Anda di halaman 1dari 15

UJIAN TENGAH SEMESTER

Nama : Miranda Eva Martin

NPM : 223015138

Kelas : A2

Mata Kuliah : Hukum Internasional

Dosen Pengampu : Ria Maya Sari, S.H., LL.M.

Soal :

1. A. Jelaskan apa perbedaan antara Hukum Internasional dengan Hukum Perdata


Internasional!
Jawaban : Perbedaan HI dan HPI : Hukum internasional dapat dibagi ke dalam dua
ketegori : hukum internasional publik dan hukum internasional privat, yang mengatur
mengenai hubungan antara individu yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda.
Berbeda dalam definisi HPI merupakan keseluruhan kaedah dan asas hukum yang
mengatur hubungan perdata yang melintasi batas Negara atau hukum yang mengatur
hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada
hukum perdata (nasional) yang berlainan[3]. Sedangkan hukum internasional merupakan
keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.
Perbedaan yang sangat menonjol antara HI dan HPI terletak pada sumber hukumnya.
Sumber HI, sesuai Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional, yaitu Perjanjian Internasional
(traktat), Kebiasaan-kebiasaan intenasional, asas umum hukum yang diakui bangsa-bangsa
beradab, kuputusan hakim (yurisprudensi) dan doktrin (pendapat pada ahli hukum).
Sedangkan HPI menggunakan sumber hukum nasional Negara yang dipilih untuk
menyelesaikan permasalahan.
B. Jelaskan sejarah perkembangan hukum internasional secara detail dan komprehensif!
Jawaban : Hubungan internasional yang diatur oleh Hukum Internasional telah mulai sejak
4000 tahun sebelum masehi (SM). Kira-kira 3000 SM sebuah perjanjian yang dibuat antara
Ennatum, Raja Lagosh di Mesopotamia yang menang perang dengan sebuah negara kota
lainnya di Mesopotamia, yaitu UMMA.
Dalam perjanjian tersebut telah disetujui adanya tapal batas yang diakui oleh kedua belah
pihak. Selanjutnya perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat lebih dari seribu tahun
kemudian yang dibuat oleh Ramses II dari Mesir dan Raja Hittites untuk perdamaian dan
persahabatan. Perjanjian lain yang dibuat di Kadesh sebelah utara Damaskus di mana telah
diakui adanya penghormatan untuk :
1. Integritas wilayah;
2. Menghentikan agresi; dan
3. Membuat aliansi pertahanan.

Hukum Internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan
antara negara-negara nasional yang berdaulat timbul di Eropa sebagai masyarakat
internasional. Lahirnya negara-negara nasional yang berdaulat dan telah modern adalah di
tanda tangani perjanjian Westphalia yang mengakhiri perang tiga puluh tahun (1618-1648)
di Eropa. Perjanjian Westphalia melaksanakan perjanjian didasarkan pada hubungan antara
negara-negara yang dilepaskan dari persoalan kegerejaan dan didasarkan pada
kepentingan-kepentingan nasional masing-masing. Masing-masing negara mempunyai
persamaan derajat. Timbulnya masyarakat internasional setelah perjanjian Westphalia ini
makin kuat yang dapat mengatasi keadaan yang timbul pada akhir abad ke XVIII dan abad
ke XIX, yaitu ditandai oleh adanya revolusi Prancis dan gerakan di wilayah jajahan negara
Eropa di Amerika yang ingin melepaskan dari cengkeraman penjajahan Eropa. Revolusi
Prancis sangat besar pengaruhnya karena dengan revolusi Prancis terjadi pergeseran dari
kekuasaan absolut negara bergeser kekuasaan di tangan rakyat dan mencanangkan
demokrasi dalam bentuk yang modern. Pada akhir abad ke XVIII dan permulaan abad ke
IX Napoleon berkuasa di Prancis, Napoleon melebarkan kekuasaannya sampai ke Afrika
Utara, pada tahun 1789 Napoleon menobatkan dirinya sebagai Kaisar. Napoleon
dikalahkan pada tahun 1814-1815. Kongres Wina yang mengakhiri kekuasaan Napoleon
meletakkan dasar adanya perimbangan kekuasaan di Eropa. Hukum Internasional menjadi
Eropa sentris, yang menganggap Eropa sebagai negara yang civilised, negara yang
didasarkan pada agama kristen. Negara-negara di luar itu hanya dapat menjadi anggota
dengan syarat yang ditetapkan oleh penguasa barat (western power).Dari negara-negara
Eropa (Holly Alliance) untuk menumpas pemberontakan di Amerika yang membebaskan
diri dari Eropa dianggap sebagai membahayakan keamanan Amerika Serikat. Pengaruh
Doktrine Monroe ini dalam Hukum Internasional sangat besar yaitu diakuinya prinsip tidak
akan ikut campur dalam urusan negara lain. Jadi Hukum Internasional pada saat itu dikenal
sebagai hukum Eropa dan bersifat kristen. Hukum Internasional pertama kali diperluas
dengan diterimanya Turki pada pertengahan abad ke-19 sebagai negara non kristen. Tahun
1914 meningkatnya pengaruh Eropa di Asia misalkan hubungan ke Persia, China dan
Jepang. Konferensi yang diadakan di Eropa yang memberikan sumbangan tentang aturan-
aturan dalam peperangan, misalkan perjanjian Perdamaian tahun 1856, kemudian
didirikannya Komite Palang Merah Internasional (International Committee of the Red
Cross disingkat ICRC) tahun 1863 yang mendorong diadakannya Konvensi Jenewa tahun
1864 untuk mendorong bahwa sengketa antara negara harus lebih manusiawi. Konvensi
perdamaian Den Haag I tahun 1899 dan disusul dengan Konvensi Den Haag II Tahun 1907
yang mengatur tentang tindakan (treatment) terhadap tawanan perang dan adanya kontrol
terhadap perang. Konvensi Den Haag II Tahun 1907 juga menetapkan berdirinya
Permanent Court of Arbitration (PCA). Sejumlah konferensi, konvensi dan kongres-
kongres telah diadakan yang menambah ekspansi peraturan-peraturan dalam hubungan
internasional. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan adanya Perang Dunia I (tahun
1914-1918) yang diakhiri dengan adanya perjanjian perdamaian di Versailles tahun 1919
dan ditandai dengan berdirinya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations dengan
maksud akan lebih terjaminnya keamanan. Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of
Nations mempunyai badan Majelis Umum (General Assembly) dan mempunyai badan
eksekutif (Executive Council). Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations itu telah
membawa kelemahan karena tidak ikutnya Amerika Serikat. Memang keberadaan Liga
Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations dapat membantu terciptanya perdamaian
dan keamanan dunia, tetapi gagal mempertahankan perdamaian dan keamanan
internasional karena Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations tidak mampu
menyelesaikan masalah agresi Jepang ke China Tahun 1931 dan dua tahun kemudian keluar
dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations, Italia menyerang Etiopia dan
Soviet Union dikeluarkan dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations Tahun
1939 karena invasi ke Finlandia. Perkembangan yang perlu dicatat adalah perkembangan
Tahun 1921 dengan didirikannya Permanent Court International Justice (PCIJ) dan
didirikannya organisasi buruh internasional (International Labour Organisation disingkat
ILO) yang masih tetap ada sampai sekarang dan timbulnya lembaga-lembaga internasional
yang makin maju pada periode itu. Di samping itu diperkenalkan sistem Mandat, di mana
bekas jajahan musuh akan diurus oleh sekutu untuk kepentingan penduduk di wilayah
tersebut dari pada dianeksasi oleh sekutu dan usaha untuk melindungi kaum minoritas.
Usaha terakhir ini adalah langkah yang kemudian dikenal sebagai melindungi hak-hak asasi
manusia. Jadi dalam sistem Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations pada
prinsipnya melarang peperangan untuk menyelesaikan suatu sengketa internasional dan
meletakkan bahwa perdamaian antara masyarakat internasional dipentingkan. Di samping
prinsip yang terdapat pada Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations ada
perjanjian perdamaian antara Inggris dan Amerika Serikat yang terkenal dengan Briand-
Kellog Act yang melarang penggunaan perang sebagai cara penyelesaian sengketa. Liga
Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations tidak dapat mencegah adanya perang yang
kemudian membuat Perang Dunia II meletus (1939-1945). Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
atau League of Nations diganti dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mencoba
untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of
Nations. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkedudukan di New York, mencerminkan
bahwa kekuasaan (power) jauh dari Eropa dan suatu institusi yang benar-benar universal.

Dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan Badan Peradilan


Internasional atau International Court of Justice (ICJ) sebagai badan yang menggantikan
Permanent Court International Justice (PCIJ). Kalau dalam sistem Liga Bangsa-Bangsa
(LBB) atau League of Nations, Permanent Court International Justice (PCIJ) terletak di luar
struktur Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations, namun di dalam sistem
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Badan Peradilan Internasional atau International Court
of Justice (ICJ) dijadikan salah satu dari alat perlengkapan atau organ Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), statuta Badan Peradilan Internasional atau International Court of Justice
(ICJ) sebagai bagian yang tak terlepaskan dari piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kidakmampuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengatasi masalah-masalah
yang ada di dunia ini, seperti masalah Israel-Palestina sampai saat ini Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) tak dapat menyelesaikannya, masalah Timur Tengah dan lain-lain di mana
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tak dapat menyelesaikan namun tak sedikit juga hasil
yang telah dicapai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan kenyataannya masyarakat
internasional masih menganggap perlu adanya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Demikian penjelasan singkat mengenai Sejarah Hukum Internasional

C. Jelaskan apa isi Perjanjian Westphalia!


Jawaban : Perjanjian Westphalia adalah kesepakatan damai pada 1648 yang mengakhiri
perang 30 tahun di Kekaisaran Romawi Suci (1618–1648) serta perang 80 tahun antara
Spanyol dan Republik Belanda (1568–1648). Isi utama Perjanjian Westfalen adalah semua
pihak mengakui Perdamaian Augsburg tahun 1555 yang isinya setiap pangeran berhak
menentukan agama negaranya sendiri.
D. Mengapa Isi Perjanjian Westphalia berkontribusi pada perkembangan hukum
internasional?
Jawaban : Perjanjian Westphalia mengakui kedaulatan Belanda serta Konfederasi Swiss
secara resmi pada masa itu dan meneguhkan berbagai perubahan di peta politik dunia.
Selain itu, perjanjian ini mengakhiri upaya dalam menegakkan imperium Romawi Suci
yang selama ini memiliki pengaruh kuat atas negara-negara di dunia terutama di Eropa.
Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari pengaruh agama dan kekuasaan
kekaisaran. Konsep dalam Perjanjian Westphalia memuat prinsip hukum internasional yang
sekarang berlaku, yakni norma tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
2. a. Jelaskan apa saja sumber-sumber hukum Internasional dan sebutkan dasar hukumnya!
Jawaban : Mochtar Kusumaatmadja mendefinisikan sumber hukum internasional adalah
sejumlah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (1) ICJ Statute, yang terdiri dari:
• perjanjian internasional;
• kebiasaan internasional;
• prinsip-prinsip hukum umum; dan
• keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari
berbagai negara.
b. Jelaskan apa perbedaan ruang lingkup pengaturan antara Vienna Convention on the Law
of the Treaties tahun 1969 dan tahun 1986!
Jawaban : Vienna Convention 1969 dianggap sebagai induk perjanjian internasional
karena konvensi inilah yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan (code of conduct
yang mengikat) mengenai perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua ketentuan
mengenai perjanjian internasional diatur, mulai dari ratifikasi, reservasi hingga
pengunduran diri Negara dari suatu perjanjian internasional (seperti yang dilakukan AS,
mengundurkan diri dari Vienna Convention 1969 pada tahun 2002 lalu). Dengan adanya
konvensi ini, perjanjian internasional antar Negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan
internasional namun oleh suatu perjanjian yang mengikat yang menuntut nilai kepatuhan
yang tinggi dari negara anggotanya dan hanya bisa berubah apabila ada konsen dari seluruh
Negara anggota Vienna Convention tersebut, tidak seperti kebiasaan internasional yang
dapat berubah apabila ada tren internasional baru. Vienna Convention 1969 merupakan
induk dari pengaturan perjanjian internasional karena konvensi ini merupakan konvensi
pertama yang berisikan pengaturan perjanjian internasional, baik secara teknis maupun
material dan ketentuan dalam konvensi ini merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan
internasional selama ini yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Konvensi Wina
tahun 1986 menjelaskan bahwa perjanjian Internasional merupakan persetujuan
Internasional yang dalam hukum Internasional diatur dan ditandatangai secara tertulis oleh
antar negara atau lebih, antar organisasi Internasional, atau antar satu atau lebih organisasi
Internasional.
c. Jelaskan apa perbedaan antara: soft law dengan hard law; serta law-making treaty dengan
treaty contract! Berikan contohnya masing-masing!
Jawaban : Istilah hard law dan soft law berasal dari pandangan pakar hukum yang
digunakan untuk membedakan secara sederhana antara hukum yang mengikat dan tidak
mengikat. Hard law mendapatkan namanya dari sifatnya yang keras, yaitu mengikat
negara-negara.
• Perjanjian hard law memiliki kekuatan mengikat secara hukum. Biasanya hard law
menggunakan istilah perjanjian berupa konvensi, konvenan, protokol, dan treaty.
Berikut adalah beberapa contoh perjanjian hard law:
➢ Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969
➢ Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Korban Perang 1949
➢ Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Korban Perang Laut 1949
➢ Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Korban Perang Sipil 1949

➢ Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Korban Perang Internasional 19492


• Perjanjian soft law adalah perjanjian yang tidak mengikat secara hukum (non-
legally binding) dan hanya mengikat secara moral karena tidak meletakkan
kewajiban dan wewenang bagi para pihak yang terkait dalam perjanjian
internasional1. Berikut adalah beberapa contoh perjanjian soft law:
➢ Piagam Dunia untuk Alam atau World Charter for Nature yang kemudian
diperkuat menjadi Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/37/72
➢ Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan 1992
➢ Agenda 21
➢ Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia
• “Treaty contract” di maksudkan perjanjian-perjanjian yang seperti suatu kontrak
atau perjanjian dalam hukum perdata yang mengakibatkan hak-hak dan kewajiban
antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu. Contoh pada “treaty contract”
demikian misalnya adalah perjanjian mengenai dwi kewarganegaraan, perjanjian
perbatasan, perjanjian perdagangan, perjanjian pemberantasan penyeludupan.
• “law making treaties”” atau “traite-lois” di maksudkan perjanjian yang meletakkan
ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah hukum bagi masyarakat Internasional
sebagai keseluruhan . contoh-contoh daripada perjanjian-perjanjian demikian
adalah Konvensi tahun 1958 mengenai Hukum Laut, Konvensi Vienna tahun 1961
mengenai hubungan diplomatic.
d. Apa yang dimaksud dengan ius cogens? Berikan satu contoh ius cogens dalam hukum
internasional!
Jawaban : Jus Cogens atau ius cogens adalah asas dasar hukum internasional yang diakui
oleh komunitas internasional sebagai norma yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan
apapun. Tidak ada konsensus resmi mengenai norma mana yang merupakan jus cogens dan
bagaimana suatu norma mencapai status tersebut . Beberapa kasus contoh norma ius cogens
dalam hukum internasional antara lain adalah pelarangan genosida, perbudakan, kejahatan
terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.
3. a. Sebutkan dan jelaskan siapa saja yang menjadi subjek hukum internasional, dan berikan
contohnya masing-masing!
Jawaban : Subjek hukum internasional adalah entitas yang memiliki hak dan kewajiban
hukum internasional. Ada beberapa jenis subjek hukum internasional, di antaranya adalah:
➢ Negara : Indonesia , Amerika
➢ Organisasi Internasional : PBB , uni eropa
➢ Palang Merah Internasional (PMI) : PMI Indonesia
➢ Tahta Suci atau Vatikan : yang telah ada semenjak jaman dahulu
➢ Belligerent : negara yang sedang berperang
➢ Individu : Manusia
b. Menurut Anda, Apakah Taiwan dapat dikualifikasikan sebagai subyek hukum
internasional?
Jawaban : Menurut saya pribadi mengenai subyek hukum internasional, Taiwan adalah
kekuasaan tertinggi yang independen dari kekuasaan mana pun dalam menjalankan
pemerintahannya . Namun, Taiwan tidak memiliki pengakuan yang sama secara
internasional. Menurut Konvensi Montevideo 1949, kualifikasi suatu negara sebagai subjek
hukum internasional adalah mempunyai penduduk yang tetap, wilayah tertentu,
pemerintahan yang sah atau berdaulat, dan negara tersebut mempunyai kemampuan
mengadakan hubungan dengan negara lain . Taiwan belum bisa memenuhi syarat syarat sah
yang ada agar dapat di anggap sebagai subyek hukum internasional, dengan begitu menurut
saya Taiwan belum bisa di katakan sebagai subyek hukum internasional.
c. Bagaimana dengan Palestina, Apakah dapat dikualifikasikan sebagai subyek hukum
internasional?
Jawaban : Menurut saya , Palestina dapat dikualifikasikan sebagai subyek hukum
internasional. Hal ini dikarenakan Palestina sudah menjadi Subjek Hukum Internasional
yang hak dan kewajibannya dijamin oleh Hukum Internasional . Palestina diakui sebagai
sebuah negara yang berdaulat pada tanggal 29 November 2012 kemarin. Palestina diakui
sebagai sebuah negara dalam sidang Majelis Umum (MU) PBB di New York lewat
mekanisme voting. Maka dengan begitu menurut saya Palestina dapat dikatakan sebagai
subyek hukum internasional.
d. Jelaskan secara ringkas posisi kasus dari “Reparation for Injuries Suffered in the Service
of the United Nations” dan isi dari Advisory Opinion Mahkamah Internasional terkait kasus
tersebut!
Jawaban : Mahkamah Internasional (ICJ) mengeluarkan Advisory Opinion pada tanggal
11 April 1949 mengenai kasus "Reparasi untuk Cedera yang Diderita dalam Pelayanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa" ¹. Kasus ini dibawa ke ICJ sebagai konsekuensi dari
pembunuhan Count Folke Bernadotte, Mediator PBB di Palestina, dan anggota lain dari
Misi PBB untuk Palestina pada bulan September 1948. Majelis Umum bertanya kepada
ICJ apakah PBB memiliki kapasitas untuk mengajukan klaim internasional terhadap
Negara yang bertanggung jawab dengan maksud untuk mendapatkan reparasi atas
kerusakan yang disebabkan oleh Organisasi dan korban. ICJ berpendapat bahwa Organisasi
dimaksudkan untuk menjalankan fungsi dan hak yang hanya dapat dijelaskan atas dasar
kepemilikan sejumlah besar kepribadian internasional dan kapasitas untuk beroperasi di
bidang internasional. Ini diikuti bahwa Organisasi memiliki kapasitas untuk mengajukan
klaim dan memberikannya karakter tindakan internasional untuk reparasi atas kerusakan
yang telah ditimbulkannya. ICJ lebih lanjut menyatakan bahwa Organisasi dapat
mengklaim reparasi tidak hanya sehubungan dengan kerusakan yang disebabkan oleh
dirinya sendiri, tetapi juga sehubungan dengan kerusakan yang diderita oleh korban atau
orang-orang yang berhak melalui dia.
4. A. Jelaskan ruang lingkup pengaturan dari masing-masing: Konvensi Jenewa I, II, III, IV
Tahun 1949! (harus dijelaskan per masing-masing Konvensi).
Jawaban :
❖ Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan
Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat 1864 adalah salah satu
dari empat perjanjian yang dikenal dengan sebutan Konvensi Jenewa. Perjanjian ini
menetapkan aturan hukum kemanusiaan internasional yang melindungi korban perang.
Konvensi Jenewa Pertama ditandatangani di ruangan Alhambra di Balai Kota Jenewa
pada 22 Agustus 1864 oleh perwakilan dari dua belas negara:
➢ Konfederasi Swiss
➢ Keharyapatihan Baden
➢ Kerajaan Belgia
➢ Kerajaan Denmark
➢ Kekaisaran Prancis Kedua
➢ Keharyapatihan Hessen
➢ Kerajaan Italia
➢ Kerajaan Belanda
➢ Kerajaan Portugal dan Algarve
➢ Kerajaan Prusia
➢ Kerajaan Spanyol
➢ Kerajaan Württemberg

Awalnya hanya terdapat sepuluh pasal dalam konvensi tahun 1864,[3] tetapi
semenjak ini perjanjian ini telah direvisi pada tahun 1906, 1929, dan 1949. Kini
perjanjian ini terdiri dari 64 pasal. Pada dasarnya perjanjian ini melindungi tentara yang
sedang tidak bertempur akibat penyakit atau luka (hors de combat). Perjanjian ini juga
melindungi petugas medis dan keagamaan serta warga di zona pertempuran. Pada
dasarnya prajurit yang sakit dan terluka harus diperlakukan secara manusiawi dan tidak
boleh dibunuh, dilukai, atau disiksa.

❖ Konvensi Jenewa Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan


Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906 adalah
satu dari empat perjanjian dalam Konvensi Jenewa. Konvensi ini pertama kali
diberlakukan tahun 1906, terutama pasca The Russo-Japanese War / Perang Rusia-
Jepang (10 Februari 1904 – 5 September 1905). Perang ini adalah konflik yang sangat
berdarah yang tumbuh dari persaingan antara ambisi imperialis Kekaisaran Rusia dan
Kekaisaran Jepang di Manchuria dan Korea. Lokasi pertempuran sebagian besar di
Manchuria, khususnya daerah sekitar Semenanjung Liaodong dan Mukden, dan laut di
sekitar Korea, Jepang, dan Laut Kuning. Mengingat banyaknya pertempuran terjadi di
laut, ribuan prajurit di laut tenggelam setelah kapal mereka karam. Konvensi Jenewa
Kedua diberlakukan untuk melindungi hak asasi manusia yang terluka, sakit, dan
tentara yang menjadi korban karamnya kapal yang ditemukan di laut. Tindakan ini
dilakukan karena meningkatnya jumlah armada kapal perang yang dibentuk dan
jumlah perang yang terjadi di laut.
Ketentuan-ketentuan yang penting dari perjanjian itu adalah:
• Pasal 12 dan 18 mengharuskan semua pihak untuk melindungi dan merawat yang
terluka, sakit, dan korban kapal karam.
• Pasal 21 memungkinkan kapal netral untuk membantu mengumpulkan dan merawat
mereka yang luka, sakit, dan korban karam. Kapal netral tidak dapat ditangkap.
• Pasal 36 dan 37 melindungi personil agama dan medis yang melayani di sebuah kapal
tempur.
• Pasal 22 menyatakan bahwa rumah sakit kapal tidak dapat digunakan untuk tujuan
militer, dan karena misi kemanusiaan mereka, mereka tidak dapat diserang atau
ditangkap.
• Pasal 14 menjelaskan bahwa meskipun kapal perang tidak dapat menangkap staf
medis kapal rumah sakit, namun ia dapat menahan mereka yang terluka, sakit, dan
terdampar sebagai tawanan perang.
❖ Konvensi Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai Perlakuan Tawanan
Perang, 1929 adalah kerangka hukum yang paling komprehensif dalam melindungi
tawanan perang. Diadopsi pada 1949 dengan latar belakang penderitaan besar selama
Perang Dunia Kedua, Konvensi Jenewa merupakan pencapaian multilateral yang luar
biasa, dengan pelindungan tambahan dan lebih kuat daripada yang pernah disepakati
untuk tawanan perang. Selama tujuh puluh tahun terakhir, Konvensi Jenewa Ketiga
(KJ III) telah memastikan bahwa tawanan perang diperlakukan secara manusiawi dan
bermartabat saat berada di tangan pasukan musuh, menyelamatkan nyawa yang tak
terhitung jumlahnya. Konvensi ini disusun setelah Perang Dunia Kedua, ketika jutaan
tawanan perang menjadi korban kekejaman yang mengerikan. Pada 1949, belajar dari
pengalaman yang menyakitkan ini, Konvensi Jenewa Ketiga merevisi dan memperluas
pelindungan yang diberikan kepada tawanan perang menurut Konvensi 1929.
Konvensi 1949 berisi 143 pasal, 46 lebih banyak dari pendahulunya. Penambahan dan
revisi ini dianggap perlu, mengingat perubahan yang telah terjadi selama dua dekade
sebelumnya dalam melakukan perang dan konsekuensinya. Pengalaman menunjukkan
bahwa kehidupan sehari-hari para tahanan berkisar pada interpretasi spesifik atas
peraturan umum Konvensi.
Di bawah ini adalah gambaran tentang 10 perlindungan paling penting yang diberikan
oleh Konvensi Jenewa Ketiga kepada tawanan perang dalam konflik bersenjata.
1. Perlakuan manusiawi
Inti Konvensi Jenewa Ketiga adalah prinsip dasar bahwa tawanan perang harus
diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi setiap saat. Mereka dilindungi dari
tindakan kekerasan dan intimidasi, penghinaan dan rasa ingin tahu publik, dan terhadap
pembalasan.
2. Hormat terhadap orang-orang dan kehormatannya
Perlakuan manusiawi terhadap tawanan perang juga berarti bahwa Kuasa Penahan
harus menghormati orang-orang mereka dan kehormatan mereka dalam segala situasi.
Sementara ada nuansa kuno yang mewarnai pembacaan ketentuan-ketentuan ini, ide
yang bertahan adalah semacam ‘memperhatikan rasa nilai yang dimiliki setiap orang
dalam diri mereka sendiri’. Para tawanan perang tidak hanya diizinkan untuk memakai
emblem pangkat dan kebangsaan mereka serta lencana militer mereka dan
diperlakukan sesuai dengan pangkat dan usia mereka, terkait dengan kehormatan
militer mereka; mereka juga, terutama, harus diberikan kondisi kerja yang sesuai, yang
tidak akan mempermalukan, dan mereka harus dibayar untuk pekerjaan mereka.
3. Prinsip kesetaraan dan pembedaan yang tidak merugikan
Semua tawanan perang berhak atas penghormatan dan perlindungan yang sama dan
harus diperlakukan setara. Ini berarti bukan saja ada larangan diskriminasi tahanan
perang tertentu, tetapi juga ada kewajiban untuk mempertimbangkan dan menanggapi
kebutuhan spesifik, terutama ketika berhadapan dengan kategori tahanan tertentu
seperti perempuan, penyandang disabilitas, atau anak-anak. Sementara kosakata yang
digunakan dalam Konvensi 1949 agak ketinggalan jaman, misalnya bahasa yang
berkaitan dengan ‘gangguan mental’, kosakata itu mewakili kemajuan pada masanya.
Misalnya, sementara Konvensi 1929 hanya mengharuskan perempuan diperlakukan
‘dengan segala pertimbangan karena jenis kelamin mereka’, Konvensi 1949
menambahkan bahwa mereka, dalam semua kasus, harus diberikan ‘perlakuan yang
sama menguntungkan sebagaimana yang diberikan kepada laki-laki’. Sekarang ini,
redaksi Konvensi, ditafsirkan menurut objek dan tujuannya, sehingga memungkinkan
penafsiran yang memperhitungkan kebutuhan spesifik dari tawanan perang yang
beragam.
4. Tanya-jawab
Ketika ditanyai, tawanan perang terikat untuk hanya memberikan nama, pangkat,
tanggal lahir dan nomor dinas militer mereka. Setelah menerima informasi tersebut,
Kuasa Penahan akan dapat menetapkan identitas, status dan pangkat mereka sebagai
anggota angkatan bersenjata musuh. Ini adalah pelindungan penting, karena
memungkinkan Kuasa Penahan untuk mengidentifikasi tahanan perang dengan benar
dan mencegah mereka hilang, serta untuk memberi mereka perlakuan yang berhak
mereka dapatkan. Dilarang keras untuk menjadikan tawanan perang sebagai subjek
penyiksaan fisik atau mental, atau bentuk pemaksaan lainnya, untuk mendapatkan
informasi dalam bentuk apa pun.
5. Perhatian medis
Konvensi Jenewa Ketiga menetapkan serangkaian tindakan untuk memastikan bahwa
tawanan perang mendapat perhatian medis yang memadai, seperti yang dipersyaratkan
oleh keadaan kesehatan mereka. Di seluruh Konvensi, baik kesehatan fisik maupun
mental ditekankan. Tindakan tersebut meliputi, misalnya, pemeriksaan medis bulanan
dan akses ke perawatan kesehatan — termasuk perawatan khusus jika terjadi penyakit
serius — dan akses ke fasilitas kesehatan khusus untuk penyandang disabilitas.
Konvensi juga mengatur pembuatan bangsal isolasi untuk kasus penyakit menular dan
memberlakukan langkah-langkah kebersihan dan sanitasi untuk memastikan kondisi
kehidupan yang bersih dan sehat di kamp-kamp. Tawanan perang yang terluka serius
atau sakit harus langsung dipulangkan ke negara mereka sendiri atau dipindahkan ke
negara netral untuk perawatan, tergantung pada kemungkinan dan waktu pemulihan
yang diharapkan.
6. Kontak dengan dunia luar
Konvensi Jenewa Ketiga memberikan tawanan perang hak untuk terus menjalin
hubungan dengan keluarga mereka. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengirim
dan menerima surat dan kartu, menerima paket dan pengiriman bantuan kolektif dan
secara ketat mengatur kemungkinan untuk menyensor korespondensi dan memeriksa
barang kiriman. Sarana komunikasi yang lebih modern juga harus dipertimbangkan,
karena ketentuan tersebut harus ditafsirkan sesuai dengan perkembangan teknologi
terbaru dalam telekomunikasi. Konvensi Jenewa Ketiga memperkuat kewajiban —
yang sudah ada pada 1929 — untuk mendirikan Badan Pusat Pencarian (Central
Tracing Agency) bagi tawanan perang, yang diamanatkan untuk mengumpulkan dan
memusatkan informasi tentang tawanan perang dan mengirimkannya kepada Para
Pihak dalam konflik. Sejak 1949, Badan tersebut berada di bawah tanggung jawab
ICRC.
7. Hak untuk dikunjungi oleh ICRC
Kuasa Penahan harus mengizinkan delegasi ICRC untuk mengunjungi semua tempat
di mana tawanan perang berada dan mewawancarai mereka tanpa saksi. Pihak
berwenang tidak dapat memberlakukan pembatasan atas tempat dan tahanan perang
mana yang boleh dikunjungi. Dengan peran pengawasannya, ICRC memastikan agar
tawanan perang diperlakukan sesuai dengan hak dan kewajiban yang diberikan oleh
Konvensi Jenewa Ketiga, bahwa kebutuhan mereka terpenuhi, dan agar mereka tidak
hilang. Untuk itu, ICRC dapat memberikan dukungan tambahan kepada pihak
berwenang melalui Central Tracing Agency atau berdasarkan haknya untuk
menawarkan layanan sebagai organisasi kemanusiaan dan imparsial.
8. Hak untuk pengadilan yang adil
Tujuan dari penahanan tawanan perang bukan untuk menghukum mereka, tetapi untuk
mencegah tentara yang ditangkap mengambil bagian lebih jauh dalam permusuhan
yang sedang berlangsung melawan Kuasa Penahan. Oleh karena itu, tawanan perang
tidak boleh dituntut semata-mata karena fakta telah berpartisipasi dalam permusuhan.
Jika dituduh melakukan pelanggaran, tawanan perang harus diadili di hadapan
pengadilan independen dan tidak memihak, dalam persidangan yang adil yang
memberikan semua jaminan peradilan yang esensial. Agar hukuman yang dijatuhkan
sah, putusan harus dikeluarkan oleh pengadilan yang sama dan sesuai dengan prosedur
yang sama seperti dalam kasus anggota angkatan bersenjata Kuasa Penahan.
9. Kegiatan pendidikan dan rekreasi
Pihak berwenang yang menahan harus mendorong tawanan perang untuk mengejar
kegiatan intelektual, pendidikan, dan rekreasi. Untuk tujuan ini, pihak berwenang
harus menyediakan tempat dan peralatan yang memadai untuk mempraktikkan
kegiatan seperti belajar, bermain alat musik, berolahraga dan bertanding, dengan
perhatian khusus pada latihan fisik dan aktivitas di ruang terbuka. Pelindungan ini
berhubungan langsung dengan prinsip perlakuan manusiawi, karena membantu para
tawanan perang mengatasi penangkapan mereka dengan menjaga kesejahteraan fisik
dan mental mereka. Kuasan Penahan harus selalu menghormati preferensi tawanan
secara individu dan tidak boleh menjadikan mereka sebagai bagian kegiatan
propaganda.
10. Pembebasan dan repatriasi
Para tawanan perang harus dibebaskan dan dipulangkan ke negara mereka sendiri
tanpa penundaan setelah berhentinya permusuhan aktif, kecuali di mana mereka telah
didakwa secara kriminal atau menjalani hukuman pengadilan pidana. Karena
kurangnya kesepakatan damai formal, pembebasan jutaan tawanan perang tertunda
selama bertahun-tahun setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. Untuk alasan ini,
Konvensi Jenewa Ketiga 1949 menetapkan bahwa kewajiban untuk membebaskan dan
memulangkan tawanan perang tidak bergantung pada timbal balik (reciprocity) dan
berlaku bahkan tanpa adanya perjanjian damai.
❖ Konvensi Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan
Orang Sipil pada Masa Perang, 1949 terdiri atas 4 Konvensi, yaitu :
1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam
Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention for the
Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in
the Field, of August 12, 1949).
2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di
Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam (Geneva Convention for the
Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked
Members of Armed Forces at Sea, of August 12, 1949).
3. Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Geneva Convention
relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949).
4. Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu Perang
(Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in time of
War, of August 12, 1949).
Yang dimana keempat konvensi tersebut di atas awal mulanya dibentuk
pada Tahun 1864. Pembentukan Konvensi Jenewa 1864, dalam sejarahnya
berkaitan dengan pembentukan Komite Internasional Palang Merah atau
International Committee of the Red Cross (ICRC).
Berikut ini adalah beberapa bentuk pelanggaran Konvensi Jenewa IV 1949 oleh
beberapa negara, yaitu :
1. Konflik Dan Pelanggaran Hukum Pendudukan Israel Terhadap Palestina
Tindakan pendudukan negara Israel terhadap Palestina setidaknya telah
melanggar beberapa ketentuan Hukum Humaniter, diantaranya melanggar
Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 yaitu telah melanggar pasal 47 dan pasal 54
Konvensi Jenewa IV Tahun 1949.
2. Konflik Balkan 1992 dan Pelanggaran Terhadap Konvensi Jenewa
Konflik Balkan Tahun 1992 ini telah melakukan pelanggaran dalam
beberapa ketentuan Hukum Humaniter, yaitu melanggar pasal 3, pasal 23 dan
pasal 24 Konvensi Jenewa IV Tahun 1949.
B. Bagaimana kedudukan ICRC (Palang Merah Internasional) dalam Konvensi Jenewa
tahun 1949!
Jawaban : Kedudukan ICRC hanya bergerak di bidang kemanusiaan, memberikan
perlindungan terhadap korban perang baik skala domestik maupun internasional. Namun
Mochtar Kusumaatmadja menyebutkan bahwa ICRC yang berkedudukan di Jenewa
mempunyai tempat tersendiri (unik) dalam sejarah hukum internasional. ICRC adalah
subyek hukum internasional (yang terbatas) lahir karena sejarah, walaupun kemudian
kedudukannya (statusnya) itu kemudian diperkuat dalam perjanjian-perjanjian, dan
kemudian dalam konvensi-konvensi Palang Merah (sekarang Konvensi Jenewa 1949
tentang Perlindungan Korban Perang). Sekarang ICRC secara umum diakui sebagai
organisasi internasional yang memiliki subyek hukum internasional walaupun dengan
ruang lingkup yang sangat terbatas. Berdasarkan yang sudah dijelaskan diatas yang mana
kedudukan atau status dari ICRC masih menjadi polemik sehingga banyak ilmuwan tertarik
untuk mengkaji lebih dalam mengenai keistimewaan status ICRC serta peran dan fungsinya
sebagai subjek hukum internasional yang terbatas dalam perspektif hukum internasional.

Anda mungkin juga menyukai