Anda di halaman 1dari 14

Titik-titik Taut dalam Hukum Perdata Internasional

OLEH:

KELOMPOK 4

1. Nurjanah (1706200256)
2. Bella Saputri (1706200289)
3. Fatimah Nurul Muhlis (1706200293)

Universitas Muhammadiyah

Fakultas Hukum

T.A 2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Titik-titik Taut dalam HPI.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasitentang Titik-titik Taut dalam HPI.

Medan, 28 Oktober2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................ 4


1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Titik Taut dalam HPI……………………………... 5


2.2 Kualifikasi Titik Taut dalam HPI ............................................... 9
2.3 Proses Penyelesaian Perkara Titik Taut dalam HPI.................... 10

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ................................................................................. 13


3.2 Saran .......................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada hakikatnya setiap warga negara yang berdaulat memiliki hukum atau aturan yang
kokoh dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya. Seperti pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki mainstream hukum positif untuk mengatur warga
negaranya. Salah satu hukum positif yang ada di Indonesia adalah Hukum Perdata Internasional
yang nantinya akan dibahas lebih detail.
Permasalahan mengenai keperdataan yang mengaitkan antara unsur-unsur Internasional
pada era globalisasi saat sekarang ini cukup berkembang pesat.Faktor non negara dan faktor
individu mempunyai peran yang dominan.
Permasalahan yang menjadikan hukum tentang keperdataan sangat perlu diatur dalam
suatu kerangka-kerangka positif. Hukum perdata Internasional merupakan sesuatu hal yang nyata
yaitu adanya hubungan perdata yang lintas Negara, dalam proses berinteraksi dan berhubungan
khususnya perdata khususnya masalah perdata yang lintas Negara yang mana terdapat unsure
asing didalamnya maka hal yang mungkin sekali terjadi adalah adanya sebuah masalah atau
sengketa perdata Internasional yang cirinya ada unsur asing didalamnya atau salah satu pihak
yang bersengketa, maka di makalah ini akan mencoba untuk mengulas dan membahas serta
menganalisa titik taut dala HPI.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Apakah Pengertian Titik Taut dalam HPI?
2. Apakah Kualifikasi Titik Taut dalam HPI?
3. Bagaimana Proses Penyelesaian Perkara Titik Taut dalam HPI?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui apakah Pengertian Titik Taut dalam HPI
2. Untuk mengetahui apakah Kualifikasi Titik Taut dalam HPI
3. Untuk mengetahui bagaimana Proses Penyelesaian Perkara Titik Taut dalam HPI

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Titik Taut dalam HPI


Titik taut adalah “faktor-faktor atau fakta-fakta khusus didalam suatu peristiwa hukum atau
persoalan hukum yang menunjukkan pertalian khusus dengan system aturan atau system hukum
tertentu”. Di dalam suatu peristiwa hukum, senantiasa akan dapat dijumpai adanya fakta (-fakta)
penting yang membentuk pertalian/pertautan antara persoalan yang dihadapi dengan suatu aturan
didalam system hukum tertentu. Titik taut adalah fakta didalam perkara yang mengaitkan perkara
tersebut kepada suatu system aturan atau system hukum tertentu.1
Prof. E.J. Cohn berpandangan bahwa salah satu objek dari HPI adalah untuk meletakkan
aturan-aturan dalam rangka memilih hukum yang akan diberlakukan (rules for the choice of
law). Choice of the law (norma-norma HPI) itu adalah aturan-aturan yang mengandung unsur
asing. Usaha pemilihan hukum ini hamper selalu bergantung pada titik-titik taut yang akan
menunjukkan system hukum apa yang relevan dengan sekumpulan fakta yang sering dihadapi.

Dalam HPI dikenal dua jenis titik taut2, yaitu:

1. Titik Taut Primer (disebut juga sebagai titik taut pembeda)


Sudargo Gautama memaknai titik taut primer ini sebagai “hal-hal yang merupakan tanda
akan adanya persoalan hukum antargolongan”. Pengertian ini tidak hanya dapat diterapkan
didalam hukum antargolongan, tetapi juga pada bidang-bidang hukum perselisihan pada
umumnya.Titik taut primer adalah fakta yang membedakan kasus yang dihadapi tersebut dari
kasus yang sepenuhnya tunduk pada satu aturan/system aturan/system hukum dank arena itu
menunjukkan bahwa kasus tersebut adalah kasus hukum perselisihan.Ciri yang membedakan
adalah bahwa dengan adanya titik taut tersebut, jika mengetahui terlibatnya lebih dari satu aturan
hukum atau system hukum didalam perkara tersebut.
Yang tergolong titik taut primer:
1
Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. Hal 64

2
Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. Hal 65

5
a. Kewarganegaraan
Perbedaan kewarganegaraan (nasionalitas) pihak-pihak yang melakukan suatu perbuatan
hukum atau hubungan hukum akan melahirkan permasalahan HPI.
Contoh : seorang pria berkebangsaan Indonesia menikah dengan seorang wanita berkebangsaan
Singapura.

b. Bendera kapal atau pesawat udara


Dalam konteks hukum kapal dan pesawat udara memiliki kebangsaan.Kebangsaan kapal
dan pesawat udara ditentukan berdasarkan dimana mereka didaftarkan.Jika kapal milik
perusahaan badan hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia, tetapi didaftarkan di Panaman,
maka kebangsaan kapal tersebut adalah Panaman. Jika WNI melakukan perjanjian kerja atau
perjanjian pengangkutan laut dengan perusahaan pelayaran yang menggunakan kapal berbendera
asing, maka akan melahirkan hubungan hukumyang memiliki unsur HPI.

c. Domisili
Faktor perbedaan domisili (domicile) subjek hukum yang melakukan suatu hubungan
hukum dapat pula menimbulkan suatu hubungan hukum yang memiliki unsur HPI
Misalnya Caroline, WN Inggris yang berdomisili di Colorado, USA menikah dengan John
Denver yang juga WN Inggris, tetapi berdomisili di London akan melahirkan hubungan hukum
HPI

d. Tempat kediaman (Residence)


Dalam sistem common law, berkaitan dengan kediaman, dibedakan antara domisili dan
tempat kediaman (residence).Kediaman lebih mengacu pada tempat kediaman sehari-
hari.Misalnya dua orang WN Inggris yang sementara waktu bekerja di Texas, USA dan memiliki
kediaman di Texas melakukan pernikahan di Texas juga akan melahirkan hubungan hukum HPI.

e. Tempat kedudukan badan hukum (Legal Seat)


Badan hukum sebagai subjek hukum memiliki kebangsaan (nasionalitas).Nasionalitas
badan hukum menentukan kepada hukum negara mana badan hukum itu tunduk.Nasionalitas
badan hukum ditentukan oleh tempat dimana badan hukum itu didirikan dan didaftarkan.

6
Misalnya, PT. Angkasa Raya bersama dengan Nan Yang Ltd dan Malaysian Industrial Bhd.
membentuk sebuah perusahaan patungan di Singapore, maka kebangsaan dari perusahaan
patungan tersebut adalah Singapura.

f. Hubungan hukum di dalam hubugan internasional


Contohnya dua orang WNI di Indonesia melakukan perjanjian bisnis mengenai barang
yang berasal dari luar negeri.

2. Titik Taut Sekunder (disebut juga titik taut penentu)3


Titik taut sekunder adalah fakta yang digunakan untuk menentukan hukum apa atau hukum
mana yang seharusnya diberlakukan terhadap terhadap perkara yang melibatkan lebih dari satu
system hukum/kaidah hukum/peraturan.
Yang dianggap sebagai titik taut sekunder dalam hukum perselisihan adalah faktor-faktor
penentu, seperti:
1. Pilihlah hukum yang secara tegas dinyatakan oleh para pihak didalam perjanjian. Titik taut ini
hanya diakui di bidang hukum kekayaan dan perikatan.
2. Pilihlah hukum yang disimpulkan oleh hakim/pilihan hukum secara diam-diam (tidak tegas).
Hal ini dapat disimpikan dari:
a. Bentuk danisi perjanjian yang dipilih para pihak (misalnya, WNI Indonesia membuat
perjanjian trust (yang hanya dikenal didalam hukum inggris) dengan orang inggris, dapat
disimpulkan bahwa dia tunduk pada/memilih hukum inggris secara diam-diam).
b. Suasana/lingkungan/milieu/tempat terjadinya perbuatan hukum (misalnya, orang Belanda
membeli padi secara langsung kepada seorang petani di Ciwidey, dapat dianggap dia
memasuki milieu bumiputra dan tunduk pada hukum adat sunda).
c. Kedudukan salah satu pihak yang lebih penting/lebih dominan/lebih menentukan (misalnya,
seorang bumiputra membuka rekening bank (lembaga perbankan pada masa Hindia Belanda
hanya dikenal didalam hukum perdata Barat), maka dapat disimpulkan bahwa dia tunduk
secara diam-diam pada hukum perdata Barat).
3. Pembebanan hukum atau pilihan hukum yang diperintahkan/diwajibkan pemberlakuannya
oleh negara/penguasa melalui perundang-undangan, yang mengakibatkan berlakunya suatu

3
Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. Hal 67

7
system hukum tertentu terhadap seseorang yang seharusnya tidak terkait pada system hukum
tersebut. Pembebanan hukum ini banyak dilakukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda,
dimana pemerintah adakalanya mewajibkan orang bumi putra atau Timur Asing yang
seharusnya tunduk pada hukum adat, untuk tunduk dan terkait pada aturan-aturan hukum
perdata Barat.

4. Fakta-fakta khusus yang oleh kaidah/asas hukum perselisihan Negara, tersebut ditetapkan
sebagai titik taut terpenting untuk menentukan hukum yang berlaku dalam masalah hukum
perselisihan tertentu.

Sebenarnya TPS dalam hal HPI amat sangat banyak, perbedaan utama antara Titik
TautPrimer dan Titik Taut Sekunder adalah :4

1. Tempat/Letak Benda (Situs Rei)


Untuk benda tetap berlaku ketentuan, bahwa hukum dari tempat letaknya benda tersebut
adalah hukum yang berlaku bagi hubungan-hubungan hukum yang menyangkut benda tetap
itu (Lex Rei Sitae/Lex Situs).Misalnya :
a. Dalam pewarisan mengenai sebuah rumah yang terletak di Singapura yang dimiliki oleh
seorang WNI, akan diatur menurut hukum Singapura mengenai benda-benda tetap itu,
sekalipun kita mengenal asas hukum bahwa warisan diatur menurut hukum nasional orang
yang mewariskan.
b. Untuk barang-barang bergerak berlaku asas mobilia sequntuur personam, hukum yang
berlaku terhadap benda-benda bergerak akan diatur menurut hukum nasional penguasa benda-
benda bergerak tersebut. Kadang-kadang letak benda-benda yang bersangkutan mengatur
hubungan-hubungan hukum yang menyangkut barang-barang itu.

Dalam peristiwa kasus Bremen 1958, hasil bumi bekas perkebunan Belanda yang
dinasionalisasi oleh Republik Indonesia dan terdapat di Indonesia sebelum diekspor ke Jerman,
di atur oleh hukum Indonesia, karena Indonesia merupakan tempat/letak benda-benda tersebut,
pada saat penasionalisasian perkebunan Belanda tersebut.

4
Sudargo Gautama, Pengatar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1987, Halm. 50

8
2. Tempat Perbuatan hukum yang bersangkutan dilangsungkan (locus actus).
Misalnya : Perjanjian ekspor impor antara 2 WNI yang pihak satu berkantor di Indonesia
sedang pihak lain berkantor di London. Jika perjanjian itu ditanda tangani di Jakarta, ada
kemungkinan hukum Indonesia yang berlaku, sebagai lex loci actus.

Lex Loci Celebrationis adalah asas HPI yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku
adalah hukum tempat di mana perkawinan diresmikan (locus celebrationis)

3. Tempat diadakan kontrak (forum)


Pendaftaran tanah, tempat izin diperoleh untuk mendirikan suatu badan hukum, tempat
diajukan suatu perkara dapat merupakan titik taut penentu, karena hukum acara ditentukan
oleh lex fori yang bersangkutan. Lex fori adalah hukum yang seharusnya berlaku (lex causae)
adalah hukum di mana tempat diadakan atau diajukannya perbuatan-perbuatan resmi yang
penting.

4. Tempat dilaksanakan Perjanjian (lex loci solutionis)


Dalam perjanjian ekspor impor tersebut apabila barang-barang yang dimpor dari Inggris
harus diserahkan di Jakarta. Dengan demikian maka tempat perjanjian itu dilaksanakan (locus
solutionis ) dapat ikut menentukan hukum yang berlaku, sehingga Jakarta juga merupakan salah
satu titik taut penentu.

5. Pilihan hukum
Contoh : PT Hotel Indonesia mengadakan kontrak dengan intercontinental Hotels
Corporation mengenai eksploitasi dan management bersama Hotel Indonesia di Jakarta, dengan
ketentuan bahwa Hukum Indonesia berlaku bagi perjanjian itu.

9
2.2 Kualifikasi Masalah Hukum dan Teori-Teori Kualifikasi hpi5
Kualifikasi adalah proses yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mendefinisikan
persoalan/masalah hukum yang terbit dari perkara yang dihadapi, serta menetapkan kategori
yuridis dari masalah hukum tersebut.
Dalam prosesnya, apabila orang menghadapi suatu perkara, berdasarkan fakta-fakta yang
relevan didalam perkara tersebut ia harus dapat mendefinisikan/merumuskan persoalan hukum
yang sedang dihadapi (kualifikasi fakta). Dalam melaksanakan kualifikasi fakta, orang harus
juga memilih dan memilah fakta-fakta apa saja yang dianggap relevan dan memiliki akibat
hukum tertentu terhadap perkara. Setelah kualifikasi fakta, orang harus memasukkan peristiwa
hukum yang didefinisikan tadi ke dalam kategori yuridistertentu. Jadi, dalam kualifikasi hukum
orang menentukan peristiwa hukum atau hubungan hukum apa yang dihadapi sebagai perkara,
berdasarkan kategori yang dikenal didalam sebuah system hukum tertentu.

2.3 Proses Penyelesaian Perkara


Beberapa tahap penting yang harus dilalui untuk menentukan cara penyelesaian perkara
dalam perselisihan dapat digambarkan secara singkat sebagai berikut (bagian ini hanya
memberikan penjabaran yang bersifat komprehensif).
a. Menyusun kasus posisi dari perkara
Langkah awal dari penyelesaian perkara dilakukan dengan menyususn kasus posisi dari
perkara tersebut.Artinya, kita harus mengumpulkan semua fakta dan informasi yang relevan.
Pada saat fakta-fakta dalam rangka merumuskan kasus posisi inilah orang akan memilih dan
memilah fakta dan informasi yang relevan (melakukan kualifikasi fakta dan menyusunnya ke
dalam suatu urutan kejadian yang sistematis.
b. Menentukan ada/tidaknya peristiwa hukum perselisihan
Berdasarkan kasus posisi tersebut orang kemudian harus menentukan apakah di antara
kasus tersebut terdapat fakta-fakta yang mempertautkan perkara dengan lebih dari satu system
hukum/kaidah hukum/peraturan (“mencari titik-titik taut primer).Jika perkara tersebut ternyata

5
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bina Cipta, Bandung,1987.hal 54

10
memiliki titik taut primer, barulah terbit kebutuhan untuk menyelesaikan perkara tersebut dengan
menggunakan metode pendekatan dan metode hukum perselisihan.

c. Menentukan masalah hukum utama yang muncul dalam perkara


Biasanya penentuan masalah hukum dilakukan dengan menentukan hal-hal, seperti pokok
gugatan/permohonan, pokok yang dipergunakan/dipersengketakan oleh para pihak, hubungan
hukum yang mengikat para pihak, dan seterusnya. Dari penentuan masalah hukum utama ini,
Anda akan dapat menemukan/menyimpulkan apa yang merupakan satu rangkaian aktivitas yang
tidak perlu diperdebatkan mana yang harus dilakukan lebih dahulu, apakah menentukan masalah
utama dari perkara ataukah menentukan kualifikasi hukum dari perkara.

d. Menentukan titik taut sekunder dari perkara


Dari perkara yang anda hadapi, harus dicari apa yang merupakan fakta penentu untuk
menunjuk hukum yang seharusnya menyelesaikan perkara. Titik taut sekunder tersebut dapat
ditemukan didalam asas hukum atau kaidah hukum yang termuat didalam sumber hukum yang
terkait dengan perkara.

e. Penyelesaian kasus
Langkah terakhir dalam tahap penyelesaian sengketa ini adalah dengan menentukan
apakah perkawinan ini sah atau tidak (berarti kita harus menelusuri isi hukum Singapura,
mencari apa syarat pelaksanaan perkawinan di Singapura, dan menentukan apakah syarat
tersebut dipenuhi). Selanjutnya, dalam menentukan apakah pihak wanita Indonesianya telah
memenuhi syarat materil untuk melaksanakan perkawinan, maka kita harus menggunakan
hukum Indonesia untuk menentukan apakah syarat tersebut telah terpenuhi sehingga dapat
menentukan apakah wanita Indonesia tersebut telah berhak untuk menikah.

Penggunaaan proses penyelesaian perkara HPI seperti tersebut diatas dinamakan juga
penggunaan titik-titik taut secara tradisional dan menurut ahlinya akan menimbulkan 2 masalah
utama khususnya6 :

6
Seto, Bayu Hardjowahono. 2006. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal 70

11
a. Titik taut yang digunakan secara tradisional tidak selalu menunjukan kaidah pemilihan hukum
yang tidak rasional.
b. Titik taut yang dipilih sering kali di dasarkan pada anggapan adanya kesetaraan konsep
hukum yang mungkin dalam kenyataanya tidak ada.

Didalam UU Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958 menjelaskan yang menjadi WNI itu :
Orang yang berdasarkan pada UU dan atau perjanjian-perjanjian semenjak
diproklamasikan menjadi Warga Negara.
UU No. 62 Tahun 1958 menyinggung disini bahwa orang-orang yang pada waktu lahirnya
mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya WNI sedangkan hubungan
kekeluargaan diadakan sebelum orang itu berumur 18 Tahun dan sebelum ia kawin pada usia
dibawah 18 tahun.
Anak yang lahir dalam 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia, disaat ayahnya
meninggal adalah warga Negara Indonesia sehingga anak juga WNI.
Orang yang pada waktu lahir, ibunya WNI maka jika ayahnya tidak punya
kewarganegaraan/selamanya tidak diketahui warga negaranya maka si anak dinyatakan WNI.

Macam-macam Domisili menurut hukum Inggris antara lain yaitu ;


Konsepsi mengenai Domisili dibedakan kedalam tiga pengertian, yaitu
1. Domicilie of origin yaitu tempat kediaman permanent seseorang karena kelahiran orang
itu di tempat tertentu.
2. Domicile of dependence yaitu tempat kediaman permanent seseorang karena
ketergantungannya pada orang lain, misalkan, istri mengikuti domicilie suaminya.
3. Domicile of choice yaitu tempat kediaman permanent seseorang yang dibuktikan dari fakta
kehadiran seseorang secara tetap di suatu tempat tertentu dan indikasi bahwa tempat itu
memang dipilih atas dasar kemauan bebasnya.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Titik taut adalah “faktor-faktor atau fakta-fakta khusus didalam suatu peristiwa hukum atau
persoalan hukum yang menunjukkan pertalian khusus dengan system aturan atau system hukum
tertentu”.Titik taut adalah fakta didalam perkara yang mengaitkan perkara tersebut kepada suatu
system aturan atau system hukum tertentu.

Dalam HPI dikenal dua jenis titik taut, yaitu:

Titik taut primer adalah fakta yang membedakan kasus yang dihadapi tersebut dari kasus
yang sepenuhnya tunduk pada satu aturan/system aturan/system hukum dan karena itu
menunjukkan bahwa kasus tersebut adalah kasus hukum perselisihan.
Titik taut sekunder adalah fakta yang digunakan untuk menentukan hukum apa atau hukum
mana yang seharusnya diberlakukan terhadap terhadap perkara yang melibatkan lebih dari satu
system hukum/kaidah hukum/peraturan.

3.2 Saran
Dalam hal ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini dan masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis meminta kepada pembaca
untuk membantu penulis memperbaiki atau menyempurnakan tulisan ini dengan memberikan
saran maupun kritik.Sehingga saran dan kritik tersebut dapat dijadikan acuan atau pedoman bagi
penulis dalam penulisan makalah selanjutnya sehingga menjadi lebih baik lagi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bina Cipta,


Bandung,1987.
Seto, Bayu. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional, Cet. III, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001.
Seto, Bayu Hardjowahono. 2006. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional. Bandung:
Citra Aditya Bakti.

14

Anda mungkin juga menyukai