Anda di halaman 1dari 12

A. KERJA SAMA INTERNASIONAL Manusia adalah makhluk individu, sosial, dan ciptaan tuhan yang maha Esa.

melekat dalam diri manusia. Meskipun bukan suatu convention atau perjanjian, sifat kodrat itu juga diakui oleh setiap bangsa sehingga secara moral setiap bangsa akan menghormatinya. Manusia sebagai makhluk sosial atau masyarakat memerlukan dan membentuk persekutuan hidup untuk menjaga kelangsungannya. Hidup manusia yang berkelompok-kelompok akan berlangsung dalam suasana saling menghormati, menghargai, dan saling bekerja sama. Dalam mukadimah piagam PBB alinea I dinyatakan bahwa piagam PBB merupaka kristalisasi semangat atau tekad bangsa-bangsa di dunia untuk Tuhan. Oleh karena itu, dalam menjalin hubungan antar bangsa harus saling menghormat, bekerja sama sacara adil dan damai untuk menciptakan kerukunan hidup antar bangsa. Hubungan antar bangsa ini disebut dengan kerja sama (hubungan) Internasional.

1. PENGERTIAN KERJA SAMA INTERNASIONAL Kerja sama internasional adalah hubungan antarbangsa atau antarnegara. Misalnya dua negara menjalin kerja sama di suatu bidang maka dapat di katakan bahwa kedua negara tersebut mengadakan kerja sama internasional. Kerja sama internasional ini juga dapat terjalin antara beberapa negara yang melakukan hubungan. Hubungan atau kerja sama antar negara sering disebut hubungan internasional (HI). Hubungan internasional adalah suatu proses yang pada taraf tertentu melintasi yurisdiksi nasional. Karena itu hubungan internasional selalu mencakup semua hubungan antar kelompok bangsa , antarbangsa dan negara dalam masyarakat dunia internasional dan kekuatan-kekuatan serta proses-proses yang menentukan cara hidup, bertindak dan berfikir manusia. Dalam perkembangannya , kerja sama internasional terjadi tidak hanya terbatas antara dua negara atau antarnegara. Kerja sama inter nasional juga terjadi antara negara dengan pihak lain yang berada di luar wilayah terorialnya,di mana kedudukan pihak lain tersebut sederajat dengan negara pada umumnya. Aktor negara dan nonnegara yang mengadakan kerja sama internasional ini merupak subjek hukum internasional. Subjek hukum internasional adalah orang atau badan/lembaga yang dianggap mampu melakukan perbuatan atau tindakan hukum yang diatur dalam hukum internasional dan dapa dipertanggung jawabkan secara hukum internasional atas perbuatannya. Subjek hukum internasional terdiri atas sebagai berikut: a. Negara; b. Organisasi internasional, misalnya PBB, ASEAN, OPEC, CGI, OKI; c. Pihak yang bersengketa, misalnyaPLO; d. Perusahaan intrnasional, misalnya Exxon, Freeport; e. Fakta suci, yaitu gereja Vatikan di Roma, Italia; f. Perseorangan, seperti george soros

2. PENTINGNYA KERJA SAMA INTERNASIONAL Pada dasarnya kerja sama internasional terjadi karena keinginan antarbangsa untuk mengadakan kerja sama dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup antarbangsa dan bernegara. Secara kodrati, manusia tidak mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri maka manusia akan mengadakan kerja sama. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka suatu bangsa akan mengadakan kerja sama internasional. Kerja sama internasional dianggap penting dalam rangka untuk: a. Menumbuhkan saling pengertian antarbangsa ; b. Mempererat hubungan persahabatan dan persaudaraan antarbangsa; c. Saling mencukupi kebutuhan masing-masing bangsa yang bekerja sama; d. Memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan; e. Membina dan menegakkan perdamaian serta ketertiban dunia. Suatu negara yang tidak mau mengadakan kerja sama internasional dengan ngara lain akan terkucil dalam pergaulan dunia. Akibatnya, negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. 3. SARANA HUBUNGAN INTERNASIONAL Kerja sama intrnasional merupakan wujud dari pelaksanaan hubungan antar bangsa atau negara. Dalam melakukan kerja sama internasional suatu negara tidak hanya melakukan hubungan kerja sama dengan negara tetapi juga dengan subjek hukum internasional lain. Kerja sama internasional mempunyai sejumlah tujuan, yaitu: a. Memecu pertumbuhan ekonomi dari masing-masing negara; b. Menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakynya; c. Menciptakan saling pengertian antar bangsa/ negara; d. Mempererat hubungan persahabatan antarbangsa; e. Membina dan menegakkan perdamaina dunia;

4. SUBJEK HUBUNGAN INTERNASIONAL a. NEGARA Negara dianggap sebagai subjek utamahubungan internasional. Negara menjadi pelaku penting dalam hubungan internasional. Hubungan internasional pada umumnya dilakukan oleh negara.

b. ORGANISASI INTERNASIONAL

Organisasi internasional juga merupakan subjek hukum internasional. Mereka dapat melakukan hubungan dengan organisasi lain atau negara. organisasi internasional , misalnya PBB, dan ASEAN. Organisasi internasional juga meliputi lembaga-lembaga internasional non pemerintah atau disebut non goverment organization (NGO), misalnya kelompok pecinta lingkungan, green peace. c. PIHAK YANG BERSENGKETA Pihak yang bersengketa dalam suatunegara dapat menjadi subjek hukum internasional. Mereka dianggap mewakili pihak dalam hubungan internasional. Contohnya adalah gerakkan pembebasan seperti PLO. d. PERUSAHAAN INTERNASIONAL Perusahaan atau coorporate yang bersifat transnasional atau multinasional dianggap sebagai subjek hukum internasional. Perusahaan besar yang memiliki jaringan usaha di seluruh dunia dapat melakukan hubungan internasional. Perusahaan ini contohnya oxxon, dan perusahaan tambang freeport. e. TAKHTA SUCI Negara vatikan ( takhta suci) di roma, italia di masukkan sebagai subjek hubungan internasional. Paus di anggap sebagai kepala negara vatikan sekaligus kepala gereja roma katolik. Vatikan memiliki pula perwakilan diplomatik di negara lain. Pengakuan takhta suci sebagai subjek hukum ini trjadi karena warisan sejarah. f. INDIVIDU Individu dalam kasus tertentu dan terbatas dapat menjadi subjek hubungan internasional. Mereka adalah individu yang bisamengadakan hubungan dengan suatu negara.

Perjanjian Internasional
1. Pengertian Perjanjian Internasional Ada berbagai istilah yang dipergunakan untuk menyebut perjanjian internasional yaitu traktat (treaty) , pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute, charter), deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi dan covenant (Mochtar Kusumaatmaja, 1989). Perjanjian internasional adalah kesepakatan antara dua atau lebih subyek hukum internasional (misalnya negara, lembaga internasional) yang menurut hukum internasional menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kesepakatan. Terdapat beberapa pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh para ahli hubungan internasional, antara lain. a. Mochtar Kusumaatmadja, SH. LL.M Perjanjian internasional sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsabangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. b. Konferensi Wina 1969 Perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu yang harus dipatuhi oleh setiap negara berdasarkan hukum internasional yang berlaku. c. Oppenheimer Dalam bukunya yang berjudul International Law, Oppenheimes mendefinisikan perjanjian internasional sebagai international treaties are states, creating legal rights and obligations between the parties atau perjanjian internasional melibatkan negara-negara yang menciptakan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. d. K.J. Holsti Perjanjian internasional merupakan hasil interaksi antarnegara yang diwakili pemerintah bersepakat untuk merundingkan, menyelesaikan, dan membahas masalah, mengemukakan bukti teknis untuk menyetujui satu penyelesaian, dan mengakhiri perundingan dengan perjanjian yang memuaskan kedua belah pihak.

Macam-Macam Perjanjian Internasional (PI)Ada beberapa kriteria untuk mengelompokkan perjanjian internasional, antara lain berdasarkan: (i) jumlah pesertanya, (ii) strukturnya, (iii) obyeknya, (iv) cara berlakunya, (v) instrumen pembentuk perjanjiannya. (i). Menurut jumlah pesertanya, perjanjian internasional dapat berupa perjanjian bilateral (bila melibatkan dua negara saja) misalnya perjanjian RI dengan RRC mengenai Dwikenegaraan pada tahun 1954; atau multilateral (bila melibatkan lebih dari dua negara) misalnya Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang. (ii). Menurut strukturnya, perjanjian internasional ada yang bersifat law making artinya mengandung kaidah hukum yang dapat berlaku bagi semua negara di dunia, misalnya Konvensi Hukum Laut tahun 1958, Konvensi Wina tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, ada pula yang bersifat contract, yaitu hanya menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat perjanjian saja. Misalnya: Perjanjian Ekstradisi 1974 antara Indonesia dan Malaysia. (iii). Dari segi obyeknya, perjanjian internasional dapat dibagi menjadi perjanjian yang berisi soal-soal politik dan perjanjian yang berisi masalah-masalah ekonomi, budaya, dan lain-lain. (iv). Dari segi cara berlakunya, ada yang bersifat self executing (berlaku dengan sendirinya), ada pula yang bersifat non self-executing. Disebut self executing, bila sebuah perjanjian internasional langsung berlaku setelah diratifikasi oleh negara tertentu. Bila harus dilakukan perubahan UU terlebih dahulu sebelum berlaku, maka perjanjian internasional itu disebut non self-executing. (v). Berdasarkan instrumennya, maka perjanjian internasional (PI) ada yang berbentuk tertulis, ada pula yang lisan. PI tertulis dituangkan dalam bentuk formal secara tertulis, antara lain berupa treaty, convention, agreement, arrangement, charter, covenant, statute, constitution, protocol, declaration, dan lain-lain. Sedangkan PI lisan diekspresikan melalui instrumen-instrumen tidak tertulis. Ada berbagai macam PI tidak tertulis, misalnya:

1. Perjanjian Internasional Lisan (international oral agreement) PI lisan disebut juga gentlement agreement, biasanya disepakati secara bilateral, untuk mengatur hal-hal yang tidak terlalu rumit, bersifat tekhnis namun merupakan materi umum. Misalnya: The London Agreement 1946 yang mengatur distribusi keanggotaan Dewan Keamanan (DK) PBB.

1. Deklarasi Sepihak (Unilateral Declaration) Deklarasi Unilateral adalah pernyataan suatu negara yang disampaikan wakil negara tersebut yang berkompeten (presiden, perdana menteri, menteri luar negeri, menteri-menteri lain) dan ditujukan kepada negara lain. Deklarasi itu dapat menjadi perjanjian apabila memang mengandung maksud untuk berjanji sehingga menimbulkan kewajiban pada negara yang berjanji dan hak yang dapat dituntut oleh negara yang menjadi tujuan deklarasi tsb. Misalnya: pernyataan kemerdekaan oleh rakyat Palestina. 1. Persetujuan Diam-Diam (Tacit Agreement atau Tacit Consent) atau Persetujuan Tersimpul (Implied Agreement) Perjanjian ini dibuat secara tidak tegas artinya adanya PI tersebut dapat diketahui hanya melalui penyimpulan suatu tingkah laku, baik aktif maupun pasif dari suatu negara atau subyek hukum internasional lainnya. Tahap-Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional (PI) 1. Menurut para ahli: Menurut Mochtar Kusumaatmaja (1982), dilihat dari praktik yang dilakukan beberapa negara, ada dua cara pembentukan perjanjian internasional (PI), yaitu: 1. PI yang dibentuk melalui tiga tahap, yaitu: perundingan, penandatanganan dan ratifikasi. Ini dilakukan untuk hal-hal yang sangat penting sehingga perlu persetujuan DPR. 2. Ada juga yang hanya melalui dua tahap yaitu perundingan dan penandatanganan. Ini dibuat untuk mengatur hal-hal yang mendesak namun tidak begitu penting, misalnya perjanjian perdagangan jangka pendek.

Hal yang hampir sama disampaikan oleh Pierre Fraymond (1984) yaitu ada dua prosedur pembuatan PI: 1. Prosedur Normal atau Klasik, yaitu yang menghendaki persetujuan parlemen, melalui tahap-tahap perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), persetujuan parlemen (the approval of parliament) dan ratifikasi (ratification). 2. Prosedur yang disederhanakan atau simplified procedure, yang tidak mensyaratkan persetujuan parlemen ataupun ratifikasi karena memerlukan penyelesaian yang cepat. 1. Menurut hukum positif Indonesia: Dalam Pasal 11 UUD 1945 dikatakan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Hal ini lebih lanjut diatur dalam UURI No. 24 Tahun 2000. Dalam Pasal 4 dikatakan bahwa pembuatan PI antara pemerintah RI dengan negara lain dilaksanakan berdasarkan kesepakatan dan itikad baik, berpedoman kepada kepentingan nasional dan prinsipprinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan di samping memperhatikan kepentingan nasional juga hukum internasional yang berlaku. Menurut UU tersebut, pembuatan PI dilakukan melalui tahap-tahap: penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan dan penandatanganan, kemudian diikuti pengesahan apabila memang disyaratkan oleh PI tersebut. Aksesi adalah istilah yang digunakan apabila negara yang akan mengesahkan suatu PI tidak turut menandatangani naskah perjanjian. Pengesahan PI oleh Pemerintah RI dapat dilakukan melalui UU yaitu apabila isinya sangat penting ataupun melalui Keputusan Presiden.

2. Klasifikasi Perjanjian Internasional Terdapat banyak perjanjian internasional yang mengatur setiap negara di dunia. Pengklasifikasian perjanjian internasional ini dapat dibedakan dari aspek subjek, isi, proses, dan fungsinya.

a. Klasifikasi berdasarkan subjek perjanjian, antara lain perjanjian antarnegara yang merupakan hukum internasional, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional, dan perjanjian organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya. b. Klasifikasi berdasarkan isi perjanjian dibagi atas beberapa faktor yang melatarbelakangi, yaitu secara politis, ekonomi, hukum, dan lain-lain. Organisasi NATO dan SEATO didirikan karena faktor politis. Secara ekonomi, perjanjian dapat dilihat dalam bantuan keuangan dari lembaga atau organisasi keuangan internasional, misalnya IMF, World Bank, dan CGI. Secara hukum, pengklasifikasian perjanjian berdasarkan isi dapat dilihat pada perjanjian ekstradisi antarnegara. Batas wilayah antarnegara dapat dilihat pada perjanjian teritorial, batas laut, dan batas daratan. Perjanjian secara kesehatan dapat dilihat pada kerjasama penanggulangan penyakit AIDS, flu burung, dan sebagainya. c. Klasifikasi berdasarkan proses pembentukan perjanjian dapat dibagi dua. Pertama, perjanjian yang bersifat penting. Perjanjian bersifat penting dibuat melalui proses perundingan, penandatangan, dan ratifikasi sehingga menjadi hukum internasional yang mengikat negaranegara yang menandatangani. Kedua perjanjian bersifat biasa. Perjanjian bersifat biasa dibuat dengan melakukan perundingan dan penandatanganan perjanjian. d. Klasifikasi berdasarkan fungsi perjanjian merupakan perjanjian yang mengatur tata cara pengaturan hubungan internasional bagi setiap negara dalam bentuk hukum yang mengikat setiap negara yang menandatangani. Contohnya adalah Konvensi Wina tahun 1958 tentang hubungan diplomatik yang harus ditaati oleh setiap negara di seluruh dunia. Selain itu, ada juga yang disebut perjanjian khusus. Perjanjian khusus mengikat negara-negara tertentu dalam bentuk hak dan kewajiban negara-negara penandatangan 3. Tahap-tahap Perjanjian Internasional Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis dalam bentuk dan nama tertentu serta menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak tertentu (negara atau organisasi). Dalam hukum internasional, tahapan pembuatan hukum internasional diatur dalam Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum (Perjanjian) Internasional. Konvensi tersebut mengatur tahap-tahap pembuatan perjanjian baik bilateral (dua negara) mau pun multilateral (banyak negara). Tahap-tahapan tersebut adalah sebagai berikut. a. perundingan (negotiation), b. penandatanganan (signature), c. pengesahan (ratification).

Dalam melakukan perjanjian, suatu negara harus melakukan tahap-tahap pembuatan perjanjian. Tahap-tahap tersebut dilakukan secara berurutan, yaitu mulai dari perundingan antarnegara yang berkepentingan, penandatanganan MOU, agreement, atau pun treaty yang mengikat negaranegara yang membuat perjanjian, mensahkan perjanjian tersebut melalui ratifikasi yang melibatkan dewan perwakilan atau parlemen.

1) Klasifikasi Menurut Jumlah Pihak yang Mengadakan Perjanjian a. Perjanjian bilateral, yaitu perjanjian yang dilakukan oleh dua Negara. Contohnya, perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Cina tentang dwikewarganegaraan tahun 1955. Biasanya perjanjian bilateral menetapkan ketentuan hukum yang berlaku khusu (kepentingan kedua Negara) sehingga lebih mendekati treaty contract. Yang dmaksud treaty contract adalah perjanjian yang dimaksudkan untuk melahirkan akibat-akibat hukum yang hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. b. Perjanjian multilateral, artinya perjanjian yang dilakukan oleh lebih dari dua Negara atau banyak Negara. Contohnya , Konvensi Jamaika 1982 tentang Hukum Laut dan Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hukum Diplomatik. 2) Klasifikasi Menurut Subjeknya a. Perjanjian antarnegara yang dilakukan oleh banyak Negara yang merupakan subjek hukum internasional. Misalnya WTO , OKI dan GNB. b. Perjanjian antara Negara dengan subjek hukum internasional lainnya, seperti antara organisasi internasional Takhta Suci Vatikan. c. Perjanjian antarsubjek hukum internasional selain Negara. Misalnya , kerja sama ASEAN dan MEE. 3) Klasifikasi Menurut Proses Pembentukannya a. Perjanjian bersifat penting yang dibuat melalui proses perundingan , penandatanganan, dan ratifikasi. b. Perjanjian bersifat sederhana yang dibuat melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan 4) Klasifikasi Menurut Isinya

Adapun isi perjanjian internasional dapat mencakup bidang-bidang berikut ini. a. Politik, seperti pakta petahanan dan pakta perdamaian. b. Ekonomi, seperti bantuan ekonomi, keuangan, dan perdagangan. c. Hukum, seperti status kewarganegaraan (Indonesia-Cina). d. Batas wilayah, seperti laut territorial dan batas alam daratan. e. Kesehatan, seperti masalah karantina dan penanggulangan wabah penyakit. 5) Klasifikasi Menurut Fungsinya a. Perjanjian yang membentuk hukum ( law making treaties ). b. Perjanjian yang bersifat khusus ( treaty contract ). 6) Klasifikasi Menurut Sifat Pelaksanaan Perjanjian a. Perjanjian yang menentukan (dispositive treaties ). b. Perjanjian yang dilaksanakan ( executory treaties ).

3.TAHAP-TAHAP PERJANJIAN INTERNASIONAL


a. Perundingan (Negotiation) Perundingan dilakukan oleh wakil-wakil negara yang diutus oleh negara-negara peserta berdasarkan mandat tertentu. Wakil-wakil negara melakukan perundingan terhadap masalah yang harus diselesaikan. Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri, atau duta besar. Perundingan juga dapat diwakili oleh pejabat dengan membawa Surat Kuasa Penuh (full power). Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perundingan tersebut meningkat pada tahap penandatanganan. b. Penandatanganan (Signature) Penandatanganan perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan, atau menteri luar negeri. Setelah perjanjian ditandatangani maka perjanjian memasuki tahap ratifikasi atau pengesahan oleh parlemen atau dewan perwakilan rakyat di negara-negara yang menandatangani perjanjian. c. Pengesahan (Ratification) Ratifikasi dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Pemerintah perlu mengajak DPR untuk mensahkan perjanjian karena DPR merupakan perwakilan rakyat dan berhak untuk mengetahui isi dan kepentingan yang diemban dalam perjanjian tersebut. Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa masalah perjanjian internasional harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Apabila perjanjian telah disahkan atau diratifikasi dengan persetujuan DPR maka perjanjian tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

3. PENYEBAB BATALNYA PERJANJIAN INTERNASIONAL

Berdasarkan Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional dapat batal karena hal-hal sebagai berikut : 1. Negara peserta atau wakil kuasa penuh melanggar ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya. 2. Adanya unsur kesalahan (eror) pada saat perjanjian itu dibuat. 3. Adanya unsur penipuan dari negara peserta tertentu terhadap negara peserta lain watu pembentukan perjanjian. 4. Terdapat penyalahgunaan atau kecurangan (corruption), baik melalui kelicikan maupun penyuapan. 5. Adanya unsur paksaan terhadap wakil dari suatu negara peserta. Paksaan tersebut, baik dengan

ancaman maupun menggunakan kekuatan. 6. Bertentangan dengan kaidah dasar hukum internasional.

Anda mungkin juga menyukai