Anda di halaman 1dari 21

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL ( HPI ) DALAM KONTRAK

Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Internasional Yang

Diampu Oleh Ibu

Dosen Pengampu:

Yati Sharfina Desiandri SH., M.H

Disusun Oleh:

Kelompok 5
1. Bintang Maharani 220300389
2. Burhanuddin 220200391
3. Dhea Ayu Larashati Untoro 220200407
4. Egya Putri Sabrina Br. Siahaan 220200412
5. Elvi Ramadhani Sakan 220200414
6. Fadhil Irawan 220200416
7. Fath Arsandy Sembiring 220200418
8. M. Kautsar Adiyatma Lubis 220200425
9. Nadila Khalishah Putri 220200470

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TA 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan Rahmat dan
kebaikan-Nya serta memberikan kemudahan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Tidak lupa pula saya ucapkan terimakasih
kepada seluruh pihak yang membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini. Makalah ini dibuat
dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Internasional.
Dengan tujuan lain makalah ini dibuat agar mahasiswa mampu memahami Hukum Perdata
Internasional dalam Kontrak.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada Ibu Yati Sharfina Desiandri SH., M.H. selaku dosen mata kuliah Hukum Perdata
Internasional atas arahan serta bimbingan dalam pembuatan tugas makalah ini. Kami menyadari
sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga makalah ini dapat berguna
bagi orang yang membacanya. Demikian, makalah ini kami buat apabila terdapat kesalahan dalam
penulisan makalah ini, mohon maaf dengan sebesar-besarnya.

Medan, 29 November 2023

Kelompok 5
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................2

DAFTAR ISI ..............................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................4

1.1 Latar Belakang...................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................................5

1.3 Tujuan ...............................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................................6

2.1 Pengertian Hukum Perdata Internasional dalam kontrak .....................................................6

2.2 Klausula pilihan hukum banyak dibuat dan penting dalam kontrak Internasional ...............7

2.3 Contoh kasus kualifikasi dan cara penyelesaian HPI dalam Kontrak ..................................8

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 20

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 21


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia, asas kebebasan berkontrak bersumber pada Pasal 1320 dan 1338 ayat (1)
Burgerlijke Wethoek voor Indonesie (BW) yang secara berturut-turut menekankan pada
kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya kontrak dan kebebasan para pihak dalam berkontrak.
Dengan dasar kebebasan berkontrak ini, para pihak dalam kontrak juga memiliki kebebasan untuk
memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang mereka sepakati.

Kebebasan untuk memilih hukum yang berlaku untuk kontrak ini lebih lanjut diatur dalam
tiga peraturan perundang-undangan. Pilihan Hukum secara gamblang diatur dalam Pasal 72
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan) yang menentukan
bahwa perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat,
dan/atau perjanjian sewa guna usaha yang menjadi dasar lahirnya jaminan atas pesawat udara dapat
dibuat berdasarkan hukum yang dipilih oleh para pihak. Penjelasan Pasal 72 undang-undang ini
menerangkan bahwa hukum yang dipilih oleh para pihak tersebut tidak selalu harus ada
hubungannya atau tautannya dengan salah satu pihak atau dengan pelaksanaan perjanjian tersebut.
Ini artinya, para pihak bebas untuk memilih hukum negara manapun sebagai hukum yang berlaku
bagi perjanjian yang mengikat mereka.

Hal menarik yang perlu dicatat juga adalah UU Penerbangan juga mengatur bahwa para
pihak dalam perjanjian-perjanjian yang menjadi dasar lahirnya jaminan atas pesawat udara tersebut
diberi kebebasan untuk memilih yurisdiksi penyclesaian sengketa. Ketentuan lain yang mengatur
mengenai Pilihan Hukum dalam kontrak adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 18 ayat (2) undang-undang ini mengatur bahwa para pihak
memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional
yang dibuatnya.
Bagian penjelasan ayat ini menerangkan bahwa pilihan hukum dalam transaksi elektronik
hanya dapat dilakukan jika dalam kontraknya terdapat unsur asing dan penerapannya harus sejalan
dengan prinsip Hukum Perdata Internasional. 1

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu Hukum Perdata Internasional dalam kontrak?
2. Mengapa klausula pilihan hukum banyak dibuat dan penting dalam kontrak
Internasional?
3. Bagaimana contoh kasus dan cara penyelesaian wanprestasi kontrak dalam kancah
Internasional ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Hukum Perdata Internasional dalam kontrak
2. Untuk mengetahui klausula pilihan hukum banyak dibuat dan penting dalam kontrak
Internasional
3. Untuk mengetahui contoh kasus dan cara penyelesaian wanprestasi kontrak dalam kancah
Internasional

1
Nanda rizki. Perjanjian atau kontrak dalam hukum perdata internasional. Halaman 6. 2020.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Perdata Internasional dalam kontrak

Kontrak Perdata Internasional merupakan salah satu hubungan hukum yang digunakan untuk
mempermudah kerjasama, bisnis atau perdagangan diantara mereka. Kontrak Perdata
Internasional merupakan sebuah perjanjian/kontrak yang terdapat unsur asing. Unsur asing
tersebut bisa terkait dengan subjek, objek maupun lokasi pembuatan atau pelaksanaan perjanjian.
Terkait dengan subjeknya yaitu mereka berbeda kewarganegaraannya atau domisilinya, terkait
dengan objeknya yaitu objek dari perjanjian tersebut berada di luar negeri, terkait dengan
pembuatan dan pelaksanaan perjanjian salah satunya dilakukan di luar negeri.

Kemudahan dalam hubungan kontrak perdata Internasional tersebut seringkali mengalami


hambatan apabila terjadi sengketa diantara mereka, misalkan salah satu pihak tidak memenuhi
janjinya (prestasinya). Apabila salah satu pihak tidak merasa dirugikan karena perbuatan pihak
lainnya yang wanprestasi dapat menuntut kepada lembaga yang berwenang, misalnya pengadilan.
Penyelesaian sengketa kontrak perdata internasional melalui pengadilan seringkali menimbulkan
ketidak puasan bagi pihak yang dikalahkan sebab hakim dalam pengadilan harus menentukan lex
cause (hukum yang seharusnya berlaku) terlebih dahulu dan terkadang lex cause nya tidak begitu
familier bagi hakim atau bagi salah satu pihaknya, belum lagi adanya factor factor non yuridis
yang banyak mempengaruhi proses peradilan sehingga kondisi tersebut bias menghasilkan putusan
yang kurang memuaskan salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut para pihak dapat membuat
pilihan hukum sehingga diharapkan dapat memperoleh putusan dalam penyelesaian sengketa yang
timbul dalam kontrak Perdata Internasional yang memuaskan.

Menurut hukum Perdata Indonesia dengan berdasarkan asas kebebasan berkontrak para
pihak yang terlibat dalam perjanjian dapat menentukan secara bebas klausula dari perjanjiannya
dengan pembatasan tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan Kesusilaan, termasuk
dalam menentukan klausula dalam penyelesaian sengketa2.

2
Dr. Aminah, SH, Msi,. Pilihan Hukum dalam Kontrak Perdata Internasional, Halaman 3.
2.2 Klausula pilihan hukum banyak dibuat dan penting dalam kontrak Internasional
Ada beberapa alasan mengapa klausula pilihan hukum banyak dibuat dan penting dalam
kontrak Internasional, antara lain:

1. Asas Kebebasan Berkontrak.

Berdasarkan prinsip ini, para pihak berhak menentukan apa saja yang tidak ingin mereka sepakati,
tetapi bukan berarti tanpa batas. Dalam KUH-Perdata, asas kebebasan berkontrak ini diatur dalam
pasal 1338.

2. Asas Konsensualitas.

Suatu perjanjian timbul apabila telah ada konsensus atau persesuaian kehendak antara para pihak,
atau dengan kata lain apabila perjanjian yang dibuat belum mencapai kata sepakat maka perjanjian
tersebut tidak mengikat para pihak.

3. Asas Kebiasaan.

Suatu perjanjian tidak mengikat hanya untuk hal-hal yang diatur secara tegas saja dalam peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, dan sebagainya tetapi juga hal-hal yang menjadi kebiasaan
yang diikuti masyarakat umum. Jadi sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh
kepatutan. Dengan kata lain, hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap
secara diam-diam dimasukan dalam persetujuan, meskipun tidak tegas dinyatakan.

4. Asas Kepatutan (Equality Principle).

Prinsip kepatutan ini menghendaki bahwa apa saja yang diperjanjikan harus memperhatikan
prinsip kepatutan, sebab melalui tolok ukur kelayakan ini hubungan hukum yang ditimbulkan oleh
suatu persetujuan itu ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

5. Klausul Pilihan Hukum (Choice of law).

Dalam praktik biasanya kontrak yang dibuat secara internasional sering memilih hukum negara
tertentu. Pilihan hukum ini diadakan untuk menghindarkan ketentuan-ketentuan dari suatu negara
yang dianggap kurang menguntungkan mereka. 3

3
Nanda rizki. Perjanjian atau kontrak dalam hukum perdata internasional. Halaman 5. 2020.
2.3 Contoh kasus kualifikasi dan cara penyelesaian HPI dalam Kontrak

KASUS 1

1. Kasus IPB dan Amerika serikat

Fakta

IPB melakukan perjanjian untuk mengirim 800 kera ke Amerika, Kera tersebut hanya akan diambil
anaknya saja dan babonnya akan dikembalikan ke Indonesia. Harga perekor disepakati sebesar 80
(delapan puluh) juta dan pihak amerika serikat hanya membutuhkan anaknya saja dan harus
beranak di Amerika serikat. Ketika posisi pesawat masih di swiss, seekor monyet stress dan
lepas,melahirkan anaknya. Karena induknya telah dilumpuhkan dan mati, maka dokter hewan IPB
menyuntik mati anak monyet tersebut karena pertimbangan rasa kasihan . Lawyer Amerika serikat
menuntut IPB atas dasar perlindungan satwa dan dianggap tak memenuhi prestasi dengan
sempurna serta membunuh seekor anak monyet. Disati sisi, Kera di Indonesia tidak lebih sebagai
hama, sedangkan bagi Amerika serikat merupakan satwa yang harus mendapat perlindungan.

Penyelesaian:

1) Forum yang berwenang

Ø Pengadilan mana yang berwenang mengadili kasus ini?

Yaitu pengadilan bogor karena sesuai dengan prinsip actor sequitor forum rei yaitu gugatan
diajukan ke pengadilan, tempat dimana tergugat bertempat tinggal. Karena tergugat (IPB)
bertenpat tinggal di Bogor, maka forum yang berwenang harus di tempat tinggal tergugat.

Ø Titik taut primer

Adalah factor-faktor/keadaan yang menciptakan hubungan HPI dalam kasus ini yang merupakan
titik taut primer harus dilihat/ditinjau dari pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa
ini. Menurut pandangan PN bogor perkara ini adalah perkara HPI karena ada unsure asingnya yaitu
pihak penggugat berkewarganegaraan Amerika.
Kasus ini termasuk kualifikasi hukum perjanjian dan perbuatan melawan hukum.

Ø Kualifikasi hukum perjanjian karena mengenai wanprestasi dari pihak IPB (jumlah kera yang
dikirim menjadi berkurang satu adalah yang seharusnya 800 ekor kera.)

Ø Kualifikasi perbuatan melawan hukum, karena pihak IPB menyuntik anak monyet sampai mati,
kera menurut amerika serikat merupakan satwa yang harus/mendpat perlindungan. Sehingga
perbuatan IPB menyuntik mati anak kera diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum.

2) Titik taut sekunder yaitu titik taut/factor-faktor/keadaan-keadaan yang menentukan hukum


mana yang harus diberlakukan

Ø Dalam kasus ini, titik taut sekunder untuk klasifikasi perjanjian karena dalam perjanjian yang
dibuat oleh IPB dengan amerika serikat tidak ada pilihan hokum maupun pilihan forum, maka
yang menjadi titik taut sekundernya bisa ada beberapa antara lain

Ø Lex loci contractus

Ø Lex loci solusionis

Ø The proper law of the contract ,

Digunakan untuk mengedepankan apa yang dinamakan “intention of the parties” hokum yang
ingin diberlakukan untuk perjanjian tersebut karena dikehendaki oleh para pihak ybs. Hukum yang
dikehendaki itu bisa dinyatakan secara tegas yaitu dicantumkan dalam perjanjian, bisa pula tidak
dinyatakan secara tegas

Ø apabila ditegaskan keinginan para pihak,maka hukum yang diberlakukan adalah yang
ditegaskan

Ø apabila tidak ditegaskan,maka harus disimpulkan oleh pengadilan dengan melihat pada isi
perjanjian, bentuknya unsure-unsur perjanjian maupun kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa
disekelilingnya yang relevan dengan perjanjian tersebut.

Ø The most characteristic connection adalah untuk menentukan hokum mana yang berlaku
adalah hokum dari Negara dengan mana kontrak bersangkutan mempunyai prestasi yang paling
kuat.
3) LEX CAUSE hukum yang dipakai untuk menyelesaikan perkara

Ø Apabila perjanjian dibuat di Indonesia maka berdasarkan lex loci contractus, maka hokum
Indonesia yang dipakai. Tetapi kalau perjanjian dibuat di Amerika serikat, maka hokum amerika
serikat yang dipakai.

Ø Berdasarkan lex loci solusionis. Apabila isi perjanjian dilaksanakan di Indonesia, maka hokum
Indonesia yang dipakai, apabila isi perjanjian dilaksanakan di Amerika serikat,maka hokum AS
yang dipakai.

Ø Berdasarkan the most characteristic connection, aka hokum yang berlaku adalah Hukum
Indonesia karena yang melakukan prestasi paling kuat/paling dominan adalah IPB sebagai penjual
kera, karena IPB yang harus menyerahkan kera,merawat dan menjaga kera dengan baik sampai
nanti kera diserahkan kepada pihak amerika serikat.

KASUS 2

2. Universitas Sumatera Utara dengan Inggris

Fakta

USU melakukan perjanjian untuk mengirim 500 buku ke Inggris, Buku tersebut di kirimkan dan
dikembalikan . Harga satu buku disepakati sebesar 100 (ratus) ribu. Ketika posisi pesawat masih
di bandara kuala lumpur, buku tersebut terjatuh dikarenakan kurangnya keamanan dan packing
buku tersebut, sehingga buku tersebut terjatuh sebanyak 100 buku. Buku tersebut memang tidak
memakai sesuai dengan packing yang baik sehingga buku tersebut terjatuh berangsur angsur dari
satu bandara ke bandara lain. Sehingga lawyer inggris menuntut USU atas dasar tak memenuhi
prestasi dengan sempurna.

Penyelesaian:

1. Forum yang berwenang

Yaitu pengadilan medan karena sesuai dengan prinsip actor sequitor forum rei yaitu gugatan
diajukan ke pengadilan, tempat dimana tergugat bertempat tinggal. Karena tergugat (USU)
bertempat tinggal di medan, maka forum yang berwenang harus di tempat tinggal tergugat
Ø Titik taut primer

Adalah factor-faktor/keadaan yang menciptakan hubungan HPI dalam kasus ini yang merupakan
titik taut primer harus dilihat/ditinjau dari pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa
ini. Menurut pandangan PN medan perkara ini adalah perkara HPI karena ada unsure asingnya
yaitu pihak penggugat berkewarganegaraan Inggris.

Kasus ini termasuk kualifikasi hukum perjanjian dan perbuatan melawan hukum.

Ø Kualifikasi hukum perjanjian karena mengenai perbuatan melawan hukum dari pihak USU
(jumlah buku yang dikirim menjadi berkurang seratus adalah yang seharusnya 500 ekor kera.)

Ø Kualifikasi Wanprestasi, karena pihak USU dikarenakan kelalaian dari pihak USU dikarenakan
keamanan dan packingan buku tidak sesuai dengan apa yang seharusnya, sehingga menimbulkan
kerugian dan hilangnya barang yang akan dikirimkan

2) Titik taut sekunder yaitu titik taut/factor-faktor/keadaan-keadaan yang menentukan hukum


mana yang harus diberlakukan

Ø Dalam kasus ini, titik taut sekunder untuk klasifikasi perjanjian karena dalam perjanjian yang
dibuat oleh USU dengan Inggris tidak ada pilihan hokum maupun pilihan forum, maka yang
menjadi titik taut sekundernya bisa ada beberapa antara lain

Ø Lex loci contractus

Ø Lex loci solusionis

Ø The proper law of the contract ,

Digunakan untuk mengedepankan apa yang dinamakan “intention of the parties” hokum yang
ingin diberlakukan untuk perjanjian tersebut karena dikehendaki oleh para pihak ybs. Hukum yang
dikehendaki itu bisa dinyatakan secara tegas yaitu dicantumkan dalam perjanjian, bisa pula tidak
dinyatakan secara tegas

Ø apabila ditegaskan keinginan para pihak,maka hukum yang diberlakukan adalah yang
ditegaskan
Ø apabila tidak ditegaskan,maka harus disimpulkan oleh pengadilan dengan melihat pada isi
perjanjian, bentuknya unsur-unsur perjanjian maupun kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa
disekelilingnya yang relevan dengan perjanjian tersebut.

Ø The most characteristic connection adalah untuk menentukan hokum mana yang berlaku
adalah hokum dari Negara dengan mana kontrak bersangkutan mempunyai prestasi yang paling
kuat

3) LEX CAUSE hukum yang dipakai untuk menyelesaikan perkara

Ø Apabila perjanjian dibuat di Indonesia maka berdasarkan lex loci contractus, maka hokum
Indonesia yang dipakai. Tetapi kalau perjanjian dibuat di Inggris, maka hokum Inggris yang
dipakai.

Ø Berdasarkan lex loci solusionis. Apabila isi perjanjian dilaksanakan di Indonesia, maka hokum
Indonesia yang dipakai, apabila isi perjanjian dilaksanakan di Inggris ,maka hokum inggris yang
dipakai.

Ø Berdasarkan the most characteristic connection, aka hokum yang berlaku adalah Hukum
Indonesia karena yang melakukan prestasi paling kuat/paling dominan adalah USU sebagai
penjual buku, karena USU yang harus menyerahkan buku,merawat dan menjaga buku dengan baik
sampai nanti buku diserahkan kepada pihak Inggris.

KASUS 3

3. PT jepara energi persada dengan Universiti Malaya

Fakta

PT Jepara energi persada yang berada di kota Medan, Indonesia mengadakan perjanjian jual beli
dengan University Malaya yang berada di kota Kuala Lumpur, Malaysia.Isi perjanjian antara
kedua belah pihak tersebut yaitu, Universiti Malaya memesan 1000 kursi dengan spesifikasi:
menggunakan kayu jati sebagai bahan dasar pembuatan kursi.Setelah kursi sampai di University
Malaya,pihak Universitas melakukan pengecekan barang (quality control) terhadap kursi yang di
pesan dari PT jepara energi persada,Ternyata bahan dasar dari kursi tersebut menggunakan kayu
mahoni yang mana tidak sesuai denga nisi kontrak yang telah disepakati.Sehingga pihak university
Malaya melakukan penuntutan kepada pihak PT jepara energi persada karena telah melakukan
perbuatan melawan hukum karena barang yang dikirim tidak sesuai dengan isi kontrak.

Penyelesaian:

1) Forum yang berwenang

Pengadilan yang berwenang mengadili kasus ini adalah pengadilan negeri medan karena sesuai
dengan prinsip actor sequitor forum rei yaitu gugatan diajukan ke pengadilan, tempat dimana
tergugat bertempat tinggal. Karena tergugat (PT Jepara Energi Persada) bertempat tinggal di
medan, maka forum yang berwenang harus di tempat tinggal tergugat

Titik taut primer adalah factor-faktor/keadaan yang menciptakan hubungan HPI dalam kasus ini
yang merupakan titik taut primer harus dilihat/ditinjau dari pengadilan yang berwenang
menyelesaikan sengketa ini. Menurut pandangan PN medan perkara ini adalah perkara HPI karena
ada unsure asingnya yaitu pihak penggugat berkewarganegaraan Malaysia .

Kasus ini termasuk kualifikasi hukum perjanjian dan perbuatan melawan hukum.

Ø Kualifikasi hukum perjanjian karena mengenai perbuatan melawan hukum dari pihak PT jepara
energi persada (Bahan dasar yang digunakan kualitasnya lebih rendah(inferior quality) daripada
yang telah disepakati di dalam kontrak)

Ø Kualifikasi perbuatan melawan hukum, karena pihak PT jepara energi persada melakukan
tindakan penipuan kepada University Malaya mengenai bahan dasar pembuatan kursi.

2) Titik taut sekunder yaitu titik taut/factor-faktor/keadaan-keadaan yang menentukan hukum


mana yang harus diberlakukan

Ø Dalam kasus ini, titik taut sekunder untuk klasifikasi perjanjian karena dalam perjanjian yang
dibuat oleh PT jepara energi persada dengan universitas malaya tidak ada pilihan hukum maupun
pilihan forum, maka yang menjadi titik taut sekundernya bisa ada beberapa antara lain

Ø Lex loci contractus

Ø Lex loci solusionis

Ø The proper law of the contract ,


Digunakan untuk mengedepankan apa yang dinamakan “intention of the parties” hokum yang
ingin diberlakukan untuk perjanjian tersebut karena dikehendaki oleh para pihak yang
bersangkutan . Hukum yang dikehendaki itu bisa dinyatakan secara tegas yaitu dicantumkan dalam
perjanjian, bisa pula tidak dinyatakan secara tegas

Ø apabila ditegaskan keinginan para pihak,maka hukum yang diberlakukan adalah yang
ditegaskan

Ø apabila tidak ditegaskan,maka harus disimpulkan oleh pengadilan dengan melihat pada isi
perjanjian, bentuknya unsur-unsur perjanjian maupun kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa
disekelilingnya yang relevan dengan perjanjian tersebut.

Ø The most characteristic connection adalah untuk menentukan hukum mana yang berlaku
adalah hukum dari Negara dengan mana kontrak bersangkutan mempunyai prestasi yang paling
kuat

3) LEX CAUSE hukum yang dipakai untuk menyelesaikan perkara

Ø Apabila perjanjian dibuat di Indonesia maka berdasarkan lex loci contractus, maka hukum
Indonesia yang dipakai. Tetapi kalau perjanjian dibuat di Inggris, maka hukum Inggris yang
dipakai.

Ø Berdasarkan lex loci solusionis. Apabila isi perjanjian dilaksanakan di Indonesia, maka hukum
Indonesia yang dipakai, apabila isi perjanjian dilaksanakan di Malaysia ,maka hukum Malaysia
yang dipakai.

Ø Berdasarkan the most characteristic connection, aka hukum yang berlaku adalah Hukum
Indonesia karena yang melakukan prestasi paling kuat/paling dominan adalah PT jepara energi
persada sebagai penjual buku, karena PT jepara energi persada yang harus menyerahkan kursi
sesuai dengan kualitas yang disepakati dalam kontrak.
KASUS 4

4. PT. Beras Obor dengan Cafe Pluck

Fakta

PT. Obor yang berada di Kabupaten Deli Serdang, Indonesia mengadakan perjanjian jual beli
dengan Café Pluck yang berada di Kota New Delhi, India. Isi perjanjian antara kedua belah pihak
yaitu Café Pluck memesan sebanyak 3 ton beras dengan spesifikasi beras menggunakan beras
berkualitas IR 64, sebagai bahan dasar beras. Setelah beras sampai di Café Pluck yang terletak di
Kota New Delhi, pihak dari Café Pluck melakukan pengecekan ulang terhadap beras yang dipesan
dari PT. Obor yang terletak di Kabupaten Deli Serdang.Ternyata setelah di cek,beras yang
dikirimkan oleh PT. Obor telah dicampur dengan beras yang berbahan dasar IR 62,yang mana
beras tersebut tidak sesuai dengan isi kontrak yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Sehingga pihak Café Pluck melakukan penuntutan terhadap PT. Obor, karena telah melakukan
perbuatan melawan hhukum, karena beras yang dikirim tidak sesuai dengan isi kontrak yang telah
disepakati.

Penyelesaian:

1) Forum yang berwenang

Pengadilan yang berwenang mengadili kasus ini adalah pengadilan negeri medan karena sesuai
dengan prinsip actor sequitor forum rei yaitu gugatan diajukan ke pengadilan, tempat dimana
tergugat bertempat tinggal. Karena tergugat (PT Beras Obor) bertempat tinggal di Kabupaten Deli
Serdang, maka forum yang berwenang harus di tempat tinggal tergugat

Ø Titik taut primer

adalah factor-faktor/keadaan yang menciptakan hubungan HPI dalam kasus ini yang merupakan
titik taut primer harus dilihat/ditinjau dari pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa
ini. Menurut pandangan PN medan perkara ini adalah perkara HPI karena ada unsure asingnya
yaitu pihak penggugat berkewarganegaraan India .
Kasus ini termasuk kualifikasi hukum perjanjian dan perbuatan melawan hukum.

Ø Kualifikasi hukum perjanjian karena mengenai perbuatan melawan hukum dari pihak PT Beras
Obor (Bahan dasar beras tersebut telah dicampur dengan kualitasnya lebih rendah (inferior quality)
daripada yang telah disepakati di dalam kontrak)

Ø Kualifikasi perbuatan melawan hukum, karena pihak PT Beras Obor melakukan tindakan
penipuan kepada Café Pluck mengenai pencampuran bahan dasar beras.

2) Titik taut sekunder yaitu titik taut/factor-faktor/keadaan-keadaan yang menentukan hukum


mana yang harus diberlakukan

Ø Dalam kasus ini, titik taut sekunder untuk klasifikasi perjanjian karena dalam perjanjian yang
dibuat oleh PT Beras Obor dengan Café Pluck tidak ada pilihan hukum maupun pilihan forum,
maka yang menjadi titik taut sekundernya bisa ada beberapa antara lain

Ø Lex loci contractus

Ø Lex loci solusionis

Ø The proper law of the contract ,

Digunakan untuk mengedepankan apa yang dinamakan “intention of the parties” hukum yang
ingin diberlakukan untuk perjanjian tersebut karena dikehendaki oleh para pihak yang
bersangkutan. Hukum yang dikehendaki itu bisa dinyatakan secara tegas yaitu dicantumkan dalam
perjanjian, bisa pula tidak dinyatakan secara tegas

Ø apabila ditegaskan keinginan para pihak,maka hukum yang diberlakukan adalah yang
ditegaskan

Ø apabila tidak ditegaskan,maka harus disimpulkan oleh pengadilan dengan melihat pada isi
perjanjian, bentuknya unsur-unsur perjanjian maupun kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa
disekelilingnya yang relevan dengan perjanjian tersebut.

Ø The most characteristic connection adalah untuk menentukan hukum mana yang berlaku
adalah hukum dari Negara dengan mana kontrak bersangkutan mempunyai prestasi yang paling
kuat
3) LEX CAUSE hukum yang dipakai untuk menyelesaikan perkara

Ø Apabila perjanjian dibuat di Indonesia maka berdasarkan lex loci contractus, maka hukum
Indonesia yang dipakai. Tetapi kalau perjanjian dibuat di India, maka hukum India yang dipakai.

Ø Berdasarkan lex loci solusionis. Apabila isi perjanjian dilaksanakan di Indonesia, maka hukum
Indonesia yang dipakai, apabila isi perjanjian dilaksanakan di India,maka hukum India yang
dipakai.

Ø Berdasarkan the most characteristic connection, alias hukum yang berlaku adalah Hukum
Indonesia karena yang melakukan prestasi paling kuat/paling dominan adalah PT Beras Obor
sebagai penjual beras, karena PT Beras Obor yang harus menyerahkan beras sesuai dengan kualitas
yang disepakati dalam kontrak.

KASUS 5

5. Kasus PT. Jalaniaja Dulu dengan Musk. Ltd

Fakta

Pt jalani aja dulu mengadakan perjanjian dengan Musk.Ltd, untuk pengadaan mesin
produksi,perjanjjan kontrak tersebut dibuat di Indonesia dan ditandatangani oleh para pihak di
Indonesia, Namun setelah mesin produksi tersebut tiba di Indonesia ,PT Jalani aja dulu
menemukan bahwa mesin tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi yang tercanyum dalam
perjanjian kontrak ,PT jalani aja dulu kemudian mengajurkan gugatan terhadap Musk Ltd atas
wanprestasi, Musk Ltd membantah tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa mesin produksi
tersebut telah sesuai dengan spesifikasi yang tercantum dalam pernjanjian kontrak. Musk Ltd juga
berpendapat bahwa hukum amerika serikat harus diterapkan dalam kasus ini karena Musk Ltd
berkedudukan di amerikka serikat .Pada akhirnya pengadulan memutuskan bahwa hukum yang
harus diterapkan dalam kasus ini ialah hukum Indonesia
Penyelesaian:

1) Forum yang berwenang

Ø Forum yang berwenang untuk menyelesaikan kasus ini


adalah pengadilan Indonesia. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa perjanjian kontrak
tersebut dibuat di Indonesia dan ditandatangani oleh para pihak di Indonesia. Berdasarkan Pasal
1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini berarti bahwa
perjanjian kontrak tersebut mengikat para pihak dan harus dilaksanakan oleh para pihak.

Dalam kasus ini, perjanjian kontrak tersebut dibuat di Indonesia dan ditandatangani oleh
para pihak di Indonesia. Oleh karena itu, perjanjian kontrak tersebut mengikat para pihak dan harus
dilaksanakan oleh para pihak. Jika para pihak tidak dapat menyelesaikan sengketa yang timbul
dari perjanjian kontrak tersebut secara musyawarah, maka mereka dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan. Dalam hal ini, pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut
adalah pengadilan Indonesia.
Hal ini karena perjanjian kontrak tersebut dibuat di Indonesia dan ditandatangani oleh para
pihak di Indonesia. Oleh karena itu, pengadilan Indonesia dianggap lebih relevan untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Berikut adalah beberapa pertimbangan yang dapat digunakan
untuk menentukan forum yang berwenang dalam kasus konflik hukum kontrak: empat pembuatan
perjanjian,Tempat penandatanganan perjanjian,Tempat pelaksanaan perjanjian,Domisili para
pihak, Asas forum non conveniens. Dalam kasus ini, pertimbangan yang paling relevan adalah
tempat pembuatan perjanjian dan tempat penandatanganan perjanjian. Kedua tempat tersebut
berada di Indonesia, sehingga pengadilan Indonesia dianggap lebih relevan untuk menyelesaikan
sengketa tersebut.

Kasus ini termasuk kualifikasi hukum perjanjian dan perbuatan melawan hukum.
Kualifikasi hukum perjanjian karena mengenai perbuatan melawan hukum dari pihak Musk ltd
Ø Kualifikasi Wanprestasi, karena pihak USU dikarenakan kelalaian dari pihak Musk ltd
dikarenakan ketidaksesuain spesifikas mesin produksi tidak sesuai dengan apa yang seharusnya,
sehingga menimbulkan kerugian.
2) Titik taut sekunder yaitu titik taut/factor-faktor/keadaan-keadaan yang menentukan hukum
mana yang harus diberlakukan,
Ø Dalam kasus ini, titik taut sekunder untuk klasifikasi perjanjian karena dalam perjanjian yang
dibuat oleh pt jalaninaja dulu dengan musk ltd tidak ada pilihan hokum maupun pilihan forum,
maka yang menjadi titik taut sekundernya bisa ada beberapa antara lain
Ø Lex loci contractus
Ø Lex loci solusionis
Ø The proper law of the contract ,
Digunakan untuk mengedepankan apa yang dinamakan “intention of the parties” hokum yang
ingin diberlakukan untuk perjanjian tersebut karena dikehendaki oleh para pihak ybs. Hukum yang
dikehendaki itu bisa dinyatakan secara tegas yaitu dicantumkan dalam perjanjian, bisa pula tidak
dinyatakan secara tegas.

Ø apabila ditegaskan keinginan para pihak,maka hukum yang diberlakukan adalah yang
ditegaskan
Ø apabila tidak ditegaskan,maka harus disimpulkan oleh pengadilan dengan melihat pada isi
perjanjian, bentuknya unsure-unsur perjanjian maupun kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa
disekelilingnya yang relevan dengan perjanjian tersebut.
Ø The most characteristic connection adalah untuk menentukan hokum mana yang berlaku
adalah hokum dari Negara dengan mana kontrak bersangkutan mempunyai prestasi yang paling
kuat.

3) LEX CAUSE hukum yang dipakai untuk menyelesaikan perkara


Ø Apabila perjanjian dibuat di Indonesia maka berdasarkan lex loci contractus, maka hokum
Indonesia yang dipakai. Tetapi kalau perjanjian dibuat di Inggris, maka hokum Inggris yang
dipakai.
Ø Berdasarkan lex loci solusionis. Apabila isi perjanjian dilaksanakan di Indonesia, maka
hukum Indonesia yang dipakai.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kontrak Perdata Internasional adalah hubungan hukum yang digunakan untuk


mempermudah kerjasama, bisnis atau perdagangan diantara mereka. Kontrak Perdata
Internasional terdiri dari subjek, objek, atau lokasi pembuatan atau pelaksanaan perjanjian.
Kemudahan dalam hubungan kontrak Perdata Internasional tersebut seringkali mengalami
hambatan apabila terjadi sengketa diantara mereka, yang terdirugikan karena perbuatan
pihak lainnya yang wanprestasi dapat menuntut kepada lembaga yang berwenang.
Penyelesaian sengketa kontrak perdata internasional melalui pengadilan seringkali
menimbulkan ketidak puasan bagi pihak yang dikalahkan sebab hakim dalam pengadilan
harus menentukan lex cause (hukum yang seharusnya berlaku) terlebih dahulu dan
terkadang lex cause nya tidak begitu familier bagi hakim atau bagi salah satu pihak. Dalam
kontrak Perdata Internasional, ada beberapa alasan pilihan hukum banyak dibuat dan
penting dalam perjanjian. Asas kebebasan berkontrak, asas konsensualitas, asas kebiasaan,
asas kepatutan, dan kechotan hukum. Penyelesaian HPI dalam kontrak adalah kualifikasi
dan cara penyelesaian HPI dalam kontrak.
DAFTAR PUSTAKA

Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Bina Cipta Bandung, 1989.
Sudargo Gaautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, jilid II Bagian 4, buku ke 5,
Alumni, Bandung, 1992

Anda mungkin juga menyukai