Anda di halaman 1dari 17

TUGAS

MAKALAH
MATA KULIAH HUKUM PERADILAN INTERNASIONAL
MAHKAMAH INTERNASIONAL
Bpk. DR. H. Anto Ismu Budianto, SH., MH.

Disusun Oleh :
KELOMPOK I
M. Ikhsan Lapadengan (010001500267)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT Tuhan semesta alam yang
senantiasa melimpahkan rahmat-Nya sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.

Tidak lupa kami berterimakasih kepada Bapak DR. H. Anto Ismu Budianto, SH., MH
selaku dosen yang memberikan tugas ini pada kami.
Tugas makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Peradilan
Internasional. Dalam makalah ini, kami membahas mengenai segala sesuatu yang
terdapat di dalam Mahkamah Internasional. Baik dalam pengertian, sejarah
pembentukannya, fungsi, komposisi, maupun tugas dan wewenang, serta cara
mengadukan sengketa di Mahkamah Internasional.

Kami berharap semoga materi pembahasan yang disusun dalam makalah ini dapat
membantu kami dan mahasiswa lain dalam menambah wawasan tentang materi
Mahkamah Internasional.

Tim penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca dan pemakai makalah
ini untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

Jakarta, 15 Maret 2019

Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam interaksi sosial manusia tidak jarang luput dari kesalahan, yang biasanya
menimbulkan konflik akibat adanya kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan.
Begitu pula dengan negara maupun aktor-aktor dalam hubungan internasional lainnya,
dimana hubungan yang terjalin begitu kompleks sehingga konflik sangat mudah terjadi.
Dalam hubungan antar negara, sengketa acapkali terjadi akibat perebutan wilayah
perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan juga isu-isu
sosial lainnya. Oleh karena itu yang seharusnya memainkan peranan di sini adalah
hukum internasional, yang mengatur mekanisme hubungan yang terjadi antar aktor
internasional dengan mengedepankan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.1
Pasal 2 (3) Piagam PBB menetukan bahwa segenap anggota PBB harus
menyelesaikan sengketa internasional dengan jalan damai dan mempergunakan cara-
cara sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional, serta keadilan
tidak terancam. Ada dua cara untuk menyelesaikan sengketa internasional2, yaitu:

1. Perjanjian antara dua pihak yang bersengketa dan


2. Keputusan badan peradilan.

Dengan seringnya negara menjalin hubungan Internasional dengan negara lain


banyak dampak positif yang dihasilkan dan tidak dipungkiri lagi selain dampak positif
yang didapatkan sisi negatifnya pun ada, misalkan suatu negara terlibat suatu pertikaian
atau sengketa Internasional di antara kedua negara, banyak kasus yang sering
menyebabkan ketegangan di antara negara yang bertikai dan banyak kasus yang terjadi
yang menyebabkan masalah di atas, misalkan kasus Sipadan dan Ligitan antara
Indonesia dan Malaysia, serta suatu Sengketa Kuil Preah vihear antara Thailand dan
Kamboja dan yang terakhir ini adalah sengketa yang terjadi di Indonesia yaitu konflik
antara China dengan Indonesia atas wilayah pulau Natuna.

Berbagai metode penyelesaian sengketa ini telah berkembang sesuai dengan


tuntutan zaman. Dahulu. metode penyelesaian sengketa ini dilakukan dengan kekerasa.

1 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 1.

2 Piagam PBB 1945 dan Statuta Mahkamah Internasional, Pasal 2 ayat (3)
seperti perang. invasi. dan lainnya. Metode itu telah menjadi solusi bagi Negara sebagai
aktor utama dalam hukum internasional klasik.

Seiring dengan perkembangan zaman. cara-cara kekerasan yang digunakan


tersebut direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague
Pace Conference dan Covention on the Pacific Settlement of International Disputes pada
tahun 1899 dan 1907.

Akan tetapi, karena memliki sifat yang rekomendatif dan tidak mengikat. konvensi
tersebut tidak memiliki kekuatan memaksa (kepastian hukum tetap) untuk melarang
Negara-negara melakukan kekerasa sebagai metode penyelesaian sengketa dengan
kekerasan antarnegara. karena LBB tidak mampu melakukan tindakan preventif untuk
mencegah terjadinya Perang Dunia ke-2.

Oleh karena itu. Negara-negara yang terlibat dalam PD II membentuk Perserikatan


Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai pengganti LBB. Terbentuknya PBB diharapkan dapat
menciptakan kedamaian di Dunia. Dalam praktik hubungan antarnegara saat ini. PBB
telah menjadi organisasi internasional.

Piagam PBB telah dijadikan sebagai landasan utama oleh banyak Negara untuk
menyelesaikan sengketa internasional dengan cara damai. Pencantuman penyelesaian
sengketa secara damai dalam Piagam PBB memang mutlak diperlukan. Hal itu
disebabkan konsekwensi logis dari Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) PBB itu sendiri.
yaitu menjaga kedamaian dan kemanan dunia (Internasional).

Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antar negara, negara dengan


individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya terjalin dengan
baik, tidak jarang dalam hubungan tersebut terjadi suatu sengketa.
Sengketa Internasional (International Dispute) adalah suatu perselisihan antara
subjek-subjek hukum Internasional mengenai fakta, hukum atau politik dimana tuntutan
atau pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lainnya.

Sengketa internasional terjadi apabila perselisihan tersebut melibatkan pemerintah,


lembaga juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia yang berlainan
terjadi karena:

1. Kesalahpahaman tentang suatu hal;


2. Salah satu pihak sengaja melanggar hak / kepentingan negara lain;
3. Dua negara berselisih tentang suatu hal;
4. Pelanggaran hukum / perjanjian internasional3

3 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, II (Bandung: PT.Alumni, 2005), 1
Untuk menyelesaikan sengketa dengan jalan damai yang sesuai dengan asas-asas
keadilan dan hukum internasional, maka diperlukan badan yang berdiri sendiri dan badan
ini kedudukannya sebagai alat perlengkapan utama organ utama PBB. Badan ini tidak
boleh dipengaruhi oleh kepentingan pihak tertentu dan harus bebas dari segala
pengaruh. Telah kita ketahui bahwa salah satu cara penyelesaian sengketa secara
hukum atau judicial sentlement dalam hukum internasional adalah penyelesaian melalaui
badan peradilan internasional (world court atau international court). Dalam hukum
internasional, penyelesaian secara hukum dewasa ini dapat ditempuh melalui berbagai
cara atau lembaga, yaitu Permanent Court of International of Justice (PCIJ) atau
Mahkamah Permanen Internasional Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional,
the International Tribunal for the Law of the Sea (Konvensi Hukum Laut 1982) atau
International Criminal Court (ICC).4
Pada masa LBB peristiwa yang penting ialah dibentuknya Mahkamah Internasional
Permanen (Permanent Court of Internasional Justice – PCIJ). Mahkamah berdiri setelah
statuta diratifikasi oleh mayoritas Negara-negara anggota PBB, PCIJ berdiri tahun 1921
da berkedudukan di Den Haag.5

Mahkamah Internasional dalam rangka PBB disebut Mahkamah Internasional


(International Court of Justice – ICJ). Menurut pasal 92 Piagam PBB disebut statute ICJ
didasarkan pada Satuta PCIJ dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Piagam
PBB.6
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah pembentukan dari Mahkamah Internasional?;

2. Apa saja fungsi, komposisi, tugas dan wewenang, serta cara mengadukan
sengketa internasional ke Mahkamah Internasional?;

4“Mahkamah Internasional” (On-line), tersedia di: https://ninyasminelisasih.com/2011/06/21/mahkamah-internasional/ (15


Maret 2019)
5Manguluang, “Pemberian Status ‘Non-Member Observer State’ Kepada Palestina Oleh PBB Dalam Upaya Penyelesaian Konflik
Dengan Israel Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional” (Skripsi Program Sarjana Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar,
2013) h.51-52
6 Ibid h.53
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN SEJARAH PEMBENTUKAN MAHKAMAH


INTERNASIONAL

Setelah diuraikan sedikit di bagian latar belakang mengenai Mahkamah


Internasional, sebelum penulis mengkaji lebih jauh mengenai Mahkamah
Internasional, penulis akan menguraikan terlebih dahulu mengenai pengertian dan
sejarah terbentuknya Mahkamah Internasional.

Menurut Statuta Mahkamah Internasional, Mahkamah Internasional adalah badan


kehakiman yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, memiliki fungsi
utama mengadili dan menyelesaikan sengketa antarnegara (contention case), dan
memberikan pendapat bersifat nasihat kepada organ resmi dan badan khusus
PBB (advisory opinion), beranggotakan lima belas orang hakim dari setiap
kontinen yang menjabat selama Sembilan tahun dan dipilih oleh Majelis Umum
dan Dewan Keamanan PBB. Mahkamah Internasional berpusat di Den Haag,
Belanda.7

PCIJ merupakan pendahulu Mahkamah Internasional (ICJ) yang dibentuk


berdasarkan Pasal 14 Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada tahun 1922.
Sebagai badan peradilan internasional, PCIJ diakui sebagai suatu peradilan yang
memainkan peranan penting dalam sejarah penyelesaian sengketa internasional.
Arti peran ICIJ tampak sebagai berikut:

1. PCIJ merupakan suatu badan peradilan permanen yang diatur oleh Statuta dan
Rules of Procedure-nya mengikat para pihak yang menyerahkan sengketanya
pada PCIJ.
2. PCIJ memiliki suatu badan kelengkapan, yaitu Registry (pendaftar) permanen
yang antara lain bertugas menjadi penghubung komunikasi antara pemerintah
dan badan-badan organisasi internasional.
3. Sebagai badan peradilan, PCIJ telah menyelesaikan berbagai sengketa yang
putusannya memiliki nilai penting dalam perkembangan hukum internasional.
Dari tahun 1922 sampai 1940, PCIJ telah menangani 29 kasus.
Beberapa ratus perjanjian dan konvensi memuat klausul penyerahan
sengketa kepada PCIJ.8
4. Negara-negara telah memanfaatkan badan peradilan ini dengan cara
menundukkan dirinya terhadap yurisdiksi PCIJ.
7Statuta Mahkamah Internasional (1945) menunjukan mengenai susunan keorganisasian, komposisi, tugas, dan wewenang
Mahkamah
8 Peter Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, London: Routledge, 7th.rev.ed., 1997 h.25
5. PCIJ memiliki kompentensi untuk membeikan nasehat hukum terhadap
masalah atau sengketa hukum yang diserahkan oleh Dewan atau Majelis LBB.
Selama berdiri, PCIJ telah mengeluarkan 27 nasehat hukum yang berupa
penjelasan terhadap aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum internasional.9
6. Statuta PCIJ menetapkan berbagai sumber hukum yang dapat digunakannya
terhadap pokok perkara yang diserahkan kepadanya termasuk masalah-
masalah yang membutuhkan nasehat hukum PCIJ antara lain diberi
wewenang untuk menetapan prinsip ex aequo et bono apabila para pihak
menghendakinya.
7. PCIJ memiliki lebih banyak perwakilan (anggota) baik dari jumlah maupun
system hukum yang terwakili di dalamnya.

PCIJ, seperti tampak di atas, terbentuk oleh LBB. Namun demikian kedudukan PCIJ
terlepas atau tidak merupakan bagian dari LBB. Yang ada hanyalah semacam hubungan
erat (close relationship) antara kedua badan ini. Hal ini tampak antara lain dari kenyataan
bahwa Dewan secara periodik memilih anggota PCIJ. Dewan berhak meminta nasihat
hukum dari Mahkamah. Begitu pula dengan kedudukan Statuta PCIJ. Kedudukannya
juga terpisah dengan Kovenan LBB. Karena itu pula anggota Kovenan LBB tidak secara
otomatis menjadi anggota Statuta PCIJ10

Meskipun mempunyai peranan yang penting dan cukup kuat, namun pecahnya Perang
Dunia II pada bulan September 1939 telah berakibat serius terhadap PCIJ dan secara
politis telah menghentikankegiatan-kegiatan Mahkamah. Terjadinya peperangan yang
terus berkelanjutan ini bahkan telah membuat PCIJ menjadi bubar.

Pada tahun 1942, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan rekannya dari Inggris
menyatakan kesepakatan untuk mengaktifkan dan membentuk kembali suatu mahkamah
internasional. Pada tahun 1943 pemerintah Inggris mengambil inisiatif dengan
mengundang para ahli London untuk mengkaji masalah tersebut yaitu Inter-Allied
Committee yang dipimpin oleh Sir William Malkin berkebangsaan Inggris. Komisi berhasil
mengeluarkan laporannya pada tanggal 10 Februari 1944 yang memuat beberapa
rekomendasi sebagai berikut :

1. Bahwa perlu dibentuk suatu Mahkamah Internasional baru dngan statute yang
berlandaskan Statuta PCIJ.

2. Bahwa mahkamah baru tersebut harus memiliki yurisdiksi untuk memberikan


nasehat.

9 Ibid. h.25
10 Bandingkan dengan kedudukan Statuta ICJ dengan Piagam PBB di bawah, Infra.
3. Bahwa mahkamah baru tersebut tidak boleh memiliki yurisdiksi memaksa
(cumpolsory jurisdiction).11

Setelah berbagai pertemuan dan pembahasan mengenai pembentukan suatu


mahkamah baru, akhirnya dicapailah kesepakatan pada Konferensi San Fransisco pada
tahun 1945 yang memutuskan bahwa akan dibentuk suatu badan Mahkamah
Internasional baru dan badan ini merupakan badan utama PBB (Pasal 92 Piagam PBB).

B. DASAR HUKUM MAHKAMAH INTERNASIONAL


Secara keseluruhan, ada 5 (lima) aturan yang berkenaan dengan MI sebagai
sebuah organisasi internasional. Adapun kelima aturan tersebut adalah:

1. Piagam PBB (1945),


2. Statuta MI (1945),
3. Aturan Mahkamah atau Rules of the Court (1970) yang telah diamandemen
pada tanggal 5 Desember 2000,
4. Panduan Praktek atau Practice Directions I – IX dan
5. Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah atau Resolution
Concerning the Internal Judicial Practice of the Court yang diadopsi pada
tanggal 12 April 1976 dari Pasal 19 Aturan Mahkamah (1970).

Di dalam Piagam PBB 1945, dasar hukum yang berkenaan tentang MI terdapat
dalam BAB XIV tentang MI sebanyak 5 pasal yaitu pasal 92-96. Sedangkan di
dalam Statuta MI sendiri, ketentuan yang berkenaan dengan proses beracara
terletak pada BAB III yang mengatur tentang Procedure dan BAB IV yang memuat
tentang Advisory Opinion. Ada 26 pasal (pasal 39 – 46) yang tercantum di dalam
BAB III, sementara di dalam BAB IV hanya terdapat 4 pasal (pasal 65-68).12

Dasar hukum yang ketiga yaitu Aturan Mahkamah (Rules of the Court), (1970)
yang terdiri dari 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami
beberapa amandemen dimana amandemen terakhir adalah pada tahun 2000.
Aturan ini berlaku atau entry into force sejak tanggal 1 Februari 2001 dan bersifat
tidak berlaku surut atau non-retroaktif,
“…..The amended Rules shall come into force on 1 February 2001, and shall as
from that date replace the Rules adopted by the Court on 14 April 1978, save in
respect of any case submitted to the Court before 1 February 2001, or any phase
of such a case, which shall continue to be governed by the Rules in force before
that date”

11 ICJ, The International Court of Justice, The Haque, 3rd.ed., 1986,hlm. 16-17.
12 Infra. Catatan kaki nomor 7
Dasar hukum yang berikutnya adalah Panduan Praktek (Practice Directions) I-IX.
Ada 9 panduan praktek yang dijadikan dasar untuk melakukan proses beracara di
MI. Panduan praktek ini secara umum berkisar tentang surat pembelaan (written
pleadings) yang harus dibuat dalam beracara di MI. Dasar hukum terakhir dari
proses beracara di MI adalah Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari
Mahkamah (Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court),
(1976). Resolusi ini terdiri dari 10 ketentuan tentang beracara di MI yang telah
diadopsi pada tanggal 12 Apil 1976. Resolusi ini menggantikan resolusi yang sama
tentang Internal Judicial Practice yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1968.13

C. KOMPOSISI MAHKAMAH INTERNASIONAL


1. HAKIM MAHKAMAH INTERNASIONAL
Mahkamah Internasional terdiri dari 15 orang hakim. Mereka dipilih
berdasarkan suara mayoritas mutlak dalam suatu pertemuan secara
bersamaan tetapi terpisah di Dewan Keamanan dan Majelis Umum (Pasal 4
Statuta). Calon hakim harus dinominasikan oleh kelompok negara yang khusus
ditunjuk untuk itu (diusulkan kelompok negara yang khusus ditugaskan untuk
itu).

Calon hakim tersebut harus memiliki moral yang tinggi (high moral
characteristic). Ia juga harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang
ditetapkan di negaranya untuk menduduki suatu jabatan kehakiman tertinggi,
ia harus pula diakui kompetensinya dalam hukum internasional.

Statuta Mahkamah mensyaratkan bahwa pemilihan hakim tanpa memandang


kebangsaan (nasionalitasnya), namun dalam pelaksanaan faktor kebangsaan
sangat dominant karena pengangkatannya ditentukan oleh faktor geografis.
Dalam praktik kebiasaan tak tertulis, hakim mahkamah menganut pembagian
sebagai berikut :14

 5 orang dari negara-negara Barat;


 3 orang dari negara-negara Afrika;
 3 orang dari negara-negara Asia;
 2 orang dari negara-negara Eropa Timur;
 2 orang dari negara-negara Amerika Latin;

13 Loc.Cit.
14 Ibid.
Dari praktek tidak tertulis, 5 orang dari 5 negara anggota tetap Dewan
Keamanan menduduki jabatan hakim dalam Mahkamah Internasional.
Hakim Mahkamah Internasional dipilih untuk jangka waktu 9 tahun, dan setelah
itu dapat dipilih kembali15.

Untuk menjaga kelangsungan suatu sengketa dalam hal seorang atau


beberapa hakim telah memasuki masa tugasnya selama 9 tahun, maka Statuta
mensyaratkan adanya pemilihan 5 orang hakim untuk bertugas selama 5 tahun
secara interval (Pasal 13 ayat (1) Statuta Mahkamah).16

2. HAKIM AD HOC
Dalam perkembangannya apabila suatu negara terlibat sengketa dan
komposisi hakim tidak ada hakim dari negara yang bersangkutan maka negara
tersebut dapat meminta dipilih hakim ad-hoc. Hakim ad-hoc ini dipilih diluar dari
15 orang hakim Mahkamah.

Seorang hakim Mahkamah Internasional tidak dilarang untuk memeriksa suatu


kasus yang menyangkut negaranya atau kepentingan negaranya (Pasal 31
Statuta), meskipun Rules of Court (aturan hukum acara ICJ) menyatakan
bahwa jika ia adalah ketua atau presiden Mahkamah, ia seharusnya
menonaktifkan fungsinya sebagai ketua atau presiden dalam kasus tersebut.
Fungsi ketua dalam hal inidigantikan oleh wakil ketua. Apabila suatu Negara
pada suatu sengketa tidak memiliki hakim yang berkebangsaan negaranya, ia
dapat meminta agar seorang hakim ad hoc dipilih (Pasal 31 ayat(3) ).17

Seorang Hakim ad hoc diharuskan untuk mengucapkan sumpah seperti halnya


seorang hakim yang dipilih suatu pihak yang hendak meminta hakim ad hoc.
Ia harus mengumumkannya secepat mungkin niat tersebut. Peranan dan
kedudukan Hakim ad hoc ini sama dengan perana dan kedudukan hakim
biasa. Namun, dalam persyaratan kuorum hakim untuk mengambil putusan
yaitu sebanyak 9 (Sembilan), tidaklah termasuk suara dari Hakim ad hoc ini

3. CHAMBER
Mahkamah dalam menyelesaikan sengketanya dapat memeriksa dengan
seluruh anggotanya atau cukup dengan beberapa hakim tertentu yang dipilih

15 ICJ (On-Line) tersedia di: http://www.icj-cij.org/court/index.php?p1=1&p2=2 (15 Maret 2019)


16 Op.Cit Pasal 13
17 Ibid. Pasal 31
secara rahasia, disebut Chamber. Putasan Chamber tetap dianggap sebagai
putusan dari Mahkamah.

Chamber yang tersedia dalam Mahkamah :

 The Chamber of Summary Procedure, yaitu Chamber yang terdiri 5


orang hakim termasuk di dalamnya presiden dan wakil presiden.
 Chamber (lainnya) yang sedikitnya terdiri 3 hakim yang menangani
suatu kategori atau kelompok sengketa tertentu, misalnya di bidang
perburuhan atau komunikasi.
 Chamber (lainnya) yang dibentuk Mahkamah untuk menangani kasus
tertentu setelah berkonsultasi dangan para pihak mengenai jumlah dan
nama-nama hakim yang akan menangani sengketa.
 Ketentuan mengenai Chamber diatur dalam Rules concerning Chamber
of Court. Pembentukannya pertama kali tahun 1982 dalam sengketa
Delimitation of the Maritime Boundary in the Gulf of Maine (Gulf Maine
case) antara Kanada dan Amerika Serikat.18
4. THE REGISTRY

Adalah organ administratif Mahkamah, bertanggung jawab hanya pada


mahkamah. Tugas utamanya memberi bantuan jasa di bidang administrative
kepada negara-nrgara yang bersengketa dan juga berfungsi sebagai suatu
sekretariat. Kegiatannya mengurusi masalah administratif, keuangan,
penyelenggaraan konferensi dan jasa penerangan dari suatu organisasi
internasional.

Pejabat-pejabat the Registry disumpah dan memiliki imunitas atau kekebalan


seperti halnya misi diplomatik.

The Registry terdiri dari :


 Registrar : seseorang yang memiliki kedudukan yang sama seperti
halnya asisten (pembantu) Sekjend PBB dan Depury Registrar.
Keduanya dipilih oleh Mahkamah melalui pemungutan suara secara
rahasia. Ia bertugas sebagai saluran komunikasi antara ICJ dengan
Negara atau organisasi internasional, memelihara urusan-urusan
administratif Mahkamah, dan ikut pula menandatangani siding putusan
Mahkamah.

18 Loc.Cit
 40 orang bertugas tetap di bidang kesekretariatan, tenaga administratif,
petugas arsip, pengetikan, pustakawan, petugas keamanan.
 Beberapa petugas sementara yang dipekerjakan untuk sementara
waktu untuk melakukan tugas penerjemahan, penulisan cepat.19

D. YURISDIKSI MAHKAMAH INTERNASIONAL


Secara umum, jurisdiksi dapat diartikan sebagai kemampuan atas dasar hukum
internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Hal ini
juga berlaku bagi MI dimana jurisdiksi dijadikan dasar untuk menyelesaikan
sengketa atas dasar hukum internasional. Untuk sebuah kasus dapat diterima atau
admissible di MI, negara sebagai pihak yang beracara harus menerima jurisdiksi
dari MI.

Yurisdiksi mempunyai dua istilah yaitu konteks kedaulatan negara dan konteks
organ yudisial. Dalam konteks kedaulatan negara, yurisdiksi adalah manifestasi
dari kedaulatan. Bowett medefinisikan yurisdiksi sebagai “the capacity of a state
under international law to prescribe or to enforce a rule of law”20. Terkait konteks
organ yudisial, Black mendefinisikan yurisdiksi, yaitu:

“...the power of court to decide a matter in controversy and presuposes the


eхistence of a duty constituted court with control over the subject matter and the
parties. It defines the powers of courts to inquire into factys, apply the law, make
decisions, and declare judgement. It eхist when court has cognizance of class of
cases involved, proper parties are present, and point to be decided is within
powers of court...”21

Sehingga dapat dikemukakan yurisdiksi pada dasarnya adalah suatu bentuk


kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan internasional, yang memberi
kekuasaan pada pengadilan internasional untuk memeriksa kasus, menerapkan
hukum dan mengambil keputusan atasnya. Ada empat kriteria yang menentukan
yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu pengadilan internasional,yakni :22

 wilayah

19Ibid.

20
D.W.Bowett, Jurisdiction: Changing Patterns of Authority Over Activities and Resources, dalam R.St.J.Macdonald & Douglas
M.Jhonston (eds.), The Structure and process of Internasional Law: Essays in Legal Philosophy, doctrine and Theory, (The Hague:
Matinus Nijhoff Publishers, , 1983), h.555.
21 Henry Campbell Black, Black Law Dictionary (Minesota: West Publishing Co., St.Paul,1990), h.853.
22 Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005)
 waktu
 materi perkara
 person yang dapat dicakup oleh pengadilan yang bersangkutan

E. HUKUM ACARA DAN PROSES BERACARA DALAM MAHKAMAH


INTERNASIONAL SERTA PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL

Ketentuan-ketentuan prosedural dalam kegiatan ICJ sama sekali berada diluar


kekuasaan negara-negara yang bersengketa. Ketentuan-ketentuan tersebut
sudah ada sebelum lahirnya sengketa-sengketa dan hal ini diatur dalam Bab III
Statuta. Selanjutnya pasal 30 Statuta memberikan wewenang kepada ICJ untuk
membuat aturan-aturan tata tertib untuk melengkapi Bab III tersebut.23

Jadi bila Statuta merupakan suatu konvensi, aturan prosedur tadi merupakan
suatu perbuatan multilateral ICJ yang juga mengikat negara-negara yang
bersengketa. Disini teknik internasional identik dengan teknik interim suatu
negara. Mengenai isi ketentuan-ketentuan prosedural dicatat bahwa jalannya
proses dimuka ICJ mempunyai banyak kesamaan dengan yurisdiksi intern suatu
negara, yaitu:
1) Prosedur tertulis dan perdebatan lisan diatur sebegitu rupa untuk menjamin
sepenuhnya masing- masing pihak mengemukakan pendapatnya.
2) Sidang-sidang ICJ terbuka untuk umum, sedangkan sidang-sidang arbitrasi
tertutup. Tentu saja rapat hakim-hakim ICJ diadakan dalam sidang tertutup.24

ICJ memiliki yurisdiksi dalam dua jenis kasus, yang pertama atas kasus sengketa
(contentious cases) yang menghasilkan putusan yang mengikat antara negara-
negara yang menjadi pihak, yang sebelumnya telah sepakat untuk tunduk kepada
putusan pengadilan, dan yang kedua yaitu untuk mengeluarkan pendapat nasehat
(advisory opinions) yang menyediakan alasan- alasan/jawaban-jawaban hukum,
sesuai pertanyaan yang ditanyakan dalam lingkup hukum internasional, tetapi
tidak mengikat.

Kasus Sengketa (Contentious Case) Yurisdiksi ICJ terhadap contentious case


bergantung pada kesepakatan pihak- pihak yang bersengketa untuk membawa

23ICJ Statute, pasal.30; “The Court shall frame rules for carrying out its functions. In particular, it shall lay down rules of
procedure.”
24Boer Mauna. 2008. Hukum Internasional; Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Edisi II. Cetakan II. PT
Alumni:Bandung, h.252
kasus mereka ke hadapan ICJ.25 Kesepakatan negara-negara yang bersengketa
diajukan dalam bentuk special agreement (persetujuan khusus) atau yang dikenal
dengan compromis. Compromis sendiri selain berisi persetujuan pihak-pihak yang
bersengketa untuk mengajukan perkara ke Mahkamah, juga berisi penentuan hal-
hal yang dipersengketakan dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke
Mahkamah.26 Hanya negara yang bisa menjadi pihak bersengketa. Hal ini jelas
dimuat dalam pasal 34 ayat (1) yang menyatakan “Only states may be parties in
cases before the Court.”27 Individu, Korporasi, Organisasi Internasional, bahkan
organ-organ PBB tidak dapat menjadi pihak dalam ICJ. Namun hal ini tidak
menghalangi kepentingan dari non- negara untuk menjadi subyek proses jika satu
negara terlibat terhadap yang lain. Sebagai contoh, negara dalam kasus
perlindungan terhadap warga negaranya (diplomatic protection), membawa kasus
ke ICJ atas nama warga negaranya atau perusahaan.
ICJ memiliki yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction) apabila:

a. Para pihak yang bersengketa terikat dalam perjanjian atau konvensi dimana
dalam perjanjian tersebut mereka telah menyapakati bilamana terjadi sengketa
antar pihak-pihak tersebut maka mereka menerima yurisdiksi wajib ICJ untuk
memutus perkara tersebut.
b. Ketika para pihak yang bersengketa menyatakan mereka menerima yurisdiksi
wajib Mahkamah, atau yang dikenal dengan istilah optional clause. Dalam
pasal 36 paragraf 2 dari Statuta Mahkamah dikatakan bahwa pihak-pihak dari
Statuta tersebut dapat setiap saat menyatakan menerima yurisdiksi Mahkamah
tanpa adanya persetejuan khusus dalam hubungannya dengan negara lain
yang menerima kewajiban yang sama, dalam semua sengketa hukum
mengenai:
1) the interpretation of a treaty (penafsiran perjanjian)
2) any question of international law (setiap persoalan dalam hukum internasional)
3) the existence of any fact which, if established, would constitute a breach of an
international obligation (adanya suatu fakta yang bila terbukti akan menjadi
suatu pelanggaran terhadap kewajiban internasional)
4) the nature or extent of the reparation to be made for the breach of an
international obligation (jenis atau besarnya ganti rugi yang harus dilaksanakan
karena atau (iii) hanya untuk kurun waktu tertentu.28

25 ICJ Statute, pasal 36(1)


26 Boer Mauna, Op.Cit., hal.259
27 ICJ Statute, pasal 34(1)
28 J.G. Starke, 1977. An Introduction to International Law. 8th Edition. Butterworths: London., h. 527-528
Pasal 65(1) Statuta ICJ, menyatakan bahwa “the Court may give an advisory
opinion on any legal question at the request of whatever body may be authorized
by or in accordance with the Charter of the United Nations to make such a
request.”29

Hal ini menjelaskan bahwa ICJ juga mempunyai fungsi konsultatif, yaitu
memberikan pendapat- pendapat yang tidak mengikat terhadap suatu pertanyaan
hukum oleh badan yang diakui oleh Piagam PBB sebagai badan yang memiliki
wewenang untuk mengajukan pertanyaan kepada ICJ. Sudah jelas bahwa
terdapat perbedaan antara fungsi penyelesaian sengketa dan fungsi konsultatif
dari ICJ. Dalam melaksanakan fungsi penyelesaian sengketa, keputusan ICJ
merupakan keputusan hukum yang mengikat pihak- pihak yang bersengketa.
Sedangkan pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh ICJ bukan merupakan
putusan hukum yang memiliki kekuatan mengikat, apalagi pelaksanaan pendapat
tersebut tidak dipaksakan. Yang dikeluarkan oleh ICJ hanyalah suatu pendapat
nasehat dan bukan suatu keputusan.30 Menurut pasal 96(1) Piagam PBB, Majelis
Umum dan Dewan Keamanan PBB dapat meminta advisory opinion mengenai
masalah hukum ke ICJ.31

Selanjutnya menurut ayat 2 pasal tersebut, hak untuk meminta pendapat


pelanggaran dari suatu kewajiban internasional). Pernyataan ini dapat dibuat: (i)
tanpa syarat, atau (ii) dengan syarat resiprositas oleh negara-negara lain, hukum
juga dapat diberikan kepada organ-organ lain PBB dan badan-badan khusus,
dengan syarat bahwa semuanya harus mendapat otorisasi terlebih dahulu dari
Majelis Umum.32 Prosedurnya dalam meminta pendapat nasehat haruslah dibuat
dalam bentuk permintaan tertulis yang berisi pernyataan yang jelas tentang hal
yang dimintakan dari Mahkamah, sementara itu dokumen- dokumen serupa yang
menjadi pelengkap harus diserahkan pada saat yang bersamaan dengan
permintaan tertulis, atau segera sesudahnya, sebanyak jumlah yang disyaratkan.
Ini adalah syarat formal yang harus dipenuhi agar Mahkamah dapat memberikan
pendapat nasehat. Pantitera kemudian memberitahukan negara- negara mana
saja yang akan tampil dalam persidangan. Panitera juga memberitahukan kepada

29 ICJ Statute, Op.Cit., pasal.65(1)


30 Boer Mauna, Op.Cit, h. 263
31Charter of the United Nations, pasal.96(1); “The General Assembly or the Security Council may request the International
Court of Justice to give an advisory opinion on any legal question.”
32Ibid, pasal 96(2); “Other organs of the United Nations and specialized agencies, which may at any time be so authorized by
the General Assembly, may also request advisory opinions of the Court on legal questions arising within the scope of their
activities.”; lihat juga Boer Mauna, Op.Cit., h.264
negara atau organisasi international mana saja yang dianggap dapat memberikan
informasi mengenai subyek masalah, dalam hal ini Mahkamah akan menerima
pernyataan tertulis dan lisan. Negara-negara dan Organisasi-organisasi
internasional yang membawakan pernyataan baik secara lisan maupun tertulis
berhak memberikan komentar terhadap negara atau organisasi internasional lain
yang juga membawakan pernyataan lisan ataupun tulisan. Pendapat nasehat
dibawakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.33

33 J. G. Starke, 1977, Op. Cit., hal.536-537


BAB III
PENUTUP
Pengadilan adalah salah satu dari sekian banyak jalan untuk menyelesaikan sengketa.
Menyelesaikan sengketa internasional tentu adalah merupakan tugas dari pengadilan
internasional. Peran Mahkamah internasional dalam penyelesaian sengketa
internasional telah diakui oleh masyarakat internasional. Kekuatan yang mengikat dalam
hukum maksudnya adalah suatu kepastian yang menentukan bagaimana pada akhirnya
hubungan hukum antara kedua belah pihak yang berperkara. Dengan demikian,
kekuatan mengikat sebuah keputusan yang dalam hal ini adalah keputusan Mahkamah
Internasional dapat diartikan sebagai suatu kepastian yang terdapat di dalam peraturan
hukum internasional yang menentukan bagaimana hubungan hukum antara kedua
negara yang berperkara di Mahkamah Internasional dimana ketentuan hukum
internasional yang dikeluarkan oleh hakim Mahkamah Internasional lah yang
menentukan penyelesaian persoalan sengketa negara tersebut. Pasal 59 Statuta
Mahkamah Internasional menentukan : “The decision of the Court has no binding force
except between the parties and in respect of that particular case.”

Anda mungkin juga menyukai