B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa penjelasan mengenai Mahkamah Pidana Internasional Berdasarkan Dasar
Hukumnya?
2. Bagaimana Kewenangan Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional?
3. Bagaimana Prinsip-Prinsip Dasar Mahkamah Internasional?
1
Mochtar Kusumaatdja,Pengantar Hukum Internasional Buku 1 Bagian Umum,1997,hal.1-3.
2
Indah Sari,Kejahatn-kejahatan Internasional (Tindak Pidan Internasional) dan Peranan Internasional Criminal
Court (ICC) dalam Penegakanhukum Pidana Internasional,Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara,Vol 6 No. 1,2015,hal 51
BAB II
PEMBAHASAN
3
Simon,Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional,2009,hal.3
4
Muladi,Statuta Roma Tahun 1998 Tentang mahkamah Pidana Internasional dalam kerangka Hukum Pidana
Internasional dan Implikasinya Terhadap Hukum Pidana Nasional,2011.hal.23
2. Kewenangan Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
Untuk mengadili suatu perkara yang bersifat internasional, Makhamah Pidana
Internasional mempunyai kompentensinya sendiri dengan tidak mengabaikannya
adanya pengadilan suatu Negara. Sebelum mengambil alih suatu kasus kejahatan
Internasional, Mahkamah Pidana Internasional menyerahkan kasus tersebut kepada
negara yang mau mengadili kasus tersebut. 5 Apabila telah ada suatu negara yang
berniat untuk memeriksa dan mengadili kasus tersebut, maka Mahkamah Pidana
Internasional menyerahkan sepenuhnya kepada pengadilan suatu negara tersebut.
Mahkamah Pidana Internasional mempunyai empat yurisdiksi sendiri, yaitu :
a. Yurisdiksi Personal
Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma, yurisdiksi Mahkamah adalah
perorangan atau individu per individu yang harus bertanggung jawab atas
kejahatan internasional yang dilakukan sesuai dengan Statuta Roma 1998.
Mahkamah Pidana Internasional hanya minta tanggung jawab individu-individu
tanpa memandang status dan kedudukannya pada waktu kejahatan tersebut
terjadi. Pada Pasal 26, statute juga mengatur tentang batasan umur dalam
tindakan kejahatan, Seseorang yang usianya belum mencapai 18 tahun orang
tersebut akan dikembalikan kepada negara dan akan diterapkan hukum nasional
negara orang tersbut. Tetapi apabila hukum nasional orang tersebut
mengesampingkan batasan umur maka dengan sendirinya orang itu akan bebas.
b. Yurisdiksi Kriminal
Statuta Roma kejahatan perang mencakup tindakan-tindakan :
1. Pelanggaran terhadap konvensi Jenewa 1949
2. Pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam
situasi sengketa bersenjata internasional.
3. Pelanggaran serius terhadap artikel 3 yang merupakan common asrticle dari
keempat konvensi jenewa 1949, dalam hal terjadi konflik bersenjata yang
tidak bersifat internasional.
5
Didi Prasatya,Eksistensi mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Crout) Dalam Penyelesaian Kasus
Tindak Pidana Terorisme,Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion,Vol.1,No.2,2013,hal.4-5.
Terhadap kejahatan-kejahatan yang sudah dimulai sebelum Statuta berlaku
secara efektif dan berlanjut sesudahnya, maka penyelesaiannya sepenuhnya
pada pertimbangan pengadilan6
c. Yurisdiksi Teritorial
Mahkamah Pidana Internasional berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Statuta
Roma 1998, hanya dapat menjalankan tugas dan fungsinya pada wilayah negara
yang telah meratifikasi Statuta Roma 1998 atau yang telah menjadi negara
pihak dan hanya pada kejahatan yang tercantum pada Pasal 5 Statuta Roma
1998. Untuk negara yang belum meratifikasi Statuta Roma ini maka negara
tersebut membuat deklarasi dulu yang disahkan kepada penitera yang
menyatakan bahwa bersedia menerima pelaksanaan yurisdiksi berkaitan dengan
kejahtan yang dipersoalkan.
d. Yurisdiksi Temporal
Mahkamah hanya dapat mengadili pelaku kejahatan setelah berlakukanya
Statuta Roma dan hanya pada wilayah negara pihak saja, apabila sebuah negara
menjadi peserta statuta setelah statuta roma berlaku, maka Mahkamah hnaya
dapat melaksanakan yurisdiksi pada kejahatan yang dilakukan setelah
berlakunya Statuta Roma 1998 bagi negara tersebut, kecuali negara tersebut
sebelumnya telah membuat deklarasi berdasarkan pada Pasal 12 ayat (3),
Statuta Roma 1998.
A. Prinsip komplementaris
Prinsip ini dicantumkan dalam alinea kesepuluh piagam statuta ICC yang berisi sebagai
berikut “Emphasizing that the international criminal court established under this Statute shall be
complementary to national criminal jurisdiction”.
6
Muladi,Yuridiksi dan Adminissibility Pengadilan Pidana Internasional,Jurnal Hukum danPembangunan.Vol 1,No.
4,2001,hal.318
nasional. Hal itu tidak bererti bahwa pengadilan pidana internasional merupakan perpanjangan
yurisdiksi pengadilan nasional.
Prinsip ini merupakan prinsip baru dalam hukum internasional publik dan memiliki arti
yang sangat penting dalam perkembangan hukum internasional karena masyarakat internasional
telah memiliki suatu cara yang tepat dalam menangani suatu kejahatan internasional.
Cara yang tepat dimaksud ialah bahwa telah dihasilkannya suatu cara yang tepat guna
dan efisien dimana keterlibatan masyarakat internasional di dalam kejahatan serius yang terjadi
di dalam suatu negara tidak menegasikan kedaulatan negara yang bersangkutan.
(2) bahwa sesungguhnya bekerjanya Mahkamah Pidana Internasional tidak serta merta
mengganti kedudukan pengadilan nasional.
Kedua hal yang bersifat esensial tersebut diatas, dapat diukur dari standar penerimaan
atau standards of admissibility (Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma-1998), yang mensyaratkan 4
(empat) keadaan sebagai berikut7 :
1) Mahkamah Pidana Internasional harus menentukan bahwa suatu kasus adalah tidak dapat
diterima oleh Mahkamah, jika :
a. kasus kejahatan internasional sedang disidik atau dituntut oleh sejumlah negara yang memiliki
jurisdiksi atas kejahatan internasional tersebut kecuali : negara yang berersangkutan tidak mau
(unwilling) atau tidak mampu secara bersungguh-sungguh (unable genuinely) melaksanakan
penyidikan atau penuntutan.
b. Kasus kejahatan internasional tersebut telah disidik oleh negara yang bersangkutan, akan
tetapi negara yang bersangkutan telah menetapkan untuk tidak menuntut tersangka/terdakwa,
7
Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Pidana Internasional II, Hecca Press,
Jakarta, 2004 hal 69-70
kecuali tindakan tersebut disebabkan oleh tidak adanya kehendak atau ketidakmampuan Negara
yang bersangkutan untuk secara bersungguh-sunguh melakukan penuntutan.
c. terdakwa sudah diadili dan peradilan Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat dilaksanakan
berdasarkan Pasal 20 ayat (3).
d. Kasus tersebut tidak bersifat serius untuk diteruskan dan di adili oleh Mahkamah.
Prinsip ini bertujuan untuk memberikan suatu kepastian hukum. Prinsip ini diatur dalam
pasal 20 Statuta Roma, yang berbunyi sebagai berikut: “ Tidak seorang pun yang telah diadili
oleh mahkamah lain karena tindakannya yang juga disebutkan di dalam pasal 6, 7, dan 8 akan
dituntut oleh mahkamah karena tindakannya yang sama terkecuali jika proses peradilan di
mahkamah yang lain tersebut:
a. Bertujuan untuk melindungi orang yang dimaksud dari pertanggungjawaban pidana atas tindak
pidana dalam yurisdiksi dari mahkamah tersebut; atau
b. Tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak dengan menunjuk pada norma-norma dari
peradilan yang diakui oleh hukum internasional dan dilakukan dengan cara yang tidak konsisten
dengan tujuan untuk mencapai keadilan.
Di dalam ketentuan pasal 20 (3) Statuta roma tersebut, prinsip ne bis in idem tidak dianut secara
mutlak, akan tetapi terbatas. Dengan kata lain masih dapat diterobos dengan 2 persyaratan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (a) dan (b)8.
C. Penjatuhan Pidana
Dalam ICC tidak dikenal hukuman mati, tetapi maximal hukuman yaitu hukuman penjara
seumur hidup untuk kasus yang ekstrim. Hal tersebut mencerminkan perkembangan dari hukum
HAM internasional.
Apabila kita melihat kepada sejarah pengadilan pidana internasional, tepatnya dalam IMT
Nuremberg dikenal adanya hukuman mati yang dikenakan kepada NAZI yang dianggap telah
melakukan kejahatan internasional selama PD II.
Persetujuan yang melandasi pelaksanaan Mahkamah Nurenberg, yakni Agreement for the
Prosecution and Punishment of the Major War Criminals of the European Axis tanggal 8
Agustus 1945 tegas memuat ancaman pidana mati.
8
Jurnal ilmu hukum “Hukum Pidana Mati dalam Perspektif Hukum Internasional”, Arie Siswanto.
Sedangkan di dalam sistem peradilan ICTY dan ICTR, pidana mati tidak akan pernah
diterapkan. Ini juga sekaligus berarti bahwa para pelaku genosida, pelaku kejahatan perang dan
pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk yang terwujud dalam tindakan-tindakan
penyiksaan, eksperimen biologis dalam perang, penyanderaan penduduk sipil, pengeboman desa-
desa yang bukan merupakan objek militer dalam perang, perbudakan, pembunuhan, penyiksaan,
dan perkosaan sampai kapan pun tidak akan pernah dipidana mati di bawah sistem ICTY dan
ICTR.
Apa yang sudah dimulai oleh ICTY dan ICTR terkait dengan pidana mati ternyata
kemudian dipertegas oleh Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar penyelenggaraan ICC
(International Criminal Court). Artikel 77 Statuta Roma 1998 secara tegas menyatakan bahwa
pidana pokok yang bisa dijatuhkan terhadap pelaku genosida (genocide), kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (the
crime of agression).
Akan tetapi pidana tambahan dapat dijatuhkan seperti hukuman denda sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan dan pengembalian hasil, kekayaan, dan aset yang diperolehnya
baik secara langsung maupun tidak langsung dari kejahatan yang dilakukannya.
Jadi sama halnya dengan Statuta ICTY dan ICTR, pemidanaan di dalam sistem ICC yang
hanya dibatasi pada pidana penjara (imprisonment) akan membuat pelaku kejahatan internasional
yang diatur dalam Artikel 5 Statuta Roma (genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan agresi)9 tidak akan pernah tersentuh oleh pidana mati, betapa pun
misalnya pelaku kejahatan ini luar biasa kejam dan tindakannya menyebabkan matinya ribuan
orang, termasuk perempuan dan anak-anak.
9
Simon.2009.Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional.Jakarta: Sentralisme Production
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mahkamah Pidana Intenasional (atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai International
Criminal Court atau ICC) adalah pengadilan tetap dan independen pertama yang mampu
melakukan penyelidikan dan mengadili setiap orang yang melakukan pelanggaran terberat
terhadap hukum kemanusiaan internasional, seperti kajahatan perang, kejahatan kemanusiaan,
pembunuhan dan tindakan agresi.
Mahkamah Pidana Internasional atau ICC ini dibentuk berdasarkan Statuta Roma yaitu
Perjanjian dasar ICC pada tanggal 1 Juli 2002. Hingga saat ini, perjanjian Mahkamah Pidana
Internasional telah diratifikasi oleh 108 negara perwakilan di seluruh dunia. Kerangka kerja
hukum Mahkamah Pidana Internasional ini ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
B. SARAN
Dalam penegakan hukum pidana internasional peran Negara-negara sangatlah penting
sehingga seharusnya Negara-negara memberi perhatian yang lebih besar dalam penegakan
hukum pidana internasional.
Perhatian tersebut meliputi partisipasi untuk menangkap, mengekstradisi, dan mengadili
para pelaku kejahatan internasional. Dalam melakukan peradilannya Negara-negara haruslah
bersikap mandiri, bersih, dan adil dalam memutus perkara mengingat sifat Mahkamah Pidana
Internasional yang komplenter.
Negara negara yang belum melakukan ratifikasi Statuta Roma tahun 1998 tentang
Mahkamah Pidana Internasional juga seharusnya melakukan ratifikasi demi kelancaran
penegakan hukum pidana internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional.
Bagi Mahkamah Pidana Internasional sendiri haruslah lebih aktif dalam melihat kasus-
kasus yang ada di dunia internasional agar dapat tegaknya keadilan di dunia internasional dan
tercapainya cita-cita luhur masyarakat internasional yaitu adanya perdamaian bagi seluruh
masyarakat dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Kusumaatmadja,Mochtar.1997.Pengantar Hukum Internasional Buku 1 Bagian Umum.Bandung:
Bina Cipta.
Simon.2009.Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional.Jakarta: Sentralisme Production.
Muladi.2011.Statuta Roma Tahun 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional dalam
Kerangka Hukum Pidana Internasional dan Implikasinya Terhadap Hukum Pidana
nasional.Bandung: P.T Alumi.
Jurnal
Sari,Indah. Kejahatn-kejahatan Internasional (Tindak Pidan Internasional) dan Peranan
Internasional Criminal Court (ICC) dalam Penegakanhukum Pidana Internasional.Jurnal Ilmiah
Hukum Dirgantara.Vol 6,No.1.2015.hal,51.
Prasatya,Didi.Eksistensi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Crout) Dalam
Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Terorisme.Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion.Vol
1,No.2.2013.hal 4-5.
Mulyadi.Yurisdiksi dan Adminissibility Pengadilan Pidana internasional.Jurnal Hukum dan
Pembangunan.Vol 1,No.4.2001.hal.318.
Jurnal ilmu hukum “Hukum Pidana Mati dalam Perspektif Hukum Internasional”, Arie Siswanto