TENTANG
SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
Dosen pengampu :
Muhammad Ruhly Kesuma Dinata, S.H.,M.H.
Disusun oleh :
Doni Aprizal
NPM : 2174201004
PRODI HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KOTABUMI
2023
PEMBAHASAN
1
I Wayan Phartiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 2003,
hlm.85.
2
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung: PT Alumni, 2001, hlm. 49-50.
bahwa negara sebagai satu-satunya subjek Hukum Internasional harus
sudah ditinggalkan.3
Macam-macam subjek Hukum Internasional selain negara antara lain:
1. Organisasi Internasional
Malcolm Shaw mengatakan bahwa, “International
organisations have played a crucial role in the sphere of
international personality”4 yang dapat diartikan sebagai,
“Organisasi-organisasi internasional memiliki peran penting
terhadap subjek Hukum Internasional”.
Munculnya gagasan untuk membentuk organisasi
internasional adalah dikarenakan adanya pendapat Hugo Grotius
yang mengatakan, ketika penyelesaian masalah dalam pengadilan
gagal, maka perang akan terjadi. Jika negara-negara ingin tetap
bertahan dalam keadaan alami dunia yang anarki/dibawah
kekuasaan diktator, maka alternatifnya yaitu dengan menciptakan
suatu komunitas internasional. Ide ini yang kemudian mengilhami
munculnya organisasi-organisasi internasional.
Pasca Perang Dunia I yang banyak menghancurkan Dunia
Eropa, ide tentang organisasi dunia dirasakan semakin perlu
diwujudkan demi menjaga perdamaian dan kebaikan bersama
masyarakat dunia. Pada tahun 1899 hingga 1907 diadakan
Konferensi Internasional untuk Perdamaian dan 44 negara
berdaulat mengirimkan wakilnya untuk menghadiri konferensi
tersebut, sehingga terbentuklah Liga Bangsa-Bangsa (LBB).
Namun, dikarenakan gagalnya LBB dalam menjaga keamanan dan
mencegah terjadinya Perang Dunia II, maka diperlukan revisi ide
organisasi internasional. Kemudian setelah terjadinya PD II,
dibentuklah organisasi internasional yang menggantikan LBB,
3
Ibid., hlm. 87.
4
Malcolm N. Shaw, International Law, New York: Cambridge University Press, 2008,
hlm. 259.
yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bermaksud untuk
menyelamatkan manusia-manusia dari siksaan perang, serta5:
a. Memperkuat keyakinan hak-hak dasar manusia, kemuliaan dan
derajat tinggi manusia, hak-hak yang sama dari pria dan wanita
segala bangsa;
b. Menciptakan suasana keadilan dan penghargaan terhadap
kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional
dan lainnya, sehingga sumber Hukum Internasional dapat
dipelihara;
c. Memajukan masyarakat dan meningkatkan hidup yang baik
dalam suasana kemerdekaan yang lebih luas;
d. Mempersatukan kekuatan supaya perdamaian dan keamanan
internasional tetap terpelihara;
5
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2013, hlm. 220-221.
6
Wildan Al-Fringgi, Loc.Cit.
hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi
internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya.7
2. Palang Merah Internasional (International Committee for the
Red Cross / ICRC)
Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa
mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah Hukum Internasional.
Boleh dikatakan bahwa organisasi ini sebagai suatu subjek hukum
yang lahir karena sejarah, walaupun kemudian kedudukannya
diperkuat dalam perjanjian dan Konvensi-konvensi Palang Merah
(sekarang Konvensi Jenewa Tahun 1949 Tentang Perlindungan
Korban Perang).8
ICRC merupakan produk dari inisiatif pribadi, yaitu
pembentukannya tidak berdasarkan inisiatif/perjanjian
internasional antar beberapa negara sebagaimana organisasi
internasional pada umumnya, melainkan atas inisiatif pribadi
Henry Dunant dan rekan-rekannya. ICRC pun dibentuk
berdasarkan hukum perdata Swiss, namun melalui berbagai tugas
yang dibebankan kepadanya oleh Konvensi Jenewa dan protokol
tambahannya. ICRC memperoleh status internasionalnya yang
mana status tersebut memberikan hak ICRC untuk melaksanakan
misinya di seluruh dunia serta memungkinkan untuk melakukan
hubungan dengan negara lain dengan membuka perwakilan dan
menyebarkan delegasinya.
ICRC memperoleh mandat untuk melaksanakan fungsinya
sebagai penengah netral dalam konflik bersenjata. ICRC
bertanggung jawab menyebarluaskan hukum dan prinsip-prinsip
humaniter dan mengamati perkembangan serta pelaksanaannya di
dalam dan di luar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ICRC
7
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
Bandung: PT Alumni, 2003, hlm. 101.
8
Ibid.
memiliki kewenangan terbatas yaitu hanya dalam bidang hukum
humaniter, khususnya perlindungan korban perang. ICRC untuk
dapat menjalankan tugasnya memiliki dasar hukum yang terdiri
dari dua jenis, yaitu:
a. Perjanjian Internasional (Konvensi Jenewa 1949 dan
protokolnya); selama konflik bersenjata internasional,
kegiatan ICRC diatur dalam Konvensi Jenewa dan Protokol
I yang mengakui hak ICRC untuk melakukan kegiatan
tertentu seperti membantu korban luka, sakit, karam,
mengunjungi tawanan perang, dan menolong penduduk
sipil. Sedangkan selama konflik intern, ICRC bekerja
berdasarkan Pasal 3 Bagian Umum Konvensi Jenewa dan
Protokol II dimana ICRC berhak untuk menawarkan
operasi bantuan dan kunjungan kepada tahanan.
b. Statuta Gerakan Palang Merah Internasional; dalam situasi
yang bukan berupa konflik bersenjata, misalnya gangguan
keamanan dalam negeri, ICRC mendasarkan kegiatannya
pada Statuta Gerakan yang memberi hak ICRC untuk
bertindak dalam masalah-masalah kemanusiaan sebagai
lembaga penengah yang netral dan mandiri.
3. Takhta Suci (Vatikan)
Takhta Suci merupakan contoh suatu subjek Hukum
Internasional yang telah ada sejak dahulu di samping negara. Hal
ini merupakan peninggalan-peninggalan sejarah sejak zaman
dahulu, ketika Paus bukan hanya merupakan kepala gereja Roma,
tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga sekarang, Takhta
Suci mempunyai perwakilan diplomatik di banyak ibukota
terpenting di dunia yang sejajar kedudukannya dengan wakil
diplomatik negara lain. Hal tersebut terjadi setelah diadakannya
perjanjian antara Italia dengan Takhta Suci pada tanggal 11
Februari 1929 (Lateran Treaty) yang mengembalikan sebidang
tanah di Roma kepada Takhta Suci dan memungkinkan
didirikannya negara Vatikan, yang dengan perjanjian itu sekaligus
dibentuk dan diakui.9
Perjanjian Lateran dapat dipandang sebagai pengakuan
Italia atas eksistensi Takhta Suci sebagai subjek Hukum
Internasional yang berdiri sendiri. Tugas dan kewenangan Takhta
Suci hanya terbatas dalam bidang kerohanian dan kemanusiaan.10
Hal ini dipertegas oleh Malcolm Shaw yang mengatakan bahwa,
“The Holy See as a sovereign subject of international law, it has a
mission of an essentially religious and moral order, universal in
scope, which is based on minimal territorial dimensions
guaranteeing a basis of autonomy for the pastoral ministry of the
Sovereign Pontiff”.11
4. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa (Insurgent and
Belligerent)
Kaum pemberontak (insurgent) pada awalnya muncul
sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara yang
berdaulat. Sebagai contoh dari kaum ini yaitu pemberontakan
bersenjata yang terjadi dalam suatu negara yang dilakukan oleh
sekelompok orang melawan pemerintah yang sedang berkuasa.
Dengan demikian, hukum yang berlaku terhadap peristiwa
pemberontakan tersebut adalah Hukum Nasional dari negara yang
bersangkutan. Hukum Internasional pada hakikatnya tidak
mengaturnya karena hal itu merupakan masalah dalam negeri suatu
negara, kecuali melarang negara lain untuk mencampurinya tanpa
persetujuan negara tempat terjadinya pemberontakan tersebut.12
Hingorani berpendapat bahwa tidak ada yang dinamakan dengan
9
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 100.
10
I Wayan Phartiana, Op.Cit., hlm. 125.
11
Malcolm N. Shaw, Op.Cit., hlm. 244.
12
I Wayan Phartiana, Op.Cit., hlm. 127-128.
pengakuan pemberontak, yang ada hanyalah pengakuan kepada
pihak yang bersengketa (belligerent). Apabila kaum pemberontak
menguasai wilayah tertentu, membentuk pemerintahan sendiri dan
bersedia menaati hukum perang, maka pengakuan yang diberikan
kepadanya adalah pengakuan beligerensi. Kaum beligerensi dapat
diakui negara lain yang dilatarbelakangi untuk mengakui
keberadaan mereka dan melindungi kepentingan wilayah yang
diduduki kaum beligerensi.
Slomansohn berpendapat bahwa kaum beligerensi
memperoleh hak-hak tertentu, antara lain hak memblokade, hak
mengunjungi, hak mencari, dan hak merampas barang-barang yang
diduga milik musuh di laut lepas. Terkait dengan pemberian
pengakuan beligerensi, negara yang hendak mengakuinya harus
menyatakan sikap netral karena jika tidak, negara tersebut dapat
dianggap telah campur tangan terhadap urusan dalam negeri suatu
negara.13
Menurut Oppenheim-Lauterpacht, kelompok beligerensi
dapat digolongkan sebagai subjek Hukum Internasional apabila
memenuhi syarat sebagai berikut14:
a. Adanya perang saudara disertai dengan pernyataan
hubungan permusuhan antara negara yang bersangkutan
dengan kaum pemberontak;
b. Kaum pemberontakan itu harus menguasai/menduduki
sebagian dari wilayah negara yang bersangkutan;
c. Adanya penghormatan atas peraturan-peraturan hukum
perang oleh kedua pihak (negara yang bersangkutan dengan
kaum pemberontak);
13
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Bandung: Keni Media,
2011, hlm. 97-100.
14
I Wayan Phartiana, Op.Cit., hlm. 131.
d. Adanya kebutuhan praktis bagi pihak/negara-negara ketiga
untuk menentukan sikapnya terhadap perang saudara
tersebut.
5. Individu (Orang-perorangan)
Individu dalam arti yang terbatas sudah agak lama dapat
dianggap sebagai subjek Hukum Internasional. Dalam perjanjian
Perdamaian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri PD I antara
Jerman dengan Inggris dan Perancis, dengan masing-masing
sekutunya sudah terdapat pasal-pasal yang memungkinkan individu
dapat mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase
Internasional. Dengan demikian, sudah ditinggalkan dalil lama
yang mengatakan bahwa hanya negara yang dapat menjadi pihak di
hadapan peradilan internasional. Satu hal yang pasti adalah
seseorang dapat dianggap langsung bertanggung jawab sebagai
individu bagi kejahatan perang dan kejahatan terhadap
perikemanusiaan.15
Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah Hukum
Internasional yang memberikan hak dan kewajiban, serta tanggung
jawab langsung kepada individu semakin bertambah pesat setelah
PD II. Lahirnya Universal Declaration of Human Rights pada
tanggal 10 Desember 1948 diikuti lahirnya beberapa konvensi Hak
Asasi Manusia (HAM) pada berbagai kawasan seperti di Eropa,
Amerika, dan Afrika, Hak-hak yang tercantum dalam Universal
Declaration of Human Rights antara lain, hak atas kehidupan,
kebebasan dan keselamatan sebagai individu, berhak untuk tidak
diperbudak, hak untuk tidak disiksa, hak untuk diakui di depan
hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada16, serta hak-
hak asasi lainnya wajib ditaati dan dihormati oleh para subjek
Hukum Internasional lainnya.
15
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 103-106.
16
I Wayan Phartiana, Op.Cit., hlm. 141-142.
B. Kedudukan BLA (Bandung Liberation Army), ICRC (International
Committee of the Red Cross), UNSG (United Nations Secretary
General), dan Da Luiz Alves
Sebelumnya akan disebutkan terlebih dahulu terkait dengan syarat
syarat agar dapat dikategorikan sebagai subjek Hukum Internasional. Perlu
diketahui bahwa agar suatu entitas dapat dikatakan telah memiliki
personalitas Hukum Internasional, maka entitas tersebut harus memiliki
beberapa kecakapan tertentu. Kecakapan yang dimaksud antara lain, yaitu:
1. Mampu mendukung hak dan kewajiban internasional (capable of
possessing international rights and duties);
2. Mampu melakukan tindakan tertentu yang bersifat internasional
(endowed with the capacity to take certain types of action on
international plane);
3. Mampu menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional
(they have related to capacity to treaties and agreements under
international law);
4. Mampu melakukan penuntutan terhadap pihak yang melanggar
kewajiban internasional (the capacity to make claims for breaches of
international law);
5. Memiliki kekebalan dari pengaruh/penerapan yurisdiksi nasional
suatu negara (the enjoyment of privileges and immunities from
national jurisdiction);
6. Dapat menjadi anggota dan berpartisipasi dalam keanggotaan suatu
organisasi internasional (the question of international legal
personality may also arise in regard to membership or participation
in international bodies).
Kedudukan BLA dapat dikategorikan sebagai subjek Hukum
Internasional yaitu sebagai pemberontak (insurgent), hal ini dapat terlihat
dalam course manual Hukum Internasional yang menguraikan bahwa
BLA merupakan pemberontak ekstrem yang berbasis di Bandung,
menduduki dan mengendalikan sebagian wilayah dari Provinsi Jawa Barat.
Selain itu, dapat terlihat pula bahwa dalam melaksanakan aksinya BLA
menggunakan senjata. Sehingga, dari hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa BLA telah memenuhi syarat untuk digolongkan sebagai kaum
pemberontak (insurgent).
BLA belum dapat dikategorikan sebagai pihak dalam sengketa
(belligerent) hal ini dikarenakan BLA belum memenuhi semua syarat
untuk dapat dikategorikan sebagai kaum beligerensi, seperti yang telah
dikemukakan oleh Oppenheim dan Lauterpacht. Adapun syarat yang
belum terpenuhi diantaranya yaitu, belum adanya pengakuan
penghormatan atas peraturan-peraturan hukum perang oleh kedua pihak
(negara yang bersangkutan dengan kaum pemberontak) dan belum adanya
kebutuhan praktis bagi pihak/negara-negara ketiga untuk menentukan
sikapnya terhadap kaum pemberontak yang ada di suatu negara yang
bersangkutan.
Sedangkan, kedudukan ICRC atau Palang Merah Internasional
sudah dapat terlihat jelas bahwa ICRC adalah salah satu subjek Hukum
Internasional. Hal ini dapat diketahui pula dalam course manual Hukum
Internasional bahwa ICRC terbang di atas wilayah Bandung menggunakan
helikopter untuk melakukan misi pemetaan, evaluasi jalur darat, dan
evaluasi areal pendaratan yang akan digunakan untuk mengirim bantuan
kemanusiaan, dimana pengiriman bantuan kemanusiaan tersebut
merupakan salah satu tugas dari ICRC itu sendiri.
UNSG (Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa) sudah
dapat kita ketahui dengan jelas bahwa kedudukannya pada kasus posisi
course manual adalah sebagai salah satu subjek Hukum Internasional yaitu
organisasi internasional. Perlu diketahui bahwa, PBB menyelenggarakan
kegiatannya melalui 6 (enam) alat perlengkapan utamanya, salah satu
diantaranya yaitu Sekretariat yang terdiri atas seorang Sekretaris Jenderal
dan stafnya.17sehingga berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Sekretaris Jenderal PBB merupakan subyek Hukum Internasional, yaitu
sebagai salah satu organisasi internasional. Pada course manual diuraikan
bahwa terjadi penandatanganan perjanjian internasional antara UNSG,
ICRC, dengan BLA tentang penyerahan kotak hitam helikopter milik
ICRC dimana dapat disimpulkan bahwa UNSG telah melaksanakan salah
satu hak yang dimiliki oleh organisasi internasional, yaitu mengadakan
hubungan dengan subjek Hukum Internasional lainnya melalui
penandatanganan perjanjian internasional.
17
R. Abdoel Djamali, Op.Cit., hlm. 226.
18
Course Manual Hukum Internasional. Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. 2015.
hlm. 9-10.
PENUTUP
Buku
Boer Mauna. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Globa., Bandung: PT Alumni. 2001.