MAKALAH
MATA KULIAH HUKUM PERADILAN INTERNASIONAL
MAHKAMAH INTERNASIONAL
Bpk. DR. H. Anto Ismu Budianto, SH., MH.
Disusun Oleh :
KELOMPOK I
M. Ikhsan Lapadengan (010001500267)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT Tuhan semesta alam yang
senantiasa melimpahkan rahmat-Nya sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.
Tidak lupa kami berterimakasih kepada Bapak DR. H. Anto Ismu Budianto, SH., MH
selaku dosen yang memberikan tugas ini pada kami.
Tugas makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Peradilan
Internasional. Dalam makalah ini, kami membahas mengenai segala sesuatu yang
terdapat di dalam Mahkamah Internasional. Baik dalam pengertian, sejarah
pembentukannya, fungsi, komposisi, maupun tugas dan wewenang, serta cara
mengadukan sengketa di Mahkamah Internasional.
Kami berharap semoga materi pembahasan yang disusun dalam makalah ini dapat
membantu kami dan mahasiswa lain dalam menambah wawasan tentang materi
Mahkamah Internasional.
Tim penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca dan pemakai makalah
ini untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam interaksi sosial manusia tidak jarang luput dari kesalahan, yang biasanya
menimbulkan konflik akibat adanya kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan.
Begitu pula dengan negara maupun aktor-aktor dalam hubungan internasional lainnya,
dimana hubungan yang terjalin begitu kompleks sehingga konflik sangat mudah terjadi.
Dalam hubungan antar negara, sengketa acapkali terjadi akibat perebutan wilayah
perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan juga isu-isu
sosial lainnya. Oleh karena itu yang seharusnya memainkan peranan di sini adalah
hukum internasional, yang mengatur mekanisme hubungan yang terjadi antar aktor
internasional dengan mengedepankan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.1
Pasal 2 (3) Piagam PBB menetukan bahwa segenap anggota PBB harus
menyelesaikan sengketa internasional dengan jalan damai dan mempergunakan cara-
cara sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional, serta keadilan
tidak terancam. Ada dua cara untuk menyelesaikan sengketa internasional2, yaitu:
1 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 1.
2 Piagam PBB 1945 dan Statuta Mahkamah Internasional, Pasal 2 ayat (3)
seperti perang. invasi. dan lainnya. Metode itu telah menjadi solusi bagi Negara sebagai
aktor utama dalam hukum internasional klasik.
Akan tetapi, karena memliki sifat yang rekomendatif dan tidak mengikat. konvensi
tersebut tidak memiliki kekuatan memaksa (kepastian hukum tetap) untuk melarang
Negara-negara melakukan kekerasa sebagai metode penyelesaian sengketa dengan
kekerasan antarnegara. karena LBB tidak mampu melakukan tindakan preventif untuk
mencegah terjadinya Perang Dunia ke-2.
Piagam PBB telah dijadikan sebagai landasan utama oleh banyak Negara untuk
menyelesaikan sengketa internasional dengan cara damai. Pencantuman penyelesaian
sengketa secara damai dalam Piagam PBB memang mutlak diperlukan. Hal itu
disebabkan konsekwensi logis dari Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) PBB itu sendiri.
yaitu menjaga kedamaian dan kemanan dunia (Internasional).
3 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, II (Bandung: PT.Alumni, 2005), 1
Untuk menyelesaikan sengketa dengan jalan damai yang sesuai dengan asas-asas
keadilan dan hukum internasional, maka diperlukan badan yang berdiri sendiri dan badan
ini kedudukannya sebagai alat perlengkapan utama organ utama PBB. Badan ini tidak
boleh dipengaruhi oleh kepentingan pihak tertentu dan harus bebas dari segala
pengaruh. Telah kita ketahui bahwa salah satu cara penyelesaian sengketa secara
hukum atau judicial sentlement dalam hukum internasional adalah penyelesaian melalaui
badan peradilan internasional (world court atau international court). Dalam hukum
internasional, penyelesaian secara hukum dewasa ini dapat ditempuh melalui berbagai
cara atau lembaga, yaitu Permanent Court of International of Justice (PCIJ) atau
Mahkamah Permanen Internasional Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional,
the International Tribunal for the Law of the Sea (Konvensi Hukum Laut 1982) atau
International Criminal Court (ICC).4
Pada masa LBB peristiwa yang penting ialah dibentuknya Mahkamah Internasional
Permanen (Permanent Court of Internasional Justice – PCIJ). Mahkamah berdiri setelah
statuta diratifikasi oleh mayoritas Negara-negara anggota PBB, PCIJ berdiri tahun 1921
da berkedudukan di Den Haag.5
2. Apa saja fungsi, komposisi, tugas dan wewenang, serta cara mengadukan
sengketa internasional ke Mahkamah Internasional?;
1. PCIJ merupakan suatu badan peradilan permanen yang diatur oleh Statuta dan
Rules of Procedure-nya mengikat para pihak yang menyerahkan sengketanya
pada PCIJ.
2. PCIJ memiliki suatu badan kelengkapan, yaitu Registry (pendaftar) permanen
yang antara lain bertugas menjadi penghubung komunikasi antara pemerintah
dan badan-badan organisasi internasional.
3. Sebagai badan peradilan, PCIJ telah menyelesaikan berbagai sengketa yang
putusannya memiliki nilai penting dalam perkembangan hukum internasional.
Dari tahun 1922 sampai 1940, PCIJ telah menangani 29 kasus.
Beberapa ratus perjanjian dan konvensi memuat klausul penyerahan
sengketa kepada PCIJ.8
4. Negara-negara telah memanfaatkan badan peradilan ini dengan cara
menundukkan dirinya terhadap yurisdiksi PCIJ.
7Statuta Mahkamah Internasional (1945) menunjukan mengenai susunan keorganisasian, komposisi, tugas, dan wewenang
Mahkamah
8 Peter Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, London: Routledge, 7th.rev.ed., 1997 h.25
5. PCIJ memiliki kompentensi untuk membeikan nasehat hukum terhadap
masalah atau sengketa hukum yang diserahkan oleh Dewan atau Majelis LBB.
Selama berdiri, PCIJ telah mengeluarkan 27 nasehat hukum yang berupa
penjelasan terhadap aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum internasional.9
6. Statuta PCIJ menetapkan berbagai sumber hukum yang dapat digunakannya
terhadap pokok perkara yang diserahkan kepadanya termasuk masalah-
masalah yang membutuhkan nasehat hukum PCIJ antara lain diberi
wewenang untuk menetapan prinsip ex aequo et bono apabila para pihak
menghendakinya.
7. PCIJ memiliki lebih banyak perwakilan (anggota) baik dari jumlah maupun
system hukum yang terwakili di dalamnya.
PCIJ, seperti tampak di atas, terbentuk oleh LBB. Namun demikian kedudukan PCIJ
terlepas atau tidak merupakan bagian dari LBB. Yang ada hanyalah semacam hubungan
erat (close relationship) antara kedua badan ini. Hal ini tampak antara lain dari kenyataan
bahwa Dewan secara periodik memilih anggota PCIJ. Dewan berhak meminta nasihat
hukum dari Mahkamah. Begitu pula dengan kedudukan Statuta PCIJ. Kedudukannya
juga terpisah dengan Kovenan LBB. Karena itu pula anggota Kovenan LBB tidak secara
otomatis menjadi anggota Statuta PCIJ10
Meskipun mempunyai peranan yang penting dan cukup kuat, namun pecahnya Perang
Dunia II pada bulan September 1939 telah berakibat serius terhadap PCIJ dan secara
politis telah menghentikankegiatan-kegiatan Mahkamah. Terjadinya peperangan yang
terus berkelanjutan ini bahkan telah membuat PCIJ menjadi bubar.
Pada tahun 1942, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan rekannya dari Inggris
menyatakan kesepakatan untuk mengaktifkan dan membentuk kembali suatu mahkamah
internasional. Pada tahun 1943 pemerintah Inggris mengambil inisiatif dengan
mengundang para ahli London untuk mengkaji masalah tersebut yaitu Inter-Allied
Committee yang dipimpin oleh Sir William Malkin berkebangsaan Inggris. Komisi berhasil
mengeluarkan laporannya pada tanggal 10 Februari 1944 yang memuat beberapa
rekomendasi sebagai berikut :
1. Bahwa perlu dibentuk suatu Mahkamah Internasional baru dngan statute yang
berlandaskan Statuta PCIJ.
9 Ibid. h.25
10 Bandingkan dengan kedudukan Statuta ICJ dengan Piagam PBB di bawah, Infra.
3. Bahwa mahkamah baru tersebut tidak boleh memiliki yurisdiksi memaksa
(cumpolsory jurisdiction).11
Di dalam Piagam PBB 1945, dasar hukum yang berkenaan tentang MI terdapat
dalam BAB XIV tentang MI sebanyak 5 pasal yaitu pasal 92-96. Sedangkan di
dalam Statuta MI sendiri, ketentuan yang berkenaan dengan proses beracara
terletak pada BAB III yang mengatur tentang Procedure dan BAB IV yang memuat
tentang Advisory Opinion. Ada 26 pasal (pasal 39 – 46) yang tercantum di dalam
BAB III, sementara di dalam BAB IV hanya terdapat 4 pasal (pasal 65-68).12
Dasar hukum yang ketiga yaitu Aturan Mahkamah (Rules of the Court), (1970)
yang terdiri dari 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami
beberapa amandemen dimana amandemen terakhir adalah pada tahun 2000.
Aturan ini berlaku atau entry into force sejak tanggal 1 Februari 2001 dan bersifat
tidak berlaku surut atau non-retroaktif,
“…..The amended Rules shall come into force on 1 February 2001, and shall as
from that date replace the Rules adopted by the Court on 14 April 1978, save in
respect of any case submitted to the Court before 1 February 2001, or any phase
of such a case, which shall continue to be governed by the Rules in force before
that date”
11 ICJ, The International Court of Justice, The Haque, 3rd.ed., 1986,hlm. 16-17.
12 Infra. Catatan kaki nomor 7
Dasar hukum yang berikutnya adalah Panduan Praktek (Practice Directions) I-IX.
Ada 9 panduan praktek yang dijadikan dasar untuk melakukan proses beracara di
MI. Panduan praktek ini secara umum berkisar tentang surat pembelaan (written
pleadings) yang harus dibuat dalam beracara di MI. Dasar hukum terakhir dari
proses beracara di MI adalah Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari
Mahkamah (Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court),
(1976). Resolusi ini terdiri dari 10 ketentuan tentang beracara di MI yang telah
diadopsi pada tanggal 12 Apil 1976. Resolusi ini menggantikan resolusi yang sama
tentang Internal Judicial Practice yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1968.13
Calon hakim tersebut harus memiliki moral yang tinggi (high moral
characteristic). Ia juga harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang
ditetapkan di negaranya untuk menduduki suatu jabatan kehakiman tertinggi,
ia harus pula diakui kompetensinya dalam hukum internasional.
13 Loc.Cit.
14 Ibid.
Dari praktek tidak tertulis, 5 orang dari 5 negara anggota tetap Dewan
Keamanan menduduki jabatan hakim dalam Mahkamah Internasional.
Hakim Mahkamah Internasional dipilih untuk jangka waktu 9 tahun, dan setelah
itu dapat dipilih kembali15.
2. HAKIM AD HOC
Dalam perkembangannya apabila suatu negara terlibat sengketa dan
komposisi hakim tidak ada hakim dari negara yang bersangkutan maka negara
tersebut dapat meminta dipilih hakim ad-hoc. Hakim ad-hoc ini dipilih diluar dari
15 orang hakim Mahkamah.
3. CHAMBER
Mahkamah dalam menyelesaikan sengketanya dapat memeriksa dengan
seluruh anggotanya atau cukup dengan beberapa hakim tertentu yang dipilih
18 Loc.Cit
40 orang bertugas tetap di bidang kesekretariatan, tenaga administratif,
petugas arsip, pengetikan, pustakawan, petugas keamanan.
Beberapa petugas sementara yang dipekerjakan untuk sementara
waktu untuk melakukan tugas penerjemahan, penulisan cepat.19
Yurisdiksi mempunyai dua istilah yaitu konteks kedaulatan negara dan konteks
organ yudisial. Dalam konteks kedaulatan negara, yurisdiksi adalah manifestasi
dari kedaulatan. Bowett medefinisikan yurisdiksi sebagai “the capacity of a state
under international law to prescribe or to enforce a rule of law”20. Terkait konteks
organ yudisial, Black mendefinisikan yurisdiksi, yaitu:
wilayah
19Ibid.
20
D.W.Bowett, Jurisdiction: Changing Patterns of Authority Over Activities and Resources, dalam R.St.J.Macdonald & Douglas
M.Jhonston (eds.), The Structure and process of Internasional Law: Essays in Legal Philosophy, doctrine and Theory, (The Hague:
Matinus Nijhoff Publishers, , 1983), h.555.
21 Henry Campbell Black, Black Law Dictionary (Minesota: West Publishing Co., St.Paul,1990), h.853.
22 Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005)
waktu
materi perkara
person yang dapat dicakup oleh pengadilan yang bersangkutan
Jadi bila Statuta merupakan suatu konvensi, aturan prosedur tadi merupakan
suatu perbuatan multilateral ICJ yang juga mengikat negara-negara yang
bersengketa. Disini teknik internasional identik dengan teknik interim suatu
negara. Mengenai isi ketentuan-ketentuan prosedural dicatat bahwa jalannya
proses dimuka ICJ mempunyai banyak kesamaan dengan yurisdiksi intern suatu
negara, yaitu:
1) Prosedur tertulis dan perdebatan lisan diatur sebegitu rupa untuk menjamin
sepenuhnya masing- masing pihak mengemukakan pendapatnya.
2) Sidang-sidang ICJ terbuka untuk umum, sedangkan sidang-sidang arbitrasi
tertutup. Tentu saja rapat hakim-hakim ICJ diadakan dalam sidang tertutup.24
ICJ memiliki yurisdiksi dalam dua jenis kasus, yang pertama atas kasus sengketa
(contentious cases) yang menghasilkan putusan yang mengikat antara negara-
negara yang menjadi pihak, yang sebelumnya telah sepakat untuk tunduk kepada
putusan pengadilan, dan yang kedua yaitu untuk mengeluarkan pendapat nasehat
(advisory opinions) yang menyediakan alasan- alasan/jawaban-jawaban hukum,
sesuai pertanyaan yang ditanyakan dalam lingkup hukum internasional, tetapi
tidak mengikat.
23ICJ Statute, pasal.30; “The Court shall frame rules for carrying out its functions. In particular, it shall lay down rules of
procedure.”
24Boer Mauna. 2008. Hukum Internasional; Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Edisi II. Cetakan II. PT
Alumni:Bandung, h.252
kasus mereka ke hadapan ICJ.25 Kesepakatan negara-negara yang bersengketa
diajukan dalam bentuk special agreement (persetujuan khusus) atau yang dikenal
dengan compromis. Compromis sendiri selain berisi persetujuan pihak-pihak yang
bersengketa untuk mengajukan perkara ke Mahkamah, juga berisi penentuan hal-
hal yang dipersengketakan dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke
Mahkamah.26 Hanya negara yang bisa menjadi pihak bersengketa. Hal ini jelas
dimuat dalam pasal 34 ayat (1) yang menyatakan “Only states may be parties in
cases before the Court.”27 Individu, Korporasi, Organisasi Internasional, bahkan
organ-organ PBB tidak dapat menjadi pihak dalam ICJ. Namun hal ini tidak
menghalangi kepentingan dari non- negara untuk menjadi subyek proses jika satu
negara terlibat terhadap yang lain. Sebagai contoh, negara dalam kasus
perlindungan terhadap warga negaranya (diplomatic protection), membawa kasus
ke ICJ atas nama warga negaranya atau perusahaan.
ICJ memiliki yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction) apabila:
a. Para pihak yang bersengketa terikat dalam perjanjian atau konvensi dimana
dalam perjanjian tersebut mereka telah menyapakati bilamana terjadi sengketa
antar pihak-pihak tersebut maka mereka menerima yurisdiksi wajib ICJ untuk
memutus perkara tersebut.
b. Ketika para pihak yang bersengketa menyatakan mereka menerima yurisdiksi
wajib Mahkamah, atau yang dikenal dengan istilah optional clause. Dalam
pasal 36 paragraf 2 dari Statuta Mahkamah dikatakan bahwa pihak-pihak dari
Statuta tersebut dapat setiap saat menyatakan menerima yurisdiksi Mahkamah
tanpa adanya persetejuan khusus dalam hubungannya dengan negara lain
yang menerima kewajiban yang sama, dalam semua sengketa hukum
mengenai:
1) the interpretation of a treaty (penafsiran perjanjian)
2) any question of international law (setiap persoalan dalam hukum internasional)
3) the existence of any fact which, if established, would constitute a breach of an
international obligation (adanya suatu fakta yang bila terbukti akan menjadi
suatu pelanggaran terhadap kewajiban internasional)
4) the nature or extent of the reparation to be made for the breach of an
international obligation (jenis atau besarnya ganti rugi yang harus dilaksanakan
karena atau (iii) hanya untuk kurun waktu tertentu.28
Hal ini menjelaskan bahwa ICJ juga mempunyai fungsi konsultatif, yaitu
memberikan pendapat- pendapat yang tidak mengikat terhadap suatu pertanyaan
hukum oleh badan yang diakui oleh Piagam PBB sebagai badan yang memiliki
wewenang untuk mengajukan pertanyaan kepada ICJ. Sudah jelas bahwa
terdapat perbedaan antara fungsi penyelesaian sengketa dan fungsi konsultatif
dari ICJ. Dalam melaksanakan fungsi penyelesaian sengketa, keputusan ICJ
merupakan keputusan hukum yang mengikat pihak- pihak yang bersengketa.
Sedangkan pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh ICJ bukan merupakan
putusan hukum yang memiliki kekuatan mengikat, apalagi pelaksanaan pendapat
tersebut tidak dipaksakan. Yang dikeluarkan oleh ICJ hanyalah suatu pendapat
nasehat dan bukan suatu keputusan.30 Menurut pasal 96(1) Piagam PBB, Majelis
Umum dan Dewan Keamanan PBB dapat meminta advisory opinion mengenai
masalah hukum ke ICJ.31