Anda di halaman 1dari 12

Nama : Mardhatillah

Nim : 2203101010043
Kelas : 02 (B)
Mata Kuliah : Hukum Organisasi Internasional
Dosen : Bapak Nurdin MH, S.H., M.Hum.
TUGAS 3
A. Pengertian Mahkamah Internasional atau International court of justice
International Court Of Justice (ICJ) / Mahkamah Internasional adalah lembaga
kehakiman Perserikatan Bangsa-Bangsa, lembaga peradilan ini didirikan pada
tahun 1945 berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan resmi bersidang
pada tahun 1946. International Court Of Justice dibentuk berdasarkan Bab IV
pasal 92-96 Piagam Perserikatan Bang-sa-Bangsa yang dirumuskan di San
Fransisco. Pada pasal 92 disebutkan bahwa International Court Of Justice adalah
organ utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Isi pasal 92 Piagam PBB :
Mahkamah Agung Internasional adalah badan peradilan utama dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Badan ini akan bekerja sesuai dengan Statuta Mahkamah Tetap Internasional
dan peradilan merupakan Bagian yang tidak terpisah dari Piagam ini ICJ atau
yang dikenal dengan World Court atau Mahkamah Internasional adalah organ
yudisial utama dari PBB, yang beranggotakan 15 Hakim yang dipilih oleh General
Assembly (Majelis Umum) dan Security Council (Dewan Keamanan). Mahkamah
ini berkedudukan di Den Haag, Belanda, Di Istana Perdamaian (Peace Palace),
namun hal ini tidak menutup kemungkinan Pengadilan bersidang di tempat lain
bila dianggap perlu.17 Sidang pada prinsipnya Dihadiri oleh 15 anggota;18 Tetapi
quorum anggota cukup untuk mengadili suatu Perkara. Biasanya persidangan
dilakukan oleh 11 anggota tidak termasuk hakim-hakim ad hoc. ICJ memilih ketua
dan wakil ketuanya untuk masa jabatan tiga Tahun dan mereka dapat dipilih
kembali.19 ICJ juga mengangkat paniteranya dan Pegawai-pegawai lain yang
dianggap perlu.20 Bahasa-bahasa resmi menurut pasal 39 Statuta adalah prancis
dan Inggris.21 Atas permintaan salah satu dari pihak Yang bersengketa, ICJ dapat
mengizinkan penggunaan bahasa lain.

1
B. Tugas dan fungsi Mahkamah Internasional atau Internasional Court of
Justice
Tugas utama Mahkamah Internasional (ICJ) adalah menyelesaikan sengketa
hukum antara negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ini mencakup
beberapa aspek, seperti:
1. Penyelesaian Sengketa Hukum Internasional: ICJ memiliki tanggung
jawab utama untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran
hukum internasional, interpretasi perjanjian internasional, atau perselisihan
wilayah antara negara-negara.
2. Memberikan Keputusan Hukum:
ICJ membuat keputusan hukum berdasarkan analisis fakta dan hukum
dalam setiap kasus yang diajukan kepadanya. Keputusan ini diharapkan
dapat memberikan solusi yang adil dan sesuai dengan norma-norma
hukum internasional.
3. Interpretasi Hukum Internasional:
Mahkamah memiliki fungsi penting dalam memberikan interpretasi resmi
terhadap hukum internasional. Ini membantu memastikan konsistensi dan
pemahaman yang seragam dalam menerapkan norma-norma hukum
internasional di seluruh dunia.
4. Pemberian Opini Hukum:
Selain menangani kasus-kasus kontroversial, ICJ juga dapat memberikan
opini hukum atas permintaan lembaga-lembaga PBB yang memiliki
kepentingan hukum tertentu.
5. Mendorong Penyelesaian Sengketa Secara Damai:
ICJ bertujuan untuk memfasilitasi penyelesaian damai sengketa antara
negara-negara. Dengan memberikan forum pengadilan, ICJ dapat
mendorong negara-negara untuk mencari solusi damai daripada
menggunakan kekerasan atau tindakan agresif.
6. Memajukan Hukum Internasional:

2
Dengan membuat keputusan-keputusan yang berdasarkan prinsip-prinsip
hukum internasional, ICJ berkontribusi pada pengembangan dan pemajuan
hukum internasional sebagai sistem hukum yang terus berkembang.
Fungsi utama Mahkamah Internasional (ICJ) atau Pengadilan Internasional
meliputi:
1. Menyediakan Pengadilan untuk Negara-Negara Anggota:
ICJ berfungsi sebagai forum pengadilan internasional yang
memberikan negara-negara kesempatan untuk menyelesaikan
perselisihan mereka secara damai sesuai dengan hukum internasional.
2. Memberikan Penafsiran Hukum Internasional:
ICJ memiliki fungsi untuk memberikan penafsiran resmi terhadap
hukum internasional. Ini membantu memastikan konsistensi dan
pemahaman yang seragam dalam menerapkan norma-norma hukum
internasional di seluruh dunia.
3. Memfasilitasi Penyelesaian Damai:
Sebagai pengadilan internasional, ICJ berusaha untuk memfasilitasi
penyelesaian secara damai sengketa antara negara-negara. Ini
mencakup memberikan rekomendasi atau putusan yang adil dan
berdasarkan hukum internasional, yang dapat menjadi dasar bagi
negara-negara untuk menyelesaikan perselisihan mereka tanpa perlu
resort ke tindakan militer atau kekerasan lainnya.
4. Membuat Keputusan yang Mengikat:
Salah satu fungsi utama ICJ adalah mengeluarkan putusan yang
mengikat bagi pihak-pihak yang bersengketa. Putusan ini harus
dihormati dan dilaksanakan oleh negara-negara anggota, yang
membantu memperkuat kredibilitas dan otoritas hukum internasional.
5. Memajukan Hukum Internasion:
Dengan membuat keputusan berdasarkan prinsip-prinsip hukum
internasional, ICJ berkontribusi pada pengembangan dan pemajuan
hukum internasional sebagai sistem hukum yang terus berkembang.

3
Sementara Tugas Mahkamah Internasional diatur dalam Statuta Mahkamah
atau ICJ Statuta dan Bab XIV Piagam PBB, yakni:
1. Mengadili perselisihan atau persengketaan antar negara, yang mana para
pihak sepakat untuk mengajukan sengketa ke mahkamah internasional.
2. Memberikan nasehat atau pendapat hukum kepada Majelis Umum PBB
dan organ-organ khusus PBB lain mengenai masalah-masalah hukum.
3. Mendesak Dewan Keamanan PBB, untuk mengambil tindakan terhadap
pihak yang tidak menghiraukan keputusan Mahkamah Internasional.
Selain itu, terdapat wewenang dari Mahkamah Internasional yang diatur pada
BAB II Statuta Mahkamah Internasional yang dipaparkan sebagai berikut:
1. Menyelesaikan konflik permasalahan atau sengketa antar negara
berdasarkan permohonan yang telah diajukan oleh negara yang melapor.
2. Memberikan nasehat hukum untuk memberikan solusi dalam
menyelesaikan permasalahan hukum yang telah diajukan oleh badan yang
memohon.
3. Wewenang Ratione Personae merupakan wewenang yang diperoleh
Mahkamah Internasional untuk menyatakan negara-negara yang
diperbolehkan menjadi pihak dalam perkara.
4. Wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Internasional pada dasarnya
bersifat fakulatif dimana pihak Mahkamah Internasional dapat ikut campur
dalam perkara jika negara yang bersengketa memberikan persetujuan
kepada Mahkamah Internasional untuk terlibat..
Contoh kasus yang di selesaikan di ICJ:
C. Kasus Sengketa maritim antara Mauritius dan Inggris terkait kepulauan
Chagos, Dan keterlibatan Maladewa Diantara Keduanya, beserta Cara
penyelesaiannya di mahkamah internasional
Awal mula Sengketa maritim antara Mauritius dan Inggris berhubungan
dengan kepemilikan teritorial dari Kepulauan Chagos di Samudra Hindia dan
merupakan kepulauan yang terdiri dari sekitar 60 pulau, di antaranya Diego
Garcia yang merupakan pulau terbesar. Pada tahun 1810, saat Mauritius masih di
bawah kekuasaan Prancis, wilayah tersebut ditaklukkan oleh Inggris. Setelah

4
Perang Napoleon berakhir, dalam Traktat Paris 1814 antara Inggris dan Prancis,
Mauritius secara resmi diserahkan kepada Inggris. Kepemilikan Mauritius atas
Kepulauan Chagos tidak disertakan dalam kesepakatan ini.

Pada tahun 1965, ketika Mauritius sedang berusaha meraih kemerdekaannya


dari Inggris, terjadi perundingan antara kedua negara tersebut. Di dalam
perundingan tersebut, Inggris memberikan jaminan bahwa Kepulauan Chagos
akan segera dikembalikan kepada Mauritius setelah kemerdekaannya diumumkan.
Namun Pada pertengahan abad kedua puluh, Amerika Serikat berusaha untuk
menyewa pulau terbesar di kepulauan itu, yaitu pulau Diego Garcia, untuk
membangun dan mengoperasikan pangkalan angkatan laut bersama dengan
Inggris. Perundingan antara Inggris dan Amerika Serikat berlangsung bersamaan
dengan perundingan mengenai kemerdekaan Mauritius. Kemudian pada tahun
1966 sebelum Mauritius memperoleh kemerdekaannya, dan untuk memfasilitasi
perjanjian dengan Amerika Serikat, Inggris berusaha memisahkan Kepulauan
Chagos dari Mauritius, dan Inggris secara sepihak mencabar wilayah Kepulauan
Chagos dari Mauritius dengan mengubahnya menjadi Wilayah Samudra Hindia
Britania (BIOT) yang baru, yang akan tetap menjadi milik Inggris. Dan Mauritius
pada saat itu tidak bisa berbuat apa-apa karena itu dapat menjadi alasan yang
mengancam apakah Mauritius masih akan diberikan kemerdekaannya oleh
Inggris, jika menolak melepaskan klaimnya atas kepulauan tersebut. Sehingga
Mauritius secara resmi menyetujuinya. Dan kemudian Atas dasar itu, Inggris
bermaksud untuk melepaskan Kepulauan Chagos, dan membentuk BIOT.

Dan kemudian pada tahun 1966-1973 Inggris bersama dengan Amerika


serikat berusaha mengeluarkan penduduknya dari pulau-pulau itu untuk membuat
ruang bagi pangkalan militer AS di Diego Garcia, salah satu pulau di Kepulauan
Chagos. Ini menyebabkan sejumlah besar penduduk asli Kepulauan Chagos yang
disebut Chagossians terpaksa diusir dari rumah mereka. Dan mereka dipindahkan
ke Mauritius dan Seychelles, di mana mereka hidup dalam kondisi sulit.

Namun kemudian setelah Mauritius di nyatakan merdeka pada tahun 1968


dan bergabung dengan perserikatan bangsa-bangsa (PBB), Mauritius tidak mau

5
menerima keputusan Inggris mengklaim chogos sebagai daerah kekuasaannya
karena saat proses negosiasi itu terjadi berkaitan dengan kemerdekaan Mauritius,
dan Mauritius mengklaim bahwa pengambilalihan ini tidak sah dan merupakan
pelanggaran terhadap integritas wilayahnya serta Mauritius juga menegaskan
bahwa penyerahan Chagos kepada Inggris tersebut melanggar prinsip-prinsip
dekolonisasi yang diakui secara luas dalam hukum internasional.

Sehingga Mauritius berulang kali berusaha menuntut kembali kedaulatannya


atas kepulauan Chagos. Berbagai upaya di coba lakukan oleh Mauritius dalam
meraih kedaulatannya terhadap kepulauan chogos tersebut diantaranya; Mauritius
pertama-pertama mencoba menyelesaikan sengketa ini melalui pembicaraan
bilateral dengan Inggris. Ketika upaya tersebut tidak membuahkan hasil,
Mauritius memutuskan untuk membawa sengketa ini ke forum hukum
internasional. Hingga ke mahkamah internasional.

Inggris tetap menolak untuk mengembalikan wilayah tersebut, Dan sejak tahun
1980 Mauritius secara berkala menegaskan kedaulatannya atas Kepulauan
Chagos, namun secara umum menyetujui kehadiran Inggris selama hak
penangkapan ikannya tidak terganggu.

Dan disisi lain Maladewa juga ikut terlibat dalam pertikaian hukum antara
Mauritius dan Inggris terkait klaim mereka atas kepulauan tersebut. Karena
Maladewa adalah tetangga Chagos di bagian utara, dengan zona ekonomi
eksklusif (ZEE) yang tumpang tindih dan perlu dibatasi batasnya. Namun
ketidakpastian mengenai negara mana yang harus dinegosiasikan oleh Maladewa
telah menempatkan Maladewa dalam posisi yang sulit. Kesepakatan apa pun yang
dibuat mungkin akan memaksa negara tersebut untuk mengakui kedaulatan
Mauritius atas pulau-pulau tersebut.

Bagi Maladewa, hal yang paling penting adalah akses terhadap ikan karena
negara itu sangat bergantung pada tuna untuk makanan dan ekspor.
Sementara Bagi pemilik Kepulauan Chagos ( Inggris atau Mauritius), yang

6
menjadi permasalahannya adalah siapa yang mempunyai kekuasaan untuk
menegosiasikan batas maritimnya dengan Maladewa.

Sampai akhirnya pada tahun 1992, ketika perwakilan dari Maladewa dan
Inggris sepakat untuk membatasi ZEE mereka yang tumpang tindih berdasarkan
jarak yang sama dari garis dasar yang disepakati bersama. Perundingan diakhiri
dengan Inggris memberikan rancangan perjanjian dengan syarat-syarat yang
disepakati, melampirkan daftar koordinat pembatas. Kedua belah pihak sepakat
untuk berkonsultasi dengan pemerintah masing-masing sebelum
menandatanganinya, terutama karena Maladewa sedang dalam proses merancang
undang-undang maritim yang baru. Maladewa memerlukan waktu hingga tahun
1996 untuk mengesahkan Undang-undang Zona Maritimnya, namun Maladewa
masih belum bergerak untuk menyelesaikan kesepakatan tahun 1992 tersebut.
Pemerintah Inggris tetap melanjutkan dan menerbitkan peta yang mencerminkan
koordinat batas yang disepakati, yang kini tercermin pada sebagian besar peta
navigasi wilayah tersebut. Pada bulan April 2010, Inggris mendeklarasikan zona
maritim di sekitar kepulauan tersebut sebagai suaka laut (tetapi secara teknis
bukan ZEE).

Dan disisi lain Inggris juga memberlakukan kawasan perlindungan laut di


sekitar Kepulauan Chagos, yang mengancam hak penangkapan ikan Mauritius,
sehingga membawa konflik antar kedua pihak ini kembali memuuncak. Sehingga
Mauritius semakin berani melembagakan arbitrase nya terhadap Inggris
berdasarkan Lampiran VII Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun
1982. Dan kemudian pengadilan arbitrase UNCLOS mengeluarkan keputusannya
dan menghasilkan beberapa temuan penting. Khususnya, pengadilan tersebut
menyatakan bahwa pengadilan tersebut tidak memiliki yurisdiksi untuk
menentukan kedaulatan atas Kepulauan Chagos antara Mauritius dan Inggris.
Namun, penerapan kawasan perlindungan laut yang dilakukan Inggris juga
melanggar hak Mauritius sehubungan dengan Kepulauan Chagos.

Namun Kemudian Karena Mauritius merasa jalur yang sudah di tempuhnya


masih belum mendapatkan hasil yang memuaskan, sekali lagi pada tahun 2010,

7
Mauritius mencoba mengundang Maladewa untuk mengadakan diskusi mengenai
batas maritim antara Maladewa dan Kepulauan Chagos, namun Maladewa
menolaknya, dengan alasan klaim Inggris atas pulau-pulau tersebut. Tapi
kemudian Pada bulan Juli 2010, Maladewa kemudian mengajukan klaimnya
kepada PBB atas perpanjangan landas kontinen dan koordinat baru yang
mengklaim ZEE 200 mil laut penuh yang diukur dari Atol Addu, atol paling
selatan di negara tersebut. Hal ini mengabaikan kesepahaman dengan Inggris pada
tahun 1992 dan juga tidak sejalan dengan kesediaan Maladewa sebelumnya untuk
merundingkan ZEE yang tumpang tindih dengan Sri Lanka dan India, tetangga
utaranya. Maladewa berpendapat bahwa Chagos adalah kasus yang unik karena
tidak memiliki populasi yang bergantung pada penangkapan ikan, atau bahkan
populasi permanen sama sekali. Dan itu merupakan sebuah argumen yang
tampaknya tidak didukung oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS),
yang mengizinkan ZEE untuk melakukan penangkapan ikan. Sehingga Maladewa
tidak secara resmi dapat mengambil posisi apa pun atas kedaulatan Chagos.

Melihat hubungan antara Maladewa dan Inggris yang sudah tidak sejalan lagi
Mauritius kemudian mengambil kesempatan tersebut untuk ikut terlibat,
memprotes Inggris dan Maladewa, karena sebelumnya Maladewa juga menolak
ajakan Mauritius untuk bernegosiasi dengan Mauritius mengenai batas laut.

Hingga pada akhirnya pada tahun 2011, Presiden Maladewa Mohamed


Nasheed, saat berkunjung ke Mauritius, untuk memulai perundingan dengan
Mauritius, dan mengeluarkan komunike bersama yang menyatakan bahwa kedua
negara akan membuat sikap kolektif melawan Inggris sehubungan dengan
perluasan landas kontinen dan ZEE mereka. Tapi Meskipun sudah ada komunike
bersama tahun 2011, Maladewa masih belum secara resmi mengakui klaim
Mauritius untuk bernegosiasi atas nama Chagos. Dan ketika Maladewa gagal
menerapkan pemahaman baru ini, Mauritius memulai proses hukum terhadap
Maladewa dan Inggris.

8
Pada tahun 2017, Mauritius memutuskan untuk membawa sengketa ini ke
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan mengajukan permintaan konsultasi
dengan International Court of Justice (ICJ).

Selain itu, Mauritius juga telah menggunakan diplomasi untuk menggalang


dukungan internasional dalam menyelesaikan sengketa ini. Mereka telah
memperjuangkan isu kedaulatan Kepulauan Chagos di forum-forum internasional
dan meminta dukungan negara-negara lain dalam penyelesaian sengketa ini.
Hingga akhirnya Mauritius pun mendapatkan dukungan dari Perserikatan Bangsa-
Bangsa dan sejumlah negara lain dalam upayanya untuk memperjuangkan
kedaulatan mereka atas Kepulauan Chagos.

Dan Mauritius menyatakan bahwa perjanjian antara Inggris dan Mauritius yang
mengenai cession of the Chagos Islands (Kepulauan Chagos) pada tahun 1965
tidak sah di bawah hukum internasional. Mauritius menegaskan bahwa pemberian
Kepulauan Chagos kepada Inggris pada masa dekolonisasi Mauritius adalah tidak
sah dan melanggar kewajiban negara-negara terhadap dekolonisasi, serta sebagai
pelanggaran terhadap hak nasional bagi negara-negara berdaulat dalam konvensi
PBB mengenai hukum laut. Serta Mauritius juga mengutip Resolusi Majelis
Umum PBB 1514 yang memperkuat hak atas kedaulatan bagi negara-negara
koloni yang sedang mengalami dekolonisasi. Selain itu, Mauritius menegaskan
bahwa keberadaan pangkalan militer Inggris di Kepulauan Chagos, terutama
pangkalan militer AS di Diego Garcia, merupakan pelanggaran terhadap
kedaulatan Mauritius.

Dan selama proses pengajuan sengketa ke mahkamah internasional Mauritius


harus melalui beberapa tahapan. Pertama, Mahkamah Internasional membuat
keputusan apakah itu termasuk kewenangannya untuk mendengarkan kasus
tersebut. Dan Pada bulan Februari 2019, ICJ menjatuhkan keputusan atas gugatan
Mauritius, yang menyatakan bahwa badan tersebut memiliki kewenangan untuk
mendengar sengketa tersebut. Keputusan tersebut memungkinkan kasus tersebut
untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya.

9
Kemudian, terlebih dahulu ICJ memfasilitasi proses mediasi antara Mauritius
dan Inggris dengan tujuan mencari penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua
belah pihak. Setelah mediasi tidak mencapai penyelesaian yang memuaskan,
kasus ini kemudian diajukan untuk dimulai proses persidangan di ICJ.

Kemudian, selama persidangan, kedua belah pihak akan mempresentasikan


argumen dan bukti mereka kepada Mahkamah. Mahkamah Internasional akan
memeriksa bukti-bukti dan argumen-argumen dari kedua belah pihak sehubungan
dengan klaim yang diajukan oleh Mauritius. Selama proses ini, Mahkamah
Internasional bertugas untuk mendengar argumen hukum dan fakta-fakta yang
disampaikan oleh kedua belah pihak untuk mengambil keputusan yang adil dan
berdasarkan hukum internasional.

Setelah itu, Mahkamah Internasional akan mempertimbangkan bukti dan


argumen yang disajikan oleh kedua belah pihak dan kemudian membuat
keputusan akhir atas sengketa tersebut. Putusan ini bertujuan untuk memberikan
keadilan dan menyelesaikan sengketa antara kedua belah pihak sesuai dengan
hukum internasional yang berlaku. Dan keputusan tersebut menjadi akhir dan
mengikat bagi kedua belah pihak, karena ICJ adalah lembaga peradilan yang
bekerja di bawah sistem hukum internasional.

Pada tanggal 25 Februari 2019, Mahkamah Internasional memutuskan dengan


suara mayoritas, dengan tiga belas suara berbanding satu, memutuskan bahwa: (1)
proses dekolonisasi Mauritius belum selesai secara sah setelah pemisahan
Kepulauan Chagos, dan mahkamah juga menegaskan bahwa pemisahan Mauritius
dari kepemilikan Kepulauan Chagos yang dilakukan oleh Inggris pada tahun 1965
dengan cara pembentukan British Indian Ocean Territory (BIOT) adalah
bertentangan dengan hukum internasional dan dinyatakan tidak sah di bawah
hukum internasional.; (2) Inggris mempunyai kewajiban untuk mengakhiri
pemerintahannya di Kepulauan Chagos secepat mungkin; dan (3) semua Negara
Anggota berkewajiban untuk bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk menyelesaikan dekolonisasi Mauritius dan mendukung pemulihan
kepemilikan teritorial Mauritius terhadap kepulauan Chagos.

10
Namun dari keputusan mahkamah internasional tersebut, dapat terlihat bahwa
mahkamah internasional belum memutuskan akhir dari kesepakatan pengaturan
pangkalan militer AS dengan Inggris di Diego Garcia, boleh terus berlanjut atau
tidak.

Sehingga meskipun keputusan mahkamah internasional (ICL) bersifat


mengikat dan memiliki dorongan internasional. Namun dikarenakan faktor politik
dan diplomatik, Inggris sejauh ini belum melaksanakan putusan mahkamah
internasional ICJ terkait Keputusan ICJ yang menekankan pengembalian
administrasi kolonial dari wilayah Chagos kepada Mauritius.

Pasca putusan ICJ, Mauritius mengajukan sebuah resolusi di Majelis Umum


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menegaskan kembali kedaulatan
mereka atas kepulauan Chagos. Pada Mei 2019, resolusi tersebut disetujui oleh
mayoritas suara di Majelis Umum PBB, dengan perolehan 116 negara mendukung
klaim Chagos sebagai daerah kedaulatannya Mauritius dan 6 negara tidak
menyetujuinya (Australia, Maladewa, Amerika serikat, Hungaria, dan Israel).
Persetujuan mayoritas suara di majelis umum PBB tersebut menegaskan kembali
kedaulatan Mauritius atas kepulauan tersebut. Meskipun resolusi ini bukanlah
instrumen hukum yang mengikat, tetapi dapat memberikan tekanan politik dan
moral pada Inggris untuk melakukan langkah-langkah konkret terkait
penyelesaian sengketa ini.
Sementara Pada tingkat bilateral, Mauritius dan Inggris juga terlibat dalam
pembicaraan untuk menyelesaikan sengketa terkait kepulauan Chagos. Dalam
pembicaraan tersebut, Mauritius menegaskan klaim mereka atas kedaulatan
kepulauan ini, sementara Inggris memberikan respons dengan menawarkan
kompensasi ekonomi serta jaminan bahwa wilayah tersebut tidak akan diserahkan
kepada pihak lain tanpa persetujuan Mauritius. Namun, karena hubungan antara
kedua negara ini tidak selalu harmonis hal itu masih menjadi isu yang masih
belum terselesaikan sampai saat ini.
Sementara disisi lain Mauritius juga mengajukan tindakan terhadap
Maladewa ke Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut (ITLOS), termasuk

11
perluasan klaim ZEE Chagos yang diukur dari garis pangkal baru. Hal ini jelas
sangat merugikan Maladewa karena menyebabkan tumpang tindih ZEE mereka
yang lebih besar, yaitu sekitar 96.000 kilometer persegi. Pada Januari 2021,
ITLOS menolak argumen Maladewa bahwa pengadilan tersebut tidak memiliki
kekuasaan untuk mendengarkan klaim yang melibatkan sengketa kedaulatan atas
Chagos. Sidang Khusus pengadilan tersebut juga menerima klaim Mauritius
bahwa ICJ telah menetapkan bahwa kepulauan tersebut merupakan bagian integral
dari Mauritius.
Dan Maladewa tidak bisa berbuat banyak karena Ketidakkonsistenan dan
kegagalan untuk bertindak tepat waktu telah mengakibatkan Maladewa terjerat
dalam gugatan hukum antara Mauritius dan Inggris dan berlangsung sampai saat
ini.

12

Anda mungkin juga menyukai