Anda di halaman 1dari 5

TUGAS

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL


Nama : Farhan Zuhdi Putra
NPM : 201000390
Kelas : F

Pointer-Pointer Tentang ICC


The International Criminal Court is an independent judicial body with jurisdiction over persons charged with genocide, crimes against
humanity, and war crimes. Jika diterjemahkan secara bebas, ICC adalah badan peradilan independen yang memiliki yurisdiksi terhadap individual
yang diduga melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.
Lebih lanjut, secara singkat dapat dijabarkan bahwa tujuan utama pendirian Mahkamah Pidana Internasional adalah:
1. mewujudkan keadilan global;
2. menghapuskan impunitas;
3. membantu menghentikan konflik;
4. menyempurnakan pengadilan internasional sebelumnya;
5. mengambil alih kewenangan pengadilan nasional;
6. mencegah terjadinya kejahatan di masa yang akan datang.
Adapun Mahkamah Pidana Internasional berkedudukan di Den Haag, Belanda. Kemudian, dasar bagi pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional adalah statua roma yang berlaku (entry into force) setelah tercapai jumlah ratifikasi oleh 60 negara. Pada tahun 2002, jumlah
ratifikasi yang disyaratkan terlampaui, sehingga secara hukum, Statuta Roma berlaku.
Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
Sebelum menjawab pertanyaan kedua Anda mengenai yurisdiksi ICC, perlu diketahui bahwa menurut D. W. Bowett, yurisdiksi adalah
“the capacity of a state under international law to prescribe or to enforce a rule of law”. Arti dalam konteks luas, yurisdiksi adalah kewenangan
untuk membuat hukum (to prescribe law) dan kewenangan untuk memaksakan berlakunya hukum (to enforce a rule of law).[5]
Selanjutnya, Mahkamah Pidana Internasional memiliki beberapa yurisdiksi yaitu yurisdiksi personal, yurisdiksi material, yurisdiksi
teritorial, dan yurisdiksi temporal.
Berikut adalah masing-masing penjelasannya :
1. Yurisdiksi Personal (Rationae Personae)
Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Statuta Roma, ICC hanya memiliki yurisdiksi untuk mengadili individu (natural person), dan ICC hanya
boleh mengadili individu di atas usia 18 tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Statuta Roma.
Apabila terdapat penanganan kasus pada seseorang yang usianya belum mencapai 18 tahun, maka orang tersebut akan dikembalikan
kepada negaranya dan akan diterapkan hukum nasional negara orang tersebut.[7]
2. Yurisdiksi Material (Rationae Materae)
Pada dasarnya, ICC memiliki yurisdiksi material terhadap 4 jenis tindak pidana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma, yaitu:
a. The crime of genocide (genosida), diatur dalam Pasal 6 Statuta Roma
b. Crimes against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma;
c. War crimes (kejahatan perang), diatur dalam Pasal 8 Statuta Roma;
d. The crime of aggression (agresi), khusus mengenai kejahatan agresi belum diatur lebih rinci dalam Statuta Roma,[8] dan
Mahkamah akan melaksanakan yurisdiksi setelah suatu ketentuan diadopsi sesuai dengan Pasal 121 dan 123 Statuta Roma.
3. Yurisdiksi Teritorial
Secara umum, Statuta Roma menegaskan bahwa ICC dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya di wilayah Negara Pihak Statuta
Roma. Namun, ICC juga dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya di wilayah Negara Bukan Pihak, selama dibuat perjanjian khusus.
4. Yurisdiksi Temporal (Rationae Temporis)
Salah satu prinsip yang dianggap fundamental dalam hukum pidana adalah asas legalitas yang tertuang dalam adagium “nullum delictum
nulla poena sine praevia lege poenali” yang artinya seseorang tidak dapat dituntut dan dihukum atas dasar tindakan yang pada waktu
dilakukan belum dinyatakan sebagai tindak pidana. Statuta Roma juga mencerminkan gagasan sama melalui Pasal 11 ayat (1), yaitu ICC
memiliki yurisdiksi hanya terhadap kejahatan yang dilakukan setelah statuta dinyatakan berlaku, yaitu pada 1 Juli 2002.
Lebih lanjut, Pasal 11 ayat (2) Statuta Roma menyatakan jika negara menjadi Negara Pihak dari Statuta Roma setelah dinyatakan berlaku,
ICC mulai memberlakukan yurisdiksinya hanya terhadap kejahatan yang dilakukan setelah statuta dinyatakan berlaku di negara tersebut,
kecuali negara melakukan deklarasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3) Statuta Roma.

• Pelaksanaan Yurisdiksi ICC


Berkaitan dengan pelaksanaan yurisdiksi ICC, Pasal 17 ayat (1) huruf a Statuta Roma berbunyi:
Having regard to paragraph 10 of the Preamble and article 1, the Court shall determine that a case is inadmissible where:
The case is being investigated or prosecuted by a State which has jurisdiction over it, unless the State is unwilling or unable genuinely to carry
out the investigation or prosecution;
Sesuai ketentuan tersebut, ICC akan menyatakan perkara tertentu tidak dapat diterima, salah satunya, jika perkara tersebut sedang
diinvestigasi atau dituntut oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk menanganinya, kecuali negara tersebut memang tidak berkeinginan
(unwilling) atau tidak mampu (unable) untuk melakukan investigasi atau penuntutan.
Dalam artikel How the Court works, dijelaskan bahwa:
The ICC is intended to complement, not to replace, national criminal systems; it prosecutes cases only when States are unwilling or unable
to do so genuinely. Adapun pernyataan tersebut menegaskan posisi ICC sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf a Statuta Roma, bahwa yurisdiksi
ICC hanyalah bersifat complementary atau melengkapi sistem hukum nasional, sehingga sepanjang negara yang memiliki yurisdiksi masih
berkeinginan dan mampu memproses perkara pidana tersebut, maka ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili.
• Ketiadaan Hukum dalam Mengadili
Berkaitan dengan pertanyaan Anda yang ketiga, Pasal 17 ayat (3) Statuta Roma menegaskan bahwa:
In order to determine inability in a particular case, the Court shall consider whether, due to a total or substantial collapse or unavailability of its
national judicial system, the State is unable to obtain the accused or the necessary evidence and testimony or otherwise unable to carry out its
proceedings.
Dengan demikian, berdasarkan aturan tersebut, salah satu tolak ukur bahwa sebuah negara tidak mampu (unable) adalah tidak adanya
sistem hukum nasional. Lalu, berdasarkan artikel Informal expert paper: The principle of complementarity in practice (hal. 31), salah satu indikasi
dari tidak adanya sistem hukum nasional adalah:

lack of substantive or procedural penal legislation rendering system “unavailable”


Sehingga, hal tersebut menjawab pertanyaan Anda, bahwa salah satu indikasi negara yang tidak mampu memproses perkara pidana adalah
ketiadaan hukum yang berlaku, dan terhadap situasi demikian, ICC dapat melaksanakan yurisdiksi untuk mengadilinya.
• Yurisdiksi Terhadap Kejahatan Sebelum Berlakunya Statuta Roma
Selanjutnya, bagaimana jika kejahatan tertentu dilakukan sebelum berlakunya Statuta Roma? Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Statuta Roma
yang kami terangkan di atas, ICC tidak memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan tersebut. Disarikan dari artikel The Mandate of the International
Criminal Court, untuk kejahatan yang terjadi sebelum berlakunya Statuta Roma, maka dibutuhkan alternatif penegakan hukum lain, seperti
penuntutan oleh sistem hukum nasional, pembentukan badan peradilan internasional yang bersifat ad hoc, atau penuntutan oleh negara lain yang
punya yurisdiksi, termasuk negara yang menerapkan yurisdiksi universal. Pengertian yurisdiksi universal dapat Anda temukan pada Batas Zona
Maritim dan Penyelesaian Sengketa Hukum Laut Internasional.
Salah satu negara yang mengakui adanya yurisdiksi universal dalam hukum positifnya adalah Belgia sebagaimana diuraikan dalam artikel
Yurisdiksi Universal dan Pengadilan Penjahat Kemanusiaan.
• Penerapan Yurisdiksi ICC bagi Negara Non-Pihak
Menjawab pertanyaan Anda yang terakhir, pada dasarnya terdapat 3 situasi yang dapat menyebabkan yurisdiksi ICC berlaku bagi negara
non-pihak, yaitu:
1. Jika situasi yang terjadi di negara non-pihak diajukan ke muka ICC melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB (Pasal 13 huruf b Statuta
Roma);
2. Jika warga negara dari negara non-pihak melakukan kejahatan di wilayah negara pihak ICC (Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma);
3. Jika negara non-pihak mengakui yurisdiksi ICC terhadap kejahatan tertentu yang merupakan ICC crimes berdasarkan deklarasi ad-hoc
(Pasal 12 ayat (3) Statuta Roma).

Anda mungkin juga menyukai