICJ)
Seperti dalam penyelesaian kasus pengelolaan sumberdaya air di antara negara-negara
yang berkepentingan telah diterima dua kasus yaitu Diversion of the Waters from the
River Meuse Case (Netherland v. Belgium) dan Territorial Jurisdiction of the
International Commission of the River Oder Case 1929.
Mahkamah Internasional juga telah beberapa kali menangani sengketa yang secara tidak
langsung bersinggungan juga dengan persoalan sumberdaya alam. Umumnya kasus-kasus
tersebut sangat erat persoalannya dengan masalah perbatasan negara yang kaya akan
sumber daya alam hayati maupun non hayati. Dalam kasus perebutan wilayah perairan
yang kaya akan sumberdaya perikanan telah diselesaikan dua kasus yang terkenal yaitu
Anglo-Norwegian Fisheries Case (United Kingdom v. Norway)(1951) dan Fisheries
Jurisdiction (UK v. Iceland v. Federal Republic Germany) (1974). Untuk Gulf of Maine
Case (USA v. Canada) 1984, Mahkamah Internasional juga memperhatikan adanya
sumberdaya alam yang ada melekat dalam batas-batas geografis.
Dalam kasus-kasus perbatasan yang menyangkut landas kontinen yang kaya akan
sumberdaya alam non hayati Mahkamah Internasional juga telah menerima dan
menyelesaikan beberapa kasus seperti North Sea Continental Shelf (1969), Continental
Shelf (Libyian Arab Jamahiriya v. Malta) (1985) dan Continental Shelf ( Tunisia v.
Libya)(1982).
2. Latar Belakang Terbentuknya Mahkamah Internasional
Terbentuknya Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) tidak terlepas
dari hasil konperensi internasional yang diadakan di San Fransisco pada tahun 1945.
Konperensi ini juga telah melahirkan Perserikatan Bangsa-bangsa (The United
Nations/UN) yang merupakan organisasi internasional yang memiliki internasional legal
personal.
Ide mengenai lahirnya PBB tidak terlepas dari konsep pembentukan Liga Bangsa-bangsa
(League of Nations) tahun 1922 yang juga mendirikan Mahkamah Internasional
Permanen (The Permanent Court of International Justice/PCIJ) sebagai upaya untuk
mempertahankan perdamaian serta upaya menyelesaikan sengketa secara damai.
Namun ada perbedaan mendasar antara PCIJ dan ICJ yaitu bahwa negara anggota Liga
Bangsa-bangsa tidak secara otomatis menjadi anggota PCIJ. Hal ini berbeda dengan
anggota PBB yang otomatis juga merupakan anggota atau pihak yang dapat berperkara
dalam Mahkamah Internasional berdasarkan pasal 19 (1) Piagam Mahkamah
Internasional.
Mahkamah Internasional dibentuk berdasarkan suatu statuta yang dikenal dengan nama
Statuta of International Court of Justice. Statuta ini dibentuk berdasarkan statuta
Mahkamah Internasional Permanen/PCIJ yang telah dibubarkan dengan berbagai
penyesuaian dan perombakan sesuai keadaan organisasi yang baru yaitu sebagai salah
satu organ utama PBB.
Dengan demikian muncul beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Mahkamah
Internasional adalah pengganti dari Mahkamah Internasional Permanen/PCIJ yang telah
dibubarkan. Sedangkan Pasal 36 (5) Statuta Mahkamah Internasional secara tegas
menyatakan bahwa bila ada negara yang menerima yurisdiksi PCIJ dengan suatu

deklarasi sepihak maka hal ini dianggap juga ditujukan kepada Mahkamah Internasional.
Walaupun demikian hal ini masih tergantung apakah deklarasi tersebut masih berlaku dan
memiliki syarat-syarat tertentu.
Sebagai contoh gugatan yang dilakukan oleh Portugal terhadap India dalam kasus The
Right of Passage didasarkan pada Deklarasi tentang penerimaan yurisdiksi PCIJ oleh
India pada tahun 1940. Gugatan Portugal yang diajukan kepada Mahkamah Internasional
pada tahun 1955 masih dianggap tetap berlaku.
Selain itu pasal 37 Statuta Mahkamah menegaskan bahwa suatu perjanjian atau konvensi
yang masih mempunyai kekuatan berlaku dan dalam klausulnya menyatakan bahwa bila
terjadi sengketa antar pihak-pihak akan diselesaikan ke PCIJ, maka penyelesaian
sengketa tersebut harus dianggap ditujukan kepada Mahkamah internasional. Hal lainnya
yang memperkuat pendapat bahwa Mahkamah Internasional adalah pengganti PCIJ
adalah dalam ketentuan hukum acara yang berlaku atau Rules of Court berasal dari Rule
of Court PCIJ yang mengalami perubahan.
Dengan demikian terbentuknya Mahkamah Internasional tidak bisa dilepaskan dari peran
Mahkamah Internasional permanen yang dibentuk oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun
1922. Fakta yang muncul banyak kasus-kasu yang PCIJ yang tidak selesai dilanjutkan
oleh Mahkamah Internasional.
3. Mahkamah Internasional Sebagai Salah Satu Organ Utama PBB
Perserikatan Bangsa-bangsa memiliki beberapa organ utama diantaranya Majelis Umum,
Dewan Keamanan, Dewan perwalian, Sekretariat Jenderal dan Dewan Ekonomi dan
Sosial serta Mahkamah Internasional. Hal ini ditegaskan didalam pasal 7 (1) Piagam PBB
yang menyatakan :
There are established as the principal organs of the United Nations a General Assembly,
a Security Council, an Economic and Social Council, a Trusteeship Council, an
International Court of Justice and a Secretariat.
Karena memiliki kedudukan yang sederajat dengan organ-organ utama PBB yang lainnya
maka Mahkamah Internasional bukan merupakan badan peradilan umum PBB yang
bersifat memaksa terhadap organ lainnya. Mahkamah hanya memiliki kewenangan untuk
memberi nasihat apabila diminta dan pemberian nasihat itu tidak mengikat atau meiliki
kedudukan lebih tinggi dari keputusan Majelis Umum PBB. Demikian juga halnya dalam
pemeriksaan berbagai perkara yang diajukan kepada Mahkamah InternasioNal maka
organ-organ PBB lainnya tidak boleh mencampuri urusan Mahkamah.
Sebagai salah satu organ utama PBB terbentuknya Mahkamah Internasional tidak terlepas
dari tujuan dibentuknya PBB. Hal ini tercantum secara tegas didalam Piagam PBB yang
menyatakan :
Untuk mempertahankan perdamaian dan kemanan dunia dan untuk mencapai tujuan
tersebut perlu mengadakan tindakan-tindakan bersama yang efektif untuk mencegah dan
meniadakan ancaman terhadap perdamaian serta untuk menanggulangi tindakan-tindakan
agresi atau pelanggaran atas perdamaian dengan cara damai sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan dan ketentuan hukum internasional, perukunana atau enyelesaian sengketa

internasional atau keadaan yang mengancam perdamaian internasional.


Tujuan diatas menegaskan perlunya dibentuk suatu lembaga atau badan peradilan yang
diberi wewenang menyelesaikan sengketa secara damai. Piagam PBB mengatur
mengenai Mahkamah Internasional pada Bab XIV khususnya pasal 92 hingga 96.
4. Proses Penyelesaian Sengketa Oleh Mahkamah Internasional
Dalam proses penyelesaian sengketa Mahkamah Internasional bersifat pasif artinya hanya
akan bereaksi dan mengambil tindakan-tindakan bila ada pihak-pihak berperkara
mengajukan ke Mahkamah Internasional. Dengan kata lain Mahkamah Internasional
tidak dapat mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk memulai suatu perkara. Dalam
mengajukan perkara terdapat 2 tugas mahkamah yaitu menerima perkara yang bersifat
kewenangan memberi nasihat (advisory opinion) dan menerima perkara yang
wewenangnya untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan oleh negara-negara
(contensious case).
Sebenarnya hanya negara sebagai pihak yang boleh mengajukan perkara kepada
Mahkamah Internasional. Karena itu perseorangan, badan hukum, serta organisasi
internasional tidak dapat menjadi pihak untuk berperkara ke Mahkamah internasional.
Namun demikian berdasarkan Advisory opinion tanggal 11 April 1949 Mahkamah
Internasional secara tegas menyatakan bahwa Perserikatan bangsa-bangsa adalah
merupakan pribadi hukum yang dapat mengajukan klaim internasional atau gugatan
terhadap negara. Advisory Opinion ini telah membuka kesempatan kepada PBB untuk
menjadi pihak dalam perkara kontradiktor (contentious case).
Dalam upaya penyelesaian perkara ke Mahkamah Internasional bukanlah merupakan
kewajiban negara namun hanya bersifat fakultatif. Artinya negara dalam memilih caracara penyelesaian sengketa dapat melalui berbagai cara lain seperti saluran diplomatik,
mediasi, arbitrasi, dan cara-cara lain yang dilakukan secara damai. Dengan demikian
penyelesaian perkara yang diajukan ke Mahkamah Internasional bersifat pilihan dan atas
dasar sukarela bagi pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 (1)
Piagam PBB.
Meskipun Mahkamah Internasional adalah merupakan organ utama PBB dan anggota
PBB otomatis dapat berperkara melalui Mahkamah Internasional, namun dalam
kenyataannya bukanlah merupakan kewajiban untuk menyelesaikan sengketa pada badan
peradilan ini. Beberapa negara tidak berkemauan untuk menyelesaikan perkaranya
melalaui Mahkamah Internasional. Sebagai contoh dalam perkara Kepulauan Malvinas
tahun 1955 dimana Inggris menggugat Argentina dan Chili ke Mahkamah Internasional
namun Chili dan Argentina menolak kewenangan Mahkamah Internasional untuk
memeriksa perkara ini.
Perlu dicatat bahwa para hakim yang duduk di Mahkamah Internasional tidak mewakili
negaranya , namun dipilih dan diangkat berdasarkan persyaratan yang bersifat individual
seperti keahliannya dalam ilmu hukum, kejujuran serta memiliki moral yang baik.
Penunjukan para hakim ini diusulkan dan dicalonkan oleh negara-negara ke Majelis
Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB.
Pengajuan perkara ke Mahkamah Internasional dapat menggunakan 2 cara yaitu :

1. Bila pihak-pihak yang berperkara telah memiliki perjanjian khusus (special agreement)
maka perkara dapat dimasukkan dengan pemberitahuan melalui panitera Mahkamah.
2. Perkara dapat diajukan secara sepihak (dalam hal tidak adanya perjanjian/persetujuan
tertulis).
Surat pengajuan permohonan perkara harus ditandatangani oleh wakil negara atau
perwakilan diplomatik yang berkedudukan di tempat mahkamak Internasional berada.
Setelah panitera menerima maka salinan pengajuan perkara tersebut disahkan kemudian
salinanya dikirim kepada negara tergugat dan hakim-hakim Mahkamah. Pemberitahuan
juga disampaikan kepada anggota PBB melalui Sekretariat Jenderal.
Setelah itu dalam acara pemeriksaan dilakukan melalui sidang acara tertulis dan acar
lisan. Dalam acara tertulis maka dilakukan jawab menjawab secara tertulsi antara pihak
tergugat dan penggugat. Setelah acara tertulis ditutup maka dimulai lagi acara lisan atau
hearing. Acara ini biasanya dipimpin langsung oleh Presiden mahkamah atau wakil
presiden dengan menanyakan saksi-saksi maupun saksi ahli atau juga wakil-wakil para
pihak seperti penasihat hukum, pengacara. Dalam acara ini dapat bersifat terbuka atau
tertutup tergantung dari keinginan para pihak. Setelah semuanya selesai maka dilakukan
pengambilan keputusan yang dilakukan berdasarkan suara mayoritas para hakim.
Keputusan Mahkamah bersifat final dan tidak ada banding kecuali untuk hal-hal yang
bersifat penafsiran dari keputusan itu sendiri.
Dalam persidangannya untuk jenis perkara-perkara tertentu dapat dimungkinkan
dibentuknya suatu kamar sengketa (chamber) yaitu sidang majelis hakim yang lebih
kecil. Sebagai contoh adalah pembentukan Chamber of Environmental Dispute untuk
menangani Case concerning Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v Australia) dan
Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia). Namun pembentukan kamar
sengketa ini hanya berlaku bagi kewenangan untuk memeriksa perkara kontradiktor
sehingga tidak berlaku dalam persidangan advisory opinion.
5. Mahkamah Internasional dan kasus-kasus Hukum Lingkungan
Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) merupakan badan
internasional yang diakui memiliki kedudukan istimewa. Selain sebagai badan utama
Perserikatan Bangsa-bangsa, Mahkamah Internasional juga merupakan badan pengadilan
yang memiliki reputasi internasional dan mempunyai statuta tersendiri. Mahkamah
Internasional merupakan kelanjutan dari Mahkamah Permanen Internasional (Permanent
International Court of Justice/PICJ) yang dibentuk oleh Liga Bangsa-bangsa sehingga
tidak berbeda jauh dengan peraturan yang berlaku dalam PICJ . Dalam struktur
organisasinya Mahkamah Internasional terdiri atas Presiden, Wakil Presiden Mahkamah
Internasional dan hakim anggota serta panitera yang dipilih tanpa terikat atau mewakili
negaranya. Para hakim berjumlah 15 orang dan tidak boleh memiliki kewarganegaraan
yang sama. Dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan. Kualifikasi para hakim
harus merupakan pribadi yang baik dan bermoral tinggi serta memiliki reputasi yang
diakui internasional. Seorang hakim tidak boleh mengadili suatu kasus dimana negaranya
terlibat serta tidak diperkenankan untuk terlibat kegiatan politik, administratif,
pembimbing dan advokat bagi negaranya.
Dalam menghadapi suatu kasus umumnya kehadiran para hakim harus lengkap atau

minimum 9 hakim. Dalam kasus-kasus tertentu Mahkamah Internasional dapat


membentuk suatu kamar penyelesaian sengketa (Chamber of Settlement Disputte) yang
terdiri atas 3 hakim atau lebih berdasarkan Pasal 26 Statuta Mahkamah. Kebutuhan ini
sebenarnya sudah pernah diungkapkan oleh beberapa hakim sejak tahun 1980. Untuk
pertema kalinya Mahkamah Internasional menggunakan suatu kamar (chamber) dalam
Gulf of Maine Case (USA v. Canada). Kamar sengketa ini dipimpin oleh Hakim Ago
(Presiden), hakim Gros, hakim Molser, hakim Shwabel dan hakim ad hoc Cohen. Hal ini
dikarenakan banyak pendekatan yang digunakan diantaranya klaim atas perbatasan, isuisu mengenai geologi, geomorfologi, lingkungan hidup, kelautan, ketergantungan
ekonomi serta metode penentuan batasan wilayah.
Dalam menghadapi kasus-kasus lingkungan hidup Mahkamah juga telah membentuk
Kamar Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Chamber of Environmnetal Disputte
Settlement) pada tanggal 19 Juli 1993. Dua kasus yang diterima baru-baru ini yaitu
Certain Phosphat in Nauru Land (Nauru v. Australia) dan Gabcikovo-Nagymaros Project
(Hungaria v. Slovakia) sedang dipelajari oleh kamar ini. Sementara itu beberapa kasus
lainnya juga muncul seperti gugatan Australia untuk kedua kalinya terhadap Perancis atas
percobaan nuklir sedang diupayakan.
Sebenarnya kasus lingkungan hidup dalam arti luas pernah ditangani oleh Mahkamah
Internasional Permanen (PICJ) seperti dalam Diversion of the Waters of the River Meuse
dan Territorial Jurisdiction of the International Commission of the River Oder Case 1929.
Demikian juga dengan Mahkamah yang telah beberapa kali menangani sengketa yang
bersinggungan dengan masalah lingkungan hidup. Sebagai contoh dalam Chorfu Channel
Case (UK v. Albania) 1949, Nuclear Test Cases, Gulf of Maine Case (USA v. Canada)
1984, Fisheries Jurisdiction Case, beberapa kasus mengenai landas kontinen dan
perbatasan.
Dalam kasus Certain Phosphat di Nauru gugatan terhadap Australia diajukan karena
sebagai anggota Dewan Perwalian yang ditugaskan untuk menangani persiapan
kemerdekaan Nauru, dianggap telah gagal. Bahkan kewajibannya untuk memperbaiki
kondisi ekonomi dan pembangunan justru menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan
tidak merehabilitasi kerusakan yang terjadi. Dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros Project,
sengketa mengenai proyek pembangunan suatu bendungan khususnya menyangkut soal
pelaksanaan perjanjian pembangunan. Juga perlu diperhitungkan dampak yang timbul
terhadap masalah lingkungan akibat pembangunan bendungan ini.
Advisory opinion yang hanya diberikan kepada Majelis Umum dan Dewan Keamanan
dan badan-badan lain atas persetujuan kedua badan tersebut, juga saat ini diajukan oleh
World Health Organization (WHO). Pada bulan Mei 1993 WHO telah menyetujui suatu
pengajuan Advisory Opinion kepada Mahkamah Internasional mengenai masalah
percobaan test nuklir dan senjata sejenisnya. Pertanyaan yang diajukan adalah tindakan
tersebut telah melanggar kewajiban hukum internasional atau Konstitusi WHO karena
telah mengganggu kesehatan manusia.
Beberapa kasus lainnya yang cukup penting dalam perkembangan hukum lingkungan
internasional diantaranya :
a. Chorfu Channel Case
Kasus ini merupakan sengketa antara Albania dan Inggris yang cara pengajuannya
melalui pengadilan yaitu ke Mahkamah Internasional pada tahun 1949. Peristiwanya
terjadi pada tanggal 15 Mei 1946 pada saat kapal-kapal Inggris berlayar memasuki selat

Chorfu wilayah Albania. Ketika memasuki laut teritorial Albania kapal-kapal tersebut
ditembaki dengan meriam-meriam yang ada di pantai Albania. Albania ketika itu sedang
dalam keadaan perang dengan Yunani. Tanggal 22 Oktober 1949 sebuah kapal Inggris
telah menabrak ranjau yang berada di selat tersebut yang kemudian menimbulkan korban
jiwa. Atas kejadian tersebut Inggris kemudain melakukan pembersihan terhadap ranjauranjau yang ada di selat tersebut tanpa adanya izin dari pemerintah Albania. Kemudian
sengketa timbul dan diajukan ke Mahkamah Internasional. Keputusan mahkamah
Internasional menyatakan bahwa Albania bertenggungjawab atas kerusakan kapal Inggris
dan Inggris telah melanggar kedaulatan Albania karena tindakannya menyapu ranjau.
Persoalan ini sebenarnya tidak berkaitan dengan masalah lingkungan hidup secara
langsung. Namun dalam kasus ini telah diterapkan suatu prinsip yang mirip dengan
Prinsip 21 Deklarasi Stockhlom 1972 yaitu dalam salah satu keputusannya menyatakan
bahwa setiap negara tidak diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan yang
mengganggu atau merugikan negara lainnya.
b. Gulf of Maine Case
Kasus ini mengenai masalah perbatasan antara Amerika Serikat dan Kanada. Pengajuan
perkara diajukan melalui cara ke pengadilan internasional yaitu Mahkamah Internasional.
Dalam sengketa ini untuk pertama kalinya Mahkamah Internasional membentuk Kamar
Penyelesaian Sengketa (Chamber of Disputte Settlement) berdasarkan pasal 26 (1).
Persoalan pokok yang diajukan adalah mengenai penetapan perbatasan tunggal (single
maritime boundary) yang digunakan. Batas Kanada yang diajukan adalah equidistance
line tapi Amerika Serikat menginginkan bahwa perbatasan tergantung dari keadaan yang
relevan di wilayah tersebut. Selain itu menurut Kanada, Teluk Maine beserta wilayah
yang berdekatan termasuk bagian penting karena memunyai hubungan yang kompleks
dan memiliki proses biologis yang penting. Juga wilayah ini merupakan eksosistem laut
yang penting di wilayah utara. Dilain pihak Amerika Serikat menyatakan bahwa wilayah
ini memiliki karakteristik berdasarkan 3 prinsip rezim ekologi. Dalam hal ini ternyata
Teluk Maine juga membentuk komunitas flora dan funa dalam semua siklus jaring
makanan dari yang terkecil hingga ikan yang terbesar. Mahkamah Internasional
kemudian mempelajari kasus ini.
6. Mendefinisikan kembali peran Mahkamah Internasional
Dalam menghadapi persoalan-persoalan baru yang berkembang dengan pesat nampaknya
Mahkamah Internasional dituntut mampu untuk menyesuaikan perkembangan zaman.
Hal ini dapat terlihat dengan adanya perkembangan demokratisasi khususnya tuntutan
negara-negara baru sejak berakhirnya Perang Dunia II. Selain itu partisipasi masyarakat
global melalui berbagai kegiatan internasional semakin nyata dengan makin berperannya
Non Government Organization (NGO), indegenous people, asosiasi-asossiasi dan
berbagai kelompok kepentingan yang menuntut adanya hak-hak yang sama.
Hal ini ditambah lagi proses globalisasi yang nyata dimana batas-batas negara semakin
menipis dan semakin berkembanganya organisasi-organisasi yang memiliki karakter
internasional yang kuat. Karena itu sebagian ahli menuntut adanya lembaga peradilan
internasional yang mampu menangani berbagai persoalan global yang tidak terbatas pada
kepentingan negara saja.

7. Penutup
Nampaknya di masa mendatang kasus-kasus yang akan dihadapi oleh Mahkamah
Internasional tidak hanya persoalan-persoalan politik saja. Beberapa kasus lingkungan
hidup khususnya yang dikategorikan sebagai common heritage of mankind diharapkan
akan menjadi perhatian Mahkamah Internasional di masa mendatang. Hanya saja usulan
reformasi di dalam tubuh Mahkamah Internasional seperti pemberian kesempatan
kepada Non Governmental Organization (NGO) yang mewakili lingkungan hidup untuk
memiliki locus standi hingga kini belum dapat diterima. Hal ini dikarenakan masih
kuatnya doktrin yang menyatakan bahwa hanya negara sajalah yang dapat berperkara
dalam Mahkamah Internasional. Karena itu ada beberapa kasus yang menyangkut
persoalan sumberdaya alam diselesaikan oleh badan-badan di luar Mahkamah
Internasional seperti GATT/WTO, Mahkamah Eropa (European Court of Justice), World
Bank dll.

DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
Akehurst, Michael. 1983. A Modern Introduction to International Law, 4th
Edition,George Allen & Unwin (Publishers) Ltd.
Ball, Simon & Stuart Bell. 1992. Environmental Law, Blackstone Press Limited, London.
Merrills, J.G. 1986. Penyelesaian Sengketa Internasional diterjemahkan oleh Achmad
Faudzan, Tarsito, Bandung.
Rasjid, Abdul. 1985. Upaya Penyelesaian Sengketa Antar Negara melalui Mahkamah
Internasional, PT Bina Ilmu, Surabaya.
Sands, Phillipe. 1993. Greening International Law, Earthscan Publication, London.
Starke, J.G. 1989. Pengantar Hukum Internasional diterjemahkan oleh Sumitro LS
Danuredjo, Aksara Persada Indonesia, Jakarta.
II. Makalah
Cooper, Catherine A. 1986. The Management of International Environmental Dispute in
the Context of Canada-United States Relations : A Survey and Evaluation of Techniques
and Mechanisms dalam Canadian Year Book of International Law, University of British
Columbia Press.
Ospina, E Valencia.1993. The International Court of Justice and International

Environmental Law dalam Asian Year Book of International Law, Martinus Nijhoff,
Amsterdam.
Pramudianto, A. 1995. Soft Law Dalam Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional
dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XIII Nomor 4 Oktober 1995.
III. Dokumen lainnya
UNEP. 1991. Register of International Treaties & Other Agreements in the Field of the
Environment, UNEP, Nairobi.
(ARTIKEL INI DITULIS TAHUN 1997 BELUM SEMPET DIEDIT......)
Diposkan oleh ANDREAS PRAMUDIANTO,SH,MSi di 05:21

Anda mungkin juga menyukai