Anda di halaman 1dari 10

“Perlukah Indonesia Meratifikasi Statuta Roma 1998?.


ABINIAL IHTIAR TAUFANI
Abinial26@gmail.com
Abstrak
Statuta Roma 1998 (Statuta Roma) merupakan dasar pembentukan
Pengadilan Pidana Internasional / International Criminal Court (ICC) yang mulai
berlaku 01 Juli 2002. ICC merupakan pengadilan bersifat permanen yang menuntut
dan mengadili kejahatan internasional yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, genosida, dan kejahatan agresi. Prinsip dasar ICC yaitu ICC
merupakan pelengkap dari pengadilan nasional dalam menuntut dan mengadili
kejahatan internasional (complementarity principle), ICC mengadili orang yang
melakukan kejahatan internasional bertanggungjawab secara individu (individual
criminal responsibility), dan ICC tidak melindungi pejabat negara yang memiliki
privileges/hak imunitas dari yurisdiksi ICC (non- immunity principle). Beberapa
kasus terjadi yaitu kasus Timor-Timur memperlihatkan adanya praktik impunitas,
kasus Tanjung Priok membuktikan sulitnya menciptakan pertanggungjawaban
pidana individu, dan kasus pembantaian Tengku Bantaqiyah (Aceh Barat)
merupakan kasus yang penyelesaiannya tidak memenuhi prinsip keadilan bagi
korban. Menarik untuk dikaji pentingnya Indonesia meratifikasi Statuta Roma dan
tunduk pada ICC. pembentukan ICC di atas, ke depan ICC akan mengalami banyak
hambatan dalam kaitannya dengan kehendak negara baik yang telah melakukan
ratifikasi, apalagi yang belum atau tidak mau mengikatkan diri pada ICC seperti
AS, Cina, Israel dan India. kekhawatiran dari negara Indonesia apabila meratifikasi
Statuta Roma yakni Kejahatan HAM di masa lalu akan diadili di ICC, ratifikasi
Statuta Roma harus digaungkan karena penolakan yang muncul di kalangan
aparatur pemerintahan dan elemen masyarakat lain atas ratifikasi itu dinilai tidak
rasional. Selain khawatir bahwa kejahatan HAM masa lalu akan dibawa ke ICC,
ada juga yang menuding Statuta Roma bakal mengancam kedaulatan negara.
Dampak positif Ratifikasi terhadap Statuta Roma juga dapat memunculkan suatu
inisiasi memperbaiki instrument atau regulasi hukum perlindungan HAM di dalam
negeri termasuk dalam pengimplementasian norma hukum tersebut, dan dampak
negatif Akan terjadi suatu praktik Impunitas yakni Indonesia seakan melindungan
para penjahat HAM yang berada dari negaranya dan seakan akan para penjhata
tersebut tidak dapat tersentuh hukum dikarenakan prinsip non-impunity tidak
diratifikasi dalam Statuta Roma.

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Kekhawatiran masyarakat dunia tertuju kepada para penjahat-
penjahat HAM terdahulu tidak dapat di hukum sebagaimana mestinya, hal
tersebutlah yang menjadi dasar pembentukan pengadilan pidana internasional
permanen setelah sebelumnya para penjahat HAM telah berusaha diadili pada
pengadilan pidana adhoc untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Statuta Roma 1998 (Statuta Roma) merupakan dasar pembentukan
Pengadilan Pidana Internasional / International Criminal Court (ICC) yang
mulai berlaku 01 Juli 2002. ICC merupakan pengadilan bersifat permanen
yang menuntut dan mengadili kejahatan internasional yaitu kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, genosida, dan kejahatan agresi.
Prinsip dasar ICC yaitu ICC merupakan pelengkap dari pengadilan nasional
dalam menuntut dan mengadili kejahatan internasional (complementarity
principle), ICC mengadili orang yang melakukan kejahatan internasional
bertanggungjawab secara individu (individual criminal responsibility), dan
ICC tidak melindungi pejabat negara yang memiliki privileges/hak imunitas
dari yurisdiksi ICC (non- immunity principle).
Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi Statuta Roma padahal
sebagian kejahatan internasional dalam Statuta Roma sudah diadopsi oleh
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kebutuhan Indonesia meratifikasi yaitu menghapuskan praktik impunitas;
melakukan pembenahan instrumen hukum, aparat penegak hukum, dan
prosedur penegak hukum; menjamin saksi maupun korban mendapatkan
perlindungan; dan memberikan jaminan perlindungan HAM bagi warga
negara. Indonesia masih menemukan banyak kendala dalam penegakkan
hukum dan HAM sehingga sulit menciptakan kepastian hukum akibat banyak
peraturan yang saling bertentangan.
Beberapa kasus terjadi yaitu kasus Timor-Timur memperlihatkan
adanya praktik impunitas, kasus Tanjung Priok membuktikan sulitnya
menciptakan pertanggungjawaban pidana individu, dan kasus pembantaian
Tengku Bantaqiyah (Aceh Barat) merupakan kasus yang penyelesaiannya
tidak memenuhi prinsip keadilan bagi korban.1
Berbagai pertimbangan diperlukan dalam hal peratifikasian antara
lain kepentingan negara, dampak terhadap legislasi nasional, dan

1
Apriyani dewi azis, , “Implikasi Ratifikasi Statuta Roma 1998 Bagi Penegakkan Hukum
Dan Ham Di Indonesia,” Jurnal rechtsvinding (Februari 2016), hlm. 2
kelembagaan hukum serta hubungan atau pengaruh negara dalam peraturan
dunia internasional. Ratifikasi merupakan proses mengikatkan diri suatu
negara pada perjanjian internasional. Proses mengikatkan diri berarti
melakukan pengesahan dengan menandatangani naskah perjanjian dan terikat
dengan semua ketentuan dalam perjanjian. Peratifikasian Statuta Roma
berarti negara tunduk pada ketentuan dalam Statuta Roma kemudian
dilakukan penerapan ke dalam hukum nasional suatu negara. Hal ini
bertujuan agar negara bekerjasama penuh dengan ICC.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka menarik untuk dikaji
pentingnya Indonesia meratifikasi Statuta Roma dan tunduk pada ICC?

B. Pembahasan
1. Negara adidaya banyak yang tidak meratifikasi.
Pada awalnya Statuta Roma ini sendiri bertujuan untuk menjadi
solusi perlindungan HAM pada dunia internasional untuk membentuk suatu
peradilan kriminal bagi penjahat-penjahat yang telah melakukan kejahatan
Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Statuta Roma. Konsepsi yang
diagungkan oleh statute rom aini nyatanya tidak berjalan mulus dikarenakan
negara-negara besar seperti Amerika, Cina dan Prancis lebih menginginkan
adanya pengadilan intenasional yang dikendalikan oleh Dewan Keamanan
PBB dimana apabila di masa depan negara adidaya ini melakukan kejahatan
HAM mereka dapat menggunakan “hak Vetonya” untuk menyangkal semua
tuntutan yang dapat mempermalukan negaranya.
Persoalannya pembentukan ICC ini sarat dengan kepentingan
politik, di mana dalam perumusan ICC ini kepentingan polilik negara-
negara sangat dikedepankan. Amerika Serikat, misalnya merasa tidak perlu
untuk mengikatkan diri pada Statuta Roma 1998 tentang Pembentukan ICC.
Ini disebabkan keberadaan ICC yang tidak di bawah kontrol PBB, yang
berarti juga tidak di bawah kontrol AS sebagai negara "yang berpcngaruh"
atau paling dominan pada PBB, yang memungkinkan ICC dipolitisir. Di
samping itu AS tidak yakin dapat ber ko-eksistensi dengan ICC mengingat
adanya asas komplementer tanpa adanya fungsi sebagai legal sistem.
Hal tersebutlah yang kemudian menjadi pertimbangan juga bagi
negara Indonesia bahwa pandangan yang sebenarnya berasal dari negara
besar seperti AS, Cina, India tidak mengikatkan diri kepada statute roma,
hal ini pada dasarnya lebih bersifat politis apabila kita kaji dari kepentingan-
kepentingan negara tersebut yang dengan mudahnya mengintervensi sebuah
pengadilan kejahatan hanya dengan menggunakan hak vetonya di Dewan
Keamanan PBB, maka dari itu ICC nyatanya berdiri independent terlepas
dari pengaruh PBB.
Salah saru prinsip mendasar dan strategis dalam ICC adalah
Complementary Principle yang menyatakan bahwa ICC merupakan
komplementer terhadap yurisdiksi pengadilan nasional. Dalam hal ini ICC
dapat mengadili (admissible) apabila negara yang bersangkutan tidak mau
(unwilling) atau tidak mampu (genuinely unable) untuk melakukan
penyidikan dan penuntutan dan pad a akhirnya memutuskan untuk tidak
menuntut (decided not to prosecute). Unwillingness merupakan refleksi dari
kesan bahwa langkah-langkah yang dilakukan di tingkat nasional di tujukan
sebagai pensal (shielding) terhadap yurisdiksi ICC, dan penundaan yang
tidak beralasan (unjustified delay) serta tidak independen atau bersifat
memihak. Ketidakmampuan dikaitkan dengan kesan bahwa sistem
peradilan nasional collapse or unavailability baik total atau substansial.2
Klausula complementary yang sebenarnya untuk menjembatani
antara kepentingan nasional dan internasional untuk mengadili pelaku
pelanggaran HAM be rat memunculkan pertanyaan mengapa ICC masih
memberi kewenangan Dewan Keamanan PBB untuk dapat mengajukan
perkara pelanggaran HAM bera!. Dewan Keamanan PBB itu sendiri lebih
bersifat politis daripada hukum, sehingga unsur subyektifnya lebih besar
daripada unsur obyektif. Dari gambaran situasi pembentukan ICC di atas,

2
Kartini Sekartadji, “PROSPEK DAN TANTANGAN INTERNATIONAL CRIMINAL
COURT,” Jurnal hukum dan pembangunan nomor 2 (April 2004), hlm. 5.
ke depan ICC akan mengalami banyak hambatan dalam kaitannya dengan
kehendak negara baik yang telah melakukan ratifikasi, apalagi yang belum
atau tidak mau mengikatkan diri pada ICC seperti AS, Cina, Israel dan India.
Di samping itu tantangan juga akan muncul sehubungan dengan penerapan
yurisdiksi ICC melalui asas komplementer yang secara hakiki merupakan
benruk 'halus' dari reduksi kedaulatan negara. Tantangan lain datang dari
peran DK PBB sebagai triggered jurisdiciton. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa tantangan yang akan dihadapi ICC di masa mendatang
ditimbulkan oleh implikasi pengaturan ICC secara politis maupun adanya
kepentingan-kepentingan politik negara-negara tertentu yang tidak
terwadahi di dalam ICC, yang pad a akhirnya mengancam eksistensi ICC.
Tantangan terhadap ICC juga akan timbul sehubungan dengan pelaksanaan
kedaulatan negara, yang tidak dengan mudah akan menyerahkan warga
negaranya untuk diadili oleh ICC. 3

2. Kekhawatiran pemerintah Indonesia apabila meratifikasi Statuta


Roma 1998.
Sampai saat ini Indonesia belum tergerak untuk meratifikasi Statuta
Roma, kalangan akademisi banyak mengeluarkan pendapat bahwa adanya
kekhawatiran dari negara Indonesia apabila meratifikasi Statuta Roma yakni
Kejahatan HAM di masa lalu akan diadili di ICC, ratifikasi Statuta Roma
harus digaungkan karena penolakan yang muncul di kalangan aparatur
pemerintahan dan elemen masyarakat lain atas ratifikasi itu dinilai tidak
rasional. Selain khawatir bahwa kejahatan HAM masa lalu akan dibawa ke
ICC, ada juga yang menuding Statuta Roma bakal mengancam kedaulatan
negara, hal ini harus dipandang berdasarkan persepsi bahwa Statuta Roma
tidak berlaku surut pasalnya, Statuta Roma lebih berorientasi untuk
mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat di masa depan. Selaras
dengan itu Roi berpendapat ketika Statuta Roma diratifikasi, akan
memperbaiki dan memperkuat sistem hukum dan HAM nasional

3
Ibid.
Statuta Roma lebih dari instrumen hukum pidana internasional
semata, tapi berperan strategis untuk mewujudkan pemenuhan HAM.
Misalnya, dalam mekanisme pengadilan HAM sebagaimana tertuang dalam
UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, regulasi itu masih
terdapat kelemahan untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat.
Namun, Statuta Roma dapat mengisi kekurangan itu ketika sudah
diratifikasi. Misalnya, terkait ganti rugi dan rehabilitasi kepada para korban.
Sejalan dengan itu Roi yakin dengan meratifikasi Statuta Roma, upaya
untuk memotong mata rantai impunitas yang kerap terjadi di Indonesia akan
signifikan.
Statuta Roma merupakan instrumen untuk melindungi masyarakat
sipil dari bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang bersifat masif. Seperti
Genosida dan Agresi. Untuk itu, Komnas HAM berkepentingan untuk terus
mendorong pemerintah dan DPR meratifikasi Statuta Roma dalam rangka
melindungi HAM rakyat Indonesia. Mekanisme dalam Statuta Roma tidak
serta merta menyeret para pelaku pelanggaran HAM berat ke ICC. Tapi
tetap mengacu pada hukum nasional, seperti diatur dalam UU Pengadilan
HAM.

3. Dampak Negatif dan Dampak Positif keberlakuan Statuta Roma


apabila diratifikasi.
a. Dampak Positif bagi Indonesia apabila meratifikasi Statuta Roma.
1) Negara Indonesia akan memiliki hak Preferensi yang aktif berupa
pandangan dalam segala kegiatan yang menyangkut perlindungan
Warga negara Indonesia dalam segala kegiatan ICC yang
menyangkut dengan ketentuan perlindungan HAM pada Statuta
Roma.
2) Negara Indonesia juga berkesempatan mengirimkan wakil dari
negaranya atau merekomendasikan wakil dari negaranya untuk
menjadi organ penting dalam ICC seperti menjadi Hakim, Penuntut
Umum atau panitera, hal ini menjadi prestasi penting bagi Indonesia
untuk mewujudkan Apara penegak hukum yang berkualitas.
3) Ratifikasi terhadap Statuta Roma juga dapat memunculkan suatu
inisiasi memperbaiki instrument atau regulasi hukum perlindungan
HAM di dalam negeri termasuk dalam pengimplementasian norma
hukum tersebut.
4) Statuta Roma juga akan memberika sebuah prinsip pembaharuan
hukum di bidang perlindungan Hak Asasi Manusi agar sejalan
dengan prinsip yang ada pada ketentuan Statuta Roma.
5) Perlindungan HAM bagi warga negara Indonesia baik di luar negeri
atau di dalam negeri lebih terjamin dan efektif, hal ini berangkat
pada ketetuan pada Statuta Roma yang menjamin adanya
peningkatan upaya Perlindungan HAM.
6) Menjadi contoh bagi negara khusunya di negara ASEAN yang
artinya membentuk suatu branding bahwa Indonesia sangat fokus
pada perlindungan HAM.

b. Dampak Negatif apabila Indonesia tidak meratifikasi Statuta


Roma.
1) Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk melindungan Warga
negara nya yang terjerat pada dakwaan melakukan kejahatan dalam
yurisdiksi ICC.
2) Indonesia akan di cap lamban dan tidak mendukung perlindungan
ham di internasional karena tidak meratifikasi Statuta Roma.
3) Akan terjadi suatu praktik Impunitas yakni Indonesia seakan
melindungan para penjahat HAM yang berada dari negaranya dan
seakan akan para penjhata tersebut tidak dapat tersentuh hukum
dikarenakan prinsip non-impunity tidak diratifikasi dalam Statuta
Roma.
4) Resiko Intervensi Asing dalam Kedaulatan Negara Apabila
Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma, resiko intervensi pihak
asing akan semakin besar, hal ini karena Indonesia tidak terlepas dari
intervensi pihak asing dalam kedaulatan hukum Negara. Dengan
meratifikasi Statuta Roma, prinsip komplementer akan berlaku di
Indonesia. ICC bukan untuk melaksanakan intervensi internasional
dengan mengambil alih fungsi pengadilan nasional suatu negara,
namun menjunjung tinggi kedaulatan nasional suatu negara dengan
mengutamakan keefektifan mekanisme hukum nasional untuk
menghukum pelaku kejahatan yang merupakan warganegaranya.
Hal ini berarti resiko intervensi dari negara-negara lain terhadap
kedaulatan negara Indonesia akan berkurang.
5) Tekanan Dari Dunia Internasional Komitmen Indonesia terhadap
perlindungan HAM dapat dianggap hanya sebagai retorika politis
karena dalam praktiknya Indonesia tidak mendukung upaya-upaya
yang mengarah pada kemajuan perlindungan HAM.

C. Penutup
1. Kesimpulan
Statuta Roma 1998 (Statuta Roma) merupakan dasar
pembentukan Pengadilan Pidana Internasional / International Criminal
Court (ICC) yang mulai berlaku 01 Juli 2002. ICC merupakan
pengadilan bersifat permanen yang menuntut dan mengadili kejahatan
internasional yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang,
genosida, dan kejahatan agresi. Prinsip dasar ICC yaitu ICC merupakan
pelengkap dari pengadilan nasional dalam menuntut dan mengadili
kejahatan internasional (complementarity principle), ICC mengadili
orang yang melakukan kejahatan internasional bertanggungjawab
secara individu (individual criminal responsibility), dan ICC tidak
melindungi pejabat negara yang memiliki privileges/hak imunitas dari
yurisdiksi ICC (non- immunity principle).
Sampai saat ini Indonesia belum tergerak untuk meratifikasi
Statuta Roma, kalangan akademisi banyak mengeluarkan pendapat
bahwa adanya kekhawatiran dari negara Indonesia apabila meratifikasi
Statuta Roma yakni Kejahatan HAM di masa lalu akan diadili di ICC,
ratifikasi Statuta Roma harus digaungkan karena penolakan yang
muncul di kalangan aparatur pemerintahan dan elemen masyarakat lain
atas ratifikasi itu dinilai tidak rasional. Selain khawatir bahwa kejahatan
HAM masa lalu akan dibawa ke ICC, ada juga yang menuding Statuta
Roma bakal mengancam kedaulatan negara, hal ini harus dipandang
berdasarkan persepsi bahwa Statuta Roma tidak berlaku surut pasalnya,
Statuta Roma lebih berorientasi untuk mencegah terjadinya pelanggaran
HAM berat di masa depan. Selaras dengan itu Roi berpendapat ketika
Statuta Roma diratifikasi, akan memperbaiki dan memperkuat sistem
hukum dan HAM nasional.
Resiko Intervensi Asing dalam Kedaulatan Negara Apabila
Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma, resiko intervensi pihak asing
akan semakin besar, hal ini karena Indonesia tidak terlepas dari
intervensi pihak asing dalam kedaulatan hukum Negara. Dengan
meratifikasi Statuta Roma, prinsip komplementer akan berlaku di
Indonesia. ICC bukan untuk melaksanakan intervensi internasional
dengan mengambil alih fungsi pengadilan nasional suatu negara, namun
menjunjung tinggi kedaulatan nasional suatu negara dengan
mengutamakan keefektifan mekanisme hukum nasional untuk
menghukum pelaku kejahatan yang merupakan warganegaranya. Hal ini
berarti resiko intervensi dari negara-negara lain terhadap kedaulatan
negara Indonesia akan berkurang.

2. Saran
Pemerintah Indonesia Bersama dengan DPR perlu segera
melakukan upaya untuk menjadi negara pihak dari Statuta Roma melalui
aksesi, hal tersebut dikarenakan Indonesia tidak menandatangani Statuta
Roma sampai dengan waktu yang disediakan, dan aksesi dimungkinkan
bagi negara yang tidak menandatangi Statuta Roma. Hal ini didasarkan
dua pertimbangan utama, yaitu bahwa dengan menjadi negara pihak dari
Statuta Roma akan memberikan kemudahan bagi Indonesia dalam
melaksanakan politik luar negerinya, dan memberikan banyak manfaat
bagi Indonesia khususnya dalam memerangi pelanggaran HAM berat.
DAFTAR PUSTAKA

Apriyani dewi azis. “Implikasi Ratifikasi Statuta Roma 1998 Bagi Penegakkan
Hukum Dan Ham Di Indonesia.” Jurnal rechtsvinding (Februari 2016). hlm.
2.

Kartini Sekartadji. “PROSPEK DAN TANTANGAN INTERNATIONAL


CRIMINAL COURT.” Jurnal hukum dan pembangunan nomor 2 (April
2004). hlm. 5.

Anda mungkin juga menyukai