Anda di halaman 1dari 15

HUKUM INTERNASIONAL

SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

Oleh:

SYAIDILLA PANJAITAN
NPM. 2006200261

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2024

1
2
BAB I
PENDAHULUAN

Subjek Hukum Internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban yang telah
ditentukan di dalam Hukum Internasional itu sendiri. Subjek Hukum Internasional dapat pula
diartikan sebagai pengemban hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diatur di dalam suatu
kaidah Hukum Internasional.
Salah satu yang menjadi subjek Hukum Internasional adalah negara yang merdeka dan
berdaulat, artinya haruslah negara yang berdiri sendiri dan tidak tergantung kepada keberadaan
negara lain. Namun dikarenakan oleh zaman yang selalu mengalami perubahan dan
perkembangan, maka baik secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan pengaruh
pula terhadap subjek Hukum Internasional. Pengaruh yang dimaksud tersebut adalah munculnya
berbagai macam subjek Hukum Internasional selain negara (non-state actor).
Sebagai pengemban hak dan kewajiban yang bersifat internasional, maka para subjek
Hukum Internasional sekiranya harus memberikan perhatian yang cukup serius terhadap
pemahaman mengenai apa yang menjadi haknya dan apa pula yang menjadi kewajibannya.
Pemahaman mengenai hak dan kewajiban tersebut dirasakan sangat penting terkait dengan dalam
hal pada saat para subjek Hukum Internasional mengadakan hubungan dengan negara-negara
lain.
Hak dan kewajiban para subjek Hukum Internasional merupakan salah satu persoalan
yang cukup penting, dikarenakan hal ini dalam rangka upaya pencegahan terjadinya suatu
sengketa/konflik internasional diantara para subjek Hukum Internasional. Konflik yang bersifat
internasional tersebut dapat terjadi kapanpun dan dimanapun, baik antara negara yang satu
dengan negara yang lain, antara negara dengan subjek Hukum Internasional selain negara,
maupun antar subjek Hukum Internasional selain negara.

1
BAB II
TUJUAN PEMBELAJARAN

Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:


1. Untuk mengetahui macam-macam subjek Hukum Internasional selain negara
(non-state actor), beserta hak dan kewajibannya.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat agar dapat dikategorikan sebagai subjek Hukum
Internasional.

2
BAB III
PEMBAHASAN

A. Macam-Macam Subjek Hukum Internasional Selain Negara (Non-State Actor)


Pada awal mula lahirnya dan tumbuhnya Hukum Internasional,
hanya negara yang dipandang sebagai subjek Hukum Internasional. Hal ini dapat dimengerti
karena pada masa awal tersebut dapat dikatakan tidak ada atau bahkan jarang sekali adanya
pribadi-pribadi Hukum Internasional selain negara yang melakukan hubungan-hubungan
Internasional.1
Kemudian sejak akhir Perang Dunia II, masyarakat internasional telah mengalami
perubahan yang mendalam dimana terjadi transformasi yang bersifat horizontal dan yang
bersifat vertikal. Transformasi yang bersifat horizontal dapat diartikan sebagai menjamurnya
aktor-aktor baru sehingga komposisi masyarakat internasional sekarang tidak lagi bersifat
homogen seperti di masa lalu. Sedangkan, transformasi yang bersifat vertikal yaitu
tampilnya bidang-bidang baru yang beraneka ragam dengan jumlah yang banyak, sehingga
memperluas ruang lingkup Hukum Internasional itu sendiri. Jadi, dapat disimpulkan dari
kedua transformasi ini telah menyebabkan arti dan peranan dari Hukum Internasional
semakin lebih kompleks.2
Munculnya berbagai organisasi dan pribadi Hukum Internasional lain yang secara
aktif terlibat dalam hubungan-hubungan internasional, menjadikan hubungan internasional
tersebut mengalami pergeseran yang cukup fundamental sehingga secara otomatis
membutuhkan prinsip-prinsip serta kaidah-kaidah hukum Internasional baru untuk
mengaturnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan hukum internasional
semakin lama semakin luas dan kompleks sehingga pandangan yang mengatakan bahwa
negara sebagai satu-satunya subjek Hukum Internasional harus sudah ditinggalkan.3
Macam-macam subjek Hukum Internasional selain negara antara lain:
1. Organisasi Internasional

1
I Wayan Phartiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm.85.
2
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT
Alumni, 2001, hlm. 49-50.
3
Ibid., hlm. 87.

3
Malcolm Shaw mengatakan bahwa, “International organisations have played a
crucial role in the sphere of international personality”4 yang dapat diartikan sebagai,
“Organisasi-organisasi internasional memiliki peran penting terhadap subjek Hukum
Internasional”. Munculnya gagasan untuk membentuk organisasi internasional adalah
dikarenakan adanya pendapat Hugo Grotius yang mengatakan, ketika penyelesaian
masalah dalam pengadilan gagal, maka perang akan terjadi. Jika negara-negara ingin
tetap bertahan dalam keadaan alami dunia yang anarki/dibawah kekuasaan diktator,
maka alternatifnya yaitu dengan menciptakan suatu komunitas internasional. Ide ini
yang kemudian mengilhami munculnya organisasi-organisasi internasional.
Pasca Perang Dunia I yang banyak menghancurkan Dunia Eropa, ide tentang
organisasi dunia dirasakan semakin perlu diwujudkan demi menjaga perdamaian dan
kebaikan bersama masyarakat dunia. Pada tahun 1899 hingga 1907 diadakan Konferensi
Internasional untuk Perdamaian dan 44 negara berdaulat mengirimkan wakilnya untuk
menghadiri konferensi tersebut, sehingga terbentuklah Liga Bangsa-Bangsa (LBB).
Namun, dikarenakan gagalnya LBB dalam menjaga keamanan dan mencegah terjadinya
Perang Dunia II, maka diperlukan revisi ide organisasi internasional. Kemudian setelah
terjadinya PD II, dibentuklah organisasi internasional yang menggantikan LBB, yaitu
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)5 yang bermaksud untuk menyelamatkan manusia-
manusia dari siksaan perang, serta6:
a. Memperkuat keyakinan hak-hak dasar manusia, kemuliaan dan derajat tinggi
manusia, hak-hak yang sama dari pria dan wanita segala bangsa;
b. Menciptakan suasana keadilan dan penghargaan terhadap kewajiban-kewajiban
yang timbul dari perjanjian internasional dan lainnya, sehingga sumber Hukum
Internasional dapat dipelihara;
c. Memajukan masyarakat dan meningkatkan hidup yang baik dalam suasana
kemerdekaan yang lebih luas;
d. Mempersatukan kekuatan supaya perdamaian dan keamanan internasional tetap
terpelihara;
4
Malcolm N. Shaw, International Law, New York: Cambridge University Press, 2008, hlm. 259.
5
Wildan Al-Fringgi. “Sejarah Singkat Organisasi Internasional: Resume International Organization and Democracy
karya Thomas D. Zeifel”. <
https://www.academia.edu/8242470/Sejarah_Singkat_Organisasi_Internasional_Sebuah_Resume_>. [26/03/2016].
6
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013, hlm. 220-221.

4
Sejak pada tahun 1960-an, sebanyak 80 negara menjadi independen dan
dekolonisasi semakin banyak. Pada tahun 1991 sebanyak 113 negara telah meratifikasi
Perjanjian Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Hal ini menunjukkan kemajuan besar
partisipasi dalam organisasi internasional termasuk negara-negara yang baru merdeka.
Selanjutnya pada dekade akhir abad ke-20, banyak munculnya organisasi yang bersifat
regional seperti Uni Eropa, institusi kerjasama multilateral seperti IMF (International
Monetary Fund), World Bank, dan WTO (World Trade Organization), serta institusi
untuk menjalin kerjasama dalam keamanan seperti NATO (North Atlantic Treaty
Organization).7
Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek Hukum Internasional kini
tidak diragukan lagi. Organisasi internasional seperti PBB dan Organisasi Buruh
Internasional (ILO) mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-
konvensi internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya.8

2. Palang Merah Internasional (International Committee for the Red Cross / ICRC)
Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa
mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah Hukum Internasional. Boleh dikatakan
bahwa organisasi ini sebagai suatu subjek hukum yang lahir karena sejarah, walaupun
kemudian kedudukannya diperkuat dalam perjanjian dan Konvensi-konvensi Palang
Merah (sekarang Konvensi Jenewa Tahun 1949 Tentang Perlindungan Korban Perang).9
ICRC merupakan produk dari inisiatif pribadi, yaitu pembentukannya tidak
berdasarkan inisiatif/perjanjian internasional antar beberapa negara sebagaimana
organisasi internasional pada umumnya, melainkan atas inisiatif pribadi Henry Dunant
dan rekan-rekannya. ICRC pun dibentuk berdasarkan hukum perdata Swiss, namun
melalui berbagai tugas yang dibebankan kepadanya oleh Konvensi Jenewa dan protokol
tambahannya. ICRC memperoleh status internasionalnya yang mana status tersebut
memberikan hak ICRC untuk melaksanakan misinya di seluruh dunia serta

7
Wildan Al-Fringgi, Loc.Cit.
8
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: PT Alumni, 2003, hlm.
101.
9
Ibid.

5
memungkinkan untuk melakukan hubungan dengan negara lain dengan membuka
perwakilan dan menyebarkan delegasinya.
ICRC memperoleh mandat untuk melaksanakan fungsinya sebagai penengah
netral dalam konflik bersenjata. ICRC bertanggung jawab menyebarluaskan hukum dan
prinsip-prinsip humaniter dan mengamati perkembangan serta pelaksanaannya di dalam
dan di luar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa ICRC memiliki kewenangan terbatas yaitu hanya
dalam bidang hukum humaniter, khususnya perlindungan korban perang. ICRC untuk
dapat menjalankan tugasnya memiliki dasar hukum yang terdiri dari dua jenis, yaitu 10:
a. Perjanjian Internasional (Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya); selama konflik
bersenjata internasional, kegiatan ICRC diatur dalam Konvensi Jenewa dan
Protokol I yang mengakui hak ICRC untuk melakukan kegiatan tertentu seperti
membantu korban luka, sakit, karam, mengunjungi tawanan perang, dan menolong
penduduk sipil. Sedangkan selama konflik intern, ICRC bekerja berdasarkan Pasal
3 Bagian Umum Konvensi Jenewa dan Protokol II dimana ICRC berhak untuk
menawarkan operasi bantuan dan kunjungan kepada tahanan.
b. Statuta Gerakan Palang Merah Internasional; dalam situasi yang bukan berupa
konflik bersenjata, misalnya gangguan keamanan dalam negeri, ICRC mendasarkan
kegiatannya pada Statuta Gerakan yang memberi hak ICRC untuk bertindak dalam
masalah-masalah kemanusiaan sebagai lembaga penengah yang netral dan mandiri.

3. Takhta Suci (Vatikan)


Takhta Suci merupakan contoh suatu subjek Hukum Internasional
yang telah ada sejak dahulu di samping negara. Hal ini merupakan peninggalan-
peninggalan sejarah sejak zaman dahulu, ketika Paus bukan hanya merupakan kepala
gereja Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga sekarang, Takhta Suci
mempunyai perwakilan diplomatik di banyak ibukota terpenting di dunia yang sejajar
kedudukannya dengan wakil diplomatik negara lain. Hal tersebut terjadi setelah
diadakannya perjanjian antara Italia dengan Takhta Suci pada tanggal 11 Februari 1929
(Lateran Treaty) yang mengembalikan sebidang tanah di Roma kepada Takhta Suci dan
10
Status ICRC dalam Hukum Internasional. <http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37049/5/Chapter
%20III-V.pdf>. [26/03/2016].

6
memungkinkan didirikannya negara Vatikan, yang dengan perjanjian itu sekaligus
dibentuk dan diakui.11
Perjanjian Lateran dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi
Takhta Suci sebagai subjek Hukum Internasional yang berdiri sendiri. Tugas dan
kewenangan Takhta Suci hanya terbatas dalam bidang kerohanian dan kemanusiaan. 12
Hal ini dipertegas oleh Malcolm Shaw yang mengatakan bahwa, “The Holy See as a
sovereign subject of international law, it has a mission of an essentially religious and
moral order, universal in scope, which is based on minimal territorial dimensions
guaranteeing a basis of autonomy for the pastoral ministry of the Sovereign Pontiff”.13

4. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa (Insurgent and Belligerent)


Kaum pemberontak (insurgent) pada awalnya muncul sebagai
akibat dari masalah dalam negeri suatu negara yang berdaulat. Sebagai contoh dari kaum
ini yaitu pemberontakan bersenjata yang terjadi dalam suatu negara yang dilakukan oleh
sekelompok orang melawan pemerintah yang sedang berkuasa. Dengan demikian, hukum
yang berlaku terhadap peristiwa pemberontakan tersebut adalah Hukum Nasional dari
negara yang bersangkutan. Hukum Internasional pada hakikatnya tidak mengaturnya
karena hal itu merupakan masalah dalam negeri suatu negara, kecuali melarang negara
lain untuk mencampurinya tanpa persetujuan negara tempat terjadinya pemberontakan
tersebut.14
Hingorani berpendapat bahwa tidak ada yang dinamakan dengan
pengakuan pemberontak, yang ada hanyalah pengakuan kepada pihak yang bersengketa
(belligerent). Apabila kaum pemberontak menguasai wilayah tertentu, membentuk
pemerintahan sendiri dan bersedia menaati hukum perang, maka pengakuan yang
diberikan kepadanya adalah pengakuan beligerensi. Kaum beligerensi dapat diakui
negara lain yang dilatarbelakangi untuk mengakui keberadaan mereka dan melindungi
kepentingan wilayah yang diduduki kaum beligerensi.

11
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 100.
12
I Wayan Phartiana, Op.Cit., hlm. 125.
13
Malcolm N. Shaw, Op.Cit., hlm. 244.
14
I Wayan Phartiana, Op.Cit., hlm. 127-128.

7
Slomansohn berpendapat bahwa kaum beligerensi memperoleh hak-hak tertentu,
antara lain hak memblokade, hak mengunjungi, hak mencari, dan hak merampas barang-
barang yang diduga milik musuh di laut lepas. Terkait dengan pemberian pengakuan
beligerensi, negara yang hendak mengakuinya harus menyatakan sikap netral karena jika
tidak, negara tersebut dapat dianggap telah campur tangan terhadap urusan dalam negeri
suatu negara.15
Menurut Oppenheim-Lauterpacht, kelompok beligerensi dapat digolongkan
sebagai subjek Hukum Internasional apabila memenuhi syarat sebagai berikut16:
a. Adanya perang saudara disertai dengan pernyataan hubungan permusuhan antara
negara yang bersangkutan dengan kaum pemberontak;
b. Kaum pemberontakan itu harus menguasai/menduduki sebagian dari wilayah
negara yang bersangkutan;
c. Adanya penghormatan atas peraturan-peraturan hukum perang oleh kedua pihak
(negara yang bersangkutan dengan kaum pemberontak);
d. Adanya kebutuhan praktis bagi pihak/negara-negara ketiga untuk menentukan
sikapnya terhadap perang saudara tersebut.

5. Individu (Orang-perorangan)
Individu dalam arti yang terbatas sudah agak lama dapat dianggap
sebagai subjek Hukum Internasional. Dalam perjanjian Perdamaian Versailles tahun 1919
yang mengakhiri PD I antara Jerman dengan Inggris dan Perancis, dengan masing-masing
sekutunya sudah terdapat pasal-pasal yang memungkinkan individu dapat mengajukan
perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional. Dengan demikian, sudah
ditinggalkan dalil lama yang mengatakan bahwa hanya negara yang dapat menjadi pihak
di hadapan peradilan internasional. Satu hal yang pasti adalah seseorang dapat dianggap
langsung bertanggung jawab sebagai individu bagi kejahatan perang dan kejahatan
terhadap perikemanusiaan.17
Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah Hukum Internasional yang
memberikan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab langsung kepada individu semakin
15
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Bandung: Keni Media, 2011, hlm. 97-100.
16
I Wayan Phartiana, Op.Cit., hlm. 131.
17
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 103-106.

8
bertambah pesat setelah PD II. Lahirnya Universal Declaration of Human Rights pada
tanggal 10 Desember 1948 diikuti lahirnya beberapa konvensi Hak Asasi Manusia
(HAM) pada berbagai kawasan seperti di Eropa, Amerika, dan Afrika,
Hak-hak yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights antara
lain, hak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu, berhak untuk
tidak diperbudak, hak untuk tidak disiksa, hak untuk diakui di depan hukum sebagai
manusia pribadi di mana saja ia berada 18, serta hak-hak asasi lainnya wajib ditaati dan
dihormati oleh para subjek Hukum Internasional lainnya.

B. Kedudukan BLA (Bandung Liberation Army), ICRC (International Committee of the


Red Cross), UNSG (United Nations Secretary General), dan Da Luiz Alves
Sebelumnya akan disebutkan terlebih dahulu terkait dengan syarat
syarat agar dapat dikategorikan sebagai subjek Hukum Internasional. Perlu diketahui
bahwa agar suatu entitas dapat dikatakan telah memiliki personalitas Hukum
Internasional, maka entitas tersebut harus memiliki beberapa kecakapan tertentu.
Kecakapan yang dimaksud antara lain, yaitu19:
1. Mampu mendukung hak dan kewajiban internasional (capable of possessing
international rights and duties);
2. Mampu melakukan tindakan tertentu yang bersifat internasional (endowed with the
capacity to take certain types of action on international plane);
3. Mampu menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional (they have
related to capacity to treaties and agreements under international law);
4. Mampu melakukan penuntutan terhadap pihak yang melanggar kewajiban
internasional (the capacity to make claims for breaches of international law);
5. Memiliki kekebalan dari pengaruh/penerapan yurisdiksi nasional suatu negara (the
enjoyment of privileges and immunities from national jurisdiction);

18
I Wayan Phartiana, Op.Cit., hlm. 141-142.
19
Maharta Yasa. “Subjek Hukum Internasional”. < fl.unud.ac.id/block-book/HI/.../Subyek%20Hukum
%20Internasional.ppt>. [29/03/2016].

9
6. Dapat menjadi anggota dan berpartisipasi dalam keanggotaan suatu organisasi
internasional (the question of international legal personality may also arise in
regard to membership or participation in international bodies).

Kedudukan BLA dapat dikategorikan sebagai subjek Hukum


Internasional yaitu sebagai pemberontak (insurgent), hal ini dapat terlihat dalam course
manual Hukum Internasional yang menguraikan bahwa BLA merupakan pemberontak
ekstrem yang berbasis di Bandung, menduduki dan mengendalikan sebagian wilayah dari
Provinsi Jawa Barat. Selain itu, dapat terlihat pula bahwa dalam melaksanakan aksinya
BLA menggunakan senjata. Sehingga, dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa BLA
telah memenuhi syarat untuk digolongkan sebagai kaum pemberontak (insurgent).
BLA belum dapat dikategorikan sebagai pihak dalam sengketa
(belligerent) hal ini dikarenakan BLA belum memenuhi semua syarat untuk dapat
dikategorikan sebagai kaum beligerensi, seperti yang telah dikemukakan oleh Oppenheim
dan Lauterpacht. Adapun syarat yang belum terpenuhi diantaranya yaitu, belum adanya
pengakuan penghormatan atas peraturan-peraturan hukum perang oleh kedua pihak
(negara yang bersangkutan dengan kaum pemberontak) dan belum adanya kebutuhan
praktis bagi pihak/negara-negara ketiga untuk menentukan sikapnya terhadap kaum
pemberontak yang ada di suatu negara yang bersangkutan.
Sedangkan, kedudukan ICRC atau Palang Merah Internasional sudah dapat
terlihat jelas bahwa ICRC adalah salah satu subjek Hukum Internasional. Hal ini dapat
diketahui pula dalam course manual Hukum Internasional bahwa ICRC terbang di atas
wilayah Bandung menggunakan helikopter untuk melakukan misi pemetaan, evaluasi
jalur darat, dan evaluasi areal pendaratan yang akan digunakan untuk mengirim bantuan
kemanusiaan, dimana pengiriman bantuan kemanusiaan tersebut merupakan salah satu
tugas dari ICRC itu sendiri.
UNSG (Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa) sudah dapat kita ketahui
dengan jelas bahwa kedudukannya pada kasus posisi course manual adalah sebagai salah
satu subjek Hukum Internasional yaitu organisasi internasional. Perlu diketahui bahwa,
PBB menyelenggarakan kegiatannya melalui 6 (enam) alat perlengkapan utamanya, salah
satu diantaranya yaitu Sekretariat yang terdiri atas seorang Sekretaris Jenderal dan

10
stafnya.20sehingga berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Sekretaris Jenderal
PBB merupakan subyek Hukum Internasional, yaitu sebagai salah satu organisasi
internasional. Pada course manual diuraikan bahwa terjadi penandatanganan perjanjian
internasional antara UNSG, ICRC, dengan BLA tentang penyerahan kotak hitam
helikopter milik ICRC dimana dapat disimpulkan bahwa UNSG telah melaksanakan
salah satu hak yang dimiliki oleh organisasi internasional, yaitu mengadakan hubungan
dengan subjek Hukum Internasional lainnya melalui penandatanganan perjanjian
internasional.
Kemudian, mengenai Da Luiz Alvez yang merupakan seorang penduduk Timor
Leste dan salah satu korban yang tewas pada peristiwa jatuhnya helikopter akibat dari
tindakan BLA, dapat digolongkan sebagai salah satu subjek Hukum Internasional,
khususnya yaitu individu (orang-perorangan). Hal ini dikarenakan, pada course manual
dijelaskan bahwa Da Luiz Alvez pada saat itu tengah bekerja di bawah mandat UNSG
sebagai mediator dalam rangka bernegosiasi dengan BLA untuk mengambil alih kotak
hitam helikopter tersebut. Namun, dikarenakan helikopter dengan nomor penerbangan
212 milik ICRC jatuh akibat tindakan BLA yang menghujani helikopter tersebut dengan
21
senjata mesin anti-pesawat, maka Da Luiz Alves gagal menjadi mediator. Selain itu,
telah disebutkan sebelumnya mengenai syarat-syarat agar dapat digolongkan sebagai
subjek Hukum Internasional dan berdasarkan syarat-syarat tersebut Da Luiz Alves telah
memenuhinya sebagai salah satu subjek Hukum Internasional, yaitu individu.

20
R. Abdoel Djamali, Op.Cit., hlm. 226.
21
Course Manual Hukum Internasional. Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. 2015. hlm. 9-10.

11
BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai
macam subjek Hukum Internasional selain negara (non-state actor). Subjek Hukum Internasional
selain negara yang dimaksud antara lain, yaitu Organisasi Internasional, Palang Merah
Internasional, Takhta Suci (Vatikan), Individu, serta Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa.
Munculnya para subjek Hukum Internasional selain negara ini antara lain dikarenakan adanya
perubahan serta perkembangan zaman yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Selain itu perlu
diketahui bahwa untuk menentukan dapat tidaknya digolongkan sebagai subjek Hukum
Internasional, tentunya harus memenuhi persyaratan agar dapat digolongkan ke dalam subjek
Hukum Internasional.
Adanya perubahan dan perkembangan zaman dalam kehidupan masyarakat tersebut,
sehingga menyebabkan munculnya berbagai organisasi dan pribadi Hukum Internasional lain
yang secara aktif terlibat dalam hubungan-hubungan internasional, kemudian menjadikan
hubungan internasional mengalami pergeseran yang cukup fundamental sehingga secara
otomatis membutuhkan prinsip serta kaidah hukum Internasional baru untuk mengaturnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan hukum internasional semakin lama semakin
luas dan kompleks sehingga pandangan yang mengatakan bahwa negara sebagai satu-satunya
subjek Hukum Internasional harus sudah ditinggalkan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Boer Mauna. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Globa., Bandung: PT Alumni. 2001.
Huala Adolf. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Bandung: Keni Media. 2011.
I Wayan Phartiana. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju. 2003.
Malcolm N. Shaw. International Law. New York: Cambridge University Press. 2008.
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT
Alumni,.2003.
R. Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2013.

Internet
Maharta Yasa. “Subjek Hukum Internasional”. < fl.unud.ac.id/block-book/HI/.../Subyek
%20Hukum%20Internasional.ppt>. [29/03/2016].
Status ICRC dalam Hukum Internasional.
<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37049/5/Chapter%20III-V.pdf>.
[26/03/2016].
Wildan Al-Fringgi. “Sejarah Singkat Organisasi Internasional: Resume International
Organization and Democracy karya Thomas D. Zeifel”. <
https://www.academia.edu/8242470/Sejarah_Singkat_Organisasi_Internasional_Sebuah_R
esume_>. [26/03/2016].

13

Anda mungkin juga menyukai