Anda di halaman 1dari 21

TUGAS MAKALAH

HUKUM TRANSNASIONAL

“ MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL “

Nama Kelompok :

1. Neffy Ariesma (20170610363)


2. Amadeasallie Ulimaz (20170610380)
3. Wahyu Setiyaningsih (20170610382)
4. Tamaris Cahya Lolita (20170610404)
5. Anggarningrum Faradina (20170610409)

Kelas : J

FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penegakan hukum pidana internasional pada hakekatnya adalah diskusi tentang hukum
pidana internasional dalam pengertian formil. Artinya, yang akan di bahas adalah aspek-
aspek internasional dalam hukum pidana. Secara teoritis, penegakan hukum pidana
internasional dibagi menjadi direct enforcement system (sistem penegakan langsung) dan
indirect enforcement system (sistem penegakan tidak langsung). Akan tetapi dalam
perkembangannya terdapat apa yang disebut dengan hybrid model atau model campuran yang
mengakomodasi penegakan hukum pidana internasional melalui hukum pidana nasional dan
hukum internasional.
Praktek system penegakan hukum langsung telah dilaksanakan oleh beberapa Mahkamah
Internasional ad hoc, seperti Nuremberg Trial, Tokyo Trial, hingga ICTY dan ICTR.
Sementara penegakan hukum tidak langsung, dilakukan oleh pengadilan nasional tempat
tindak pidana terjadi atau pengadilan lain yang mempunyai yurisdiksi atas tindak pidana yang
terjadi. Tanggal 17 Juli 1998 Statuta Roma melahirkan Mahkamah Pidana Internasional
permanen yang disahkan melalui pemungutan suara yang dihadiri oleh 148 negara. Hasil
pemungutan suara terdiri dari 120 negara yang mendukung, 7 negara yang menentang, dan 21
negara abstein. Mahkamah Pidana Internasional berada di bawah PBB dengan tempat
kedudukan Den Haag, Belanda. Adapun bahasa resmi yang digunakan oleh Mahkamah
Pidana Internasional sama dengan bahasa resmi PBB, yaitu bahasa Arab, bahasa Cina, bahasa
Inggris, bahasa Perancis, bahasa Rusia, dan bahasa Spanyol. Badan-badan Mahkamah Pidana
Internasional meliputi kepresidenan, devisi banding, devisi pengadilan, devisi prapengadilan,
kantor jaksa penuntut umum, dan kepaniteraan. Mengenai kewenangan Mahkamah Pidana
Internasional terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma yang berisi ketentuan bahwa,
yurisdiksi mahkamah terbatas pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat
internasional secara keseluruhan. Mahkamah mempunyai yurisdiksi sesuai dengan Statuta
berkenan dengan kejahatan-kejahatan berikut:
a) Kejahatan genosida;
b) Kejahatan terhadap kemanusiaan;
c) Kejahatan perang;
d) Kejahatan agresi.
Sebagai contoh kasus kejahatan paling serius adalah kasus apartheid di Afrika, warga etnis
Rohingya di Myanmar, pada 1933 di Jerman yang di lakukan oleh Adolf Hitler berupa
pembasmian terhadap orang-orang Yahudi dan masih banyak lagi kejahatan paling serius
lainnya.
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Pidana Internasional, Negara (sebagai negara
pihak) dalam hal ini juga memiliki kedaulatan negara, dimana hukum negaranya tidak mau
dicampuri oleh negara lain, terlebih untuk menyerahkan pelakunya untuk diadili. Disaat
kejahatan itu terjadi, negara mempunyai kekuasaan dan eksistensi yang cukup kuat di
negaranya.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian dan Sejarah Mahkamah Pidana Internasional


2. Yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional
3. Prinsip Dasar Mahkamah Pidana Internasional
4. Mekanisme Pemeriksaan Perkara dan Pembuktian
5. Jelaskan Salah Satu Kasus Penerapan Mahkamah Internasional
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Sejarah Mahkamah Pidana Internasional

Mahkamah Pidana Internasional (atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai


International Criminal Court atau ICC) adalah pengadilan tetap dan independen pertama
yang mampu melakukan penyelidikan dan mengadili setiap orang yang melakukan
pelanggaran terberat terhadap hukum kemanusiaan internasional, seperti kejahatan
perang, kejahatan kemanusiaan, pembunuhan dan tindakan agresi. 1

Mahkamah Pidana Internasional dalam konteks hukum pidana internasional adalah


suatu Badan Peradilan tetap yang dibentuk oleh Persarikatan Bangsa-Bangsa. Mahkamah
Pidana Internasional merupakan salah satu instrumen Persarikatan Bangsa-Bangsa untuk
menuntut dan mengadili para pelaku tindak pidana atau kejahatan internasional.
Mahkamah Pidana Internasional secara sah telah berdiri sebagai suatu badan peradilan
internasional yang berdifat permanen (tetap) dengan tugas, fungsi serta kewenangan-
kewenangan yang dimilikinya. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court) berkedudukan di Den Haag, Belanda.

Keberadaan Mahkamah Pidana Internasional sebagai badan peradilan internasional


yang permanen, Mahkamah ini juga memiliki karakter hukum internasional
(Internasional Legal Personality), artinya Mahkamah Pidana Internasional sebagai subjek
hukum internasional dengan kemampuan yang dimilikinya, serta terdapat hak-hak dan
kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum internasional. Selain memiliki karakter hukum
internasional, Mahkamah Pidana Internasional juga memiliki karakter nasional (national
legal personality), yang juga berarti sebagai subjek hukum nasional bagi negara-negara
peserta ataupun bukan negara peserta (Pasal 4 ayat (2) Statuta Roma Tahun 1998).

Kedudukan Mahkamah Pidana Internasional dalam kaitannya dengan Persarikatan


Bangsa-Bangsa, karena terbentuknya Mahkamah ini tidak bisa terlepas dari perkarsa PBB
melalui Majelis Umum dengan peranan oleh Komisi Hukum Internasional. Mahkamah ini
tidak berada dibawah atau sebagai bagian (bagian utama,bagian subsider ataupun bagian

1
Simon,SH, Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional (Jakarta: Koalisi Masyarakat Sipil untuk
Mahkamah Pidana Internasional, 2009),hlm.3
khusus) dari PBB, sehingga dapat dikatakan bahwa Mahkamah berada di luar sistem PBB
dengan kedudukannya sejajar atau secara dengan PBB. Hal ini berdasarkan perjanjian
antara Mahkamah dan PBB yang tertuang di dalam pasal 2 Statuta Roma Tahun 1998.

2. Yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional

Yuridiksi merupakan kewenangan dalam bertindak berdasarkan ketentuan yang


berlaku mengenai tugas,fungsi dan tujuannya. Seperti yutidiksi-yuridiksi badan peradilan
yang lain, misalnya : Mahkamah Nuremberg 1945, Mahkamah Tokyo 1946, Mahkamah
Bekas Yogoslavia 1993, dan Mahkamah Rwanda 1994, keberadaan Mahkamah Pidana
Internasional juga memiliki yuridiksi yang diantaranya :

a. Yuridiksi Personal adalah kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah untuk


mengadili para pelaku kejahatan atau tindak pidana yang berupa orang-orang atau
individu-individu yang harus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan
sebagaimana telah ditentukan didalam Statuta Roma tahun1998 (pasal 25 ayat (1),
sehingga dalam hal ini, negara bukan merupakan yuridiksipersonal bagi Mahkamah
ataupun subjek hukum lainnya kecuali individu.
b. Yuridiksi Teritorial adalah kewenangan Mahkamah dalam menjalankan tudas dan
fungsi sebagai badan peradilan internasional berdasarkan lokasi atau wilayah hukum
atas perbuatan kejahatan internasional itu terjadi. Pada dasarnya yuridiksi ini berlaku
diwilayah negara-negara peserta dalam Statuta Roma tahun1998, yang apabila terjadi
kejahatan lintas batas teritorial negara. Akan tetapi dalam hubungannya terhadap
negara-negara yang menolak atau tidak menjadi anggota dalam Statuta Roma tahun
1998 (tidak ikut meratifikasi isi dari Statuta Roma tahun 1998), Mahkamah tidak
dapat menerapkan yuridiksunya terhadap kejahatan yang terjadi diwilayah negara
tersebut.
c. Yuridiksi Temporal adalah kewenangan mahkamah sebagaimana diatur dalam pasal
11 ayat (1) dan (2) Statuta Roma tahun 1998 yang berbunyi: Mahkamah hanya
memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan setelah mulai berlakunya statuta
ini. Mahkamah tidak memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi sebelumnya. Hal
ini sesuai dengan salah satu asas hukum pidana internasional, yaitu asas non
retroaktif, hal tersebut didasarkan pada pasal 24 ayat (1) statuta roma tahun 1998.
mengenai yurisdiksi temporal yang ada pada mahkamah, bahwa tidak memperlakukan
asas daluwarda (lapse of time) atas keempat jenis kejahatan yang tunduk pada
yurisdiksi sebagaimana tercantum di dalam Statuta Roma tahun 1998, yaitu kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, kejahatan agresi. Hal ini
sesuai dengan pasal 29 Statuta Roma tahun 1998 yang menyatakan bahwa tidak ada
satu atau lebih kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah yang tunduk pada pembatasan
untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan tersebut.
d. Yuridiksi Kriminal adalah yurisdiksi yang dimiliki oleh Mahkamah dalam
menjalankan tugasnya untuk mengadili kejahatan-kejahatan internasional yang
termasuk atau diatur dalam Statuta Roma tahun 1998. Dalam yurisdiksi kriminal
Mahkamah telah diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma tahun 1998 yang menyatakan
kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah, antara lain sebagai berikut:

1. kejahatan genosida (the crime of genocide)

2. kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity)

3. kejahatan perang (war crimes)

4. kejahatan agresi ( the crimes of aggression)

Dari masing-masing jenis kejahatan internasional tersebut di atas, didalam


Statuta juga menjelaskan secara rinci mengenai definisi ataupun arti mengenai
kejahatan yang dimaksud, seperti dalam Pasal 9 Statuta Roma tahun 1998,
menerangkan tentang perlunya dirumuskan secara lebih rinci mengenai unsur-unsur
masing masing kejahatan (elements of crimes) dalam membantu untuk menafsirkan
atau menerapkan ketentuan terkait pasal yang menunjukan jenis kejahatan yang
dimaksud di dalam Statuta Roma tahun 1998.

3. Prinsip Dasar Mahkamah Internasional

Menurut Boer Mauna ( 2005: 297-307)

a. Prinsip Komplementer

Mahkamah Internasional merupakan pelengkap dari yurisdiksi pidana nasional. Pasal


1 Statuta Roma tahun 1998 memberikan penjelasan mengenai prinsip komplementer.
Berdasarkan hal ini, merupakan pengakuan terhadap prinsip kedaulatan negara dan
harapan masyarakat internasional agar sistem hukum nasional memuat pengaturan
hukum untuk mengadili dan menghukum tindak pidana yang menjadi keprihatinan
dan kesengsaraan dunia. Sehingga dengan terbentuknya Mahkamah Pidana
Internasional tidak bermaksud untuk menggantikan keberadaannya peranan yurisdiksi
nasional yang berlaku disetiap negara.

b. Prinsip Penerimaan

Merupakan prinsip yang dimiliki oleh Mahkamah dalam mengadili suatu perkara di
bawah ruang tetap admissibility (masalah penerimaan perkara) yang tercantum
didalam pasal 17 Statuta Roma tahun 1998. Hal tersebut merujuk pada hubungan
antara sistem hukum nasional dan Mahkamah Pidana Internasional dalam menentukan
suatu kasus dinyatakan tidak dapat diterima apabila : perkaranya sedang diperiksa dan
diadili oleh negara setempat kecuali negara tersebut tidak mau atau tidak mampu
secara sungguh-sungguh untuk melaksanakan penyidikan atau penuntutan

- perkaranya telah diselidiki oleh negara setempat dan negara tersebut memutuskan
untuk tidak melakukan penuntutan terhadap orang yang bersangkutan

- orang yang bersangkutan telah diadili untuk perbuatan yang sama dengan perbuatan
yang menjadi dasar tuntutan Mahkamah Pidana Internasional seperti yang disebutkan
pada pasal 20 ayat (3) Statuta Roma tahun 1998.

- kasusnya tidak cukup berat untuk memerlukan tindakan lebih lanjut dari Mahkamah
Pidana Internasional

c. Prinsip Otomatis (Automatic Principle)

Pelaksanaan yurisdiksi Mahkamah atas dasar tindakan-tindakan pidana yang


tercantum dalam Statuta Roma tahun 1998 dengan tidak memerlukan persetujuan dari
negara-negara pihak yang bersangkutan. semua negara secara langsung(otomatis)
menerima Yurisdiksi dari Mahkamah, yang demikian itu terdapat dalam Paragraf 12
ayat (1) Statuta Roma 1998.

d. Prinsip Ratio Temporis (Yurisdiksi Temporal)


Terkait waktu berlakunya Statuta Roma tahun 1998 tidak berlaku bagi kejahatan yang
terjadi sebelum adanya Statuta ini. bagi negara-negara yang menjadi anggota Statuta
Roma tahun 1998 dinyatakan telah berlaku. Mahkamah mempunyai yurisdiksi atas
kejahatan-kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya statuta bagi negara-negara
anggota tersebut.

e. Prinsip Nullum Crimen Sine Lege

Di dalam Pasal 22 Statuta Roma tahun 1998 di bawah asas-asas umum dalam hukum
pidana, dijelaskan bahwa tidak seorang pun dapat bertanggung jawab secara pidana
berdasarkana statuta. kecuali tindakan tersebut waktu dilakukan merupakan suatu
tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi dan kewenangan Mahkamah.

f. Prinsip Nebis In idem

Dalam pasal 20 Statuta Roma tahun 1998 bahwa seseorang tidak dapat dituntut lagi
oleh Mahkamah atas tindak pidana yang sama yang telah diputuskan atau dibebaskan
oleh Mahkamah. Oleh karena itu seseorang tidak dapat diadili lagi oleh Mahkamah
atau pengadilan lain sebagaimana dalam pasal 5 Statuta Roma 1998, dimana tindak
pidana itu telah diputuskan dengan putusan pidana atau dibebaskan oleh Mahkamah.

g. Prinsip Ratio Loctie (Yurisdiksi Teritorial)

Merupakan prinsip bagi Mahkamah yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan-


kejahatan yang dilakukan di wilayah negara-negara tanpa memandang
kewarganegaraan dari pelaku. Prinsip ini diatur didalam Pasal 12 ayat (2) butir (a)
Statuta Roma 1998.

h. Prinsip Tanggung Jawab Pidana secara individual

Menurut pasal 25 Mahkamah mempunyai yurisdiksi atas individu sebagai "natural


person". Seseorang yang melakukan tindak pidana di wilayah Yurisdiksi Mahkamah
bertanggung jawab secara pribadi dan dapat dihukum sesuai isi dalam Statuta Roma
1998.

i. Prinsip Praduga tak bersalah (Presumption of Innocence)


Bahwa setiap orang harus dianggap tidak bersalah sampai dengan terdapatnya putusan
dari pengadilan bahwa mereka terbukti dan dinyatakan bersalah, diiatur di dalam
pasal 66 Statuta Roma 1998.

j. Prinsip Hak Veto Dewan Keamanan untuk Menghentikan Penuntutan

Merupakan hak yang dimiliki oleh Dewan Keamanan (Security Council) PBB untuk
mencegah Mahkamah dalam melaksanakan Yurisdiksinya sesuai dengan pasal 16
Piagam PBB. menurut pasal tersebut bahwa tidak ada penyidikan atau penuntutan
yang dapat dimulai atau dilaksanakan sesuai Statuta untuk jangka waktu 12 bulan
setelah Dewan Keamanan PBB dalam resolusinya yang dibuat menurut Bab VII
piagam, meminta Mahkamah untuk menangguhkan penyidikan atau penuntutan.
Permintaan tersebut dapat diperbarui oleh Dewan dalam keadaan yang sama. Inilah
yang dinamakan prinsip defferal atau penangguhan yang dapat diperbarui.

4. Mekanisme Pemeriksaan Perkara dan Pembuktian

Proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Mahkamah Pidana Internasional


(International Criminal Court) dalam kasus kejahatan internasional, bentuk pemeriksaan
di persidangan dilakukan secara dinamis. Maksudnya bahwa hukum acara yang
digunakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Statuta Roma tahun 1998. Untuk
kepentingan peradilan mahkamah, maka hukum acara dan pembuktian disahkan oleh
Majelis Negara Peserta berdasarkan suara mayoritas 2/3 dari seluruh anggota negara
peserta. Pada dasarnya ketentuan yang ada dalam Statuta Roma tahun 1998 merupakan
dasar dan pedoman didalam menerapkan dan menjalankan persidangan terkait hukum
acara dan proses pembuktian yang akan dilakukan. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal
5, yang menerangkan apabila kemungkinan akan terjadi pertentangan antara ketentuan
hukum acra dan pembuktian, maka yang akan diutamakan dalam menerapkan sesuai
dengan ketentuan yang ada di dalam Statuta Roma tahun 1998 tersebut. Jadi, kedudukan
statuta roma tahun 1998 lebih tinggi kedudukannya jika dibandingkan dengan hukum
acara dan pembuktian.

Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap bagi yurisdiksi hukum pidana


nasional (Pasal 1), sehingga harus mendahulukan sistem nasional. Kecuali jika sistem
nasional yang ada benar-benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk
melakukan penyelidikan atau menuntuk tindak pidana yang terjadi. Dalam hal ini ada
beberapa alasan dari suatu tindak pidana yang tidak dapat diterima atau disidangkan oleh
Mahkamah Pidana Internasional, sebagaimana diatur di dalam Pasal 17, yang mempunyai
arti dan maksud yang berkaitan dengan tidak dapat diterimanya suatu perkara, yakni
sebagai berikut.

1. Suatu perkara tidak dapat diterima untuk ditangani oleh Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court) apabila :

a). Kasusnya sedang disidik atau dituntut oleh suatu negara yang mempunyai
yurisdiksi atas perkara tersebut, kecuali bila negara tersebut tidak bersedia atau tidak
dapat melakukan penyidikan dan penuntutan;

b). Kasusnya telah disidik oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi atas
perkaratersebut dan negaraa itutelah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang
bersangkutan, kecuali apabila keputusan itu diambil karena ketidakmauan (unwilling)
atau ketidak mampuan (unable) untuk melakukan penuntutan;

c). Tersangka telah diadili atas perbuatan yang diadukan atau pengadilan tidak
berwenang mengadili berdasarkan Pasal 20 ayat (3) Statuta Roma tahun 1998;

d). Kasusnya tidak cukup berat untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Pidana
Internasional (International Criminal Court).

2. Dalam rangka menentukan ketidaksediaan negara tertentu untuk menuntut yang


bersalah, Mahkamah Pidana Internasional mempertimbangkan dengan mengacu pada
prinsip-prinsip hukum internasional, yaitu mengenai hal-hal sebagai berikut.

a). Tampak adanya upaya hukum dan sikap nasional suatu negara untuk “melindungi”
atau menutupi perbuatan si pelaku dari tanggung jawab yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Statuta Roma tahun 1998.
b). Tindakan “Penangguhan” yang tidak dapat dibenarkan yang bersifat “tidak rela”
membawa orang yang bersalah ke pengadilan untuk diadili.

c). Tampak adanya upaya hukum yang mencerminkan tindakan yang tidak sesuai
dengan maksud untuk membawa orang yang bersalah ke Pengadilan untuk diadili.

3. Untuk menentukan “ketidakmampuan” dalam suatu kasus tertentu, Mahkamah Pidan


Internasional mempertimbangkan apakah yang disebabkan kekurangan sistem
nasionalnya secara menyeluruh/ sebagian besar, sehingga negara tersebut tidak
mampu menghadirkan tersangka, tidak dapat menunjukkan bukti dan kesaksian yang
diperlukan atau ada upaya hukum ke arah pemeriksaan di pengadilan.

Prosedur pemeriksaan perkara terhadap kasus-kasus kejahatan internasional yang


diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional, diantaranya ada beberapa tahap yang
dilakukan , yaitu sebagai berikut.

1. Pemeriksaan Pendahuluan (Pra Persidangan)


Pemeriksaan Pendahuluan merupakan pemeriksaan terhadap pelaku kejahatan
beserta administrasi (surat perintah penahanan) sebelum akan disidangkan. Dalam
pemerikaan ini hakim (Bagian Pra Peradilan) harus meninjau keputusan mengenai
penahanan ataupun pelepasan sementara terhadap orang yang bersangkutan
(pelaku). Selain itu, kewenangan dari Bagian Pra Peradilan untuk dapat
mengeluarkan surat perintah penahanan untuk menjamin adanya kepastian tentang
kehadiran dari orang yang dilepas dalam persidangan. Dalam pemeriksaan ini juga
menjadi peran Jaksa Peenuntut dalam surat dakwaan dan alat-alat buktinya
untukmemperkuat alasan-alasan berkenaan dengan tersangka (tertuduh) telah
melakukan kejahatan.

2. Persidangan dan pengambilan keputusan (hukuman) oleh Mahkamah

Proses persidangan yang dilakukan di Mahkamah Pidana Internasional, sesuai


dengan Pasal 62 Statuta Roma tahun 1998 yang artinya bahwa persidangan harus
dilakukan ditempat kedudukan Mahkamah yaitu di DenHaag, Belanda. Perkara
yang akan disidangkan dimuka persidangan harus dengan kehadiran terdakwa,
sehinggadalam hal ini Mahkamah Pidana Internasional tidak mengenal
pemeriksaan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia). Persidangan ini dilakukan
berdasarkan hukum acara yang ditentukan oleh Statuta Roma tahun 1998, artinya
bahwa pemeriksan mengenai kesalahan terdakwa dilakukan dengan memaparkan
fakta-fakta dalam tindak pidana atau kejahatan dan bukti-bukti yang bersangkutan
dengan pemeriksaan ini. Pengadilan mempunyai prinsip dalam keadilan,
menghormati hak-hak terdakwa dan memperhatikan perlindungan korban dan
saksi. Persidangan yangdilakukan oleh Mahkamah Pidana Internasional, pada
dasarnya sidang dibuka untuk umum, kecuali persidangan ditentukan lain
(tertutup untuk umum). Pengadilan mempunyai wewenang untuk menetapkan
relevan atau tidaknya mengenai alat bukti yang diajukan dan mengambil langkah
– langkah demi tertib jalannya persidangan. Dalam persidangan ini peran Ketua
Majelis Hakim memberi pengarahan yang meyakinkan bahwa peradilan dilakukan
secara adil dan tidak memihak dengan memperhatikan bukti-bukti dan ketentuan-
ketentuan dalam Statuta. Hal tersebut sesuai dengan bukti-bukti yang diajukan
oleh jaksa penuntut. Putusan yang akan dikeluarkan oleh Mahkamah harus
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan di dalam Pasal 74 Statuta Roma tahun
1998, yang berbunyi :

a. Semua hakim dari kantor Peradilan harus hadir pada setiap tahapan
pemeriksaan dan pada seluruh persidangan. Apabila selama tahapan
pemeriksaan ataupun tahap persidangan ada hakim yang tidak bisa hadir,
Kepresidenan dapat menugasakan hakim lain (hakim pengganti) untuk
menggantikan hakim dari kantor Peradilan yang tidak bisa hadir.
b. Putusan yang diambil oleh kantor peradilan harus didasarkan atas evaluasinya
terhadap alat bukti yang diajukan dalam seluruh proses persidangan.
Putusannya itu tidak boleh melebihi dari fakta dan keadaan sebagaimana
dipaparkan dalam surat dakwaan serta setiap amandemen yang dilakukan oleh
Jaksa Penuntut atas surat dakwaan itu. Mahkamah hanya dapat mendasarkan
putusannya pada alat bukti yang diajukan dan dibahas dalam persidangan.
c. Dalam proses pengambilan putusan, putusan diusahakan untuk diambil atas
kesepakatan dari seluruh hakim Peradilan akan tetapi jika aklamasi tidak bisa
dicapai, putusan diambil berdasarkan suara mayoritas dari seluruh hakim.
d. Persidangan pada Kantor Peradilan harus bersifat rahasia.
e. Putusan harus dirumuskan dalam bentuk tertulis dan harus mengandung suatu
pernyataaan yang lengkap disertai dengan argumentasi yang didasarkan atas
temuan dari kantor Peradilan mengenai alat bukti dan kesimpulan. Kantor
Peradilan hanya mengeluarkan satu putusan saja. Apabila tidak tercapai
kesepakatan pendapat, maka putusan kantor Peradilan itu harus berisi
pandangan dari mayoritas maupun minoritas. Putusan itu maupun ikhtisarnya
harus disampaikan di dalam sidang terbuka.
Dalam hal ini jenis hukuman yang dapat diberikan oleh Mahkamah kepada
terdakwa berupa (Partiana, 2006: 246-247)
 Hukuman penjara untuk selama jangka waktu tertentu tetatapi tidak boleh
melebihi dari maksimum 30 tahun.
 Hukuman penjara untuk semumur hidup, apabila hal ini dibenarkan atas
dasar pertimbangan mengenai beratnya kejahatan yang dilajukan dan
keadaan-keadaan individual dari terdakwa sebagai orang yang akan
dijatuhi hukuman seumur hidup.
 Hukuman berupa denda, denda ini ditetapkan berdasarkan kriteria
sebagaimana ditentukan dalam hukum acara dan pembuktian.
 Penebusan hasil, harta kekayaan dan aset yang baik secara langsung
maupun tidak langsung berkaitan dengan kejahatan tersebut, tanpa
merugikan hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik.

pada dasranya segala proses dan mekanisme pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh
Mahkamah Pidana Internasional harus sesuai dan berdasrakan ketentuan yang diatur oleh
Statuta Roma 1998. Dalam mahkamah berlaku Prinsip Komplementaritas, yaitu
menggarisbawahi bahwa Mahkamah tidak dimaksudkan untuk menggantikan sistem
peradilan yang masih berfungsi me.... Untuk menyediakan sebuah alternatit untuk mencegah
impunity yang disebabkan karena sistem peradilan yang independen dan efektif tidak
tersedia.

Dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional tahun 1998 disebutkan bahwa:

1) Suatu negara yang menjadi peserta Statuta ini menerima yurisdiksi Pengadilan
berkenaan dengan kejahatan yang disebutkan Pasal 5 (kejahatan genosida, kejahatan
terhadap manusia, kejahatan perang, dan kejahatan agresi)
2) Dalam Pasal 13, huruf (a) dan (c), pengadilan dapat melaksanakan yurisdiksinya
kalau satu atau lebih negara berikut ini adalah peserta statuta atau telah menerima
yurisdiksi International Criminal Court (ICC):
a. Negara yang berkuasa atas wilayah di mana perbuatan yang dipersoalkan itu
terjadi atau kalau kejahatan itu dilakukan di atas kapal atau pesawat terbang,
negara di mana kapal atau pesawat terbang itu terdaftar;
b. Negara di mana tersangka melakukan kejahatan atas warga negara.
3) kalau penerimaan suatu negara yang bukan peserta dari Statuta ini disyaratkan
berdasarkan ayat (2), negara tersebut dapat, dengan deklarasi yang disampaikan
kepada panitera ICC menerima pelaksana yurisdiksi oleh pengadilan berkenaan
dengan sangkaan yang telah dilakukan secepatnya menggelar peradilan (Pasal 12).
Pengadilan pidana internasional (ICC) dapat melaksanakan yurisdiksinya berkenaan
dengan kejahatan yang tercantum dalam Pasal 5, apabila :
1. Dalam suatu keadaan di mana telah terjadi satu atau lebih kejahatan tersebut di
atas dan diteruskan kepada "jaksa" oleh suatu negara pesrta sesuai Pasal 14
Statuta;
2. Dalam suatu keadaan di mana satu atau lebih kejahatan telah terjadi dan
diteruskan kepada jaksa oleh Dewan Keamanaan PBB yang bertindak sesuai
ketentuan Bab VII piagam PBB.

jakasa memprakarsai suatu penyelidikan dan penyidikan berkenaan dengan kejahatan tersebut
sesai dengan Pasal 15 Statuta. "Jaksa" dalam Statuta ini adalah jaksa dalam pengadilan
pidana internasional, yaitu yang terkait dalam mekanisme sistem peradilan pidana (Pasal 13).

5. Kasus Penerapan Mahkamah Internasional

Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma
adalah sumber hukum internasional terpenting yang memberikan sumbangan definitif
terhadap apa yang disebut sebagai “international crimes” saat ini.
Statuta Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 lah yang pertama kali
menguraikan kejahatan-kejahatan yang hingga saat ini dianggap sebagai tindak kejahatan
internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang
(war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Selain itu,
dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep individual
criminal responsibility.
Berawal dari preseden yang disumbangkan oleh kedua pengadilan internasional
itulah, pada tanggal 21 November 1947, pasca perang dunia kedua, PBB membentuk Komisi
Hukum Internasional (International Law Commission) melalui Resolusi Majelis Umum PBB
no.174(II). Komisi ini bertugas untuk menyusun sebuah standar hukum internasional yang
menjadi pegangan setiap negara anggota PBB. Pada sessi pertemuan yang ke 48, yang
berlangsung bulan Mei sampai Juli 1996, Komisi Hukum Internasional ini berhasil
menyepakati untuk mengadopsi serangkaian norma-norma atau prinsip-prinsip hukum
internasional yang terangkum dalam 20 pasal “Draft Code of Crimes Against Peace and
Security of Mankind”. Dalam draft kodifikasi tersebut dinyatakan bahwa yang termasuk di
dalam tindak “kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia” adalah kejahatan
agresi (pasal 16) –yang memberikan dasar bagi penjabaran lebih lanjut definisi command
responsibility, kejahatan genosida (pasal 17), kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 18),
kejahatan terhadap PBB dan personel-personelnya (pasal 19), serta kejahatan perang (pasal
20).

Pengadilan internasional berikutnya yang memberikan sumbangan sangat penting


dalam proses pendefinisian tindak pidana yang termasuk “kejahatan internasional” adalah
Pengadilan Pidana Internasional untuk Negara Bekas Yugoslavia (ICTY). Statuta ICTY
memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan konsep individual criminal
responsibility dan commandresponsibility, dimana mereka yang dianggap bertanggung jawab
pidana secara individu tidak hanya orang yang melakukan tapi juga yang memerintahkan
melakukan tindak kejahatan ICTY pula yang memperkenalkan praktek penerapan command
responsibility dalam pengadilan pidana.
Pengadilan internasional lainnya, yaitu Pengadilan Internasional untuk Rwanda
(International Criminal Tribunal for Rwanda, ICTR) yang dibentuk melalui Resolusi Dewan
Keamanan PBB no. S/RES/955 tahun 1994, dalam statutanya menyatakan bahwa lingkup
kewenangan pengadilan tersebut adalah mengadili mereka yang bertanggung tindak
kejahatan internasional yang masuk dalam yurisdiksi ICTR ini adalah: genosida (pasal 2);
kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 3); dan pelanggaran pasal 3 seluruh Konvensi-
konvensi Geneva 1949 beserta Protokol tambahan II tahun 1977 (pasal 4).
Berikutnya pada tahun 1994, Draft Statute for an International Criminal Court, yang
menjadi cikal bakal Statuta Roma, yang juga merupakan hasil kerja International Law
Commission, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak kejahatan internasional dan
akan berada dalam yurisdiksi pengadilan pidana internasional adalah kejahatan Genosida,
Kejahatan agresi, pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku saat
pertikaian bersenjata, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan yang dilakukan
berkaitan dengan perjanjian yang merupakan tindak kejahatan yang sangat serius yang
bersifat internasional.
Ketika Statute for an International Criminal Court (Statuta Mahkamah Pidana Internasional)
yang kemudian lebih dikenal sebagai Statuta Roma akhirnya disepakati dalam International
Diplomatic Conference di Roma pada tanggal 17 Juli 1998 disebutkan tindak-tindak
kejahataninternasional adalah “kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat
internasional secara keseluruhan” yaitu: genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Sumbangan penting lain dari Statuta Roma ini adalah pencantuman secara eksplisit
bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah:
perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan, kehamilan yang dipaksakan,
sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot
yang setara (equal gravity) (pasal 7 ayat 1.b)(pasal 8 ayat 2.b.xxii)(pasal 8 ayat 2.e.vi).
Pencantuman secara detail dan eksplisit tindakan kejahatan seksual ini dalam yurisdiksi
Mahkamah, merupakan sebuah penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan
seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi
perhatian internasional.

Pengadilan Militer Internasional, Nuremberg 1945


- Pengadilan atas pelaku kejahatan perang Nazi diselenggarakan oleh empat negara sekutu
utama Perang Dunia II (Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Prancis)
- 12 persidangan diselenggarakan di bawah yurisdiksi Control Council Law No.10
- Selain persidangan-persidangan tersebut, juga diselenggarakan banyak persidangan lainnya
yang dilakukan oleh pengadilan militer di berbagai negara lainnya Howard S Levie, “War
Crimes Programs: Europe”, Chapter III in Howard S Levie, Terrorism in War: The Law of
War Crimes (Dobbs Ferry, NY: Oceana Publications, 1993) p 135-139 (bagian statistik)

Kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan pasal 6:


- kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace)
- kejahatan perang (war crimes)
- kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)
Individual responsibility pasal 6 By ommission: keikutsertaan dalam suatu konspirasi atau
rencana bersama untuk melakukan kejahatan yang tersebut di atas pasal 6 Tidak ada
kekebalan (immunity) untuk tindak kejahatan yang dilakukan dengan alasan melaksanakan
tugas negara, atau sebagai aparat negara pasal 7 alasan menjalankan perintah atasan (defense
of superior orders) tidak dapat diterima kecuali sebagai unsur pertimbangan peringanan
hukuman (mitigation) pasal 7 criminal organizations pasal 9 konsekuensi dinyatakannya
sebuah organisasi sebagai organisasi kriminal pasal 10 dan 11 pengadilan in absentia
diperbolehkan pasal 12 pemberkasan dakwaan di Pengadilan Nuremberg:
1. menyusun rencana bersama atau melakukan konspirasi untuk menyelenggarakan kejahatan
terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
2. pelaku kejahatan terhadap perdamaian: perencanaan, persiapan, pencetusan perang sebagai
bentuk tindak agresi yang juga merupakan perang yang dilarang berdasarkan perjanjian-
perjanjian internasional.
3. pelaku kejahatan perang dari tanggal 1 september 1939 sampai 8 Mei 1945 di Jerman serta
seluruh wilayah negara dan teritori yang dikuasai tentara Jerman sejak 1 September 1939,
dan di Austria, Cekoslowakia, dan Italia, dan wilayah laut di sekitarnya.
4. pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum 8 Mei 1945 di Jerman serta seluruh
wilayah negara dan teritori yang dikuasai tentara Jerman sejak 1 September 1939, dan di
Austria, Cekoslowakia, dan Italia, dan wilayah laut di sekitarnya.

Pertanggung jawaban atas tindak kejahatan perang adalah atas: (a) tindakan secara langsung
yang merupakan pelanggaran atas hukum dan kebiasaan perang; dan (b) tindakan yang
merupakan kejahatan perang yang dilakukan oleh seseorang dimana atasannya juga dianggap
bertanggung jawab, baik karena si atasan memerintahkan seseorang tersebut untuk
melakukan tindakan yang termasuk sebagai kejahatan perang, atau karena si atasan telah
gagal mencegah atau menyelidiki atau menghukum bawahannya atas tindakan tersebut
Tanggung Jawab Komando.
Berdasarkan pasal 6(c) Statuta Pengadilan Nuremberg, kejahatan terhadap kemanusiaan
mempunyai beberapa elemen. Yaitu:
- dilakukannya salah satu atau lebih tindak kejahatan spesifik sebagaimana tercantum dalam
pasal (pembunuhan, dll sebelum dan selama masa perang; atau persecution)
- terhadap populasi sipil DI MANAPUN (berarti termasuk warga negara pelaku dan juga
penduduk di wilayah yang dikuasai)
- sebagai bagian dari atau dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lainnya yang
masuk dalam yurisdiksi pengadilan (i.e. kejahatan perang dan kejahatan terhadap
perdamaian)
- tanpa memperdulikan apakah tindakan tersebut merupakan kejahatan menurut hukum
domestik negara dimana tindakan tersebut dilakukan.
Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh (Tokyo Tribunal) 1946
Berdasarkan pasal 5 statuta (yurisdiksi atas pelaku dan tindak kejahatan): Pengadilan
mempunyai wewenang untuk mengadili dan menghukum para penjahat perang di Timur Jauh
sebagai individu maupun sebagai anggota dari organisasi jika seseorang didakwa dalam
posisinya sebagai anggota organisasi tertentu maka yang dikenakan atasnya adalah
dakwaan/tuntutan atas tindakan yang termasuk dalam kejahatan terhadap perdamaian
Kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan: pasal 5
- kejahatan terhadap perdamaian: perencanaan, persiapan, pencetusan, dan pelaksanaan
perang sebagai tindakan agresi baik yang dideklarasikan maupun tidak; atau perang yang
melanggar hukum atau perjanjian internasional; atau ikutserta dalam suatu rencana bersama
atau konspirasi demi terlaksananya salah satu bentuk kejahatan di atas.
- Kejahatan perang konvensional: pelanggaran atas hukum dan kebiasaan perang.
- Kejahatan terhadap kemanusiaan: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan
tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil manapun, sebelum
dan selama masa perang, atau persecution berdasar politik atau ras, sebagai bagian atau
dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam yurisdiksi
pengadilan, baik tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau tidak menurut hukum
domestik dimana tindakan tersebut dilakukan.
Konsep tanggung jawab komando: Pemimpin, penyelenggara, pencetus, dan pembantu yang
ikut ambil bagian dalam perencanaan atau pelaksanaan dari sebuah rencana bersama atau
konspirasi untuk melakukan kejahatan yang mana saja yang masuk dalam yurisdiksi
pengadilan bertanggung jawab atas SEGALA tindakan yang dilakukan oleh SIAPAPUN
dalam pelaksanaan rencana atau konspirasi tersebut. Pemberkasan dakwaan di Pengadilan
Tokyo:
1. Berkas 1-36: konspirasi dalam perencanaan (preparation), memulai (commencement) , dan
pemajuan (furtherance) berbagai kejahatan perang.
2. berkas 37-52: pembunuhan, terutama pembunuhan dalam perang yang melanggar hukum
dan dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan dalam hukum dan kebiasaan perang.
3. berkas 53-55: tindakan kejahatan perang konvensional lainnya dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Pengadilan hanya berhasil membuktikan tindak kejahatan yang termasuk dalam berkas 1, 27,
29, 31, 32, 33, 35, 36, 54, dan 55
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Mahkamah Pidana Internasional (atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai International
Criminal Court atau ICC) adalah pengadilan tetap dan independen pertama yang mampu
melakukan penyelidikan dan mengadili setiap orang yang melakukan pelanggaran terberat
terhadap hukum kemanusiaan internasional, seperti kejahatan perang, kejahatan
kemanusiaan, pembunuhan dan tindakan agresi.

Mahkamah Pidana Internasional dalam konteks hukum pidana internasional adalah suatu
Badan Peradilan tetap yang dibentuk oleh Persarikatan Bangsa-Bangsa. Mahkamah Pidana
Internasional merupakan salah satu instrumen Persarikatan Bangsa-Bangsa untuk menuntut
dan mengadili para pelaku tindak pidana atau kejahatan internasional. Mahkamah Pidana
Internasional secara sah telah berdiri sebagai suatu badan peradilan internasional yang
berdifat permanen (tetap) dengan tugas, fungsi serta kewenangan-kewenangan yang
dimilikinya. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) berkedudukan
di Den Haag, Belanda.
Yuridiksi merupakan kewenangan dalam bertindak berdasarkan ketentuan yang berlaku
mengenai tugas,fungsi dan tujuannya. Seperti yutidiksi-yuridiksi badan peradilan yang lain,
misalnya : Mahkamah Nuremberg 1945, Mahkamah Tokyo 1946, Mahkamah Bekas
Yogoslavia 1993, dan Mahkamah Rwanda 1994.
Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap bagi yurisdiksi hukum pidana
nasional (Pasal 1), sehingga harus mendahulukan sistem nasional. Kecuali jika sistem
nasional yang ada benar-benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk
melakukan penyelidikan atau menuntuk tindak pidana yang terjadi. Dalam hal ini ada
beberapa alasan dari suatu tindak pidana yang tidak dapat diterima atau disidangkan oleh
Mahkamah Pidana Internasional, sebagaimana diatur di dalam Pasal 17, yang mempunyai arti
dan maksud yang berkaitan dengan tidak dapat diterimanya suatu perkara.
DAFTR PUSTAKA

Widyawati, Anis. 2014. Hukum Pidana Internasional. Jakarta: Sinar Grafik.

Simon, SH. 2009. Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional. Jakarta: Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional.

Anda mungkin juga menyukai